Tag: Jerome Powell

  • Strategi Bank Sentral Jepang Tangkal Inflasi Setelah Tahan Suku Bunga

    Strategi Bank Sentral Jepang Tangkal Inflasi Setelah Tahan Suku Bunga

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank of Japan (BOJ) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya pada Kamis (31/7/2025). Kebijakan itu diklaim tidak membuat bank sentral berada dalam posisi tertinggal dalam merespons inflasi. 

    Melansir Bloomberg, BOJ mempertahankan suku bunga call overnight di level 0,5% pada akhir pertemuan kebijakan dua hari pada Kamis. Hasil ini sesuai ekspektasi 56 ekonom yang disurvei. 

    Meski demikian, dewan gubernur yang beranggotakan sembilan orang itu menaikkan proyeksi median inflasi tahun fiskal berjalan menjadi 2,7% dari 2,2%. Estimasi itu seiring kenaikan harga pangan yang berkelanjutan. Proyeksi untuk tahun fiskal 2026 dan 2027 juga sedikit dinaikkan, di luar perkiraan para ekonom.

    Meski perubahan proyeksi tersebut mengisyaratkan langkah BOJ mendekati kenaikan suku bunga berikutnya, bank sentral tetap enggan memberikan sinyal jelas soal waktu. 

    Gubernur BOJ Kazuo Ueda menyebut pihaknya masih memerlukan waktu untuk menilai dampak tarif baru Amerika Serikat terhadap ekonomi Jepang dan perdagangan global, meski ketidakpastian sebagian mereda setelah tercapainya kesepakatan dagang AS–Jepang.

    “Kami tidak melihat kabut perdagangan ini tiba-tiba menghilang. Saat ini, saya tidak melihat kami tertinggal dari tren inflasi. Saya juga tidak melihat risiko tinggi kami akan tertinggal,” ujar Ueda dalam konferensi pers. 

    Dia menolak berkomentar langsung soal pergerakan mata uang yen, namun menegaskan tren harga terus meningkat walau masih berada sedikit di bawah target inflasi 2%.

    Menurut Hiroki Shimazu, Kepala Strategi MCP Asset Management, revisi naik proyeksi inflasi BOJ memang membuat pasar menilai kenaikan suku bunga semakin dekat. 

    “Namun, laporan terbaru juga menyebutkan adanya perlambatan ekonomi yang diperkirakan,” jelasnya.

    Pelemahan yen terus berlanjut mendekati level psikologis ¥150 per dolar AS, sementara imbal hasil obligasi pemerintah Jepang melonjak dalam beberapa bulan terakhir dan memengaruhi pasar global.

    Keputusan BOJ ini diambil hanya beberapa jam setelah Federal Reserve menahan suku bunga acuannya, dengan Ketua Jerome Powell menekankan banyak ketidakpastian yang menghalangi langkah pemangkasan. Dua gubernur Fed bahkan memilih opsi pemotongan 25 basis poin, meski ditolak mayoritas.

    Dalam laporan outlook kuartalannya, BOJ menyebut risiko inflasi kini umumnya seimbang, berbeda dengan laporan tiga bulan sebelumnya yang hanya menyoroti risiko penurunan.

    BOJ juga menurunkan karakterisasi ketidakpastian perdagangan dari “sangat tinggi” menjadi lebih moderat, sambil menegaskan kesiapan menaikkan suku bunga bila kondisi memungkinkan.

    Kesepakatan dagang AS–Jepang yang tercapai pada 22 Juli menurunkan tarif impor mobil dan sebagian besar barang Jepang ke AS menjadi 15%. BOJ memperkirakan pada akhir tahun ini mereka akan memiliki cukup data untuk menilai kelayakan kenaikan suku bunga.

    Kenaikan proyeksi inflasi mencerminkan tekanan biaya hidup yang tinggi, terutama akibat lonjakan harga pangan, termasuk beras, yang menjadikan Jepang salah satu negara G7 dengan inflasi paling persisten.

    Meski demikian, Ueda tetap mempertahankan pendekatan bertahap, menekankan bahwa tren harga inti masih sedikit di bawah target 2% jika dilihat dari analisis menyeluruh.

    Tekanan biaya hidup ini juga menjadi isu utama dalam pemilu majelis tinggi bulan ini yang berakhir dengan kekalahan terbesar bagi Perdana Menteri Shigeru Ishiba dan koalisinya. Meski menghadapi desakan mundur dari sebagian anggota Partai Demokrat Liberal, Ishiba menyatakan tetap bertahan.

    Jika BOJ akhirnya menaikkan suku bunga, biaya pinjaman di Jepang akan mencapai level tertinggi dalam tiga dekade terakhir.

  • Bos The Fed Jerome Powell Blak-blakan Alasan Tahan Suku Bunga

    Bos The Fed Jerome Powell Blak-blakan Alasan Tahan Suku Bunga

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyatakan bahwa suku bunga saat ini berada di level yang tepat untuk mengatasi ketidakpastian yang berlanjut terkait tarif dan inflasi, meredam ekspektasi pasar atas kemungkinan pemangkasan suku bunga pada September.

