Tag: Itamar Ben-Gvir

  • 200 Selebritas Dunia Serukan Bebaskan Marwan Barghouti yang Terancam Tewas Dipenjara Israel

    200 Selebritas Dunia Serukan Bebaskan Marwan Barghouti yang Terancam Tewas Dipenjara Israel

    JAKARTA – Gelombang seruan untuk membebaskan pemimpin Palestina, Marwan Barghouti, yang dipenjara di Israel sejak 2002, semakin gencar.

    Seruan tersebut merupakan bagaian dari kampanye internasional yang diikuti lebih dari 200 selebritas dunia. Mulai dari aktor Hollywood, Javier Bardem, hingga novelis Kanada, Margaret Atwood, memberikan dukungan tersebut.

    Mereka yang mendukung seruan ini menerbitkan surat terbuka pada Rabu waktu setempat yang mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan pemerintah sejumlah negara untuk mengambil tindakan atas upaya Israel menahan lebih dari 23 tahun Barghouti.

    “Kami menyampaikan keprihatinan mendalam kami atas pemenjaraan Marwan Barghouti yang terus berlanjut, perlakuan buruk yang kejam, dan penolakan hak-hak hukumnya selama di penjara,” demikian bunyi surat terbuka tersebut, Kamis 4 Desember, dikutip dari Al Jazeera.

    Barghouti, seorang pemimpin senior kelompok Fatah yang dianggap banyak orang sebagai Nelson Mandela-nya Palestina, menjalani lima hukuman seumur hidup di penjara-penjara Israel atas tuduhan terkait serangan-serangan selama Intifada kedua, yang berlangsung dari tahun 2000 hingga 2005.

    Awal tahun ini, pria berusia 66 tahun tersebut, dihujat langsung di dalam selnya di Penjara Ganot, Israel, oleh Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir.

    Barghouti juga telah berulang kali menjadi sasaran serangan brutal selama di penjara, sehingga mengalami luka fisik.

    Dalam rekaman video yang disiarkan stasiun TV Israel, Channel 12 pada Agustus 2025, terlihat Ben-Gvir mengintimidasi langsung Barghouti.

    “Kau tidak akan menang,” kata Ben-Gvir di dalam sel Barghouti.

    Rekaman itu memperlihatkan penampakan pertama Barghouti setelah bertahun-tahun ditahan. Kerabatnya terkejut dengan penampilan Barghouti, yang diduga kuat akibat “kelelahan dan kelaparan”.

    Pada Oktober 2025, putra Barghouti mengatakan bahwa ayahnya telah dipukuli habis-habisan oleh petugas Israel saat pemindahan penjara pada September 2025. Barghouti disebutkan patah pada empat tulang rusuk dan cedera kepala.

    Karena khawatir Barghouti akan meninggal dalam tahanan, keluarganya meluncurkan kampanye “Bebaskan Marwan”, dengan berbagai acara yang diselenggarakan di berbagai negara, termasuk Inggris dan Prancis.

    Kampanye internasional itu kemudian disambut oleh lebih dari 200 selebritas dunia yang menganggap hak asasi manusia harus ditegakkan.

    Barghouti dianggap sebagai tokoh kunci potensial dalam pembentukan negara Palestina karena kemampuannya menyatukan berbagai faksi politik. Ia dipandang oleh banyak orang sebagai harapan terakhir bagi Palestina yang merdeka.

  • Menteri Israel Desak Netanyahu Tangkap Abbas Jika PBB Dukung Palestina

    Menteri Israel Desak Netanyahu Tangkap Abbas Jika PBB Dukung Palestina

    Tel Aviv

    Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang dikenal kontroversial, mendesak Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu menangkap Presiden Palestina Mahmoud Abbas, jika Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendukung pembentukan negara Palestina.

    Desakan Ben-Gvir ini, seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, Selasa (18/11/2025), disampaikan pada hari yang sama ketika mayoritas negara anggota Dewan Keamanan PBB menyetujui resolusi yang diajukan Amerika Serikat (AS) untuk mendukung rencana perdamaian Gaza usulan Presiden Donald Trump.

    Tidak seperti draf resolusi sebelumnya, versi terbaru dari resolusi usulan Washington, yang didukung Dewan Keamanan PBB dalam voting pada Senin (17/11) waktu setempat itu, menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan.

    Ben-Gvir, dalam pernyataannya, tidak hanya mendesak Netanyahu menangkap Abbas, tetapi juga secara terang-terangan menyerukan pembunuhan para pejabat senior Otoritas Palestina.

    “Jika mereka mempercepat pengakuan negara yang direkayasa ini, jika PBB mengakuinya, maka Anda, Bapak Perdana Menteri, harus memerintahkan pembunuhan yang ditargetkan terhadap sejumlah pejabat senior Otoritas Palestina, yang merupakan teroris dalam segala hal, dan Anda… harus memerintahkan penangkapan Abu Mazen (Abbas-red),” kata Ben Gvir dalam konferensi pers di parlemen Israel, Knesset.

    Otoritas Palestina mengecam keras seruan Ben-Gvir tersebut.

    “Negara Palestina menegaskan bahwa penghasutan sistematis semacam itu menunjukkan mentalitas politik yang menolak perdamaian dan mengancam keamanan regional dan internasional,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Palestina, yang berbasis di Ramallah, Tepi Barat.

    Kementerian Luar Negeri Palestina mendesak negara-negara untuk mengambil “langkah-langkah konkret dan mendesak untuk menghentikan eskalasi ini, mengaktifkan mekanisme akuntabilitas, dan menolak penggunaan bahasa dan penghasutan teroris sebagai alat pemerintahan”.

    Resolusi yang disetujui Dewan Keamanan PBB itu memberikan restu untuk pembentukan pemerintahan transisi dan pengerahan pasukan keamanan internasional ke Jalur Gaza, yang menandai dimulainya tahap kedua dari kesepakatan yang dimediasi AS yang dicapai bulan lalu, yang menghentikan perang selama dua tahun.

    Resolusi rancangan AS itu juga menyebutkan kemungkinan negara Palestina di masa depan, meskipun dengan bahasa yang berbelit-belit.

    Disebutkan dalam resolusi itu bahwa setelah Otoritas Palestina melaksanakan reformasi yang diminta dan pembangunan kembali Gaza sedang berlangsung, “kondisi akhirnya mungkin tersedia untuk jalur yang kredibel menuju penentuan nasib sendiri dan status negara Palestina”.

