Foto Bisnis
ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho – detikFinance
Sabtu, 15 Mar 2025 11:00 WIB
Klaten – Ruas Tol Prambanan-Kalasan sepanjang 6,7 kilometer rencananya dibuka sebagai jalan tol fungsional saat arus mudik Lebaran 2025. Begini persiapannya.

Foto Bisnis
ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho – detikFinance
Sabtu, 15 Mar 2025 11:00 WIB
Klaten – Ruas Tol Prambanan-Kalasan sepanjang 6,7 kilometer rencananya dibuka sebagai jalan tol fungsional saat arus mudik Lebaran 2025. Begini persiapannya.

Bisnis.com, JAKARTA — Usulan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkait penerapan model Multi-Operator Core Network (MOCN) atau berbagi jaringan 5G hanya dapat terealisasi jika terjadi kesepakatan antar-operator seluler.
Pengamat Telekomunikasi dari STEI ITB, Agung Harsoyo. Agung menuturkan model MOCN ini memungkikan operator selular dapat memanfaatkan infrastruktur di sisi akses dan backhaul.
Sehingga, dengan model MOCN pemerintah bisa mempercepat pagelaran jaringan 5G di Tanah Air.
Terkait dengan dasar hukum model MOCN, Agung menyebut bahwa model ini secara regulasi dibenarkan. Karena dasar hukumnya berada pada Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait Postelsiar.
“Secara regulasi hal ini dibenarkan, dasar hukumnya ada di UU Cipta Kerja terkait Postelsiar,” ujar Agung kepada Bisnis, Jumat (14/3/2025).
Namun, Agung menyebut model seperti ini dapat dimulai, berdasar kesepakatan para operator seluler.
Maka dari itu, Pemerintah dapat menjadi katalisator program ini. Karena, Situasi saat ini sangat menguntungkan baik pelanggan maupun operator seluler.
“Pelanggan seluler akan diuntungkan dengan layanan berkualitas tinggi dan harga terjangkau. Industri telko juga diharapkan dengan program ini akan dapat bertumbuh sehat/profitable,” tutur Agung.
Multi-Operator Core Network (MOCN) adalah model berbagi jaringan telekomunikasi yang memungkinkan beberapa operator seluler untuk berbagi infrastruktur jaringan akses radio (RAN) yang sama, termasuk menara, antena, dan spektrum frekuensi, sambil tetap mempertahankan jaringan inti (core network) mereka secara terpisah.
Model ini diklaim berhasil diterapkan di Malaysia. Sehingga, cakupan 5G di Malaysia sudah mencapai 80%.
Sementara itu, Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai MOCN merupakan langkah yang sangat baik dan tepat sebagai upaya mendorong adopsi 5G di Indonesia.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan model ini akan menguntungkan karena pendekatan sharing infrastruktur yang ada dalam model MOCN.
“Sharing infrastruktur dinilai menjadi pendekatan yang tepat untuk mengurangi biaya penggelaran 5G yang lumayan tinggi, banyak negara sudah membuktikan,” kata Sigit.
Sigit menyebut MOCN merupakan satu bentuk infrastruktur sharing yang menurut definisi 3GPP, pendekatan ini memungkinkan infrastruktur jaringan tunggal ataupun RAN (Radio Access Network) digunakan secara bersama.
Sehingga, infrastruktur akan terhubung ke core network dari berbagai operator jaringan. Hal ini, kata Sigit sudah dilakukan di Malaysia yang sukses dengan DNBnya.
Maka dari itu, Sigit menyampaikan bahwa pemerintah perlu terlibat lebih aktif jika mau menggunakan model ini untuk mempercepat adopsi 5G.
“Dengan pemerintah terlibat lebih aktif, diharapkan dapat mengurangi keraguan industri kekhawatiran melanggar aturan, regulasi dan sebagainya,” ujarnya.

Bisnis.com, JAKARTA – Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menyampaikan penipuan dengan metode fake base transceiver station (BTS) terjadi dikarenakan masih digunakannya teknologi 2G yang tidak update.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot permasalahan penipuan dengan metode BTS ini banyak muncul di era dominasi 2G GSM.
