Tag: Jeff Bezos

  • Kaya Raya tapi Sederhana, Kebiasaan Hemat Bill Gates yang Mengejutkan

    Kaya Raya tapi Sederhana, Kebiasaan Hemat Bill Gates yang Mengejutkan

    JAKARTA – Di dunia para miliarder, hidup hemat mungkin terdengar aneh. Namun William Henry Gates III atay lebih dikenal sebagai Bill Gates, pendiri Microsoft dan salah satu orang terkaya di dunia justru terkenal karena sikapnya yang hati-hati dalam menggunakan uang.

    Dengan kekayaan yang kini diperkirakan lebih dari 108 miliar dolar AS atau Rp1,7 kuadriliun, Gates sebenarnya bisa membeli apa saja. Tapi ia justru memilih untuk tidak menghambur-hamburkannya.

    Selain menjaga pengeluaran pribadinya, Gates sejak lama juga menjauh dari ambisi menumpuk kekayaan. Ia pernah menyatakan komitmennya untuk menyumbangkan sebagian besar hartanya melalui Bill and Melinda Gates Foundation dan berbagai lembaga amal lainnya. Ia berharap suatu hari namanya tidak lagi berada di daftar orang paling kaya di dunia.

    Bagi Gates kekayaan bukan untuk ditimbun, melainkan digunakan untuk memberikan manfaat bagi orang lain. Berikut 5 hal yang hampir tidak pernah menjadi tempat ia menghamburkan uang dan semuanya mencerminkan cara pandangnya terhadap uang, kehidupan, dan filantropi.

    Berikut 5 hal yang dihindari Bill Gates agar tak menyesal di hari tua, seperti dilansir dari laman Nasdaq.

    1. Pengeluaran Berlebihan

    Seperti halnya Warren Buffett, Gates dikenal sangat teliti dalam mengatur pengeluaran. Ia lebih memilih bersikap bijak daripada bersenang-senang secara berlebihan.

    Jika banyak miliarder lain seperti Elon Musk atau Jeff Bezos bisa mengeluarkan jutaan dolar seperti uang saku, Gates justru berpegang pada prinsip kehati-hatian.

    Ia berasal dari latar belakang yang sederhana, dan kebiasaan itu ikut membentuk cara pandangnya. Meskipun kini menjadi salah satu orang terkaya di dunia, ia tetap mempraktikkan gaya hidup dengan batas yang jelas dan penuh pertimbangan.

    2. Barang Mewah untuk Anak

    Gates lebih memilih investasi pada pendidikan dan kegiatan amal daripada membelanjakan uang untuk barang mewah anak-anaknya. Ia pernah mengatakan bahwa memberi terlalu banyak uang kepada anak bukanlah ide yang baik. Menurutnya, anak-anak perlu belajar menghargai uang, bukan tumbuh dengan pola pikir mereka bisa mendapatkan apa pun tanpa usaha.

    3. Makanan Mewah dan Berlebihan

    “Berapa banyak makanan yang bisa Anda makan?” ujar Gates kepada CNBC. Bagi Gates, makanan adalah soal kebutuhan, bukan kemewahan. Ia lebih peduli pada isu ketahanan pangan di negara-negara berkembang daripada memanjakan diri dengan hidangan super mahal. Dalam pandangannya, makan berlebihan sama saja dengan membuang-buang uang.

    4. Yachts dan Supercar Mewah

    Gates juga bukan tipe yang mengoleksi kapal pesiar atau mobil mewah seperti Lamborghini. Luxury Launches pernah menyebutkan ia memang bukan penggemar barang-barang super mewah tersebut. Meski begitu, ia sempat merayakan ulang tahunnya yang ke-66 di atas kapal pesiar mewah sewaan pada tahun 2021 bersama Jeff Bezos.

    Ia juga memiliki Porsche 959, jadi tidak bisa dibilang benar-benar tidak pernah belanja barang mahal. Namun jika melihat kekayaannya yang luar biasa, satu-dua pembelian seperti ini masih termasuk sangat wajar dan jauh dari sikap boros.

    5. Busana Mewah dan Aksesoris Desainer

    Gates tidak tertarik memamerkan kekayaan lewat pakaian, perhiasan, atau jam tangan mahal. Ia pernah dengan bangga mengaku memakai jam Casio seharga 10 dolar atau Rp166 ribu dalam sebuah acara pada 2014. Penampilannya yang sederhana sudah menjadi ciri khas dan selaras dengan prinsip hidupnya yang tidak suka berlebihan.

  • Raksasa Teknologi Disebut Ogah Investasi di RI karena Marak Praktik Suap

    Raksasa Teknologi Disebut Ogah Investasi di RI karena Marak Praktik Suap

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dihadapkan risiko kehilangan momentum investasi dari raksasa teknologi global akibat tingginya biaya berbisnis atau high-cost economy hingga marak praktik suap.

    Meski atensi para CEO teknologi dunia seperti Elon Musk, Jensen Huang, dan Jeff Bezos sangat tinggi terhadap Indonesia, realisasi investasi dengan jumlah besar justru beralih ke negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, atau Vietnam.