    “Ada begitu banyak ketidakpastian yang masih harus diselesaikan. Saya tidak merasa kita sudah mendekati akhir dari proses ini,”  ujar Powell dikutip dari Bloomberg pada Kamis (31/7/2025), setelah The Fed kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya

    Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) memilih dengan suara 9-2 untuk mempertahankan suku bunga federal funds di kisaran 4,25%–4,5%, seperti yang telah dilakukan dalam setiap pertemuan tahun ini. Gubernur Christopher Waller dan Michelle Bowman tidak sependapat, dan memilih pemangkasan sebesar 25 basis poin.

    Pernyataan Powell membuat pelaku pasar mengurangi ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga. Kontrak berjangka suku bunga menunjukkan probabilitas penurunan suku bunga pada pertemuan September hanya sekitar 50%, turun dari sekitar 60% sebelumnya. Imbal hasil obligasi AS turun, dolar menguat ke level tertinggi sejak Mei, dan indeks S&P 500 tergelincir.

    Dalam pernyataan pasca-pertemuan, pejabat The Fed merevisi pandangan mereka terhadap perekonomian AS, menyebut bahwa indikator terbaru menunjukkan pertumbuhan aktivitas ekonomi melambat pada paruh pertama tahun ini. Sebelumnya, mereka menyatakan ekonomi tumbuh dalam laju yang solid.

    Powell menyebut perlambatan ini sebagian besar mencerminkan penurunan belanja konsumen. Namun, dia menambahkan hal ini telah lama diperkirakan, dan konsumen AS masih berada dalam kondisi yang cukup kuat.

    Dia juga mengakui kekhawatiran terhadap pasar tenaga kerja, namun meremehkan risiko tersebut dan membantah pandangan Waller yang menyebut adanya tanda-tanda pelemahan lapangan kerja.

    “Menurut saya, dan hampir seluruh anggota komite, ekonomi tidak menunjukkan kinerja seolah-olah kebijakan moneter yang ketat sedang menahannya secara tidak semestinya,” kata Powell.

    Mayoritas pembuat kebijakan menilai The Fed perlu menahan diri dari pemangkasan suku bunga untuk menilai dampak tarif terhadap inflasi. Beberapa juga menegaskan bahwa kondisi pasar tenaga kerja yang kuat memungkinkan mereka untuk bersikap sabar.

    Keputusan untuk mempertahankan suku bunga juga kembali menantang tekanan keras dari Presiden Donald Trump yang mendorong pemangkasan. Sesaat sebelum pengumuman, Trump memprediksi bahwa The Fed akan memangkas suku bunga pada September dan kembali mengkritik lambatnya langkah bank sentral.

    Dalam pernyataannya, The Fed kembali menegaskan bahwa pasar tenaga kerja tetap solid dan inflasi masih sedikit meningkat. Namun, mereka menghapus pernyataan sebelumnya bahwa ketidakpastian prospek ekonomi telah mereda, dan justru menegaskan bahwa ketidakpastian masih tinggi.

    Perbedaan suara atau dissent dari Waller dan Bowman menjadi yang pertama kali terjadi sejak 1993 ketika dua anggota Dewan Gubernur tidak sejalan dengan keputusan komite. Anggota FOMC terdiri dari tujuh gubernur dan lima presiden bank cadangan regional dari total 12.

    Dampak Tarif

    Selama beberapa bulan terakhir, pejabat The Fed bersiap menghadapi risiko meningkatnya pengangguran dan inflasi akibat kebijakan tarif agresif dari pemerintahan Trump.

    Data yang dirilis Rabu menunjukkan produk domestik bruto (PDB) naik 3% secara tahunan pada kuartal II/2025, setelah sempat menyusut 0,5% pada kuartal sebelumnya. Kenaikan ini sebagian besar dipicu oleh percepatan impor pada kuartal I saat perusahaan berupaya mengantisipasi tarif. 

    Namun, belanja konsumen mencatatkan laju paling lambat dalam dua kuartal berturut-turut sejak awal pandemi.

    Meski begitu, tarif belum memberikan dampak besar terhadap data inflasi maupun ketenagakerjaan.

    Inflasi pada Juni tercatat di bawah ekspektasi selama lima bulan berturut-turut, meskipun harga sejumlah barang yang terdampak langsung oleh tarif—seperti mainan, pakaian, dan elektronik—mengalami lonjakan. 

    Sementara itu, tingkat pengangguran turun menjadi 4,1% karena pengetatan kebijakan imigrasi oleh pemerintah yang mengurangi pasokan tenaga kerja.

    Kendati Waller dan Bowman memilih berbeda, pandangan mereka tidak terpaut jauh dari beberapa pejabat lain. Proyeksi suku bunga The Fed pada Juni menunjukkan dua pejabat mendukung tiga kali pemangkasan tahun ini, dan delapan lainnya memperkirakan dua kali pemangkasan.

  • The Fed Soroti Perlambatan Ekonomi AS, Ketidakpastian Masih Tinggi

    The Fed Soroti Perlambatan Ekonomi AS, Ketidakpastian Masih Tinggi

    Bisnis.com, JAKARTA — Federal Reserve atau The Fed menyoroti perlambatan ekonomi Amerika Serikat dan menilai ketidakpastian yang masih tinggi, termasuk ketika tarif Trump berlaku.

    Bank sentral Amerika Serikat (AS) itu mempertahankan suku bunga The Fed sebesar 4,25%—4,50%, berdasarkan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29—30 Juli 2025.

    Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa komite menurunkan pandangannya atas ekonomi AS. Pada kuartal II/2025, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 3%, sehingga rata-rata pertumbuhan ekonomi AS semester I/2025 adalah 1,25%.

    “Meskipun fluktuasi ekspor neto terus memengaruhi data, indikator terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan aktivitas ekonomi melambat pada paruh pertama tahun ini,” ujar Powell dalam konferensi pers FOMC pada Rabu (30/7/2025) waktu AS atau Kamis (31/7/2025) dini hari waktu Indonesia.

    Menurutnya, moderasi pertumbuhan sebagian besar mencerminkan perlambatan belanja konsumen. Powell menyoroti masih adanya ketidakpastian dalam prospek ekonomi.

    “Bagi saya, dan hampir seluruh komite, perekonomian tidak berjalan seolah-olah kebijakan restriktif menahannya secara tidak tepat,” katanya.

    Sebagian besar pembuat kebijakan berpendapat bahwa The Fed seharusnya menunda penurunan suku bunga untuk mengukur dampak tarif terhadap inflasi. Beberapa juga menekankan bahwa pasar tenaga kerja yang kuat telah memungkinkan mereka untuk tetap bersabar.

    Para pejabat mengabaikan pernyataan bahwa ketidakpastian atas prospek ekonomi telah berkurang, tetapi mengulangi pandangan bahwa ketidakpastian masih tinggi.

    Powell juga menyampaikan bahwa jajaran dewan gubernur tetap fokus pada pencapaian tujuan utama, yaitu penyerapan tenaga kerja yang maksimal dan harga-harga yang stabil, demi kepentingan warga AS.

    “Kami yakin bahwa sikap kebijakan moneter saat ini menempatkan kami pada posisi yang tepat untuk merespons potensi perkembangan ekonomi secara tepat waktu,” ujar

    Powell juga menjelaskan bahwa inflasi telah menurun secara signifikan dari titik tertingginya pada pertengahan 2022, tetapi masih sedikit lebih tinggi dari target jangka panjang The Fed sebesar 2%.

    Dilansir dari Bloomberg, mengacu pada pernyataan kebijakan yang dirilis setelah FOMC pada 29—30 Juli 2025, sebanyak 9 anggota dewan gubernur The Fed memilih untuk mempertahankan suku bunga, sedangkan dua lainnya menilai perlu ada pelonggaran moneter.

    Pertama kalinya sejak 1993, terdapat dua anggota yang menentang keputusan komite.

    Federal Open Market Committee atau FOMC The Fed terdiri dari tujuh gubernur dan lima dari 12 presiden bank cadangan regional (regional reserve bank presidents).

    Dua orang yang menilai perlunya penurunan suku bunga The Fed dalam FOMC Juli 2025 adalah Wakil Ketua Pengawas Michelle Bowman dan Gubernur Christopher Waller.

    Keduanya ditunjuk oleh Presiden AS Donald Trump ke jajaran anggota dewan gubernur dan disebut-sebut sebagai kandidat pengganti Jerome Powell.

  • Breaking: The Fed Tahan Suku Bunga 4,5% dalam FOMC Juli 2025

    Breaking: The Fed Tahan Suku Bunga 4,5% dalam FOMC Juli 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Federal Reserve atau The Fed mempertahankan suku bunga acuan sebesar 4,25%—4,50% dalam Federal Open Market Committee atau FOMC periode Juli 2025.

    Berdasarkan pengumuman The Fed hari ini, FOMC memutuskan untuk mempertahankan suku bunga The Fed, yang belum berubah sepanjang 2025.

    Gubernur The Fed Jerome Powell menyampaikan bahwa jajaran dewan gubernur tetap fokus pada pencapaian tujuan utama, yaitu penyerapan tenaga kerja yang maksimal dan harga-harga yang stabil, demi kepentingan warga Amerika Serikat (AS).

    “Kami yakin bahwa sikap kebijakan moneter saat ini menempatkan kami pada posisi yang tepat untuk merespons potensi perkembangan ekonomi secara tepat waktu,” ujar Powell dalam konferensi pers FOMC pada Rabu (30/7/2025) waktu AS atau Kamis (31/7/2025) dini hari waktu Indonesia.

    Powell menjelaskan bahwa indikator terbaru menunjukkan aktivitas ekonomi masih moderat pada semester pertama 2025. Berdasarkan rilis data ekonomi beberapa jam lalu, pertumbuhan ekonomi AS mencapai 3% pada kuartal II/2025, sehingga rata-rata pertumbuhan ekonomi AS pada semester I/2025 adalah 1,25%.

    Menurutnya, moderasi pertumbuhan sebagian besar mencerminkan perlambatan belanja konsumen. Powell menyoroti masih adanya ketidakpastian dalam prospek ekonomi.

    Powell juga menjelaskan bahwa inflasi AS telah menurun secara signifikan dari titik tertingginya pada pertengah 2022, tetapi masih sedikit lebih tinggi dari target jangka panjang The Fed sebesar 2%.

    Dilansir dari Reuters, mengacu pada pernyataan kebijakan yang dirilis setelah FOMC pada 29—30 Juli 2025, sebanyak 9 anggota dewan gubernur The Fed memilih untuk mempertahankan suku bunga, sedangkan dua lainnya menilai perlu ada pelonggaran moneter.