Sebab, para pelaku dengan mudah memanfaatkan kelemahan mekanisme otorisasinya dan kelemahan enkripsinya.
Sigit menilai masalah ini merupakan masalah lama dan dirinya yakin saat ini tidak banyak lagi muncul di negara yang sudah lebih cepat adopsi teknologi baru, bahkan sampai 2G/3G switch off.
“Bisa jadi, masalah ini adalah implikasi kelambatan regulasi beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Sehingga masalah jadul, masih awet sampai sekarang,” kata Sigit kepada Bisnis, Selasa (4/3/2025).
Meski saat ini SMS sudah jarang digunakan dan masyarakat beralih ke pesan instan atau melalui aplikasi seperti Whatsapp. Dirinya menuturkan SMS masih akan digunakan untuk sekedar mengirimkan One-Time Password (OTP).
Maka dari itu, Sigit menyebut masalah ini memang harus segera diselesaikan. Pasalnya, secara finansial masalah ini akan berdampak luas bagi masyarakat.
“SMS meskipun secara bisnis sudah sangat menurun, tergantikan dengan instant messaging lain, namun masih banyak digunakan untuk verifikasi seperti OTP. Jadi potensi dampak penipuannya bisa meluas,” ucapnya.
Diberitakan sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengambil tindakan tegas terhadap kasus penyalahgunaan frekuensi radio yang digunakan untuk menyebarkan SMS penipuan dengan metode fake base transceiver station (BTS).
Kasus ini terungkap setelah Komdigi menerima banyak laporan dari masyarakat terkait maraknya SMS penipuan belakangan ini yang dikirim bukan oleh operator seluler resmi.
Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan, dirinya telah memerintahkan Ditjen Infrastruktur Digital (DJID) mengambil sejumlah langkah untuk menangani kasus ini.
“Balai Monitor Spektrum Frekuensi Radio (Balmon SFR) juga sudah dikerahkan guna memantau dan melacak sumber sinyal frekuensi radio ilegal yang digunakan para pelaku,” kata Meutya dalam keteranganya, Senin (3/3/2025).
Meutya menjelaskan bahwa dengan menggunakan perangkat fake BTS atau BTS palsu, para pelaku dapat memancarkan sinyal seolah-olah sebagai BTS operator resmi.
Dengan cara ini pelaku mengirim SMS secara massal ke ponsel di sekitarnya tanpa terdeteksi oleh sistem operator.
Sebelumnya, ramai di media sosial mengenai pesan SMS penipuan yang menyasar sejumlah nasabah perbankan. Uniknya, SMS penipuan ini menggunakan kanal resmi. Nasabah penerima pesan diarahkan pada website, yang digunakan aktor untuk menyedot data dan uang nasabah.

Senin, 17 Februari 2025 14:19 WIB
Sejumlah warga berdoa bersama saat mengikuti Tradisi Sadranan di lereng Gunung Merbabu, Sidorejo, Ginting, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (17/2/2025). Tradisi Sadranan yang telah dilakukan turun temurun pada bulan Ruwah penanggalan Jawa tersebut diikuti oleh warga beragama Kristen dan Islam untuk bersama-sama mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia sekaligus sebagai wujud kerukunan antarumat beragama melalui kegiatan tradisi budaya Jawa. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/YU
Sejumlah warga berdoa bersama saat mengikuti Tradisi Sadranan di lereng Gunung Merbabu, Sidorejo, Ginting, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (17/2/2025). Tradisi Sadranan yang telah dilakukan turun temurun pada bulan Ruwah penanggalan Jawa tersebut diikuti oleh warga beragama Kristen dan Islam untuk bersama-sama mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia sekaligus sebagai wujud kerukunan antarumat beragama melalui kegiatan tradisi budaya Jawa. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/YU
Sejumlah warga membawa tenong berisi makanan saat melintas diantara gereja dan masjid saat mengikuti Tradisi Sadranan di lereng Gunung Merbabu, Sidorejo, Ginting, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (17/2/2025). Tradisi Sadranan yang telah dilakukan turun temurun pada bulan Ruwah penanggalan Jawa tersebut diikuti oleh warga beragama Kristen dan Islam untuk bersama-sama mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia sekaligus sebagai wujud kerukunan antarumat beragama melalui kegiatan tradisi budaya Jawa. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/YU

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diminta untuk menerapkan aturan tegas yang mengatur kewajiban pemenang seleksi pita frekuensi 1,4 GHz. Salah satunya perihal standar kualitas layanan yang lebih baik dari seluler.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan secara teknis, pemenang fixed broadband, tidak akan menjadi pemain selular karena izin penyelenggaraan dan izin frekuensinya juga berbeda.