    Para pemimpin Israel telah sepakat menolak segala kemungkinan berdirinya negara Palestina.

    “Penolakan kami terhadap negara Palestina di wilayah mana pun tidak berubah,” tegas Netanyahu dalam rapat kabinet Israel pada Minggu (16/11).

    Tonton juga video “Tok! PBB Setujui Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Parlemen Israel Loloskan Tahap Awal RUU Hukuman Mati untuk Tahanan Palestina

    Parlemen Israel Loloskan Tahap Awal RUU Hukuman Mati untuk Tahanan Palestina

    Jakarta

    Parlemen Israel telah mengesahkan pembacaan pertama rancangan Undang-Undang tentang hukuman mati. RUU ini menyasar kepada warga Palestina yang ditahan mereka, yang mereka anggap teroris.

    Dilansir Aljazeera, Rabu (12/11/2025), amandemen yang diusulkan oleh Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir, disetujui dengan 39 suara berbanding 16 dari 120 anggota Knesset pada Senin (10/11). Tandanya amandemen tersebut mendapat dukungan dari pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.

    The Times of Israel melaporkan RUU tersebut, hukuman mati akan diterapkan kepada individu yang membunuh warga Israel dengan motif “rasis” dan “dengan tujuan merugikan Negara Israel dan kebangkitan kembali kaum Yahudi di tanahnya”.

    RUU ini banyak mendapat kritik karena RUU tersebut berlaku secara eksklusif kepada warga Palestina yang membunuh warga Israel, bukan kepada kelompok garis keras Israel yang melakukan serangan terhadap warga Palestina. Salah satu yang mengkritik Amnesty International.

    “Tidak ada yang ditutup-tutupi; mayoritas dari 39 anggota Knesset Israel menyetujui dalam pembacaan pertama sebuah RUU yang secara efektif mengamanatkan pengadilan untuk menjatuhkan hukuman mati secara eksklusif kepada warga Palestina,” kata direktur senior Amnesty International untuk penelitian, advokasi, kebijakan, dan kampanye, Erika Guevara Rosas.

    Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan dalam keadaan apa pun, apalagi dijadikan senjata sebagai alat diskriminasi yang terang-terangan untuk pembunuhan, dominasi, dan penindasan yang disahkan negara”, jelas Guevara Rosas.

    Pejabat senior Amnesty juga menggambarkan tindakan parlemen Israel sebagai “langkah mundur yang berbahaya dan dramatis serta merupakan hasil dari impunitas yang berkelanjutan terhadap sistem apartheid Israel dan genosidanya di Gaza”.

    Sementara itu, Ben-Gvir menyambut baik hasil pemungutan suara. Dia mengatakan bahwa partainya, Jewish Power, sedang “menciptakan sejarah”.

    Respons Hamas

    Menanggapi hasil pemungutan suara parlemen, Hamas mengatakan bahwa rancangan undang-undang tersebut “mewakili wajah fasis yang buruk dari pendudukan Zionis yang brutal dan merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional”.

    Kementerian Luar Negeri dan Ekspatriat Palestina menyebut rancangan undang-undang tersebut sebagai “bentuk baru eskalasi ekstremisme dan kriminalitas Israel terhadap rakyat Palestina”.

    (zap/yld)

  • Turki Keluarkan Surat Perintah Tangkap Netanyahu dan Puluhan Pejabat Israel

    Turki Keluarkan Surat Perintah Tangkap Netanyahu dan Puluhan Pejabat Israel

    GELORA.CO – Turki mengeluarkan surat perintah penangkapan atas dugaan genosida terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan puluhan pejabat senior lainnya.

    Dikutip dari The Guardian, Sabtu (8/11), Turki mengeluarkan surat perintah terhadap 37 pejabat, di antaranya Menteri Pertahanan Israel Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Eyal Zamir. Pernyataan itu dikeluarkan oleh kantor kejaksaan Istanbul tanpa merilis daftar lengkap pejabat lainnya.

    Turki menuduh pejabat Israel atas genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan Israel secara sistematis di Gaza.

    Dalam pernyataan itu, Turki juga menyinggung rumah sakit persahabatan Turki-Palestina yang dibangun pemerintah Turki di Jalur Gaza dan dibom Israel pada Maret lalu.

    Pemerintah Israel pun memberikan komentar atas surat perintah penangkapan itu. Israel mengecamnya sebagai aksi humas (PR Stunt).

    “Israel secara tegas menolak aksi humas baru-baru ini yang dilakukan Erdogan yang tiran,” kata Menlu Israel Gideon Saar lewat pernyataan di X.

    Tahun lalu, Turki bergabung bersama Afrika Selatan yang menuduh Israel atas genosida di Mahkamah Internasional.

    Gencatan senjata yang rapuh berlangsung di Palestina sejak 10 Oktober sebagai bagian dari rencana perdamaian kawasan yang diinisiasi Presiden AS Donald Trump.

  • Turki Keluarkan Surat Penagkapan PM Israel Benjamin Netanyahu

    Turki Keluarkan Surat Penagkapan PM Israel Benjamin Netanyahu

    GELORA.CO – Pemerintah Turki resmi mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu atas tuduhan melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Jalur Gaza.

    Dalam pernyataannya pada Jumat 7 November 2025, Kejaksaan Istanbul menyebut selain Netanyahu, ada 37 pejabat Israel yang masuk daftar tersangka, termasuk Menteri Pertahanan Israel Katz, Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, dan Kepala Staf Militer Letjen Eyal Zamir.

    Menurut Turki, tindakan Israel di Gaza sejak Oktober 2023 merupakan kejahatan sistematis terhadap warga sipil Palestina. Pernyataan itu menyoroti beberapa serangan besar, termasuk pengeboman Rumah Sakit Baptis Al-Ahli pada Oktober 2023 yang menewaskan 500 orang, serta penghancuran Rumah Sakit Persahabatan Turki-Palestina pada Maret 2024.

    Israel menolak keras langkah tersebut. “Israel menolak dengan penuh penghinaan aksi humas terbaru dari tiran Erdogan,” tulis Menteri Luar Negeri Gideon Saar di platform X, dikutip dari Al-Jazeera.

    Sebaliknya, Hamas menyambut baik keputusan Turki. “Ini tindakan terpuji yang menegaskan komitmen rakyat dan pemimpin Turki terhadap keadilan dan kemanusiaan,” kata kelompok tersebut dalam pernyataannya.

