Tag: Irwandi Yusuf

  • JK: Tujuan dari perdamaian adalah untuk kesejahteraan rakyat

    JK: Tujuan dari perdamaian adalah untuk kesejahteraan rakyat

    Banda Aceh (ANTARA) – Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI M Jusuf Kalla (JK) menyatakan tujuan akhir dari perdamaian di Provinsi Aceh adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mempercepat pembangunan daerah.

    “Proses perdamaian Aceh tidak mudah dan telah melalui perjalanan panjang. Ada tiga kali upaya perundingan sebelum akhirnya berhasil. Tahun 2002, inisiatif perdamaian mulai dijalankan dan Tsunami tahun 2004 mempercepat proses tersebut,” kata Jusuf Kalla secara daring dalam peringatan dua dekade perdamaian Aceh di UIN Ar Raniry, Darussalam, Banda Aceh, Kamis.

    Dalam pidato perdamaian dan penyerahan penghargaan kepada tokoh terlibat perdamaian Aceh oleh UIN Ar Raniry yang disampaikan secara daring tersebut, ia menjelaskan ada dua hal yang menjadi dorongan utama dalam rekonstruksi dan jaminan kehidupan masyarakat yakni tercapainya perdamaian.

    Dalam kesempatan tersebut JK menyampaikan permintaan maaf tidak bisa hadir secara fisik karena pesawat yang ditumpanginya menuju Aceh harus kembali usai lepas landas sepuluh menit karena permasalahan mesin akibat burung.

    Menurut dia tanpa terciptanya perdamaian di Provinsi Aceh maka akan sulit untuk mewujudkan pembangunan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca luluh lantak akibat musibah besar pada penghujung tahun 2004 itu.

    Ia menuturkan konflik yang mendera Aceh kala itu menimbulkan korban besar, baik dari masyarakat maupun aparat. Pada masa itu, siang hari operasi TNI, malam hari operasi GAM. Di mana masyarakat tidak menikmati kebebasan secara utuh.

    Dalam pidato perdamaian itu, pihaknya membangun komunikasi dengan semua pihak, mempelajari semua akar permasalahan guna menyelesaikan permasalahan di Aceh serta melibatkan tim yang baik, dirinya mengutuskan tim untuk perundingan dengan target selesai dalam enam bulan pasca musibah besar melanda Aceh, karena rekonstruksi pasca tsunami akan dimulai pada bulan ke-6.

    Menurut dia tanpa perdamaian, pembangunan tidak mungkin berjalan. Masyarakat di daerah itu sudah lelah, malam tidak bisa tidur, hidup dalam ketakutan.

    “Kita sangat bersyukur akhirnya perdamaian dapat tercapai melalui dialog. Dialog adalah bentuk kehormatan bagi semua pihak. Semua merasa dihormati dan dihargai. Alhamdulillah Aceh kini masyarakat bisa menikmati kopi hingga larut malam, di mana dulu toko-toko lebih cepat tutup,” katanya.

    Ia mengatakan dengan perdamaian tersebut rehabilitasi dan rekonstruksi dapat dilaksanakan dengan maksimal sebanyak 50 negara di dunia membantu pemulihan kembali Aceh termasuk dari dana Pemerintah Pusat.

    Karena itu ia mengajak seluruh komponen untuk mengisi perdamaian Aceh yang kini telah memasuki dua dekade dengan berbagai upaya-upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

    “Kita harus bergerak cepat, masyarakat Aceh adalah orang yang memiliki semangat tinggi untuk bangkit dan maju. Mari kita terus melihat ke depan dan jangan terlena dengan masa lalu,” katanya.

    Menurut dia Aceh harus terus mengoptimalkan berbagai potensi ekonomi yang ada guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan yakni sektor perkebunan, perikanan, perdagangan dan industri agar seimbang dengan daerah lainnya.

    “Semangat Aceh sangat luar biasa sejak ratusan tahun untuk pembangunan. Esensi penting dari perdamaian adalah meningkatkan kesejahteraan dan dinikmati langsung oleh masyarakat,” katanya.

    Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh, Prof Mujiburrahman menyatakan pihaknya memberikan penghargaan tokoh perdamaian kepada M Jusuf Kalla dan tokoh-tokoh terlibat dalam perdamaian Aceh.

    “Penghargaan yang kita berikan kepada para tokoh perdamaian Aceh sebagai wujud apresiasi atas dedikasi mereka dalam menjaga dan merawat perdamaian,” katanya.

    Ia mengatakan Jusuf Kalla merupakan salah satu tokoh kunci yang memiliki peran krusial dan strategis dalam mewujudkan perundingan dan perdamaian di Aceh.

    Adapun penerima penghargaan perdamaian dari UIN Ar Raniry Banda Aceh yakni Wakil Presiden Republik Indonesia ke-10 dan ke-12, Dr. (H.C.) Drs. H. M. Jusuf Kalla, Malik Mahmud Al-Haythar (Wali Nanggroe Aceh dan Ketua Juru Runding GAM di Helsinki, Gubernur Aceh Muzakir Manaf, Prof. Hamid Awaluddin, (Ketua Juru Runding RI di Helsinki & Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI) dan Mantan Duta Besar Indonesia untuk Rusia (2008);

    Kemudian Mr. Juha Christensen (Negosiator dari Finlandia yang memainkan peran penting dalam perdamaian Aceh), Sofyan A Djalil (Anggota Tim Perunding RI di Helsinki dan Tokoh Aceh Jakarta), Nur Djuli (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki), Zaini Abdullah (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki), Bakhtiar Abdullah (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki) dan Nurdin Abdurrahman (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki)

    Selanjutnya Irwandi Yusuf (Kepala Perwakilan GAM untuk Aceh Monitoring Mission (AMM) dan Mantan Gubernur Aceh), Zakaria Saman, Shadia Marhaban (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki), Teuku Hadi (Anggota Tim Perunding GAM di Helsinki), Tengku Nasruddin Bin Ahmad, Perunding GAM CoHA;, Teuku Kamaruzzaman, Perunding GAM CoHA, Amni Ahmad Marzuki, Perunding GAM CoHA, Cut Farah Meutia (Anggota Tim Perunding GAM di Tokyo) dan Erwanto (Anggota Tim Perunding GAM di Tokyo).

    Kemudian almarhum Tengku Muhammad Usman Lampoh Awe, almarhum Tengku Sofyan Ibrahim Tiba, almarhum Cut Nur Asikin, Tokoh Perempuan Aceh Pejuang Referendum Aceh, Alm. Jafar Siddik Hamzah dan Munawar Liza Zainal.

    Pewarta: M Ifdhal
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Mendagri Ungkap Alasan Sempat Masukkan Empat Pulau ke Wilayah Sumut

    Mendagri Ungkap Alasan Sempat Masukkan Empat Pulau ke Wilayah Sumut

    GELORA.CO – Polemik administratif atas empat pulau yang selama ini menjadi sumber ketegangan antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara akhirnya menemui titik akhir.

    Presiden Prabowo Subianto, dalam rapat terbatas di Istana Merdeka pada Selasa, 17 Juni 2025, secara resmi menetapkan bahwa Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek merupakan bagian dari wilayah Provinsi Aceh.

    Persoalan ini mencuat usai terbitnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau.

    Dalam keputusan tersebut, empat pulau itu tercatat sebagai bagian dari wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara, yang langsung memicu gelombang protes dari berbagai kalangan di Aceh. Hal ini kemudian memicu protes dari sejumlah pihak di Aceh, yang mengklaim pulau-pulau tersebut sebagai bagian sah dari wilayahnya.

    Menanggapi polemik tersebut, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian memberikan penjelasan menyeluruh. Ia menegaskan bahwa keputusan semula yang memasukkan keempat pulau ke wilayah Sumatera Utara merujuk pada hasil rapat Tim Pembakuan Nama Rupa Bumi pada tahun 2017.

