Tag: Jakob Oetama

  • Kolumnis Loyalis Kompas.com: Menulis dari Kegelisahan atas Negeri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 September 2025

    Kolumnis Loyalis Kompas.com: Menulis dari Kegelisahan atas Negeri Nasional 16 September 2025

    Kolumnis Loyalis Kompas.com: Menulis dari Kegelisahan atas Negeri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    — Dr Ari Junaedi, salah satu kolumnis pilihan
    Kompas.com
    2025, bercerita soal sumber inspirasi tulisan-tulisannya.
    Sumber inspirasi itu merentang mulai dari pengalaman perjalanan panjang hingga pengamatan terhadap kondisi sosial di berbagai daerah terpencil Indonesia.
    Di perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-30 
    Kompas.com
    , Ari menuturkan pengalamannya dan dorongan hati nurani yang membuatnya aktif menulis opini di
    Kompas.com
    selama bertahun-tahun.
    “Saya gelisah melihat negeri ini, dan (dalam) perjalanan saya, saya jarang pulang ke rumah. Saya berterima kasih kepada istri saya, saya bener-bener jadi Bang Toyib,” katanya.
    Bang Toyib yang disebutnya adalah tokoh fiksi dalam lagu populer yang jarang pulang ke rumah.
    Ari mengatakan, ada banyak daerah pedalaman di Indonesia yang tertinggal.
    Di sana, banyak anak-anak mengalami kasus tengkes (
    stunting
    ) atau kurang gizi yang hingga kini butuh perhatian lebih.
    Sebagai bentuk dukungan dalam mencerdaskan bangsa,
    Kompas.com
    melalui program Jagat Literasi mengunjungi beberapa daerah tertinggal di Indonesia untuk memberikan bantuan pendidikan.
    “Jika ke Timor Tengah Utara, lebih parah lagi,
    stunting
    tertinggi di Indonesia,” ungkapnya.
    “Saya menyarankan Jagat Literasi pergi ke Pulau Anambas, mereka punya 256 pulau, ibukotanya Tarempa. Itu sangat susah. Motor saja ditinggal enggak hilang, karena hanya pulau,” ungkapnya.
    Dia menceritakan bahwa pengalaman bepergian dirinya ke daerah-daerah tertinggal menjadi inspirasi dalam tulisannya.
    Mulai dari kondisi baling-baling mati ketika menumpangi pesawat Hercules, hingga jalan darat 16 jam menuju Merauke.
    “Di situlah muncul tulisan-tulisan saya. Kebetulan saya ini dosen AKAP, antar kota antar provinsi,” canda dia.
    “Kerjaan saya selalu gelisah melihat apa yang terjadi. Bahwa STEM itu sebetulnya (istilah dia) ‘suka termenung’, energi menulisnya makin memuncak,” lanjut kelakarnya.
    Dia bercerita bahwa kondisi akar rumput tentunya tidak senyaman para pejabat elite.
    Dia bilang, ada banyak guru yang meskipun pekerjaannya mulia, namun dari sisi ekonomi sama sekali tidak mencukupi.
    “Teman-teman harus melihat ke bawah, banyak masyarakat kita yang (2,4) tanggal 2 gajian, tanggal 4 mereka ngutang lagi, jadi percuma bicara STEM (
    science, technology, engineering, mathematics
    ), (tapi) bagaimana gaji guru yang hanya Rp700.000 sebulan, sementara wakil rakyat kita, rakyatnya kejang, parlemennya begoyang, hidup ditindas, matipun dilindas (mohon maaf) itu harus kita suarakan,” tegasnya.
    Dia juga berterima kasih karena selama ini tulisannya diberikan tempat yang layak untuk bisa dimuat di dalam kolom
    Kompas.com
    .
    “Terima kasih untuk
    Kompas.com
    , kami adalah loyalis
    Kompas.com
    , karena hanya
    Kompas
    kami bisa disalurkan, kami merasa apa yang kami tulis itu diloloskan, jadi kalau salah bukan kami yang salah,” candanya lagi.
    Selain Ari,
    Kompas.com
    juga memberikan apresiasi kepada tiga kolumnis pilihan 2025, di antaranya Prof Hamid Awaludin dan Dr Jannus TH Siahaan.
     
    Kompas.com
    memasuki usia ke-30 yang jatuh pada Minggu, 14 September 2025.
    Rangkaian perayaan hari ulang tahun (HUT) berupa ziarah ke makam para pendiri Kompas-Gramedia, Jakob Oetama dan PK Ojong.