    Langkah Turki ini muncul hampir setahun setelah Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) juga mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang. Turki sebelumnya juga mendukung gugatan Afrika Selatan di Mahkamah Internasional (ICJ) yang menuduh Israel melakukan genosida.

    Menurut data otoritas Gaza, lebih dari 68.000 warga Palestina tewas dan lebih dari 170.000 lainnya terluka sejak perang dimulai pada Oktober 2023. (*)

  • Resmi, Israel-Hamas Sepakati Gencatan Senjata

    Resmi, Israel-Hamas Sepakati Gencatan Senjata

    Bisnis.com, JAKARTA — Israel dan Hamas sepakat mengakhiri perang Gaza dengan menandatangani perjanjian gencatan senjata, pembebasan sandera, serta pertukaran tahanan, menandai terobosan terbesar dalam konflik yang terjadi selama dua tahun terakhir.

    Melansir Reuters pada Jumat (10/10/2025), dalam kesepakatan tersebut, Israel akan menghentikan pertempuran dan menarik sebagian pasukan dari Gaza, sementara Hamas akan membebaskan seluruh sandera Israel dalam waktu 72 jam setelah gencatan senjata berlaku. 

    Sebagai imbalannya, Israel akan membebaskan ratusan tahanan Palestina.

    Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menilai perjanjian ini dapat membuka jalan menuju perdamaian yang langgeng. Dia juga berencana menghadiri upacara penandatanganan resmi di Mesir serta menyampaikan pidato di Knesset, parlemen Israel.

    Selain itu, armada truk bantuan kemanusiaan yang membawa makanan dan obat-obatan akan diizinkan masuk ke Gaza untuk membantu ratusan ribu warga sipil yang kehilangan tempat tinggal akibat serangan Israel.

    Jika terlaksana penuh, kesepakatan ini akan membawa kedua belah pihak lebih dekat daripada upaya sebelumnya untuk menghentikan perang yang telah berkembang menjadi konflik regional, melibatkan Iran, Yaman, dan Lebanon, serta memperburuk isolasi diplomatik Israel.

    Masyarakat Israel maupun Palestina menyambut gembira pengumuman kesepakatan tersebut. Perang selama dua tahun terakhir telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina serta menyandera puluhan orang Israel sejak serangan awal Hamas pada 2023.

    Khalil Al-Hayya, pemimpin Hamas di pengasingan, menyatakan bahwa pihaknya telah menerima jaminan dari AS dan mediator lain bahwa perang akan benar-benar berakhir. Pemerintah Israel dijadwalkan meratifikasi perjanjian ini sebelum gencatan senjata resmi berlaku.

    Meski disambut positif, sejumlah hambatan masih mengintai. Daftar nama tahanan Palestina yang akan dibebaskan belum difinalisasi. Hamas mendesak pembebasan sejumlah tokoh penting yang masih ditahan Israel.

    Lebih jauh, poin-poin lain dalam rencana perdamaian 20 butir Trump, termasuk soal siapa yang akan memerintah Gaza pascaperang dan masa depan Hamas, belum dibahas.

    Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyebut kesepakatan ini sebagai sukses diplomatik serta kemenangan nasional dan moral. Namun, penolakan muncul dari mitra koalisi sayap kanan. 

    Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir mengancam akan menjatuhkan pemerintahan jika Hamas tidak dibubarkan. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich pun menegaskan Hamas harus dihancurkan setelah pembebasan sandera.

    Sementara itu, serangan Israel ke Gaza masih berlanjut meski dengan intensitas lebih rendah. Kementerian Kesehatan Gaza melaporkan tiga warga Palestina tewas pada Kamis dan sembilan orang sehari sebelumnya, jauh lebih sedikit dibandingkan puluhan korban harian dalam beberapa pekan terakhir.

    Saksi mata menyebut tentara Israel mulai menunjukkan tanda-tanda persiapan penarikan. Di sekitar kamp Nusseirat, pasukan Israel menghancurkan pos yang sudah ditinggalkan dan menurunkan peralatan pengawasan. 

    Di koridor Netzarim, tentara menembakkan granat asap, biasanya digunakan untuk melindungi pergerakan pasukan yang mundur.

    Hingga kini, masih ada 20 sandera Israel diyakini hidup di Gaza, 26 lainnya diduga tewas, sementara nasib dua orang belum diketahui. Hamas menyebut pemulangan jenazah korban bisa memakan waktu lebih lama dibanding pembebasan sandera yang masih hidup.

    Kesepakatan ini didukung oleh sejumlah negara Arab dan Barat, serta dipandang sebagai pencapaian diplomatik besar bagi Trump menjelang pemilu. Negara-negara Barat dan Arab bahkan segera menggelar pertemuan di Paris untuk membahas pasukan penjaga perdamaian internasional serta bantuan rekonstruksi Gaza pascaperang.

    Sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan 1.200 orang di Israel dan menyandera 251 orang, serangan balasan Israel telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina serta menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza.

  • Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Dua Tahun Perang di Gaza, Banyak Warga Israel Ingin Perang Berakhir

    Setiap tahun, Yonatan Shamriz dan keluarganya berkumpul untuk merayakan ulang tahun putrinya, yang tahun ini menginjak empat tahun.

    Sebisa mungkin ia berusaha membuat hari ulang tahun putrinya, yang bernama Yali, terasa normal.

    Yali lahir pada 7 Oktober 2021. Dua tahun kemudian, komunitas tempat keluarga Shamriz tinggal, Kfar Aza, mendapat serangan dari kelompok Hamas.

    Enam puluh dua orang dari kawasan tersebut tewas pada hari itu.

    Saudara laki-laki Yonatan, Alon, termasuk di antara warga Israel yang disandera.

    Alon tak pernah kembali ke rumah, dan justru tewas tertembak oleh militer Israel (IDF) di Gaza pada Desember 2023 setelah berhasil melarikan diri dari penyanderaan Hamas.

    “Itu adalah momen terberat dalam hidup saya,” kata Yonatan kepada ABC.

    “Saudara saya melakukan segalanya. Mereka berhasil melarikan diri.

    “Sangat sulit mendengar kalau IDF keliru mengidentifikasinya sebagai teroris.”

    Dua tahun setelah peristiwa itu, kehidupan Yonatan masih belum tenang.