    Pengamat Ekonomi/Peneliti LPEM UI Teuku Rifki mengatakan sejumlah investor luar menilai hambatan utama bukan terletak pada kurangnya potensi pasar, melainkan birokrasi yang rumit dan praktik korupsi.

    Faktanya, praktik pemerasan (rent-seeking) masih menjadi penghambat terbesar dalam proses perizinan. Artinya, perusahaan besar yang berniat masuk ke Indonesia sangat rentan menghadapi pemalakan.

    “Lebih dari 60% perusahaan besar (Big Firms) di Indonesia mengaku harus memberikan suap atau ‘hadiah’ hanya untuk mendapatkan izin konstruksi,” kata Rifki dalam acara Digital Economy & Telco Outlook 2026, Rabu (26/11/2025).

    Laporan tersebut juga menunjukkan ketimpangan ekstrem jika disandingkan dengan rata-rata dunia yang hanya 14%. Bahkan, suap untuk perizinan serupa di Malaysia tercatat 0%. Kesenjangan efisiensi ini menjadi alasan logis mengapa arus modal lebih deras mengalir ke negara tetangga.

    Rifki juga menjelaskan pola korupsi yang terjadi sangat ironis karena secara spesifik menyasar karakteristik perusahaan yang paling produktif. Perusahaan dengan teknologi maju, tenaga kerja high-skill, dan berorientasi ekspor adalah entitas yang paling sering menjadi sasaran pemerasan.

    “Ternyata prevalensinya itu lebih banyak eksportir yang dipalak,” jelasnya. 

    Dampak dari hambatan struktural ini sangat nyata. Ketika investor enggan membuka usaha karena risiko tinggi, penciptaan lapangan kerja terhenti dan daya beli masyarakat pun stagnan. 

    Selain itu, ketidakpastian hukum juga menjadi faktor mengapa banyak investor luar lebih memilih klausul arbitrase di Singapura dibanding pengadilan dalam negeri.

    “Mungkin banyak yang belum diketahui publik tapi banyak international companies yang invest di Indonesia itu dalam kontraknya arbitrasenya maunya di court Singapura. Enggak ada yang mau arbitrase di court Indonesia gitu. Karena legal uncertainty-nya sangat-sangat tinggi,” ujar Rifki.

    Rifki berharap pemerintah dapat perlu segera mengambil langkah strategis guna membalikkan keadaan dan menarik kembali minat investor global. (Muhammad Diva Farel Ramadhan)

  • Pembunuh Starlink Disiapkan, Milik Orang Kaya Pesaing Elon Musk

    Pembunuh Starlink Disiapkan, Milik Orang Kaya Pesaing Elon Musk

    Jakarta

    Starlink milik Elon Musk, selama ini seakan melenggang sendirian di bisnis internet satelit. Namun sepertinya akan datang pesaing tangguh dari sesama orang terkaya di dunia, Jeff Bezos.

    Amazon milik Bezos, baru saja mengumumkan akan mulai mengizinkan kalangan bisnis untuk menguji layanan internet luar angkasa mereka sebagai upaya untuk bersaing dengan Starlink milik SpaceX.

    Perusahaan terpilih akan dapat menguji hardware dan software produksi Amazon Leo sebagai bagian dari pratinjau perusahaan layanan tersebut sebelum peluncuran lebih luas. Uji coba ini akan memungkinkan Amazon mengumpulkan umpan balik dan menyesuaikan solusi untuk industri jelang peluncuran yang lebih besar.

    Awal bulan ini, Amazon mengubah nama layanan internet satelitnya dari Project Kuiper menjadi Amazon Leo dan meluncurkan website untuk memasarkannya. Nama tersebut merujuk pada orbit Bumi rendah (Low Earth Orbit/LEO), wilayah antariksa berjarak sekitar 1.930 km dari permukaan Bumi dan menjadi tempat konstelasi satelit Amazon akan dipusatkan.

    Enam tahun lalu, Amazon meluncurkan rencananya untuk membangun konstelasi 3.236 satelit orbit rendah, yang dirancang untuk menyediakan internet berkecepatan tinggi dan latensi rendah bagi konsumen, korporasi, dan pemerintah, dengan koneksi melalui terminal berbentuk persegi.

    Perusahaan telah meluncurkan lebih dari 150 satelit sejak April melalui serangkaian peluncuran roket yang ditangani para mitra seperti United Launch Alliance dan SpaceX milik Elon Musk. Mereka bertujuan untuk bersaing dengan Starlink milik SpaceX, yang saat ini mendominasi pasar dan punya hampir 9.000 satelit di orbit.

    Amazon telah menandatangani kesepakatan dengan JetBlue, L3Harris, jaringan internet NBN Australia, dan lainnya. Mereka sedang mengirimkan unit terminal Pro serta antena Ultra ke para anggota program pratinjau.

    Amazon juga memamerkan desain produksi akhir model Ultra, yang akan menawarkan kecepatan unduh hingga 1 gigabit per detik dan kecepatan unggah hingga 400 megabit per detik. Perangkat ini ditenagai chip silikon khusus buatan sendiri dan diklaim menjadikannya antena komersial tercepat yang sedang diproduksi.