    Sebelumnya, pada Sabtu, 13 September 2025, digelar pula ziarah ke beberapa rekan kerja, yaitu ke makam Ervan Hardoko, Muhammad Latief, dan Kurnia Sari Aziza.
    Puncak acara pada Senin, 15 September 2025, digelar Festival HUT berupa Obrolan Newsroom On Stage dan LiteraTalk yang merupakan bagian dari Jagat Literasi, serta Awarding Kolumnis.
    Acara pemungkas, Bersuka Ria, menjadi kemeriahan pada Senin malam.
    Keseluruhan rangkaian perayaan HUT Kompas.com ini merupakan hasil kerja sama bersama Riady Foundation, ParagonCorp, dan Blibli, juga didukung oleh Kita Bisa dan Gramedia.
    Sementara itu, misi Jagat Literasi di Perbatasan Ekspedisi dari Kata ke Nyata
    Kompas.com
    hadir melalui inisiatif Jagat Literasi untuk merayakan HUT ke-30
    Kompas.com
    .
    Relawan mengajarkan literasi media dan literasi baca di 20 sekolah yang tersebar di Banten, Jawa Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan DKI Jakarta.
    Selain mengajar, mereka menyalurkan donasi buku anak dengan target 10.000 eksemplar agar siswa di berbagai daerah bisa mendapatkan bacaan yang layak.
    Ekspedisi Kata ke Nyata didukung gerakan STEM Indonesia Cerdas dari Riady Foundation, serta ParagonCorp dan Gramedia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tiga Dekade Kompas.com, Menjaga Warisan Para Pendiri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 September 2025

    Tiga Dekade Kompas.com, Menjaga Warisan Para Pendiri Nasional 14 September 2025

    Tiga Dekade Kompas.com, Menjaga Warisan Para Pendiri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Langit Jakarta menyambut hangat perayaan Hari Ulang Tahun ke-30 Kompas.com yang jatuh pada hari ini, Minggu (14/9/2025).
    Memperingati genapnya usia, Kompas.com menggelar rangkaian ziarah Napak Tilas Pendiri KG ke makam Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong sebagai bentuk penghormatan.
    Momentum penuh rasa syukur ini dimulai dari titik awal di Bentara Budaya Jakarta.
    Pemimpin Redaksi Kompas.com, Amir Sodikin, membuka acara dengan penuh rasa hormat untuk mengenang jasa para pendiri.
    Rombongan Kompas.com mulai bergerak menggunakan dua bus pada pukul 07.40 WIB.
    Hanya memakan waktu 15 menit, rombongan tiba di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.
    “Kami, anak, cucu, cicit datang Pak Jakob,” kata Amir Sodikin dengan suara lembut di depan makam Jakob.
    Jakob Oetama lahir di Magelang pada 27 September 1931. Ia wafat pada 9 September 2020.
    Dalam dekapan cuaca yang bersahabat dan langit yang biru bersih, para karyawan menundukkan kepala dan memanjatkan doa dengan penuh khidmat di depan makam Jakob. Oetama. 
    Ziarah kemudian dilanjutkan ke tempat peristirahatan pendiri Kompas Gramedia lainnya, yakni Petrus Kanisius Ojong, di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
    Pukul 08.41 WIB, rombongan meninggalkan TMP Kalibata dan menuju TPU Tanah Kusir.
    PK Ojong lahir di Bukittinggi pada 25 Juli 1920 dan meninggal di Jakarta pada 31 Mei 1980.
    Cuaca yang mulai terik tidak mengurangi semangat langkah kaki rombongan yang berjalan dari pintu masuk TPU Tanah Kusir ke pusara PK Ojong.
    Karyawan kembali menundukkan kepala dan memanjatkan doa dengan khidmat untuk ketenangan dan kedamaian PK Ojong.
    Menurut Amir, kedua pendiri Kompas Gramedia itu memiliki peran unik yang saling melengkapi.
    “Jika Pak Ojong tadi dia sangat tokoh dalam prinsip, kemudian rapi dalam administrasi, dan punya visi bisnis. Nah, Pak Jakob Oetama ini yang mengisi nilai-nilai jurnalismenya. Maka dikenal ada jurnalisme makna. Jurnalisme makna itu khasnya Kompas,” jelas Amir.
    Dia menambahkan, jurnalisme makna bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memberi perspektif, makna, dan arah ke depan.
    “Tidak cukup 5W1H. Tapi what’s next-nya apa? Dan nanti insight-nya untuk kita dan untuk bangsa itu apa?” tutur dia.
    Ia juga mengingatkan bahwa prinsip kemanusiaan yang ditanamkan kedua pendiri masih menjadi pijakan utama hingga kini.