    “Saya masih menjadi pengungsi di negara sendiri, tidak punya rumah, tinggal di sebuah mobil trailer di pusat Israel,” ujarnya.

    “Saya tidak berada di zona nyaman. Saya tidak punya saudara laki-laki.”

    Meski dihantui trauma, Yonatan mencurahkan energinya untuk organisasi Kumu, yang mendukung keluarga-keluarga yang terdampak serangan dua tahun lalu.

    Organisasi ini menjadi tuan rumah satu-satunya acara peringatan resmi pada 7 Oktober di salah satu taman terbesar di Tel Aviv.

    “Kita bisa lihat keluarga yang berduka dan warga yang paling menderita, setiap orang punya cara yang berbeda dalam menghadapi apa yang hilang dari mereka,” katanya.

    “Sebagian tidak sanggup melakukan apa pun. Sebagian lain justru berusaha melakukan sesuatu dengan segala cara.”

    “Saya merasa harus melakukannya. Saya merasa jika hanya duduk diam dan santai, malah akan tenggelam ke dalam lubang.”

    Luka yang mendalam

    Seperti banyak warga Israel lainnya, Yonatan sadar kalau warga Israel sudah berubah dalam dua tahun sejak serangan Hamas.

    Setelah menyusup ke Israel, kelompok militan tersebut menewaskan sekitar 1.200 orang, yang sebagian besar warga sipil, serta menyandera 250 orang, hingga memicu perang di Gaza yang masih berlangsung hingga kini.

    Israel mengatakan tujuan serangan ke Gaza adalah untuk menghancurkan Hamas dan membebaskan para sandera.

    Namun, seiring waktu, cara Israel melakukannya semakin menuai kritik.

    Sejak Oktober 2023, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, menurut otoritas kesehatan di Gaza.

    Tindakan Israel juga dilabeli sebagai genosida oleh komisi penyelidikan independen dari PBB dan berbagai organisasi lainnya.

    Militer Israel atau IDF kini menguasai lebih dari 75 persen wilayah Gaza, dan lebih dari 2 juta penduduknya terpaksa meninggalkan rumah mereka.

    Meski tidak bisa dibandingkan, beban perang juga dirasakan Israel.

    Banyak warga Israel yang mendukung perang, tetapi tidak sedikit pula yang merasa ketakutan.

    Semakin banyak tentara cadangan Israel yang menolak untuk bertugas di Gaza.

    Dalam berbagai aksi unjuk rasa tahun ini, ribuan orang turun ke jalan di Yerusalem dan Tel Aviv untuk menyerukan diakhirinya perang di Gaza.

    Meski ada harapan untuk kesepakatan damai, Yonatan mengatakan babak sejarah ini meninggalkan luka yang dalam di Israel.

    “Saya pikir rakyat Israel berbeda dengan para pemimpinnya,” ujarnya.

    “Kebanyakan orang ingin ada komite nasional untuk menyelidiki apa yang terjadi pada 7 Oktober, kebanyakan orang ingin ada pemilu, kebanyakan orang ingin perang berakhir dan para sandera dipulangkan.”

    “Dan selama dua tahun, tak satu pun dari itu yang kami dapatkan.”

    Perubahan ke kanan

    Tomer Persico, peneliti dari Shalom Hartman Institute di Yerusalem, mengatakan lanskap politik dan sosial Israel berubah drastis selama perang berlangsung.

    Sebagai peneliti identitas Yahudi modern, Dr Persico mengatakan kepada ABC jika “cara termudah” menggambarkan perubahan ini adalah pergeseran signifikan ke arah kanan.

    “Kita sudah dua tahun berada dalam perang yang berawal dari trauma yang tak terbayangkan bagi orang Israel, dan juga bagi orang Yahudi,” ujarnya.

    “Ini membangkitkan ingatan, luka pasca-trauma yang kita semua bawa dari Holocaust, dari pogrom, karena inilah yang terjadi, kan? Seluruh komunitas dibantai.”

    “Ketika trauma ini menumpuk di atas semua ingatan itu, reaksinya bisa dipahami, akan menjadi penuh kekerasan, akan penuh dendam.”

    Komunitas Israel, kata Dr Persico, banyak yang kembali memeluk nilai-nilai agama Yahudi tradisional.

    “Kita melihat banyak orang, banyak kelompok, kembali ke tradisi dengan mengadopsi kebiasaan tradisional, beberapa bahkan menjadi Yahudi Ortodoks,” katanya.

    “Dan ini, mirip dengan yang terjadi setelah Perang Yom Kippur 1973, yang juga merupakan trauma besar.”

    ‘Menguasai’ Gaza jadi tujuan sebagian pemimpin

    Semua itu, kata Dr Persico, mempermudah para “fundamentalis” seperti menteri keuangan sayap kanan Bezalel Smotrich dan menteri keamanan nasional Itamar Ben-Gvir, untuk memperluas pengaruh mereka di pemerintahan dan di kalangan masyarakat.

    Australia sudah menjatuhkan sanksi terhadap kedua politisi Israel tersebut karena “retorika ekstremis yang mendorong pemindahan paksa warga Palestina dan pembangunan permukiman Israel baru”.

    “Mereka punya visi untuk menduduki Jalur Gaza dan menempatkan orang Yahudi di sana, serta membersihkan Gaza dari warga Palestina secara etnis,” kata Dr Persico.

    “Itulah rencana mereka, itulah visi mereka. Mereka percaya Tuhan memerintahkan hal itu.”

    “Untuk visi itu, mereka rela memperpanjang perang, mengorbankan tentara, dan mengancam PM Netanyahu jika dia menyimpang sedikit saja dari rencana itu, mereka akan menggulingkan pemerintahannya.”

    Dr Persico menegaskan meski masyarakat bergeser ke kanan, bukan berarti mereka mendukung pemerintahan koalisi Netanyahu.

    “Paradoksnya, ada pergeseran ke kanan di kalangan rakyat, tetapi juga ada sikap antagonis terhadap pemerintahan yang paling sayap kanan yang pernah berkuasa di Israel,” katanya.

    “Ada banyak kritik di Israel tentang apa yang dilakukan Israel di Gaza saat ini, tentang kenyataan perdana menteri kami, [Benjamin] Netanyahu, dianggap … berusaha menghindari setiap peluang untuk mencapai kesepakatan dengan Hamas demi memulangkan para sandera dan mengakhiri perang ini.”