    Dua orang yang menilai perlunya penurunan suku bunga The Fed adalah Wakil Ketua Pengawas Michelle Bowman dan Gubernur Christopher Waller.

    Keduanya ditunjuk oleh Presiden AS Donald Trump ke jajaran anggota dewan gubernur dan disebut-sebut sebagai kandidat pengganti Jerome Powell.

  • Meramal Arah Suku Bunga The Fed di Era Tarif Trump

    Meramal Arah Suku Bunga The Fed di Era Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Federal Reserve Jerome Powell dan jajarannya akan memasuki ruang rapat bank sentral atau FOMC Meeting mulai Selasa (29/7/2025) untuk membahas suku bunga The Fed di tengah tekanan politik yang besar, kebijakan perdagangan yang dinamis, hingga dinamika ekonomi yang ketat.

    Pertemuan para pejabat The Fed bulan ini terbilang langka, karena rapat Federal Open Market Committee (FOMC) berlangsung pada pekan yang sama ketika pemerintah Amerika Serikat (AS) menerbitkan data pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, dan metrik harga pilihan bank sentral.

    Para ekonom dan berbagai lembaga meyakini suku bunga The Fed Juli 2025 tidak akan berubah, walaupun ada tekanan besar agar Powell cs segera menurunkan suku bunga—termasuk dari Presiden AS Donald Trump.

    Dilansir dari Bloomberg, perekonomian AS diperkirakan pulih pada kuartal II/2025, terutama karena penyempitan tajam defisit perdagangan setelah Trump mengumumkan rencana pemberlakuan tarif resiprokal. Pemimpin negara seantero dunia berbondong-bondong melakukan negosiasi tarif, para pelaku usaha mempercepat impor sebelum tarif baru berlaku.

    Permintaan rumah tangga dan investasi di AS diperkirakan hanya tumbuh moderat, meskipun pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS kuartal II/2025 akan mencapai 2,4% (year on year/YoY), setelah pada kuartal I/2025 menyusut ke 0,5% (YoY).

    Pertumbuhan lapangan kerja diperkirakan semakin lambat pada Juli 2025. Lalu, inflasi dasar Juni 2025 kemungkinan naik dari bulan sebelumnya.

    Beberapa pejabat The Fed mulai menyuarakan kekhawatiran tentang apa yang mereka anggap sebagai pasar kerja yang rapuh, termasuk dua orang yang mengatakan mereka melihat manfaat mempertimbangkan penurunan suku bunga sekarang.

    Tekanan juga meningkat dari luar ruang rapat. Presiden Donald Trump telah vokal tentang keinginannya agar Powell cs menurunkan biaya pinjaman bagi konsumen dan bisnis.

    Trump sering mengecam Powell karena bergerak terlalu lambat, sementara pada saat yang sama menyoroti kepemimpinannya atas pembengkakan biaya konstruksi terkait renovasi kantor pusat The Fed di Gedung Eccles, Washington, AS.

    Powell dan para bankir sentral lainnya telah menekankan perlunya kesabaran karena tarif yang diberlakukan pemerintahan Trump berisiko memicu kembali percepatan inflasi. Sejauh ini tahun ini, sejak berbagai bea masuk AS atas impor diberlakukan, tekanan harga masih tergolong moderat.

    Arah Suku Bunga The Fed

    Ekonom senior Wells Fargo Sarah House menuturkan, walaupun tidak ada perubahan suku bunga, dia menyebut adanya indikasi bahwa pasar sedang berada di titik balik dalam arah kebijakan.

    “Tapi mayoritas anggota komite tampaknya belum sampai di tahap itu—mereka masih berhati-hati terhadap potensi tekanan inflasi akibat tarif,” jelas House dikutip dari Bloomberg, Senin (28/7/2025).

    Pernyataan hasil rapat akan dipublikasikan pada Rabu (30/7/2025) pukul 14.00 waktu Washington, disusul konferensi pers oleh Powell 30 menit kemudian. Pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga kemungkinan besar akan terjadi pada rapat berikutnya, September, dan pelaku pasar akan mencermati setiap pernyataan yang memperkuat ekspektasi tersebut.

    Sejumlah analis memprediksi adanya perbedaan pendapat (dissenting voice) dari Gubernur Fed Christopher Waller dan Wakil Ketua Pengawasan Michelle Bowman, dua pejabat yang diangkat oleh Trump dan secara terbuka menyuarakan kekhawatiran bahwa suku bunga saat ini terlalu tinggi di tengah risiko pelemahan pasar kerja.

    Waller sebelumnya telah memberi sinyal kemungkinan perbedaan pendapat awal bulan ini, dengan menyatakan The Fed seharusnya segera bertindak untuk mendukung pasar tenaga kerja yang ada di ujung tanduk.

    Sementara itu, Bowman pada Juni lalu juga mengatakan dirinya dapat mendukung pemangkasan suku bunga jika tekanan inflasi tetap lemah.

    Jika Waller dan Bowman sama-sama melakukan dissent, maka ini akan menjadi kali pertama dua gubernur Fed tidak sejalan sejak 1993. Waller sendiri disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pengganti Powell saat masa jabatannya berakhir pada Mei mendatang.