    Dikutip detikINET dari CNBC, Amazon berharap dapat memperluas program ini ke lebih banyak pelanggan seiring penambahan cakupan dan kapasitas pada jaringan Leo.

    (fyk/rns)

  • Lisensi Internet Satelit Amazon Digugat, Ambisi Kuiper Jeff Bezos Terancam

    Lisensi Internet Satelit Amazon Digugat, Ambisi Kuiper Jeff Bezos Terancam

    Bisnis.com, JAKARTA — Ambisi Amazon untuk menghadirkan internet satelit berkecepatan tinggi di Eropa sedang menghadapi rintangan besar.

    Di Prancis, sebuah serikat pekerja telekomunikasi resmi menggugat keputusan regulator nasional yang sebelumnya memberikan izin spektrum radio kepada raksasa teknologi tersebut.

    Gugatan itu diajukan pada Senin oleh serikat pekerja Telekomunikasi CFE-CGC, yang meminta pengadilan administrasi tertinggi Prancis membatalkan keputusan regulator Arcep pada Juli lalu. Keputusan tersebut memberikan Amazon hak penggunaan frekuensi selama 10 tahun bagi jaringan satelit orbit rendahnya (LEO), yang merupakan bagian dari proyek internet satelit Amazon dikenal sebagai Project Kuiper.

    Serikat pekerja menilai Arcep tidak melakukan proses yang memadai sebelum memberikan frekuensi yang dianggap sangat langka dan berharga itu. 

    Mereka menuduh regulator tidak melakukan analisis pasar, tidak berkonsultasi dengan otoritas persaingan usaha, dan tidak membuka proses penawaran kompetitif.

    Amazon maupun Arcep menolak memberikan komentar mengenai gugatan ini.

    Pertarungan hukum ini menjadi contoh terbaru bagaimana Prancis terhadap dominasi perusahaan teknologi besar asal Amerika Serikat, terutama saat kompetisi layanan internet satelit semakin memanas.

    Amazon berniat meluncurkan lebih dari 3.000 satelit LEO dalam beberapa tahun ke depan. Layanan awal ditargetkan mulai tersedia pada akhir 2025, dengan peluncuran penuh sekitar 2026. Saat ini, 27 satelit pertama Amazon telah berhasil diluncurkan pada April lalu.

    Selain isu prosedural, serikat pekerja juga menyoroti aspek keamanan. Mereka menilai Arcep tidak cukup meninjau risiko keamanan nasional, perlindungan data, serta keselamatan publik, terutama untuk operator non Eropa.

    Menurut mereka, akses yang diberikan kepada penyedia asing dapat menimbulkan ancaman terhadap komunikasi penting, termasuk layanan darurat.

    Dampak Ekonomi dan Persaingan Industri

    Sebuah studi dari Oxford Economics menyebutkan bahwa Prancis bisa menjadi salah satu negara yang paling diuntungkan dari kehadiran Project Kuiper, terutama melalui kerja sama dengan Arianespace, penyedia layanan peluncuran satelit.

    Namun Amazon bukan satu-satunya pemain di sektor ini. Pasar LEO global kini dipimpin oleh Starlink milik Elon Musk, dengan sekitar 8.000 satelit orbit rendah dan Eutelsat dari Prancis, yang mengoperasikan sekitar 648 satelit.

    Ketergantungan Eropa pada Starlink bahkan menjadi sorotan sejak muncul kekhawatiran bahwa akses layanan tersebut yang penting untuk komunikasi militer Ukraina dapat sewaktu-waktu diputus.

    Starlink sendiri telah memegang lisensi 10 tahun di Prancis sejak 2021, meski jumlah penggunanya di negara itu tidak pernah dipublikasikan secara resmi.

    “Kami bahkan tidak melihat kedatangannya (Starlink). Mereka diberi lisensi begitu saja dan sampai sekarang kami tidak tahu berapa banyak pelanggan yang mereka miliki,” ujar Sebastien Crozier, ketua serikat pekerja CFE-CGC di Orange. (Nur Amalina)

  • Whistleblower Klaim Dipecat Usai Peringatkan Bahaya Robot Humanoid

    Whistleblower Klaim Dipecat Usai Peringatkan Bahaya Robot Humanoid

    Jakarta

    Figure AI, pengembang robot humanoid yang didukung Nvidia, digugat oleh mantan kepala keselamatan produk startup tersebut. Ia menuding diberhentikan secara tidak adil setelah memperingatkan para eksekutif puncak bahwa robot perusahaan itu cukup kuat untuk meretakkan tengkorak manusia.

    Robert Gruendel, insinyur keselamatan robotik, mengajukan gugatan di pengadilan federal Distrik Utara California. Dikutip detikINET dari CNBC, Minggu (23/11/2025), pengacara Gruendel menyebut kliennya whistleblower yang dipecat pada bulan September, beberapa hari setelah mengajukan keluhan keselamatan yang paling langsung.

    Gugatan ini muncul dua bulan setelah Figure dinilai memiliki valuasi USD 39 miliar dalam putaran pendanaan yang dipimpin Parkway Venture Capital. Angka tersebut merupakan peningkatan valuasi 15 kali lipat dari awal 2024, ketika perusahaan menggalang dana dari investor termasuk Jeff Bezos, Nvidia, dan Microsoft.