    “Jika pemilu diadakan hari ini, mereka tidak akan mampu mempertahankan kekuasaan di Israel.”

    Dr Persico percaya akan ada perubahan besar di masa depan, lebih dari sekadar pemilu.

    “Setelah perang ini berakhir, trauma akan sedikit mereda dan saya pikir akan ada masa pertanggungjawaban,” katanya.

    “Saya pikir masyarakat Israel akan melalui masa refleksi dan penyesalan atas apa yang kami izinkan atau apa yang terjadi di Gaza, apa yang dilakukan pemerintah di Gaza.

    “Dan saya pikir orang-orang akan merasa malu dengan apa yang terjadi dan saya pikir seseorang akan harus disalahkan, karena begitulah cara kerja manusia.”

    Aksi-aksi protes digelar setiap pekannya selama dua tahun, menuntut pemerintah menerima kesepakatan untuk mengakhiri perang.

    Meski fokus utama demonstrasi adalah nasib para sandera Israel yang ditahan di Gaza, dalam beberapa bulan terakhir semakin banyak orang yang menyuarakan keprihatinan terhadap situasi kemanusiaan di wilayah tersebut.

    Di antara kelompok itu ada yang benar-benar peduli pada penderitaan warga Palestina, dan ada pula yang khawatir dampaknya terhadap Israel dan reputasi negaranya di mata internasional.

    Kebanyakan warga Israel ingin perang berakhir

    Dua tahun perang di Gaza membuat masyarakat Israel lelah dan frustrasi.

    Survei yang dirilis Israel Democracy Institute pekan lalu, menunjukkan 66 persen warga Israel percaya sudah saatnya perang diakhiri.

    Selain itu, 64 persen responden mengatakan Netanyahu harus bertanggung jawab atas serangan mematikan tersebut dan mengundurkan diri.

    Pendapat publik terbelah tentang apakah situasi keamanan Israel kini lebih baik, namun sebagian besar mengakui posisi Israel di kancah internasional merosot tajam.

    Meskipun Amerika Serikat tetap menjadi pendukung utama Israel, pandangan komunitas Yahudi Amerika juga tampaknya sudah berubah.

    Enam puluh satu persen responden yang disurvei oleh surat kabar The Washington Post percaya Israel melakukan kejahatan perang terhadap warga Palestina di Gaza, dan 32 persen percaya Amerika Serikat terlalu mendukung tindakan Israel.

    Meski begitu, 76 persen responden mengatakan keberadaan Israel tetap penting bagi masa depan jangka panjang masyarakat Yahudi.

    Membandingkan sikap warga Israel tentang perang di Gaza dengan perang 12 hari melawan Iran terasa signifikan.

    Dalam perang bulan Juni lalu, ketika Israel melancarkan serangan terhadap target nuklir dan militer Iran dan menghadapi serangan balik ratusan rudal, banyak warga Israel yang saat itu mengatakan kepada ABC jika serangan tersebut dapat dibenarkan.

    Iran kerap digambarkan sebagai “ancaman eksistensial” bagi Israel yang perlu ditangani, sementara perang di Gaza dianggap sudah berlangsung terlalu lama.

    Konflik ini juga tampaknya memengaruhi migrasi dan pertumbuhan penduduk Israel.

    Data yang disampaikan ke parlemen Israel, Knesset, menunjukkan 82.700 warga Israel meninggalkan Israel pada 2024, atau meningkat 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Hampir separuh dari mereka yang pergi lahir di luar Israel dan pernah pindah ke Israel.

    Meski terjadi eksodus, secara keseluruhan jumlah penduduk Israel tetap meningkat pada 2023.

    ‘Orang-orang sudah lelah’

    Jalan-jalan di Yerusalem jauh lebih sepi dibandingkan sebelum 7 Oktober 2023. Turis masih datang ke Yerusalem, tapi jumlahnya tidak sebanyak sebelum perang.

    Saat turis asing, yang menjadi sumber pemasukan utama kota itu, menjauh, beberapa pemilik usaha menilai warga lokal juga kini jauh lebih tertutup dibandingkan sebelumnya.

    “Orang-orang sudah lelah. Orang-orang tidak lagi percaya situasinya akan menjadi lebih baik,” kata Meir Micha.

    Meir menjalankan restorannya di pusat distrik komersial Yerusalem selama lebih dari 50 tahun.

    “Saya melihat pelanggan. Mereka tidak lagi tersenyum seperti dulu, tidak lagi bicara soal pertandingan sepak bola, mereka datang hanya untuk makan,” ujar Meir.

    “Saat perang, semua orang pada akhirnya menginginkan perdamaian. Itu tergantung bagaimana kita menemukan perdamaian itu. Tidak ada yang mau berperang sepanjang hidupnya.”

    Eli Katz termasuk yang menikmati hummus yang disajikan di restoran milik Meir.

    “Perang hanya berjarak 50 mil dari kami, bom meledak dan gedung-gedung hancur, dan kemudian … saya duduk di restoran, di kafe, makan,” katanya.

    “Benar-benar membuat bingung, tetapi saya pikir saat ini kebanyakan orang hanya ingin perang segera berakhir.”

    Eli mengatakan tanggapan komunitas internasional terhadap perang di Gaza, serta tindakan Israel, memengaruhi suasana para warga.

    “Mengakui Palestina atau meninggalkan Netanyahu saat pidato di PBB, saya rasa justru membawa dampak sebaliknya, membuat semua orang semakin keras kepala,” ujarnya.

    “Pada akhirnya, alih-alih berkata kita punya teman dan bisa bekerja sama dan … kita bisa menghentikan perang karena orang-orang akan membantu kita, saya pikir perasaan warga secara umum adalah kami merasa sendirian, jadi kami tidak bisa mempercayai siapa pun, sehingga kami harus terus berperang.”

    Dari ‘bersatu’ menjadi ‘terpecah’

    Tak jauh dari sana, penata rambut Effi Hazuot menonton saluran TV sayap kanan Israel, Channel 14, di salonnya.

    Saluran nasionalis yang bahkan mengkritik beberapa jenderal IDF karena dianggap tidak cukup sayap kanan ini jarang menampilkan dampak kemanusiaan perang di Gaza.

    Ini adalah salah satu sumber berita paling banyak ditonton di Israel.

    “Di awal perang, publik Israel sangat bersatu,” kata Effi.