    Menurutnya, nilai tersebut tecermin dalam inisiatif sosial seperti Dana Kemanusiaan Kompas maupun program donasi Kompas.com bersama Kitabisa.
    “Dari dua pendiri ini kita mengenal yang namanya prinsip kemanusiaan, welas asih dan juga saling jaga, saling menghormati. Dua tokoh ini juga melahirkan banyak bisnis-bisnis di KG Media,” ujar Amir.
    Kompas.com memasuki usia ke-30 yang jatuh pada Minggu, 14 September 2025.
    Rangkaian perayaan hari ulang tahun (HUT) berupa ziarah ke makam para pendiri Kompas Gramedia, Jakob Oetama dan PK Ojong.
    Sebelumnya, pada Sabtu, 13 September 2025, digelar pula ziarah ke beberapa rekan kerja, yaitu ke makam Ervan Hardoko, Muhammad Latief, dan Kurnia Sari Aziza.
    Puncak acara pada Senin, 15 September 2025, digelar Festival HUT berupa Obrolan Newsroom On Stage dan LiteraTalk yang merupakan bagian dari Jagat Literasi, serta Awarding Kolumnis.
    Acara pemungkas, Bersuka Ria, menjadi kemeriahan pada Senin malam.
    Keseluruhan rangkaian perayaan HUT Kompas.com ini merupakan hasil kerja sama bersama Riady Foundation, ParagonCorp, dan Blibli. Juga didukung oleh Kita Bisa dan Gramedia.
    Sementara itu, misi Jagat Literasi di Perbatasan Ekspedisi dari Kata ke Nyata Kompas.com hadir melalui inisiatif Jagat Literasi untuk merayakan HUT ke-30 Kompas.com.
    Relawan mengajarkan literasi media dan literasi baca di 20 sekolah yang tersebar di Banten, Jawa Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan DKI Jakarta.
    Selain mengajar, mereka menyalurkan donasi buku anak dengan target 10.000 eksemplar agar siswa di berbagai daerah bisa mendapatkan bacaan yang layak.
    Ekspedisi Kata ke Nyata didukung gerakan STEM Indonesia Cerdas dari Riady Foundation, serta ParagonCorp dan Gramedia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Peringati HUT Ke-30, Kompas.com Ziarah ke Makam Jakob Oetama dan PK Ojong
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        14 September 2025

    Peringati HUT Ke-30, Kompas.com Ziarah ke Makam Jakob Oetama dan PK Ojong Nasional 14 September 2025

    Peringati HUT Ke-30, Kompas.com Ziarah ke Makam Jakob Oetama dan PK Ojong
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dalam rangka memperingati hari ulang tahun (HUT) ke-30, Kompas.com berziarah ke makam dua pendiri Kompas, Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong, Minggu (14/9/2025).
    Kegiatan ini diawali dengan pengarahan singkat disertai doa bersama di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jakarta Pusat, sebelum rombongan berangkat ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dan kemudian ke Tanah Kusir.
    Pemimpin Redaksi (Pemred) Kompas.com, Amir Sodikin, dalam sambutannya menekankan pentingnya meneladani nilai-nilai yang diwariskan kedua pendiri Kompas.
    Ia menilai, kesederhanaan PK Ojong dan kelenturan Jakob Oetama membentuk fondasi jurnalisme Kompas yang dikenal hingga kini.
    “Kita akan berziarah pertama kali nanti ke makamnya Pak Jakob Oetama dan kemudian ke Pak PK Ojong,” kata Amir dalam sambutannya.
    Ia pun menceritakan sekilas kisah hidup dua pendiri Kompas. PK Ojong berasal dari keluarga sederhana dan dikenal teguh prinsip, baik dalam kehidupan maupun bisnis.
    Sementara, Jakob Oetama unggul dalam mengendalikan emosi dan bersikap lentur, sehingga mudah menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
    “Dua tokoh ini saling mengisi. Jika Pak Ojong tadi dia sangat tokoh dalam prinsip, kemudian rapi dalam administrasi, dan punya visi bisnis. Nah, Pak Jakob Oetama ini yang mengisi nilai-nilai jurnalismenya. Maka dikenal ada jurnalisme makna. Jurnalisme makna itu khasnya Kompas,” jelas Amir.
    Dia menambahkan, jurnalisme makna bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi juga memberi perspektif, makna, dan arah ke depan.
    “Tidak cukup 5W1H. Tapi what’s next-nya apa? Dan nanti insight-nya untuk kita dan untuk bangsa itu apa?” tutur dia.
    Ia juga mengingatkan bahwa prinsip kemanusiaan yang ditanamkan kedua pendiri masih menjadi pijakan utama hingga kini.