    Pengacara Gruendel mengatakan penggugat telah memperingatkan CEO Figure Brett Adcock dan Kyle Edelberg, kepala insinyur, tentang kemampuan mematikan robot tersebut. Ia juga menyebutkan bahwa salah satu robot telah membuat sayatan sedalam 0,6 cm pada pintu kulkas baja saat mengalami malfungsi.

    Gugatan itu juga menyebut Gruendel memperingatkan pemimpin perusahaan untuk tak menurunkan standar keselamatan saat presentasi ke calon investor yang akhirnya mendanai perusahaan tersebut. Namun Gruendel khawatir rencana keselamatan produk yang berkontribusi pada keputusan mereka untuk berinvestasi telah dipangkas sehingga bisa saja itu adalah penipuan.

    Gruendel menuntut ganti rugi ekonomi, kompensasi, serta proses pengadilan. Juru bicara Figure mengatakan Gruendel diberhentikan karena kinerja yang buruk dan bahwa tuduhannya adalah kebohongan yang akan dipatahkan sepenuhnya oleh Figure di pengadilan.

    Robert Ottinger, pengacara Gruendel, menyebut bahwa hukum California melindungi karyawan yang melaporkan praktik tidak aman.” “Kasus ini melibatkan isu penting yang sedang berkembang, dan mungkin menjadi salah satu kasus whistleblower pertama terkait keselamatan robot humanoid,” kata Ottinger.

    Pasar robot humanoid masih dalam tahap awal. Perusahaan seperti Tesla dan Boston Dynamics bersaing bersama dengan Figure, sementara Unitree Robotics dari China sedang bersiap untuk IPO. Morgan Stanley mengatakan bahwa adopsi robot kemungkinan akan meningkat pesat tahun 2030-an dan bisa tembus USD 5 triliun di 2050.

    (fyk/hps)

  • Banyak-banyak Cuci Piring, Bill Gates-Jeff Bezos Dapat Ide Jenius Lewat Aktivitas Ini

    Banyak-banyak Cuci Piring, Bill Gates-Jeff Bezos Dapat Ide Jenius Lewat Aktivitas Ini

    Jakarta

    Siapa sangka beberapa ide paling jenius bisa muncul di momen yang sederhana. Misalnya seperti sedang mandi air hangat, melipat cucian, hingga mencuci piring di wastafel.

    Ternyata, hal ini dapat dijelaskan melalui ilmu pengetahuan. Bahkan, nama-nama besar seperti Bill Gates dan Jeff Bezos tetap memilih mencuci piring sendiri.

    Bagi Jeff Bezos, aktivitas tersebut adalah bagian yang penting dari rutinitas malamnya.

    “Saya mencuci piring setiap malam. Saya cukup yakin itu hal terseksi yang saya lakukan,” kata Bezos yang dikutip dari Times of India.

    Senada dengan Bezos, Bill Gates memberi jawaban yang hampir sama terkait kegiatan sederhana itu. Ia rutin melakukannya setiap malam.

    “Saya mencuci piring setiap malam. Orang lain menawarkan diri (untuk mencucinya), tapi saya lebih suka cara saya melakukannya,” sambungnya.

    Bahkan, Barack Obama juga pernah mengaku merindukan momen mencuci piring selama menjabat sebagai presiden. Dalam sebuah wawancara, ia menyebut aktivitas sederhana itu dapat membuatnya tenang.

    Kenapa Aktivitas Mencuci Piring Bisa Memicu Kreativitas?

    Peneliti dari University of California, Santa Barbara, menemukan tugas ringan yang tidak memakan banyak energi mental memungkinkan otak ‘mengambang bebas’. Pada kondisi ini, jaringan otak Default Mode Network (DMN) menjadi aktif.

    DMN bekerja saat seseorang melamun, merangkai memori, atau membayangkan masa depan. Itu merupakan fase-fase yang sering menghasilkan solusi kreatif.

    Studi lain yang dipublikasikan di Frontiers in Psychology menunjukkan tugas berulang seperti mencuci piring atau menyapu lantai, dapat meningkatkan kemampuan berpikir divergen. Itu merupakan jenis pola pikir yang dibutuhkan untuk menghasilkan ide baru.

    Penelitian yang dilakukan di Florida State University pada tahun 2015 menunjukkan bahwa hanya enam menit mencuci piring dengan penuh kesadaran, bisa menurunkan rasa gelisah sebesar 27 persen dan meningkatkan inspirasi hingga 25 persen.

    Efek Jangka Panjang untuk Otak

    Selain mengurangi stres, pekerjaan rumah tangga juga dikaitkan dengan kesehatan otak jangka panjang. Riset pada orang lanjut usia menunjukkan aktivitas fisik rutin di rumah, termasuk mencuci piring, berkaitan dengan volume materi abu-abu yang lebih besar di lobus frontal dan hipokampus.

    Itu merupakan area penting untuk memori dan pengambilan keputusan. Artinya, aktivitas kecil ini mungkin membantu menjaga otak tetap aktif seiring bertambahnya usia.