    Namun demikian, beberapa pihak menilai perbedaan suara ini lebih bernuansa politis ketimbang teknis. Kepala Ekonom AS di JPMorgan Chase & Co., Michael Feroli, dalam catatannya menyebut dissent atau perbedaan opini ganda lebih merupakan uji panggung untuk posisi Ketua The Fed dibanding cerminan kondisi ekonomi.

    Ekonom KPMG Diane Swonk juga menilai dissent menjadi hal lazim menjelang perubahan arah kebijakan.

    “Perbedaan pandangan memang wajar muncul saat The Fed mendekati keputusan untuk memangkas suku bunga, apalagi dengan ketidakpastian tinggi soal dampak tarif,” jelasnya.

    Saat Waller dan Bowman menitikberatkan mandat lapangan kerja, sebagian besar pejabat Fed lainnya masih fokus pada inflasi. Ketidakpastian terkait dampak tarif terhadap harga juga tercermin dari proyeksi yang dirilis Juni lalu, di mana 10 dari 19 pejabat mengusulkan dua kali pemangkasan suku bunga, sementara 7 lainnya tidak mengusulkan pemangkasan sama sekali.

    Laporan inflasi terbaru menunjukkan adanya kenaikan harga pada sejumlah barang yang terdampak tarif, seperti mainan dan peralatan rumah tangga. Namun, inflasi inti naik di bawah ekspektasi untuk bulan kelima berturut-turut pada Juni, mengindikasikan tekanan harga belum menyebar luas.

    Kepala Strategi Suku Bunga AS di Natixis North America, John Briggs, mengatakan bahwa pasca lonjakan inflasi akibat Covid-19, beberapa pejabat Fed lebih berhati-hati karena dampak tarif mungkin butuh waktu lebih lama untuk muncul.

    “Masalahnya, The Fed jadi terus menunda pengambilan keputusan karena data yang belum jelas,” katanya

    Natixis memproyeksikan The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada Oktober dan melanjutkan penurunan bertahap sebesar 25 bps hingga Juni 2026.

  • The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga Bulan Ini Meski Sinyal Pemangkasan Menguat

    The Fed Diprediksi Tahan Suku Bunga Bulan Ini Meski Sinyal Pemangkasan Menguat

    Bisnis.com, JAKARTA — Para pejabat Federal Reserve (The Fed) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga acuan dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29-30 Juli 2025 mendatang. 

    Meski demikian, perdebatan yang semakin tajam dalam rapat kebijakan pekan ini dinilai dapat memperkuat ekspektasi pemangkasan suku bunga pada musim gugur mendatang.

    Ketua The Fed Jerome Powell berada di bawah tekanan besar dari Presiden AS Donald Trump dan para pendukungnya untuk segera menurunkan biaya pinjaman. Powell bahkan diperkirakan akan menghadapi penolakan dari sejumlah pejabat bank sentral yang menginginkan dukungan bagi pasar tenaga kerja yang mulai melambat.

    Meski demikian, The Fed secara luas diproyeksikan tidak akan mengubah suku bunga acuannya usai pertemuan dua hari pada 30 Juli 2025, seiring sikap wait-and-see terhadap dampak tarif impor terhadap harga-harga konsumen.

    Ekonom senior Wells Fargo Sarah House menuturkan, walaupun tidak ada perubahan suku bunga, dia menyebut adanya indikasi bahwa pasar sedang berada di titik balik dalam arah kebijakan.

    “Tapi mayoritas anggota komite tampaknya belum sampai di tahap itu — mereka masih berhati-hati terhadap potensi tekanan inflasi akibat tarif,” jelas House dikutip dari Bloomberg, Senin (28/7/2025).

    Pernyataan hasil rapat akan dipublikasikan pada Rabu (30/7/2025) pukul 14.00 waktu Washington, disusul konferensi pers oleh Powell 30 menit kemudian. Pasar kini memperkirakan pemangkasan suku bunga kemungkinan besar akan terjadi pada rapat berikutnya, September, dan pelaku pasar akan mencermati setiap pernyataan yang memperkuat ekspektasi tersebut.

    Keputusan suku bunga kali ini juga berada di tengah pekan yang padat dengan rilis data ekonomi penting, termasuk laporan ketenagakerjaan bulanan pada Jumat. Analis memperkirakan angka ketenagakerjaan pada Juli melambat, seiring ketidakpastian kebijakan dagang Trump yang membayangi prospek ekonomi.

    Potensi Dissenting Vote

    Sejumlah analis memprediksi adanya perbedaan pendapat (dissenting voice) dari Gubernur Fed Christopher Waller dan Wakil Ketua Pengawasan Michelle Bowman, dua pejabat yang diangkat oleh Trump dan secara terbuka menyuarakan kekhawatiran bahwa suku bunga saat ini terlalu tinggi di tengah risiko pelemahan pasar kerja.

    Waller sebelumnya telah memberi sinyal kemungkinan perbedaan pendapat awal bulan ini, dengan menyatakan The Fed seharusnya segera bertindak untuk mendukung pasar tenaga kerja yang ada di ujung tanduk. 

    Sementara itu, Bowman pada Juni lalu juga mengatakan dirinya dapat mendukung pemangkasan suku bunga jika tekanan inflasi tetap lemah.