Perusahaan selular memiliki izin frekuensi yang bersifat nasional, sedangkan untuk fixed broadband hanya di wilayah tertentu saja. Dengan kondisi tersebut, maka fixed broadband tidak menjadi seluler karena tidak ada mobilitas.
Namun, lanjutnya, dari perspektif persaingan usaha, penyedia layanan internet tetap pada seleksi 1,4 GHz berpeluang menghadirkan layanan yang beririsan dengan seluler. Ketika secara layanan ada kemiripan misalnya dalam hal kecepatan dan lain sebagainya, maka kemungkinan target pasar yang diincar ada relevansi atau kemiripan.
Sebagai pembeda, kata Sigit, perlu ada aturan kualitas layanan, misalnya antara fixed broadband yang menggunakan FO, fixed broadband yang menggunakan wireless seperti FWA atau BWA, dengan selular.
“Sudah sewajarnya, target fixed broadband lebih tinggi daripada selular, karena secara teknis juga lebih kondusif dengan tidak adanya mobilitas kualitas sinyalnya bisa lebih baik,” kata Sigit kepada Bisnis, Jumat (28/2/2025).
Diketahui, Komdigi berencana untuk melakukan lelang frekuensi 1.4Ghz untuk layanan broadband wireless access (BWA) pada semester pertama 2025. Harapannya, melalui seleksi tersebut akan melahirkan sebuah perusahaan yang dapat menghadirkan layanan internet cepat 100 Mbps seharga Rp100.000 – Rp150.000.
Dalam seleksi tersebut, Sigit berharap Komdigi dapat memastikan pemenang lelang frekuensi 1.4Ghz hanya untuk memberikan layanan broadband fix 5G dengan kecepatan yang bisa dipastikan 100Mbps. Bukan 4G seperti selular.
“Sehingga bisa menjadi pembeda dengan selular. Jika Komdigi tak tegas dalam membuat regulasi BWA sebagai, maka akan menimbulkan permasalahan persaingan usaha di kemudian hari,” kata Sigit.
Dia juga mengusulkan agar iklim persaingan usaha dapat terus terjaga, pemenang tender frekuensi 1.4Ghz di satu regional dapat lebih dari 1 dan tidak melebihi dari 2 pemenang. Sigit melihat hingga saat ini
Selain harga, Sigit juga meminta dalam lelang lelang frekuensi 1.4Ghz Komdigi juga dapat memasukan kebijakan lokal dari penyelenggaraan BWA. Misalnya jika ada ada lebih dari satu pemenang di salah satu zona, maka harus ada pembagian beban antara wilayah urban dan rural. Pembangunan di infrastruktur di daerah urban lebih mudah sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi dibandingkan rural.

Foto
Antara Foto/Aloysius Jarot Nugroho – detikNews
Selasa, 25 Feb 2025 19:00 WIB
Klaten – Puluhan rumah, tiga masjid, dan satu puskesmas rusak diterjang angin kencang di Klaten, Jawa Tengah. Kini rumah, masjid, dan puskesmas itu mulai diperbaiki.