    Pada orang yang sangat produktif, kebosanan sering dianggap musuh. Padahal, bagi otak kebosanan adalah ruang bernapas.

    Saat tugas repetitif membuat tangan bekerja otomatis, pikiran punya kesempatan menjelajah lebih jauh dan menghubungkan ide-ide yang selama ini tersimpan. Seperti yang dilakukan Bill Gates, Jeff Bezos, dan Barack Obama, pekerjaan rumah tangga paling sederhana bisa menjadi salah satu ‘ritual’ paling ampuh untuk kesehatan mental serta kreativitas.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/naf)

  • Dokumen Bocor Ungkap SpaceX Tunda Pendaratan Manusia di Bulan

    Dokumen Bocor Ungkap SpaceX Tunda Pendaratan Manusia di Bulan

    Jakarta

    Misi Artemis III NASA yang sangat dinantikan, yang digadang-gadang mengembalikan astronaut ke Bulan, kembali menemui hambatan besar. Sebuah memo yang bocor mengungkapkan bahwa roket Starship SpaceX, yang krusial untuk mendaratkan astronaut di permukaan Bulan, baru akan siap setidaknya pada 2028, setahun lebih lambat dari target pertengahan 2027.

    Awalnya, NASA menargetkan untuk mengembalikan astronaut ke Bulan pada 2024 melalui program Artemis, tetapi penundaan telah berulang kali mendorong mundur target ini. Pendaratan berawak dijadwalkan pada 2027, tetapi kini tanggal tersebut pun tampaknya semakin mustahil. Menurut memo terbaru, kesiapan Starship kemungkinan akan diperpanjang hingga 2028, setahun penuh setelah misi Artemis III yang direncanakan.

    Mengejar Waktu

    SpaceX telah mengukir namanya sendiri berkat berbagai pengembangan teknologi yang cepat dan misi luar angkasa yang berani, tetapi jika menyangkut program Artemis, segala sesuatunya tidak berjalan semulus itu.

    Dikutip dari The Daily Galaxy, memo yang bocor, yang diungkap oleh Politico, melaporkan bahwa Starship, sistem yang dirancang untuk mendaratkan astronaut di Bulan, jauh tertinggal dari jadwal. Sistem ini kini diperkirakan akan siap pada September 2028, lebih dari setahun setelah target awal yang ditetapkan NASA pada pertengahan 2027. Penundaan ini terutama disebabkan oleh serangkaian kendala teknis pada roket, termasuk kegagalan uji coba awal tahun ini.

    Sebagai bagian dari peta jalannya, SpaceX masih harus menunjukkan kemampuan-kemampuan kunci, seperti pengisian bahan bakar di luar angkasa, yang dijadwalkan pada Juni 2026, dan pendaratan tanpa awak di Bulan yang dijadwalkan pada Juni 2027.

    Uji coba ini penting untuk memastikan keselamatan dan kelangsungan misi, terutama karena bagian tersulit dari Artemis III adalah mendaratkan astronaut dengan selamat di Bulan dan mengembalikan mereka ke Bumi. Starship mungkin telah menyelesaikan beberapa peluncuran yang sukses, tetapi masih banyak yang harus dilakukan sebelum dianggap siap untuk penerbangan antariksa berawak.

    Rencana Cadangan NASA

    Dengan penundaan SpaceX yang membuat jadwal Artemis III semakin tidak realistis, NASA harus memikirkan kembali pilihan-pilihannya. Pelaksana Tugas Administrator NASA Sean Duffy baru-baru ini mengatakan bahwa badan antariksa tersebut sedang menjajaki alternatif dan membuka kontrak untuk sistem pendaratan di Bulan bagi perusahaan lain. Keputusan ini sebagian didorong oleh rasa urgensi yang semakin meningkat, karena NASA ingin tetap kompetitif dalam perlombaan antariksa, terutama karena China juga sedang meningkatkan upaya eksplorasi Bulan.

    Saat ini, satu-satunya pesaing yang layak adalah Blue Origin, perusahaan antariksa milik Jeff Bezos, yang sedang mengembangkan wahana pendarat Blue Moon miliknya sendiri. Namun, menurut laporan, wahana pendarat Blue Origin baru akan siap pada 2030, yang terlalu terlambat untuk Artemis III. Meskipun Elon Musk secara terbuka mengkritik keputusan NASA untuk mencari kontrak baru dan mencaci Duffy di media sosial, NASA tetap teguh pada pendiriannya.

    Masa Depan Artemis dan Eksplorasi Bulan

    Masa depan program Artemis terasa semakin tidak pasti. Visi awal untuk mengembalikan manusia ke Bulan telah lama pudar, dan kini, NASA menghadapi tugas berat untuk terus maju dengan jadwal yang terus berubah. Jika laju pengembangan tidak segera dipercepat, tujuan jangka panjang tersebut mungkin juga akan tertunda.