    Jika Waller dan Bowman sama-sama melakukan dissent, maka ini akan menjadi kali pertama dua gubernur Fed tidak sejalan sejak 1993. Waller sendiri disebut-sebut sebagai salah satu kandidat pengganti Powell saat masa jabatannya berakhir pada Mei mendatang.

    Namun beberapa pihak menilai perbedaan suara ini lebih bernuansa politis ketimbang teknis. Michael Feroli, Kepala Ekonom AS di JPMorgan Chase & Co., dalam catatannya menyebut dissent ganda lebih merupakan uji panggung untuk posisi Ketua The Fed dibanding cerminan kondisi ekonomi.

    Ekonom KPMG Diane Swonk juga menilai dissent menjadi hal lazim menjelang perubahan arah kebijakan. 

    “Perbedaan pandangan memang wajar muncul saat The Fed mendekati keputusan untuk memangkas suku bunga, apalagi dengan ketidakpastian tinggi soal dampak tarif,” jelasnya.

    Saat Waller dan Bowman menitikberatkan mandat lapangan kerja, sebagian besar pejabat Fed lainnya masih fokus pada inflasi. Ketidakpastian terkait dampak tarif terhadap harga juga tercermin dari proyeksi yang dirilis Juni lalu, di mana 10 dari 19 pejabat mengusulkan dua kali pemangkasan suku bunga, sementara 7 lainnya tidak mengusulkan pemangkasan sama sekali.

    Laporan inflasi terbaru menunjukkan adanya kenaikan harga pada sejumlah barang yang terdampak tarif, seperti mainan dan peralatan rumah tangga. Namun, inflasi inti naik di bawah ekspektasi untuk bulan kelima berturut-turut pada Juni, mengindikasikan tekanan harga belum menyebar luas.

    John Briggs, Kepala Strategi Suku Bunga AS di Natixis North America mengatakan, pasca lonjakan inflasi akibat Covid-19, beberapa pejabat Fed lebih berhati-hati karena dampak tarif mungkin butuh waktu lebih lama untuk muncul.

    “Masalahnya, The Fed jadi terus menunda pengambilan keputusan karena data yang belum jelas,” katanya

    Natixis memproyeksikan The Fed akan mulai memangkas suku bunga pada Oktober dan melanjutkan penurunan bertahap sebesar 25 bps hingga Juni 2026.

  • Wall Street Akhir Pekan: S&P 500 dan Nasdaq Cetak Rekor Lagi

    Wall Street Akhir Pekan: S&P 500 dan Nasdaq Cetak Rekor Lagi

    Bisnis.com, JAKARTA — Bursa saham Amerika Serikat ditutup menguat pada Jumat (25/6/2025) waktu setempat dan mendorong indeks S&P 500 dan Nasdaq mencatat penutupan tertinggi sepanjang sejarah.

    Melansir Reuters pada Sabtu (26/7/2025), indeks S&P 500 ditutup naik 0,40% ke level 6.388,64, sedangkan Nasdaq menguat 0,24% ke 21.108,32 dan Dow Jones Industrial Average naik 0,47% ke 44.901,92.

    Secara mingguan, S&P 500 mencatat kenaikan 1,5%, Nasdaq bertambah 1%, dan Dow Jones naik 1,3%.

    Kenaikan tersebut didorong oleh optimisme bahwa Amerika Serikat dan Uni Eropa segera mencapai kesepakatan dagang.

    Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen dijadwalkan bertemu Presiden AS Donald Trump di Skotlandia pada Minggu (27/7/2025), setelah sejumlah pejabat dan diplomat UE menyatakan mereka berharap dapat menyepakati kerangka perjanjian dagang akhir pekan ini. Sebelumnya, Trump menyebut peluang tercapainya kesepakatan dagang AS-UE sebesar “50-50”.

    Kinerja Wall Street menguat tajam dalam beberapa pekan terakhir, ditopang oleh laporan laba kuartalan yang solid, kesepakatan dagang dengan Jepang dan Filipina, serta ekspektasi akan tercapainya lebih banyak kesepakatan guna menghindari lonjakan tarif yang diancamkan Trump.

    Thomas Martin, Senior Portfolio Manager di GLOBALT, Atlanta menyebut, pasar telah mengantisipasi bahwa kesepakatan-kesepakatan itu akan tercapai. 

    “Secara pribadi, saya agak skeptis. Kita harus berhati-hati, karena jika tidak tercapai, potensi kekecewaannya lebih besar daripada potensi kenaikannya.,” katanya.

    Adapun, sebanyak sembilan dari sebelas sektor dalam indeks S&P 500 menguat pada perdagangan akhir pekan ini. Reli indeks itu dipimpin oleh sektor material yang naik 1,17%, disusul sektor industri dengan kenaikan 0,98%.

    S&P 500 mencatat rekor penutupan tertinggi setiap hari sepanjang pekan ini. Menurut Howard Silverblatt, analis senior indeks di S&P Dow Jones Indices, terakhir kali indeks mencatat minggu sempurna dengan penutupan tertinggi lima hari berturut-turut terjadi pada November 2021.

    Pekan depan, fokus investor akan tertuju pada kebijakan bank sentral AS, Federal Reserve. Para pembuat kebijakan dijadwalkan bertemu pada Kamis (31/7/2025) dan diperkirakan akan mempertahankan suku bunga di level saat ini, sembari mempertimbangkan dampak tarif terhadap inflasi.