Jakarta –
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) memandang bahwa Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang akan menghadirkan layanan Fixed Wireless Access (FWA) di pita frekuensi 1,4 GHz sebagai solusi internet cepat dan murah. Agar bisnis seluler tidak tergerus, Komdigi pun diminta untuk meregulasi layanan FWA.
Komdigi tengah menyiapkan spektrum 80 MHz di 1,4 GHz yang diharapkan dapat mendorong hadirnya internet di rumah dengan kecepatan akses sampai 100 Mbps dengan harga berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribuan.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot, pun mengakui bahwa kecepatan internet Indonesia terbilang tertinggal dibandingkan negara lainnya. Menurutnya, spektrum frekuensi 1,4 GHz dapat mengakselerasi koneksi Indonesia ke depannya.
“Saya melihat FWA 1,4 GHz ini sebagai solusi broadband, tapi jangan ketarik ke (pasar) mobile dan harus sadar perbedaannya tetap dengan fiber karena FWA itu in between gitu antara mobile seluler dengan fiber,” ujar Sigit di forum Morning Tech bertajuk “Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?” di Jakarta, Senin (24/2/2025).
Ia kemudian mengacu pada data International Telecommunication Union (ITU) tahun 2020 bahwa penetrasi internet Indonesia belum menyentuh 5% dan hanya lebih baik dari Laos, Kamboja, dan Timor Leste. Sedangkan, berdasarkan data yang dikutip Komdigi, penetrasi internet fixed broadband di Laos saat ini sudah lebih baik dari Indonesia.
“Ini menunjukkan demikian rendahnya kita, bahkan jauh di bawah rata-rata Asia Tenggara, apalagi rata-rata Asia, sehingga mau tidak mau memang harus ada solusi cepat gitu karena kita melihat solusi FWA ini saya lihat dari dua hal gitu. Pertama itu dari segi affordability dan kedua dari segi kecepatan menggelar,” tuturnya.
Lebih lanjut, kata Sigit menjelaskan, layanan FWA nantinya dapat dinikmati pengguna rumah melalui perangkat seperti router.
“Ketika ini didesainya betul, kebijakannya betul, network-nya betul, kemungkinan tidak akan mengganggu pasarnya seluler dan dia justru akan mengkondisikan masuknya jaringan fiber optik. Tapi, ketika ini dilepas dengan mekanisme pasar gitu, bisa jadi dia mengganggu pasarnya seluler, bisa jadi akan menambah justru penetrasi fiber optik,” jelasnya.
Untuk itu, Sigit mengimbau agar layanan WFA ini tetap menghadirkan koneksi di atas 100 Mbps. Selain itu juga, ia meminta Komdigi dapat tegas bahwa pemenang seleksi pita frekuensi 1,4 GHz tersebut tidak melanggar peraturan yang telah disepakati sebelumnya.
“Kalau misalnya dia dijaga harus 100 Mbps, seluler nggak akan terganggu. Demikian juga di sini, kalau tidak diikat dengan dia harus 100 Mbps, maka nanti yang dapat lelang frekuensi, ‘sudah saya menggelar 4G saja lah,’ karena 4G itu masih bisa juga meskipun nggak sampai 100 Mbps,” pungkasnya.
(agt/agt)
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5142108/original/016445600_1740398294-WhatsApp_Image_2025-02-24_at_18.51.55.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Komdigi (Komunikasi dan Digital) telah memiliki rencana untuk melelang frekuensi 1.4GHz. Ini menjadi cara pemerintah untuk memperluas akses fixed brodband yang lebih terjangkau bagi masyarakat.
Rencananya, pita frekuensi ini akan digunakan untuk layanan BWA (Broadband Wireless Access). Meski hadir untuk mengatasi kesenjangan digital di Indonesia, upaya lelang frekuensi 1.4 GHz ini masih perlu mendapatkan catatan.
Salah satunya berasal dari Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional MASTEL (Masyarakat Telematika Indonesia) Sigit Puspito Wigati Jarot. Hal itu ia ungkapkan dalam event Morning Tech bertajuk “Lelang Frekuensi, Untuk Siapa?”.