    “Tetapi saat perang terus berlanjut, bulan demi bulan, sekarang sudah dua tahun, ada perpecahan antara kubu kanan dan kiri.”

    “Dan sekarang warga berhaluan sayap kiri di Israel, menjadi sangat ekstrem. Mereka ingin perang ini segera diakhiri dengan cara apa pun. Mereka bahkan tidak peduli jika kita tidak memenangkan perang, dan itu sayangnya sangat menyedihkan.”

    Ia bersikeras perang harus terus dilanjutkan sampai Israel “menghancurkan Hamas”.

    “Orang-orang yang tinggal boleh dibiarkan, tidak masalah,” ujarnya.

    “Tetapi organisasi ini [Hamas], mereka adalah pembunuh.”

    Effi mengatakan kritik internasional terhadap Israel hanyalah manuver politik untuk mengalihkan perhatian dari masalah domestik di sejumlah negara, seperti imigrasi.

    Effi juga membantah peringatan dari kebanyakan organisasi kemanusiaan soal kelaparan di Gaza.

    “Dunia mengatakan orang-orang di Gaza kelaparan. Tidak ada yang kelaparan di sana,” katanya.

    “Saya punya teman, dia di Gaza. Dia seorang komandan [militer] dan saya menanyakannya soal itu.”

    “Dia bilang itu banyak kebohongan.”

    Pernyataan itu bertentangan dengan peringatan PBB dan berbagai lembaga lain mengenai krisis kelaparan yang parah di Gaza.

    ‘Perpecahan bangsa’

    Di pasar yang tak jauh dari sana, Miri Ben Amram membela IDF dan pemimpin negaranya.

    “Kami punya tentara terbaik di dunia, dan seorang perdana menteri, diplomat terbaik di dunia,” katanya.

    “Netanyahu nomor satu.”

    “Kami ingin damai, saya ingin damai, hanya damai.”

    Meski begitu, Miri yang kehilangan putranya yang bertugas bersama militer Israel beberapa tahun lalu, mengakui perang telah memecah belah negara.

    “Ada perpecahan bangsa … kami ingin bersatu tetapi mustahil,” katanya.

    “Partai-partai politik, politik, telah menghancurkan segalanya, dan dunia tidak memandang kami dengan baik.”

    “Tapi lihat apa yang mereka lakukan kepada kami [pada 7 Oktober]. Itu pembantaian. Itu holocaust kedua. Ini tidak mudah.”

    “[Dunia] menekankan jika kami melakukan genosida, dan itu tidak benar. Mereka yang membunuh kami. Mereka meneror kami.”

    Pandangan itu dipegang banyak warga Israel yang merasa dunia telah berpaling dari penderitaan mereka setelah dua tahun perang.

    Namun, meraih kembali dukungan internasional adalah hal yang, menurut orang-orang seperti Yonatan Shamriz, sulit dicapai.

    “Dengan kepemimpinan saat ini, saya pikir itu mustahil,” katanya.

    “Saya pikir satu-satunya orang yang benar-benar melakukan advokasi di media internasional adalah warga sipil seperti saya.”

    “Kebanyakan negara yang dulu menjadi sekutu Israel kini mengakui negara Palestina, sehingga mereka bisa membantai kami dan mereka mendapatkan hadiah berupa negara Palestina.”

    “Sangat, sangat membuat frustrasi bahwa kepemimpinan Israel tidak mendengarkan rakyat Israel dan tidak melakukan apa pun untuk memperjuangkan kepentingan Israel di dunia.”

  • Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Dua Tahun Perang Gaza, Apa yang Telah Dicapai Israel?

    Jakarta

    Serangan 7 Oktober 2023 membuat Israel lengah. Pada hari itu, pejuang Hamas dan milisi bersenjata lainnya berhasil menembus perbatasan yang dijaga ketat di Gaza dan melancarkan serangan ke wilayah Israel, menewaskan hampir 1.200 orang serta menyandera 251 lainnya. Pengalaman ini meninggalkan trauma mendalam yang masih dirasakan hingga kini di Israel.

    Pada 8 Oktober 2023, pemerintah Israel melancarkan serangan ke Gaza. Dua tahun kemudian, penderitaan besar menimpa warga Palestina di wilayah itu. Operasi militer Pasukan Pertahanan Israel (IDF) telah menewaskan sedikitnya 66.000 orang, sekitar 80% di antaranya warga sipil, dan melukai sekitar 169.000 orang, menurut estimasi konservatif dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas. Lembaga internasional memperkirakan jumlah korban sebenarnya jauh lebih tinggi.

    Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) melaporkan bahwa 90% rumah di Gaza telah hancur atau rusak, membuat 1,9 juta dari 2,1 juta penduduknya kehilangan tempat tinggal. Karena “blokade total” yang diberlakukan Israel, sebagian besar wilayah Gaza mengalami kelaparan parah yang telah menewaskan sedikitnya 450 orang, termasuk 150 anak-anak.

    Tujuan perang Israel belum tercapai

    Setelah serangan 7 Oktober, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menetapkan dua tujuan utama perang di Gaza: membebaskan semua sandera dan menghancurkan Hamas. Dua tahun berlalu, keduanya belum tercapai. Dari 251 sandera yang dibawa ke Gaza, 148 telah dikembalikan hidup-hidup, delapan diselamatkan oleh IDF dan 140 dibebaskan Hamas melalui pertukaran tahanan. Jenazah beberapa sandera yang tewas juga telah dikembalikan.

    Menurut pemerintah Israel, 48 sandera masih ditahan, dan hanya 20 yang diyakini masih hidup.

    Hamas, yang oleh Israel, Uni Eropa, dan AS dikategorikan sebagai organisasi teroris, masih bertahan di Gaza meski banyak anggotanya tewas. Beberapa pemimpinnya, termasuk Ismail Haniyeh dan Yahya Sinwar, telah terbunuh. Namun, organisasi itu tetap beroperasi.

    Pada akhir September 2025, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana perdamaian 20 poin untuk Gaza yang menyerukan pembebasan seluruh sandera dan perlucutan senjata Hamas, dengan amnesti bagi para pejuang yang bersedia hidup damai dengan Israel, yang berarti akhir dari Hamas sebagai milisi bersenjata.