    Menurutnya, nilai tersebut tecermin dalam inisiatif sosial seperti Dana Kemanusiaan Kompas maupun program donasi Kompas.com bersama Kitabisa.
    Sementara itu, Wakil Ketua Panitia HUT ke-30 Kompas.com, Zainal, menjelaskan bahwa ziarah ini merupakan agenda rutin tahunan yang kembali digelar pascapandemi Covid-19.
    “Ini kurang lebih sudah tahun keempat kita melakukan ziarah sejak Covid. Yang ikut ada teman-teman redaksi, bisnis, marketing, sales, hingga komunitas,” kata Zainal.
    Ia menambahkan, usai ziarah, rangkaian peringatan dilanjutkan dengan tumpengan di kantor redaksi Kompas.com, Jakarta Pusat.
    Sementara acara puncak HUT ke-30 akan digelar Senin (15/9/2025) melalui Jagat Literasi Festival di Menara Kompas.
    “Besok kita ada talkshow literasi di Studio Dua, Menara Kompas. Akan hadir dua menteri sebagai narasumber. Itu bagian dari acara puncak,” ujar Zainal.
    Kompas.com memasuki usia ke-30 yang jatuh pada Minggu, 14 September 2025. Rangkaian perayaan hari ulang tahun (HUT) berupa ziarah ke makam para pendiri Kompas-Gramedia, Jakob Oetama dan PK Ojong.
    Sebelumnya, pada Sabtu, 13 September 2025, digelar pula ziarah ke beberapa rekan kerja yaitu ke makam Ervan Hardoko, Muhammad Latief, dan Kurnia Sari Aziza.
    Puncak acara pada Senin, 15 September 2025, digelar Festival HUT berupa Obrolan Newsroom On Stage dan LiteraTalk yang merupakan bagian dari Jagat Literasi, serta Awarding Kolumnis.
    Acara pemungkas, Bersuka Ria, menjadi kemeriahan pada Senin malam.
    Keseluruhan rangkaian perayaan HUT Kompas.com ini merupakan hasil kerja sama bersama Riady Foundation, ParagonCorp, dan Blibli. Juga didukung oleh Kita Bisa dan Gramedia.
    Sementara itu, misi Jagat Literasi di Perbatasan Ekspedisi dari Kata ke Nyata Kompas.com hadir melalui inisiatif Jagat Literasi untuk merayakan HUT ke-30 Kompas.com.
    Relawan mengajarkan literasi media dan literasi baca di 20 sekolah yang tersebar di Banten, Jawa Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan DKI Jakarta.
    Selain mengajar, mereka menyalurkan donasi buku anak dengan target 10.000 eksemplar agar siswa di berbagai daerah bisa mendapatkan bacaan yang layak.
    Ekspedisi Kata ke Nyata didukung gerakan STEM Indonesia Cerdas dari Riady Foundation, serta ParagonCorp dan Gramedia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen Nasional 7 September 2025

    Tanda Zaman, Pertobatan Nasional, dan Komisi Independen
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    DUA
    frase “tanda-tanda zaman” dan “pertobatan nasional” saya petik dari Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo, sebagai respons moral atas amuk massa selama 28-31 Agustus 2025.
    Hari Minggu, 31 Agustus 2025, di tengah panasnya situasi politik Ibu Kota, saya bersama sejumah teman berbincang dengan Kardinal Suharyo.
    Perbincangan tak lepas dari suasana yang penuh kegelisahan. Negeri sedang tak karu-karuan. Amuk massa belum reda.
    Penjarahan terjadi di rumah beberapa anggota DPR dan kediaman Menteri Keuangan Sri Mulyani. Gedung DPRD Makassar dibakar. Gedung Grahadi di Surabaya luluh lantak.
    Apa salah dan dosa Gedung Grahadi? Mengapa tak bisa dicegah? Kantor polisi di berbagai daerah turut jadi sasaran. Tuntutan agar DPR dibubarkan berseliweran di ruang publik.
    Dalam percakapan itu, Kardinal Suharyo berkata lirih, tapi tegas, “Elite seharusnya bisa membaca tanda-tanda zaman”.
    Ia tak menjelaskan lebih jauh apa yang dimaksud dengan “tanda-tanda zaman”. Namun, dalam kesempatan lain, Kardinal menyerukan pertobatan. Sebuah ajakan spiritual yang sarat makna: kesadaran akan kesalahan kolektif, dan dorongan untuk berbalik arah sebelum semuanya terlambat.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, masih menyimpan kabut tebal. Ada unjuk rasa sebagai ekspresi sumpek rakyat, tapi ada juga “Gerakan 28-31 Agustus 2025” dengan tujuan tertentu yang sistematis.
    Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi juga terjadi unjuk rasa besar, seputar penolakan revisi UU KPK (2019), pemberlakuan UU Omnibus Law Cipta Kerja, dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wapres. Namun, dampak dari ketiga unjuk rasa tidak separah seperti sekarang.
    Peristiwa 28-31 Agustus 2025, justru menimbulkan banyak tanya. Pembagian kekuasaan sebenarnya hampir sempurna. Hanya PDIP dan Nasdem yang tak ada dalam kabinet.
    Ormas terbesar sudah berada dalam barisan kekuasaan. Relawan diakomodasi dalam kabinet atau komisaris BUM. Kabinet didukung koalisi super-mayoritas.
    DPR menjadi proksi dari kekuasaan. Kekuasaan sedang menuju otokratisasi sebagaimana kajian
    Varieties of Democracy
    (2024).
    Namun, ada juga pandangan konsolidasi otokratisasi itulah yang menyebabkan disfungsi lembaga pranata demokrasi. Dan, kini konsolidasi otokratisasi mendapatkan perlawanan.
    Situasi 2025, berbeda dengan Peristiwa Malari 1974. Meski berlatarbelakang antimodal asing, Malari 1974 adalah pembelaan warga sipil terhadap demokrasi liberal atas arah demokrasi terpimpin yang dilakukan Presiden Soeharto.
    Sedang pada Agustus 2025, polanya lebih mirip perlawanan warga sipil untuk membela reformasi dalam konteks konsolidasi otokratisasi.
    Spekulasi banyak, analisis berseliweran, narasi bersaing. Namun, di balik semua itu, ada realitas yang hampir pasti bisa dibaca. Sejumlah latar belakang krisis tampak jelas, seperti bara dalam sekam yang lama diabaikan.
    Pertama, akumulasi kekecewaan publik yang menahun. Kesenjangan sosial yang menganga tak tertanggulangi.
    Berdasarkan data Bank Dunia per Juni 2025, ada 194 juta orang miskin di Indonesia. Angka ini tentu bisa diperdebatkan tergantung mistar yang dipakai—Bank Dunia atau BPS—namun rasa lapar tidak bisa disangkal dengan metodologi.
    Pengangguran merajalela. Orang kehilangan pekerjaan, penghasilan menurun, harga-harga naik.
    Dalam siniar saya, Chandra Hamzah dari Forum Warga Negara berkata, “Situasi ini ibarat rumput kering. Tinggal dilempar api.”
    Sayangnya, elite kekuasaan sibuk menyangkal realitas ini. Mereka gagal melihat bahwa ketika harapan publik tidak terpenuhi, dan ketimpangan memburuk, maka benih ledakan sosial sedang ditanam.
    Inilah yang disebut Ted Gurr sebagai
    relative deprivation
    : kemarahan rakyat lahir dari jurang antara ekspektasi dan kenyataan yang makin menjauh.
    Kedua, tata kelola pemerintahan. Pemerintah tampak gamang dan terkesan coba-coba dalam membuat kebijakan.
    Wacana kenaikan PPN dari 11 persen ke 12 persen diluncurkan, diprotes publik, lalu dibatalkan.
    Penataan distribusi gas melon 3 kg diusulkan, lalu ditarik. Rencana pemblokiran rekening pasif diumumkan, kemudian diklarifikasi.
    Ada lagi guyonan politik tentang penyitaan tanah mangkrak oleh negara. Wisata Raja Ampat, Papua, dirancang menjadi kawasan tambang nikel.
    Sejarah hendak diluruskan dengan menihilkan tragedi pemerkosaan massal 1998, sebelum akhirnya rencana itu ditunda.
    Bintang Mahaputra diobral. Dana transfer ke daerah dikurangi, menyebabkan pemerintah daerah menaikkan PBB. Meledaklah kasus Pati.
    Semua ini menunjukkan ada masalah besar dalam tata kelola kebijakan publik—termasuk komunikasi politik yang nir-empati, kasar, dan penuh kepercayaan diri berlebihan.
    Pemerintah kurang peka membaca denyut publik, dan tak mampu mengantisipasi letupan di bawah permukaan.
    Dalam kerangka teori
    fragile states
    (Rotberg, 2003), negara seperti ini kehilangan kapasitas dasar untuk merespons kebutuhan rakyat secara adil dan efektif.
    Ketiga, penegakan hukum mengikuti perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    (Thomas Power: 2020).