“Dalam bahasa kininya itu, Komdigi harus istiqomah. Kalau tujuannya menggelar 1.4GHz ini untuk solusi broadband, jangan ketarik ke mobile dan harus sadar perbedaannya,” tuturnya dalam event yang digelar di Jakarta, Senin (24/2/2025).
Ia beralasan, ketika kebijakan soal pemakaian frekuensi untuk BWA ini serta jaringannya betul, kemungkinan tidak akan mengganggu pasar seluler. Bahkan, penerapan ini justru bisa membuka pintu untuk masuknya akses FO (fiber optik).
Sementara, ketika layanan BWA ini dilepas dengan mekanisme pasar, ada potensi bisa mengganggu pasar seluler. Tidak hanya itu, Komdigi juga harus memastikan kalau kecepatan yang ditawarkan harus benar-benar mencapai 100Mbps.
“Ketika tidak diikat atau tidak dijaga supaya harus 100Mbps, jika boleh turun-turun, itu bisa merusak pasarnya seluler,” tutur Sigit menjelaskan.
Untuk itu, ia menekankan, Komdigi harus menetapkan regulasi yang tegas agar memastikan frekuensi 1,4 GHz benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas fixed broaband, dan berbeda dari regulasi seluler.

Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai Fixed Wireless Access (FWA) atau jaringan tetap nirkabel dapat menjadi alternatif layanan internet rumah yang selama ini penetrasinya bergantung pada serat optik. Teknologi FWA bukan pesaing seluler.
Sebab, model ini menawarkan dua keunggulan utama, yakni affordability atau keterjangkauan harga dan kecepatan dalam penggelaran jaringan.
Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Mastel, Sigit Puspito Wigati Jarot menyampaikan seleksi pita frekuensi 1,4 GHz yang diperuntukan untuk FWA bisa menjadi opsi yang untuk membuat jaringan internet semakin meningkat.
“FWA ini nanti perbandingannya dengan Fiber to the Home (FTTH) dengan kabel dan seterusnya,” kata Sigit dalam agenda Morning Tech di Jakarta, Senin (24/2/2025).
Sigit menjelaskan, FWA menggunakan perangkat yang dikenal sebagai CPE (Customer Premise Equipment) yang menyerupai router.
Namun, ada pertimbangan penting terkait dampaknya terhadap pasar seluler. Jika FWA didesain dan diterapkan dengan baik, dengan kebijakan serta desain jaringan yang tepat, teknologi ini tidak akan mengganggu pasar seluler.
Sehingga, penerapan FWA ini justru dapat mendorong perluasan jaringan Fiber Optik (FO), yang memiliki potensi untuk memperkuat infrastruktur komunikasi secara keseluruhan.
“Tapi ketika ini dilepas dengan mekanisme pasar gitu, bisa jadi dia mengganggu pasarnya seluler bisa jadinya akan menambah justru penetrasi FO,” ujarnya.
Maka dari itu, Sigit meminta agar jaringan dari FWA ini berada dalam model 5G dan memiliki kecepatan minimal 100 Mbps agar tidak mengganggu pasar seluler.
“Demikian juga disini kalau tidak diikat dengan dia harus 100 Mbps maka nanti yang dapet lelang frekuensi. Karena 4G itu masih bisa juga Meskipun gak sampai 100 Mbps,” ucap Sigit.
Diberitakan sebelumnya, Direktur Utama PT Solusi Sinergi Digital Tbk (WIFI) atau Surge Yune Marketatmo menyampaikan bahwa untuk mendorong 5G, pemerintah perlu memperbanyak FWA untuk mempercepat penetrasi tersebut.
Yune menuturkan, FWA sangat sukses digunakan di negara lainnya seperti Amerika untuk mendorong penetrasi penggunaan internet.
“Nah kalau kita mau pakai 5G untuk FWA itu akan berhasil sih. Karena itu nanti lebih terkonsentrasi gitu loh. Kalau mobile itu biayanya besar sekali,” kata Yune di Jakarta, Jumat (21/2/2025).