    Ini hanyalah tantangan terbaru bagi NASA, yang telah menghadapi masalah dengan Space Launch System (SLS) dan kapsul Orion, keduanya merupakan komponen penting program Artemis. Kesulitan teknis dengan sistem ini, ditambah dengan masalah yang sedang berlangsung seputar Starship, telah menimbulkan keraguan mengenai kemampuan badan antariksa Amerika tersebut dalam mencapai tujuan jangka panjangnya untuk eksplorasi luar angkasa. Namun, terlepas dari semua hambatan tersebut, NASA tetap berkomitmen pada visinya, dengan Lunar Gateway dan proyek-proyek lainnya yang sedang dikerjakan.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video 550 Staf JPL NASA Kena PHK, Gara-gara Pemerintah AS Shutdown?”
    [Gambas:Video 20detik]
    (rns/fay)

  • Jeff Bezos Punya Pekerjaan Baru, Jadi CEO Startup AI

    Jeff Bezos Punya Pekerjaan Baru, Jadi CEO Startup AI

    Jakarta

    Jeff Bezos akan punya kesibukan baru setelah tidak lagi memimpin Amazon. Pria berkepala plontos itu akan menjadi co-CEO startup AI bernama Project Prometheus.

    Bezos tidak hanya menjadi co-CEO tapi juga menjadi salah satu investor terbesar untuk Project Prometheus. Menurut laporan The New York Times, Project Prometheus sudah mengumpulkan investasi sebesar USD 6,2 miliar yang sebagian datang dari Bezos.

    Selain mendanai Project Prometheus, Bezos akan membantu memimpin perusahaan ini bersama co-founder Vik Bajaj. Bajaj adalah ahli fisika dan kimia yang dulunya menggarap sejumlah proyek di Google X, termasuk Wing dan yang kemudian berkembang menjadi Waymo.

    Pada tahun 2018, ia ikut mendirikan Foresite Labs, perusahaan yang mendukung entrepreneur di bidang AI dan ilmu data. Bajaj masih tercatat sebagai CEO Foresite Labs di website perusahaan dan halaman LinkedIn pribadinya.

    Saat ini belum banyak yang diketahui tentang Project Prometheus. Startup ini kabarnya akan fokus menciptakan sistem AI yang dilatih menggunakan informasi dari dunia fisik, bukan sekedar informasi digital seperti chatbot AI pada umumnya.

    Secara spesifik, perusahaan tersebut dilaporkan akan menjajaki bagaimana AI dapat mendukung engineering dan manufaktur di berbagai bidang, termasuk kendaraan dan teknologi antariksa, seperti dikutip dari Engadget, Selasa (18/11/2025).

    Di halaman LinkedIn-nya yang masih kosong, ringkasan tentang Project Prometheus hanya menyatakan mereka adalah perusahaan ‘AI untuk ekonomi fisik’. Mereka juga mencantumkan deskripsi sebagai perusahaan ‘Teknologi, Informasi, dan Internet’ dengan 51-200 karyawan.

    Project Prometheus kabarnya sudah mempekerjakan hampir 100 orang, termasuk mantan karyawan dari OpenAI, DeepMind, dan Meta. Keterlibatannya di Project Prometheus menandakan pekerjaan operasional formal pertama yang dipegang Bezos setelah mengundurkan diri sebagai CEO Amazon pada tahun 2021.

    (vmp/afr)

  • Orang-orang Terkaya Dunia Mau Bangun Pusat ‘Harta Karun’ di Bulan

    Orang-orang Terkaya Dunia Mau Bangun Pusat ‘Harta Karun’ di Bulan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Raksasa teknologi berbondong-bondong membangun infrastruktur data center untuk mengembangkan kecerdasan buatan (AI). Sudah banyak kontroversi yang muncul akibat pembangunan data center yang ‘haus’ air dan listrik.

    Di satu sisi, data center menjadi ‘harta karun’ baru yang berpotensi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, utamanya di negara-negara berkembang yang memiliki lahan dan sumber daya memadai. Namun, data center juga berpotensi memicu krisis pasokan air dan listrik, sehingga berdampak kepada kehidupan masyarakat.

    Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan keadaan darurat energi di negaranya. Pemerintah AS mengatakan perlu menambah kapasitas dalam jumlah besar untuk menangani permintaan listrik yang diperkirakan akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

    Sementara itu, perusahaan-perusahaan AI sedang membangun kemampuan pembangkit energi mereka sendiri sambil menunggu jaringan listrik pulih. xAI milik Musk, misalnya, telah menggunakan turbin gas sebagai sumber daya sementara. OpenAI juga mendorong pemerintah untuk bermitra dengan perusahaan-perusahaan guna menambah 100 gigawatt per tahun.

    Keterbatasan pasokan air dan listrik di Bumi membuat para pengusaha AI mengeksplor kemungkinan membangun data center di luar angkasa, tepatnya di Bulan.

    “Bulan adalah anugerah dari alam semesta,” ujar Jeff Bezos baru-baru ini ketika berbicara tentang manfaat eksplorasi Bulan dan pemanfaatannya sebagai pangkalan peluncuran proyek di luar angkasa.

    Pernyataan ini muncul di tengah upaya perusahaan roket Blue Origin dan SpaceX milik Elon Musk untuk membuat perjalanan luar angkasa lebih murah dan rutin.