    Tim ini terdiri dari sejumlah lembaga, termasuk Kemendagri, Badan Informasi Geospasial (BIG), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.

    “Itu pernah melakukan rapat pada tahun 2017, udah lama sekali ya, yang intinya berdasarkan data-data masukan yang ada, sehingga akhirnya tim ini banyak yang menganggap empat wilayah ini masuk cakupan Sumatera Utara,” ungkap Tito dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Selasa, 17 Juni 2025.

    Menurut Tito, dasar utama pengambilan keputusan saat itu adalah hasil verifikasi wilayah yang dilakukan pada tahun 2008. Hasil verifikasi tersebut menunjukkan bahwa keempat pulau tidak masuk dalam cakupan administrasi Provinsi Aceh.

    “Dan di tahun 2008, saya ulangi, di tahun 2008 itu empat pulau ini tidak masuk dalam cakupan wilayah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, tidak dimasukkan. Ada namanya tapi koordinatnya ada, di gugusan Pulau Banyak,” kata dia.

    Lebih lanjut, Tito mengungkapkan bahwa pada tahun 2008, Gubernur Aceh saat itu, Irwandi Yusuf, tidak memasukkan empat pulau tersebut dalam peta wilayah Aceh. 

    Sebaliknya, Gubernur Sumut saat itu, Syamsul Arifin, justru memasukkan keempat pulau ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah.

    “Di tahun 2008 dan di tahun 2009 itu Gubernur Aceh tidak memasukkan empat pulau yang sekarang kita permasalahkan itu tidak masuk dalam Provinsi Aceh. Sementara surat dari Gubernur Sumut itu memasukkan ke dalam, empat ini masuk dalam Tapanuli Tengah. Ini suratnya ada, ini 2008 dan 2009,” papar Tito.

    Kendati demikian, pihak Pemerintah Provinsi Aceh tetap menyampaikan keberatan atas keputusan tersebut. Mereka meminta agar keempat pulau tersebut dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil.

    Namun permintaan tersebut tidak disertai dengan koordinat yang akurat, bahkan disebut Tito justru menggunakan koordinat yang salah.

    “Tapi tanpa koordinat, koordinatnya salah. Maka atas dasar itu 2017 itu dimasukkan ke Sumut,” jelasnya.

    Menurut Tito, pada tahun 2022, baik Pemprov Aceh maupun Sumut kembali menyampaikan keberatan. Keduanya menyodorkan dokumen kesepakatan batas wilayah yang pernah ditandatangani pada tahun 1992. Dokumen tersebut menyebutkan bahwa keempat pulau memang berada dalam cakupan Aceh.

    Namun, saat itu dokumen yang diterima Kemendagri hanya berupa salinan fotokopi, bukan naskah asli. Hal ini menjadi kendala tersendiri karena dokumen fotokopi dianggap lemah dari sisi hukum jika nantinya disengketakan.

    “Dengan adanya peta ini tentu kita mempertimbangkan kemungkinan empat pulau ini masuk ke Aceh, namun saat itu dokumennya hanya dokumen fotokopi. Kita tahu dalam sistem pembuktian, dokumen fotokopi mudah sekali nanti kalau misalnya ada masalah hukum untuk dipatahkan,” ujarnya.

    Setelah melalui proses penelusuran yang panjang, Tito menyampaikan bahwa dokumen asli kesepakatan dua gubernur pada tahun 1992 akhirnya berhasil ditemukan pada Senin, 16 Juni 2025. Penemuan tersebut dilakukan di Pusat Arsip Nasional di Pondok Kelapa, Jakarta Timur.

    “Alhamdulillah, kemarin dipimpin langsung oleh Pak Tomsi, didampingi Pak Safrizal, itu kita punya pusat arsip di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Itu ada tiga gedung dibongkar-bongkar, dokumen asli yang kesepakatan dua gubernur tersebut yang disaksikan oleh pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini,” pungkas Tito.