    Dalam perspektif
    the executive weaponization of law enforcement
    bukan berarti hukum berhenti bekerja sama sekali, melainkan hukum dijalankan secara manipulatif: ditegakkan terhadap lawan, diabaikan terhadap kawan.
    Putusan MK yang mengubah persyaratan calon wapres, tidak dieksekusinya terpidana dan malah dianugerahi jabatan komisaris, mempertontonkan bagaimana penegakan hukum negeri ini.
    Desakan RUU Perampasan Aset harus ditempatkan dalam konstruksi Indonesia adalah negata hukum.
    Keempat, disfungsi institusi demokrasi. Partai politik kian terasing dari rakyat. Mereka menjelma menjadi kartel politik, sibuk mendekatkan diri ke kekuasaan, bukan memperjuangkan aspirasi konstituen.
    DPR tidak lebih dari proksi kekuasaan eksekutif. Ketua umum partai duduk di kabinet dan semua fraksi berbaur dalam koalisi super mayoritas.
    Lembaga legislatif kehilangan daya kritis dan empati. Bayangkan: di tengah penderitaan rakyat, DPR malah menaikkan tunjangan anggotanya dan berjoget-joget dalam Sidang Tahunan MPR.
    Komunikasi publik mereka
    clometan
    , pongah, dan menyakiti rakyat. Dewan Perwakilan Daerah nyaris tak bersuara. Maka rakyat mencari jalannya sendiri.
    Kelima, organisasi masyarakat sipil gagal menjalankan perannya sebagai
    psychological striking force
    atau kekuatan moral yang ampuh sebagaimana pernah diutarakan Nurcholis Madjid dan diulang Usman Hamid.
    Dalam posisi terkooptasi kekuasaan, organisasi masyarakat sipil sangat melemah posisi tawarnya terhadap absolutisme kekuasaan karena terikat konsesi ekonomi.
    Keenam, teknologi digital dan media sosial mempercepat eskalasi konflik. Dalam suasana kacau, informasi menyebar secara
    real-time

    Namun, bukan hanya kebenaran yang tersebar, tapi juga opini-opini sintetis yang diproduksi oleh pasukan siber.
    Operasi pengaruh ini dijalankan secara sistematis oleh elite politik. Dalam situasi ini, suara publik yang asli justru tenggelam di tengah gelombang manipulasi.
    Inilah yang disebut
    manufactured consent
    —persetujuan publik dibentuk bukan lewat deliberasi rasional, melainkan melalui rekayasa algoritma dan opini sintesis.
    Ketujuh, terjadinya persaingan elite. Seperti dalam Peristiwa Malari 1974 dan Mei 1998, konflik horizontal di masyarakat sering kali dipicu konflik di kalangan elite.
    Dalam waktu 36 jam sejak tewasnya Affan Kurniawan, negeri seperti tanpa kendali. Polisi tak muncul karena mengalami demoralisasi luar biasa setelah meninggalnya Affan.
    TNI belum bisa bergerak karena belum diminta. Penjarahan terjadi. Media sosial menjadi panggung utama. Negara absen.
    Akibat dari semua ini sangat dalam. Sepuluh orang tewas. Banyak yang ditangkap. Polisi luka-luka. Kompol Cosmas yang berada dalam rantis Brimob dipecat. Katanya, dia hanya menjalankan perintah.
    Fasilitas umum dibakar. Gedung DPR dan kantor polisi—dua simbol supremasi sipil—dihancurkan rakyat.
    Pesannya jelas: simbol negara kehilangan legitimasi di mata publik. Presiden Prabowo Subianto menuding ada makar dan terorisme.
    Apa yang bisa dilakukan? Di berbagai forum, tuntutan rakyat mulai terdengar. Ada suara dari Forum Warga Negara, imbauan dari Gerakan Nurani Bangsa, seruan dari Aliansi Akademisi, juga gelombang mahasiswa. Semua menyuarakan hal serupa.
    Pertama, latar belakang peristiwa 28–31 Agustus, harus diungkap tuntas. Jangan biarkan ruang publik dipenuhi spekulasi soal makar, terorisme, atau faksionalisasi elite.
    Kedua, dibutuhkan reformasi menyeluruh—terhadap kepolisian, DPR, partai politik, dan kebijakan negara.
    Ketiga, reformasi peradilan menjadi keniscayaan. Kardinal Suharyo merangkumnya secara jernih: “Pertobatan di semua cabang kekuasaan.”
    Namun, bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh aktor-aktor yang justru menjadi bagian dari masalah?
    Dalam kondisi
    low trust society
    , kepercayaan publik tak mungkin pulih lewat manuver elite lama. Dibutuhkan satu struktur baru: semacam Komite Independen atau apapun namanya.