    Berdasarkan alat pemantau CME FedWatch, pasar memperkirakan peluang pemangkasan suku bunga pada September sekitar 60%.

    Trump pada Jumat menyatakan bahwa menurutnya Ketua The Fed Jerome Powell mungkin siap menurunkan suku bunga. Sehari sebelumnya, Trump kembali melontarkan tekanan terhadap The Fed, setelah sebelumnya mengkritik keras kegagalan bank sentral memangkas suku bunga.

  • IHSG diprediksi variatif di tengah pasar cermati kesepakatan RI dan AS

    IHSG diprediksi variatif di tengah pasar cermati kesepakatan RI dan AS

    Ilustrasi – Pekerja melintasi layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

    IHSG diprediksi variatif di tengah pasar cermati kesepakatan RI dan AS
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 13:03 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Jumat diperkirakan bergerak mixed (variatif) di tengah pelaku pasar mencermati kelanjutan kesepakatan perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS). IHSG dibuka menguat 11,48 poin atau 0,15 persen ke posisi 7.542,38. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 1,55 poin atau 0,19 persen ke posisi 798,25.

    “Perdagangan pada hari ini, diperkirakan akan berlangsung dinamis,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Jumat.

    Dari dalam negeri, Pemerintah Indonesia masih melanjutkan pembahasan teknis terkait kesepakatan dagang bilateral dengan AS, menyusul pengumuman joint statement yang sebelumnya disampaikan oleh Gedung Putih.

    Dalam pernyataan itu, disebutkan bahwa tarif impor untuk produk Indonesia ke AS ditetapkan sebesar 19 persen, menurun dari sebelumnya yang mencapai 32 persen. Namun, Pemerintah Indonesia menegaskan tarif itu belum final dan masih terbuka kemungkinan untuk diturunkan lebih lanjut pada komoditas tertentu.

    Dari mancanegara, laporan Financial Times menyebutkan bahwa AS semakin mendekati kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa, yang mencakup rencana menaikkan tarif menjadi 15 persen untuk impor dari Uni Eropa. Di sisi lain, pelaku pasar mulai mengalihkan perhatian terhadap ketegangan yang meningkat antara Presiden AS Donald Trump dan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).

    Trump berencana mengunjungi kantor The Fed, yang memperbesar tekanan terhadap Ketua The Fed Jerome Powell. Pelaku pasar menantikan pertemuan The Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed pada 29-30 Juli 2025, yang diperkirakan akan mempertahankan suku bunga, meskipun Trump berulang kali mendesak pemangkasan suku bunga.

    Dari kawasan Eropa, European Central Bank (ECB) memutuskan mempertahankan suku bunga acuannya di level 2 persen setelah sebelumnya memangkas delapan kali dalam setahun terakhir. Keputusan ini diambil di tengah kondisi inflasi yang telah kembali ke target dan ketidakpastian global yang tinggi, terutama akibat tensi dagang antara Uni Eropa dan AS.

    Pada perdagangan Kamis (24/7/2025), bursa saham Eropa ditutup mayoritas menguat, di antaranya Euro Stoxx 50 menguat 0,13 persen, indeks FTSE 100 Inggris menguat 0,85 persen, indeks DAX Jerman naik 0,23 persen, serta indeks CAC Prancis turun 0,41 persen.

    Sementara itu, bursa saham AS di Wall Street juga ditutup variatif pada perdagangan Kamis (24/7/2025), di antaranya indeks S&P 500 naik tipis 0,07 persen ditutup di level 6.363,35, indeks Nasdaq menguat 0,18 persen ke 21.057,96. Sebaliknya, indeks Dow Jones Industrial Average turun 316,38 poin atau 0,70 persen berakhir di level 44.693,91.

    Bursa saham regional Asia pagi ini, antara lain indeks Nikkei melemah 257,18 poin atau 0,61 persen ke 41.578,50, indeks Shanghai melemah 9,10 poin atau 0,24 persen ke 3.597,76, indeks Hang Seng melemah 149,06 poin atau 0,57 persen ke 25.525,00, indeks Straits Times turun 17,60 poin atau 0,42 persen ke 4.255,00.

    Sumber : Antara

  • Trump Berkunjung ke Kantor The Fed, Berdebat dengan Jerome Powell Soal Biaya Renovasi – Page 3

    Trump Berkunjung ke Kantor The Fed, Berdebat dengan Jerome Powell Soal Biaya Renovasi – Page 3

    Dia mengatakan, Trump menambahkan biaya untuk gedung pemerintah ketiga, yang “dibangun lima tahun lalu.”

    Trump menjawab, “Jadi kita akan memeriksanya. Kita akan melihat apa yang terjadi, dan perjalanannya masih panjang.”

    Ketika seorang reporter bertanya apakah Powell bisa mengatakan sesuatu yang bisa membuat Trump menarik kembali kritiknya, presiden berkata, “Yah, saya ingin dia menurunkan suku bunga.”

    Trump menyampaikan nada yang lebih lunak pada Kamis malam, menulis di Truth Social bahwa merupakan “Kehormatan Besar” untuk mengunjungi lokasi tersebut bersama Powell.

    “Perjalanannya masih panjang, akan jauh lebih baik jika tidak pernah dimulai, tetapi begitulah adanya dan, semoga, akan segera selesai,” tulis Trump.