    Musuh-musuh Israel melemah

    Israel melancarkan serangan terhadap semua kelompok tersebut, termasuk membunuh pemimpin Hezbollah Hassan Nasrallah lewat ledakan di Beirut dan puluhan pejuang Hezbollah melalui serangan alat elektronik yang diledakkan pada September 2024. Serangan udara di Lebanon selatan semakin melemahkan Hezbollah.

    Angkatan udara Israel juga menyerang Iran selama beberapa hari, merusak fasilitas nuklir, dan membunuh Ismail Haniyeh di pusat kota Teheran, yang mempermalukan rezim Iran.

    Runtuhnya pemerintahan Bashar Assad di Suriah oleh pemberontak pada akhir 2024 juga membuat Iran kehilangan sekutu penting. Akibatnya, lawan-lawan Israel di Iran, Suriah, Lebanon, dan Gaza mengalami kemunduran besar, memperkuat dominasi militer Israel di kawasan.

    Israel dituduh lakukan genosida

    Cara Israel menjalankan perangnya di Gaza memicu kecaman internasional. Selama dua tahun, Israel mengebom rumah sakit, kamp pengungsi, dan sekolah, menewaskan ribuan perempuan dan anak-anak, serta banyak jurnalis, petugas penyelamat, dan pekerja kemanusiaan. Israel juga berulang kali menghalangi bantuan kemanusiaan dengan alasan untuk mencegahnya jatuh ke tangan Hamas.

    Tindakan ini memunculkan tuduhan bahwa Israel melakukan genosida terhadap rakyat Palestina. Komisi HAM PBB, Asosiasi Internasional Cendekia Genosida, dan organisasi HAM Israel seperti B’Tselem serta Physicians for Human Rights menuduh hal serupa. Pemerintah Netanyahu membantahnya, menyatakan bahwa tidak ada bukti dan Israel berhak membela diri.

    Pada Desember 2023, Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ) atas pelanggaran Konvensi Genosida PBB. Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Menteri Pertahanannya, Yoav Gallant, atas tuduhan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Israel menolak tuduhan itu, dan Hungaria bahkan menarik diri dari ICC.

    Pengakuan negara Palestina

    Kondisi kemanusiaan di Gaza mendorong dukungan bagi pengakuan negara Palestina. Sebelum 7 Oktober 2023, sekitar 140 negara telah melakukannya. Dua tahun kemudian, 20 negara tambahan, termasuk Prancis, Inggris, Spanyol, Australia, dan Kanada, juga resmi mengakui Palestina.

    Langkah ini menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, yakni kemerdekaan Palestina berdampingan dengan Israel. Netanyahu menilai pengakuan itu akan “menghadiahi Hamas,” namun negara-negara tersebut menegaskan bahwa Hamas tidak akan memiliki peran dalam negara Palestina yang merdeka.

    Sejumlah negara juga menangguhkan ekspor senjata ke Israel dan memberlakukan sanksi, seperti yang dilakukan Kolombia, Afrika Selatan, dan Malaysia. Uni Eropa sedang membahas sanksi ekonomi, termasuk pembekuan perjanjian asosiasi UE-Israel, pembatasan perjalanan bebas visa bagi warga Israel, dan pelarangan impor dari pemukiman di Tepi Barat. Namun, Jerman dan beberapa negara anggota UE lainnya menolak langkah tersebut.

    Perpecahan di dalam Israel

    Di dalam negeri, masyarakat Israel terbelah soal apakah perang di Gaza harus diteruskan. Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich dari kelompok sayap kanan mendukung operasi militer berlanjut, bahkan menyarankan aneksasi penuh Tepi Barat, yang berarti mengakhiri peluang solusi dua negara.

    Namun, kelompok keluarga sandera, veteran militer, dan warga Arab Israel telah berbulan-bulan menggelar demonstrasi, menuntut gencatan senjata dan solusi negosiasi. Mereka merasa diabaikan oleh pemerintah.

    Menurut survei yang dirilis Juli 2025, lebih dari 60% warga Israel mendukung gencatan senjata.

    Jika rencana perdamaian Trump untuk Gaza diterapkan, senjata mungkin akan terdiam untuk sementara, namun luka yang ditinggalkan perang ini mungkin memerlukan waktu puluhan tahun untuk sembuh.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Jerman

    Diadaptasi oleh Rahka Susanto

    Editor: Yuniman Farid

    (ita/ita)

  • Greta Thunberg Disiksa Otoritas Israel, Diseret-Dipaksa Cium Bendera

    Greta Thunberg Disiksa Otoritas Israel, Diseret-Dipaksa Cium Bendera

    Jakarta, CNBC Indonesia – Aktivis iklim Greta Thunberg dilaporkan telah dianiaya oleh pasukan Israel selama dalam tahanan. Tuduhan ini muncul setelah pasukan Israel mencegat flotilla bantuan Gaza dan menahan sekitar 450 orang yang berada di dalamnya, termasuk Thunberg.

    Mengutip Al Jazeera, Minggu (5/10/2025), para aktivis yang turut serta dalam “Gaza Sumud Flotilla” telah tiba di negara asal mereka. Mereka pun mulai menyuarakan perlakuan buruk yang mereka alami dan saksikan.

    Mereka menggambarkan perlakuan yang tidak manusiawi setelah kapal mereka dihentikan oleh angkatan laut Israel. Jurnalis Turki, Ersin Celik, yang juga merupakan peserta flotilla, memberikan kesaksian yang mengejutkan kepada media lokal. Ia mengklaim telah menyaksikan langsung pasukan Israel menyiksa Greta Thunberg.

    “Aktivis cilik itu diseret di tanah dan dipaksa untuk mencium bendera Israel,” tuturnya.

    Kesaksian Celik diperkuat oleh pernyataan dari aktivis lainnya. Aktivis dari Amerika, Windfield Beaver, memberikan laporan serupa setibanya mereka di Bandara Istanbul. Ia menuduh bahwa Thunberg didorong dan diarak dengan bendera Israel, sebuah tindakan yang mereka anggap sebagai penghinaan dan propaganda. 

    “Thunberg diperlakukan dengan sangat buruk dan digunakan sebagai alat propaganda, terutama saat Menteri Keamanan Nasional sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, memasuki ruangan tempat Thunberg ditahan,” ujarnya.

    Selain pada Thunberg, perlakuan tak mengenakan juga dialami para aktivis lainnya yang ditahan. Aktivis Malaysia, Hazwani Helmi mengatakan bahwa para tahanan tidak diberi makanan, air bersih, dan obat-obatan yang mereka butuhkan. 