  • Bupati Aceh Besar Sepakat dengan Gubernur Muzakir: Hapus Barcode BBM, Menyusahkan Masyarakat
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        13 Februari 2025

    Bupati Aceh Besar Sepakat dengan Gubernur Muzakir: Hapus Barcode BBM, Menyusahkan Masyarakat Regional 13 Februari 2025

    Bupati Aceh Besar Sepakat dengan Gubernur Muzakir: Hapus Barcode BBM, Menyusahkan Masyarakat
    Tim Redaksi
    ACEH BESAR, KOMPAS.com

    Gubernur Aceh
    , Muzakir Manaf (Mualem), secara resmi melantik Bupati dan Wali Bupati Kabupaten Aceh Selatan, Muharram Idris dan Syukri A Jalil.
    Pelantikan tersebut berlangsung di
    Jantho Sport Center
    pada Kamis (13/2/2025).
    Acara pelantikan dihadiri oleh Plt Sekretaris Daerah Aceh Muhammad Diwarsyah, Gubernur Aceh periode 2007-2012 dan 2017-2020 Irwandi Yusuf, serta sejumlah Kepala SKPA, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota Banda Aceh.
    Selain itu, hadir pula perwakilan SKPD Aceh Besar, Alim Ulama, dan masyarakat setempat.
    Dalam sambutannya, Mualem menekankan pentingnya amanah yang diberikan kepada para pemimpin baru.
    “Amanah ini adalah bentuk kepercayaan masyarakat yang harus dijaga dengan baik. Semoga saudara sekalian dapat menjadi pemimpin yang amanah, bijaksana, dan bertanggung jawab dalam mengemban tugas selama lima tahun ke depan,” katanya.
    Mualem juga mengingatkan bahwa tugas yang diemban tidaklah ringan.
    “Kepercayaan yang diberikan masyarakat harus dijawab dengan kerja nyata dan program pembangunan untuk kepentingan rakyat,” ujarnya.
    Muharram dan Syukri maju dari jalur independen, dan kini harus berhadapan dengan partai politik di parlemen, yakni anggota DPR Kabupaten Aceh Besar.

    Gubernur juga menegaskan dukungannya terhadap rencana pendirian kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) di Aceh Besar.
    “Kampus IPDN harus ada di Aceh Besar, ini tekad saya. Saya sudah bertemu dengan kementerian terkait, termasuk kepada Menteri Dalam Negeri. Pemerintah Aceh siap mendukung, apalagi tanah sudah kita sediakan. Insya Allah, kita akan terus perjuangkan bersama,” ucap Mualem.
    Bupati Aceh Besar, Muharram, dalam sambutannya menegaskan komitmennya untuk berkoalisi dengan seluruh anggota DPRK guna mempercepat pembangunan di daerah tersebut.
    “Kami siap berkoalisi dengan 40 anggota DPRK Aceh Besar. Di Aceh Besar tidak ada oposisi, semua akan berkoalisi untuk mengejar segala ketertinggalan dan menyejahterakan masyarakat,” ujarnya.
    Muharram juga menyatakan kesepakatannya dengan Gubernur terkait penghapusan sistem barcode saat pengisian BBM di SPBU, yang dinilai menyusahkan masyarakat.
    “Kami juga sepakat dengan Pak Gubernur (Muzakir Manaf) terkait penghapusan sistem barcode saat pengisian BBM di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum, karena hal tersebut sangat menyusahkan masyarakat. Kami juga akan memantau pemasaran gas 3 kilogram dan memastikan penyalurannya tepat sasaran,” ucap Muharram.
    Lebih lanjut, Syeh Muharram bertekad untuk mewujudkan pendirian kampus IPDN di Aceh Besar, dengan Pemerintah Aceh Besar telah menghibahkan tanah seluas lebih dari 40 hektar.
    “Kami bertekad mendirikan kampus IPDN di Aceh Besar. Karena itu, kami memohon dukungan Mualem selaku Kepala Pemerintahan Aceh untuk mewujudkan cita-cita ini,” kata Syeh Muharram.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.