    Sebelum tiba di sana, Trump mengatakan, ia akan didampingi oleh Senator Republik Tim Scott dan Thom Tillis, serta sejumlah pejabat pemerintahan, termasuk Direktur Badan Keuangan Perumahan Federal, Bill Pulte.

    Pulte adalah salah satu kritikus Powell yang paling keras dan merupakan salah satu pendukung paling vokal pemerintahan Trump yang menyerukan agar Powell diganti.

    “Jerome Powell harus mengundurkan diri,” tulis Pulte di X pada Kamis pagi.

  • IHSG Berpotensi Tembus 7.800, Sektor Sensitif Jadi Incaran

    IHSG Berpotensi Tembus 7.800, Sektor Sensitif Jadi Incaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) dinilai masih memiliki peluang menguat hingga akhir 2025. Proyeksi ini didorong oleh kombinasi faktor makroekonomi global dan domestik, seperti pelonggaran moneter, stabilitas ekonomi Indonesia, serta normalisasi perdagangan global.

    VP Head of Marketing Strategy & Planning PT Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi Kasmarandana mengatakan, prospek pasar saham Indonesia di paruh kedua 2025 cenderung positif. Faktor utama yang mendukung penguatan IHSG antara lain ekspektasi pemangkasan suku bunga lanjutan, stabilitas ekonomi makro global, dan pemulihan indikator domestik.

    “Bank Indonesia diperkirakan masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga sebesar 25-50 basis poin, seiring stabilnya inflasi dan prospek penurunan suku bunga The Fed di Oktober dan Desember 2025,” kata Audi, Kamis (24/7/2025).

    Kebijakan tersebut mendorong peralihan portofolio investor, termasuk dana asing, ke instrumen berisiko seperti saham. Ia menambahkan, pemulihan ekonomi di AS dan China, serta meredanya ketegangan geopolitik dan perang tarif, turut memperkuat sentimen.

    Audi menyebut, sektor yang sensitif terhadap dinamika makro seperti keuangan, properti, konsumsi siklikal, telekomunikasi, dan manufaktur menjadi incaran. Valuasi saham sektor ini dianggap menarik jika pemulihan ekonomi berlanjut. Kiwoom Sekuritas merekomendasikan saham BBRI, BRIS, TLKM, CTRA, dan MAPI dengan target harga yang telah disesuaikan.

    Sementara itu, Nafan Aji Gusta, Senior Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menaikkan target IHSG menjadi 7.656 dari sebelumnya 7.546. Menurutnya, tren teknikal yang positif dan penurunan suku bunga memberikan dorongan kuat.

    “Bank Indonesia telah lebih dulu menurunkan suku bunga. Jika The Fed memangkas suku bunga dua kali lagi pada Oktober dan Desember, ruang untuk penurunan lanjutan oleh BI terbuka lebar. Ini bisa menambah daya dorong bagi IHSG,” jelas Nafan.

    Ia menjelaskan bahwa stabilnya inflasi dan tingkat bunga riil yang tinggi mendukung proyeksi ini. Biaya pinjaman lebih rendah akan jadi katalis utama bagi sektor yang sensitif terhadap suku bunga, terutama teknologi, yang erat kaitannya dengan konsumsi domestik.

    Selain itu, lonjakan nilai transaksi digital seperti GTV dan GMV memperkuat prospek pendapatan sektor teknologi. Dari sisi musiman, IHSG cenderung menguat pada bulan Agustus, Oktober, November, dan Desember, meski September biasanya mencatatkan pelemahan.

    Katalis lainnya mencakup meredanya tensi perdagangan antara AS-Tiongkok dan AS-Jepang, hasil keuangan kuartal II yang solid, serta pertumbuhan ekonomi kuartalan yang stabil.

    “Dengan kombinasi faktor tersebut, target IHSG di level 7.656 cukup rasional dalam jangka pendek hingga menengah. Jika aliran dana asing kembali masuk, level 7.700 bahkan 7.800 berpotensi tercapai,” ujarnya.

    Nafan merekomendasikan saham BBCA, BBNI, BBRI, BBTN, BMRI, serta emiten Grup Prajogo Pangestu seperti BREN. Saham BRIS, BRMS, GJTL, ICBP, dan PGAS juga masuk dalam daftar pilihannya.

    Namun, Phintraco Sekuritas mengingatkan bahwa meski tren menengah dan panjang masih positif, dalam jangka pendek IHSG berisiko koreksi teknikal karena berada di area overbought. Untuk perdagangan Jumat (25/7/2025), indeks diperkirakan bergerak di kisaran 7.480-7.590.

    Meski optimisme tetap tinggi, pelaku pasar diimbau mencermati dinamika global. Ketegangan China–Uni Eropa meningkat menjelang KTT UE–China ke-25, dengan kekhawatiran seputar ketidakseimbangan perdagangan.

    Delegasi AS juga dijadwalkan bertemu dengan pejabat China di Stockholm pada 28–29 Juli untuk membahas isu perdagangan dan strategis, termasuk pembelian minyak dari Iran dan Rusia.

    Dari dalam negeri, sentimen politik Amerika menguat seusai pengumuman kunjungan Presiden AS ke The Fed, sebuah langkah yang langka dalam dua dekade terakhir dan bisa memberi tekanan tambahan kepada Ketua The Fed Jerome Powell.