    “Itu adalah bencana. Mereka memperlakukan kami seperti binatang,” ujar Helmi. 

    Presenter TV Turki, Ikbal Gurpinar, memberikan gambaran yang lebih mengerikan. Ia bahkan menuding para otoritas Israel memperlakukan mereka seperti anjing.

    “Mereka membiarkan kami kelaparan selama tiga hari,” katanya, seraya menambahkan, “Mereka tidak memberi kami air; kami harus minum dari toilet.”

    Menanggapi tuduhan yang beredar, Kementerian Luar Negeri Israel merilis pernyataan melalui media sosial. Dalam postingan tersebut, mereka menyatakan bahwa “beberapa kapal” dari flotilla telah “dihentikan dengan aman dan penumpangnya sedang dipindahkan ke pelabuhan Israel.”

    Mereka secara khusus menyebut bahwa aktivis Swedia, Greta Thunberg, “dan teman-temannya dalam keadaan aman dan sehat.” Pemerintah Israel juga membagikan sebuah video yang menunjukkan Thunberg untuk mendukung klaim mereka, namun para aktivis menuduh bahwa video tersebut adalah bagian dari propaganda dan tidak mencerminkan kenyataan yang mereka alami.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Krisis Gaza Makin Parah, Uni Eropa Siapkan Sanksi Baru untuk Israel

    Brussels

    Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Kaja Kallas mengajukan proposal untuk membatasi perdagangan dengan Israel, serta memberlakukan pembatasan terhadap para menteri Israel dari sayap kanan, seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir hingga Menteri Keuangan Bezalel Smotrich.

    “Saya jelaskan, tujuannya bukan untuk menghukum Israel. Tujuannya untuk memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza,” kata Kaja Kallas. “Perang perlu diakhiri. Penderitaan harus dihentikan dan semua sandera harus dibebaskan.”

    Hanya saja dari 27 negara anggota blok tersebut, masih belum dapat dipastikan akan ada suara mayoritas yang mendukung usulan Kaja Kallas. UE sendiri telah dikritik karena gagal menekan Israel untuk mengakhiri perang.

    Sebelumnya, juru bicara pemerintah Jerman mengatakan bahwa Berlin sudah mengetahui dukungan itu, hanya saja “belum menentukan keputusan akhir” terkait langkah-langkah yang diusulkan.

    Kemudian, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen juga sempat mengumumkan bahwa UE akan menghentikan bantuan dana kepada Israel. Serta, pihak eksekutif organisasi itu sedang mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut.

    Pada Selasa (16/09), Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Gideon Saar mengatakan bahwa penangguhan manfaat perdagangan tertentu yang diberlakukan UE “tidak proporsional” dan “tidak pernah terjadi sebelumnya.”

    Di tengah diskusi soal hal tersebut, Israel terus mengirim pasukannya semakin jauh ke Kota Gaza.

    Militer Israel makin bergerak ke dalam Kota Gaza

    Militer Israel mengatakan bahwa unit angkatan udara dan artileri telah menyerang Gaza lebih dari 150 kali, di saat pasukan darat bersiap untuk bergerak masuk.

    Pada Rabu (17/09), pasukan dan tank Israel bergerak lebih dalam ke Kota Gaza. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas melaporkan bahwa jumlah kematian warga Palestina lebih dari 65.000 jiwa.

    Serangan-serangan tersebut telah memutus layanan telepon dan internet, yang mengakibatkan warga Palestina kesulitan untuk memanggil ambulans selama serangan militer terbaru tersebut.

    Belakangan, Israel membuka wilayah lain di selatan Kota Gaza selama dua hari sejak Rabu (17/09) agar penduduk dapat mengungsi.

    UNICEF: Pengungsi Gaza mengalami trauma

    Ketika Israel melanjutkan aktivitasnya di Kota Gaza, diperkirakan sedikitnya 400.000 orang atau 40% dari penduduk Kota Gaza telah melarikan diri sejak pengumuman serangan militer Tel Aviv pada 10 Agustus 2025.

    Kantor media di Gaza mengatakan bahwa 190.000 orang telah menuju ke selatan dan 350.000 lainnya pindah ke area tengah dan barat kota. Sementara, Israel masih memperkirakan sekitar 100.000 warga sipil tetap berada di Gaza.

    Kepada DW, jubir UNICEF di Gaza Tess Ingram mengatakan bahwa warga Palestina mengaku takut tidak aman, entah ketika menetap di Gaza atau menyelamatkan diri.

    Zona kemanusiaan Al Mawasi, kata Tess Ingram, bukanlah tempat yang aman karena tidak ada layanan dan pasokan penting untuk bertahan hidup. Selain itu, dalam dua minggu terakhir, kawasan ini dilaporkan menerima serangan yang menewaskan delapan orang anak saat korban berupaya mengakses air minum.

    “Para keluarga kelelahan, mereka trauma. Ada anak-anak yang berjalan enam jam di atas puing-puing dan aspal yang hancur tanpa alas kaki dan kaki mereka berdarah. Mereka berjalan menuju ketidakpastian,” papar Ingram.

    Terlepas dari kehadiran UNICEF di Kota Gaza dan di selatan wilayah tersebut, tegas Ingram, bantuan kemanusiaan saat ini tidak memenuhi kebutuhan warga, “belum lagi jika ratusan ribu orang mendatangi area ini.”

    “Kami sangat membutuhkan, sekarang lebih dari sebelumnya, supaya semua penyeberangan ke Jalur Gaza dibuka, agar Jalur Gaza diberikan bantuan yang telah kami serukan selama berbulan-bulan,” desaknya.

    Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Laporan PBB soal genosida Israel

    Komisi Penyelidikan Internasional Independen PBB mengatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Jalur Gaza sejak 2023.

    Penyidik mengatakan bahwa empat dari lima tindakan genosida yang tercantum dalam Konvensi Genosida PBB 1948 telah dilakukan di Gaza.

    Mereka menyebut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Presiden Isaac Herzog dan Mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant sebagai terduga perencana genosida.

    Laporan tersebut sejalan dengan kesimpulan yang disampaikan oleh berbagai asosiasi terkemuka dunia para sarjana genosida, hingga sejumlah kelompok hak asasi internasional.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi dan Adelia Dinda Sani

    Editor: Tezar Aditya dan Hani Anggraini

    (nvc/nvc)