    Komite yang berisi tokoh independen dengan integritas tinggi dan rekam jejak tak tercela. Orang yang tak punya beban politik, dan bisa menjadi penjaga moral sekaligus pemandu arah reformasi untuk memperbaiki republik yang sedang sakit.
    Namun untuk terbentuk, inisiatif ini butuh legitimasi. Dan hanya satu pihak yang saat ini memiliki otoritas untuk menginisiasi: Presiden Prabowo Subianto.
    Pertanyaannya: apakah Presiden Prabowo membaca tanda-tanda zaman? Mengutip Sukidi Mulyadi dalam acara
    Satu Meja The Forum
    , “Presiden terisolasi dengan realitas di Indonesia.”
    Jakob Oetama, pendiri
    Kompas
    , dalam banyak perjumpaan pribadi pernah berpesan, “Jaga negeri ini, jangan sampai
    mrucut
    .”
    “Mrucut” dalam pemahaman orang Jawa adalah tergelincir dari jalur yang seharusnya. Bukan sekadar salah arah, tapi kehilangan arah. Kehilangan etika, kehilangan hati nurani, kehilangan jati diri.
    Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan. Atau “mrucut” ke arah otoritarianisme atau malah sebagaimana dikhawatirkan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Usman Hamid dalam Haul Nucholish Madjid, masuk dalam tahap fasisme.
    Hari ini, ancaman “mrucut” itu nyata. Demokrasi kita menjauh dari substansinya. Keadilan hanya tinggal kata. Simbol negara tak lagi dimuliakan. Kepercayaan rakyat menguap.
    Namun, sejarah bangsa tidak harus berakhir dengan kehancuran. Tanda zaman bukan hanya isyarat murka, tapi juga panggilan untuk bangkit.
    Dari reruntuhan kepercayaan, selalu bisa tumbuh tunas perbaikan. Dari amarah yang meledak, selalu bisa lahir kesadaran kolektif untuk berubah. Kuncinya pada masyarakat sipil!
    Kuncinya: keberanian elite untuk mendengar. Kerendahan hati untuk bertobat. Dan kemauan untuk menyerahkan agenda reformasi pada yang lebih layak, lebih bersih, lebih jernih.
    Sebab hanya dengan keberanian itu, bangsa ini bisa kembali menemukan pijakan—dan berjalan tegak menatap masa depan. Bukan dalam “mrucut”, tapi dalam “waskita”. Dalam kebijaksanaan membaca zaman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
                        Nasional

    2 Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana Nasional

    Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    KONTROVERSI
    soal pemaafan
    koruptor
    , amnesti untuk koruptor, dan penerapan denda damai untuk koruptor, mempertontonkan salah satunya, ada problem besar komunikasi di seputar Istana, selain problem subtansi.
    Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Kairo yang akan memaafkan koruptor asal mengembalikan kekayaannya menimbulkan kontroversi meluas.
    Menteri Koordinator Hukum Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Presiden punya hak konstitusional memberikan amnesti, abolisi, dan grasi untuk terpidana.
    Yusril juga mengatakan, dari 44.000 terpidana yang akan mendapatkan amnesti, jumlah terpidana
    korupsi
    hanya beberapa ribu orang.
    Tidak ada yang membantah bahwa Presiden punya hak konstitusional untuk memberikan amnesti, abolisi, dan grasi.
    Pernyataan Yusril itu menunjukkan ada proses hukum yang mendahului sebelum kemudian dihentikan penuntutannya.
    Namun, pembelaan Yusril itu bisa kurang sinkron ketika Presiden Prabowo sudah berbicara soal mekanisme pengembalian kekayaan secara diam-diam.
    Pernyataan Yusril kemudian disusul pernyatan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas yang menawarkan solusi denda damai untuk koruptor.
    Sayangnya, pernyataan politisi Partai Gerindra ini juga kurang tepat karena denda damai yang dimiliki Jaksa Agung hanya untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai, bukan untuk korupsi.
    Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar juga membantah. “Denda damai tidak untuk koruptor,” kata Harli.
    Soal amnesti untuk koruptor, Supratman juga meluruskan pernyataan Yusril bahwa tidak ada pemberian amnesti untuk terpidana korupsi yang diberikan Presiden Prabowo.
    Sengkarut komunikasi di kalangan pembantu Presiden Prabowo itu bisa merugikan citra Presiden yang pemerintahannya belum berusia 100 hari.
    Sengkarut komunikasi bisa dibaca publik sebagai belum adanya kajian komprehensif soal pemaafan koruptor yang akan diambil Presiden Prabowo. Selayaknya kebijakan didasarkan ada
    evidence based policy.