    Tidak jelas mana yang lebih mendekati kenyataan: pangkalan Bulan atau AI superintelijen? Namun, keduanya tampaknya bertemu di era antusiasme investor yang membuat beberapa orang khawatir kita berada dalam gelembung AI atau ‘AI bubb;e’

    Yang jelas, ekonomi data center berbasis luar angkasa saat ini tidak masuk akal. Namun, hal itu mungkin terjadi di masa depan, sekitar satu dekade dari sekarang, menurut analisis Phil Metzger, seorang profesor riset di University of Central Florida dan mantan anggota Badan Penerbangan dan Antariksa Nasional (NASA), dikutip dari MSN berdasarkan laporan Wall Street Journals, Senin (17/11/2025)/

    “Para penggemar luar angkasa (seperti saya) telah lama mencari potensi bisnis untuk memungkinkan migrasi manusia ke luar planet Bumi,” tulisnya di X di tengah kehebohan baru tersebut.

    “Saya pikir server AI di luar angkasa adalah contoh bisnis nyata pertama yang akan mengarah pada lebih banyak lagi,” ia menuturkan.

    Empat puluh tahun yang lalu, ketika film “Back to the Future” dirilis, poin pentingnya menyorot pada kebutuhan untuk menghasilkan energi yang begitu besar sehingga perjalanan waktu terasa masuk akal bagi penonton.

    Alur ceritanya berkisar pada kebutuhan untuk menemukan daya sebesar 1,21 gigawatt, atau setara dengan sambaran petir, untuk mengirim mesin waktu DeLorean milik Doc Brown yang terkenal kembali ke rumah.

    Kini, 1 gigawatt, yang pernah dicatat oleh Departemen Energi, hanya sekitar setengah daya yang dihasilkan Bendungan Hoover. Argumen ini pada dasarnya bermuara pada keyakinan bahwa kebutuhan AI pada akhirnya akan tumbuh begitu besar sehingga infrastruktur yang dibangun perlu pindah ke luar angkasa. Di sana, daya matahari dapat dipanen dengan lebih efisien.

    Bos-bos Raksasa Jajah Antariksa

    Sinar matahari dapat langsung dan konstan sehingga panel surya dapat mengumpulkan sinarnya, tanpa awan, tanpa hujan badai, tanpa malam hari. Kebutuhan pendinginan juga dapat berkurang karena ruang hampa.

    Selain itu, tidak ada lagi regulasi merepotkan yang sering dikeluhkan para pengusaha karena dinilai memperlambat pembangunan pembangkit listrik baru untuk memenuhi kebutuhan data center.

    “Kita akan mampu mengalahkan biaya data center terestrial di luar angkasa dalam beberapa dekade mendatang,” kata Bezos di sebuah konferensi teknologi bulan lalu.

    “Luar angkasa pada akhirnya akan menjadi salah satu tempat yang terus membuat Bumi lebih baik,” ia mebnuturkan.

    Tentu saja hipotesis ini masih awal. Di Alphabet, rencana Google terdengar agak konservatif. Perusahaan mesin pencari tersebut beberapa saat lalu mengumumkan Project Suncatcher, yang digambarkannya sebagai proyek moonshot untuk meningkatkan skala pembelajaran mesin (machine learning) di luar angkasa. Mereka berencana meluncurkan dua satelit prototipe pada awal 2027 untuk menguji perangkat kerasnya di orbit.

    “Seperti halnya moonshot, ini akan mengharuskan kami memecahkan banyak tantangan teknik yang rumit,” tulis Pichai di media sosial.

    Nvidia juga telah mengumumkan kemitraan dengan perusahaan rintisan Starcloud untuk mengembangkan data center berbasis luar angkasa. Tak mau kalah, Musk telah melukiskan visi terbarunya sendiri untuk dunia luar angkasa.

    Ia telah lama mengincar Mars, pendorong utama SpaceX. Namun dalam beberapa minggu terakhir, ia lebih banyak berbicara tentang bagaimana ia dapat menggunakan pesawat luar angkasanya untuk menyebarkan versi baru satelit Starlink bertenaga surya miliknya yang dilengkapi dengan laser berkecepatan tinggi untuk membangun data center di luar angkasa.

    Pada pekan lalu, Musk kembali menegaskan bagaimana satelit-satelit AI tersebut akan mampu menghasilkan 100 gigawatt daya surya tahunan atau kira-kira seperempat dari konsumsi rata-rata AS dalam setahun.

    “Kami telah merencanakannya,” ujarnya kepada investor Ron Baron dalam sebuah acara.

    Sebelumnya, Musk menyatakan bahwa ia membutuhkan waktu empat hingga lima tahun lagi untuk mencapai kemampuan tersebut. Ia juga mengutarakan ide-ide yang lebih liar, dengan mengatakan di X bahwa 100 terawatt per tahun “dimungkinkan dari pangkalan Bulan yang memproduksi satelit AI bertenaga surya secara lokal dan mempercepatnya hingga mencapai kecepatan lepas dengan penggerak massa.”

    Singkatnya, Musk menyatakan bahwa pangkalan Bulan akan memproduksi satelit dan melemparkannya ke orbit dengan ketapel. Dan panel surya satelit-satelit tersebut akan menghasilkan 100.000 gigawatt per tahun.

    “Saya pikir kita akan melihat kecerdasan terus berkembang hingga ke titik di mana sebagian besar tenaga matahari dimanfaatkan untuk komputasi,” kata Musk dalam sebuah konferensi teknologi pada bulan September.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Jeff Bezos Salip Elon Musk dalam Misi ke Mars, Blue Origin Daratkan Roket New Glenn

    Jeff Bezos Salip Elon Musk dalam Misi ke Mars, Blue Origin Daratkan Roket New Glenn

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah China menyelesaikan pendaratan roket skala kecil yang dapat digunakan kembali pada musim panas, kini giliran Blue Origin berhasil mendaratkan roket pendorong New Glenn-nya sendiri. 

    Dilansir New York Post, pendaratan ini terjadi hampir 10 tahun setelah SpaceX milik Elon Musk, mencapai prestasi yang sama dengan roket pendorong Falcon.

    Perusahaan eksplorasi luar angkasa Blue Origin yang didukung oleh Jeff Bezos berhasil menyelesaikan penerbangan perdana pendorong roket yang dapat digunakan kembali.

    Pendaratan di tongkang di lautan terjadi sekitar 10 tahun setelah SpaceX milik Elon Musk berhasil membawa kembali roket Falcon-nya dengan selamat untuk pertama kalinya. 

    Namun, pendorong New Glenn milik Blue Origin jauh lebih besar. Tingginya mencapai 190 kaki dan diameter 23 kaki, sementara Falcon memiliki dimensi masing-masing 135 kaki dan 12 kaki. 

    Roket New Glenn merupakan generasi wahana orbital terbaru Blue Origin yang dirancang untuk pengangkutan berat. Roket ini juga jauh lebih besar daripada roket Yanxingzhe-1 yang dapat digunakan kembali yang berhasil dibawa kembali oleh China untuk pertama kalinya selama musim panas lalu.

    Selain keberhasilan membawa kembali pendorong roket kelas orbital, yang disebut Jon Edwards dari SpaceX sebagai misi yang “sangat sulit”, Jeff Bezos juga berhasil meluncurkan sesuatu menuju Mars mendahului rival beratnya dalam eksplorasi luar angkasa, Elon Musk, yang juga telah mengincar Mars.

    Misi NASA Mars dengan Blue Origin

    Misi Escape and Plasma Acceleration and Dynamics Explorers (ESCAPADE) NASA menggunakan misi uji pendorong Blue Origin untuk membawa dua wahana antariksa Mars ke orbit. 

    Tahap pertama terpisah sekitar tiga menit setelah lepas landas dan mulai jatuh melalui atmosfer bumi. 

    Beberapa menit kemudian, wahana tersebut menyalakan beberapa mesin BE-4 untuk memperlambat dan memperbaiki arah, lalu mendaratkan pendorong roket New Glenn dengan selamat di tongkang pemulihan khusus yang berada di Samudra Atlantik 375 mil di bawah titik pemisahan tahap.

    Tahap kedua roket terus meluncurkan dua pengorbit Mars milik NASA ke luar angkasa sekitar 33 menit setelah lepas landas. 

    Diberi label Biru dan Emas, wahana antariksa yang identik itu mulai meluncur menuju titik Lagrange-2 stabilitas gravitasi Bumi-Matahari yang terletak 930.000 mil jauhnya. 

    Wahana itu akan berputar kembali untuk menggunakan gravitasi Bumi sebagai ketapel guna melemparkannya ke Mars pada rentang waktu berikutnya yang tersedia, sekitar satu tahun dari sekarang.

    Dua wahana antariksa Mars yang diluncurkan Jeff Bezos untuk NASA akan digunakan untuk memeriksa atmosfer Mars si Planet Merah, atau lebih tepatnya, bagaimana atmosfer tersebut menghilang akibat angin matahari dan faktor-faktor lainnya.

    Sebelumnya Mars disebut memiliki sumber air dan mungkin pernah mempertahankan air di permukaannya berkat atmosfernya, tetapi penipisan selanjutnya kemungkinan berkontribusi pada penguapannya, dan Laboratorium Ilmu Antariksa UC Berkeley yang memprakarsai misi ESCAPADE ingin mengetahui ke mana perginya atmosfer tersebut dengan bantuan dua wahana antariksa yang diluncurkan Blue Origin.

    Sementara itu, SpaceX masih menguji roket Starship 3 yang dimaksudkan untuk memulai misi Mars pada waktu peluncuran berikutnya di tahun 2026, tetapi wahana antariksa NASA yang diluncurkan oleh Blue Origin kemungkinan akan tiba di sana terlebih dahulu. 

    Selain menyelesaikan dilema peluncuran Mars, Rocket Lab membanggakan bahwa mereka berhasil menekan biaya misi ESCAPADE hingga hanya US$18 juta per unit, baik untuk pembuatan wahana maupun peluncurannya. Harga yang sangat rendah ini dimungkinkan oleh wahana orbital Blue Origin yang baru.