    Apresiasi harus diberikan kepada Menteri Supratman yang secara cepat meluruskan dan membatalkan gagasan denda damai untuk koruptor.
    Pembatalan gagasan denda damai – yang memang tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi – sedikit meredakan perbedaan pendapat yang tidak produktif di antara pembantu Presiden.
    Publik bertanya-tanya di mana peran Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah juru bicara presiden?
    Sejumlah juru bicara presiden yang sebelum ini begitu piawai berbicara di televisi memberikan analisa politik, mengapa tidak terdengar kiprahnya mengatasi sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor?
    Selain substansinya yang sangat sensitif, komunikasi publik menjadi penting. Terlebih, meminjam istilah Jakob Oetama, kita berkomunikasi di masyarakat yang tidak tulus sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang
    ngepas
    .
    Pesan komunikasi bukan hanya teks, tapi konteks. Ketika konteks tak diberikan, jangan memaksa pubik harus memahami konteks masalahnya. Dan, jangan terlalu cepat menghakimi publik dengan ungkapan, “tokoh gagal”.
    Isu korupsi adalah masih menjadi isu sensitif. Belum saatnya negara memaafkan koruptor.
    Mengutip esai Aswar Hasan di
    Kompas
    , 27 Desember 2024, “…
    Korupsi
    bukan hanya kejahatan individu, melainkan juga ancaman serius terhadap kedaulatan, keadilan, dan masa depan suatu bangsa. Ketika korupsi dibiarkan atau dianggap remeh, negara kehilangan legitimasi, kepercayaan rakyat, dan koruptor berpotensi untuk berkembang. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk kepada pejabat tinggi dan tokoh berpengaruh yang terlibat korupsi. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Negara wajib melindungi rakyat dari dampak buruk tersebut…”
    Psikologi publik dihadapkan pada rasa perasaan ketidakadilan ketika majelis hakim menjatuhkan vonis 6,5 tahun terhadap Harvey Moeis atas kerugian perekonomian negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah di Bangka.
    Publik juga gerah ketika kasus mafia peradilan bekas pejabat MA Zarof Ricar ditangani secara biasa-biasa saja. Istana juga tidak bereaksi atas berbagai peristiwa hukum yang melukai perasaan publik.
    Mengambil terobosan atau kebijakan di luar kebiasaan selayaknya mempertimbangkan sentimen dan rasa perasaan publik.
    Pada masa Orde Baru, Istana kerap mengundang secara terbatas sejumlah pemimpin redaksi untuk mendiskusikan kebijakan baru yang diambil pemerintah disertai latar belakangnya.
    Pemimpin redaksi ditempatkan sebagai “devil advocate” untuk men-
    challenge
    —kebijakan yang diambil pemerintah.
    Dari situlah, strategi dan mitigasi komunikasi dipersiapkan sehingga reaksi yang timbul sudah bisa dimitigasi. Fase ini bisa disebut fase “building understanding” antara pemerintah dan media.
    Tahapan ini tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR.
    Partai politik memang seperti mengalami disfungsi menghadapi isu kepublikan, termasuk program pemaafan koruptor.
    Elite partai politik berupaya main aman dengan mengamini semua kebijakan pemerintah. Partai politik yang saat kampanye garang terhadap korupsi, kini
    mlempem.
    Bahkan, anggota DPR menghardik dengan kata-kata kasar, termasuk menyebut gagal terhadap tokoh di luar pemerintahan yang gencar mengkritik dan program pemerintah.
    Bangsa ini masih beruntung masih ada secercah harapan pada minoritas kreatif yang tetap menjaga akal sehat dan nurani publik.
    Di tengah disfungsi partai politik, masih ada suara kritis seperti disuarakan Zaenur Rohman dari Pukat UGM atau pun Mahfud MD yang dinilai “tokoh gagal” oleh Ketua Komisi III Habiburohman.
    Masih ada suara kenabian dari Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo soal dijadikannya korupsi sebagai alat sandera politik.
    Saya bertanya pada Chat GPT soal sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor. Dan ini jawabannya:
    “…
    Pernyataan pembantu presiden soal pemafaan koruptor memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi publik tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Misalnya, jika pola komunikasinya cenderung membela koruptor dengan dalih seperti usia lanjut atau kesehatan, publik bisa menganggap pemerintah tidak berkomitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persepsi negatif ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan memperkuat narasi bahwa ada pelemahan sistemik terhadap institusi antikorupsi seperti KPK
    …”
    Hati-hati berkomunikasi karena komunikasi membentuk persepsi. Jangan sampai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kian anjlok.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.