Profil Novel Baswedan, Eks Penyidik KPK yang Jadi Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara
Editor
KOMPAS.com
–
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo
menunjuk
Novel Baswedan
sebagai
Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara
.
Nama Novel Baswedan sudah tak asing lagi di publik.
Pria kelahiran Semarang pada 22 Juni 1977 itu merupakan lulusan akademi kepolisian (akpol) tahun 1998.
Mabes Polri kemudian menugaskan Novel untuk bergabung dengan
KPK
pada tahun 2007.
Setelah lima tahun menjadi anggota Polri yang bertugas sebagai penyidik di KPK, Novel memutuskan untuk pensiun dini dari Korps Bhayangkara.
Ia mundur dari institusi kepolisian untuk fokus bekerja di KPK.
Dilansir dari Tribunnews, Novel Baswedan mengungkapkan alasan berhenti menjadi anggota polisi dan tetap memilih bekerja di KPK saat diwawancara Pandji Pragiwaksono di channel YouTube Pandji Pragiwaksono, Senin (25/3/2019).
Novel menyebut, setelah diterima menjadi penyidik KPK, ada kendala saat menduduki dua jabatan secara bersamaan di Polri dan KPK.
Ia menjadi tidak bisa maksimal dalam melakukan penyidikan terhadap suatu kasus karena rawan diintervensi atasannya di Polri.
Untuk itu, Novel memutuskan berhenti menjadi anggota Polri dan memilih melanjutkan di KPK.
“Ternyata problematikanya itu ketika saya masih menjadi anggota Polri, saya dengan sangat mudah terintervensi dengan atasan saya,” ujar Novel.
“Ketika itu yang terjadi, pada saat saya melakukan penyidikan perkara terkait dengan petinggi Polri, maka saya memilih jalan terbaik untuk memilih salah satu dan saya mengajukan pensiun di Polri dan saya kira itu bentuk profesionalisme,” tutur dia.
Novel pun mengaku bisa bekerja optimal tanpa intervensi setelah memilih menjadi pegawai KPK.
“Saya ingin sekarang berbuat semaksimal mungkin untuk kepentingan bangsa dan negara dan saya juga enggak tahu berapa lama saya mati,” kata dia.
Novel tercatat menangani beberapa kasus mega korupsi, bahkan yang terjadi di tubuh kepolisian, salah satunya pengungkapan kasus korupsi simulator SIM yang melibatkan sejumlah pejabat kepolisian pada tahun 2012.
Mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo dan mantan Wakil Kepala Korlantas Polri Brigjen (Pol) Didik Purnomo adalah dua nama pejabat yang tersandung kasus tersebut.
Novel juga ikut serta dalam penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan pada tahun 2015.
Budi Gunawan ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK atas dugaan transaksi mencurigakan atau tak wajar. Saat itu, Budi Gunawan merupakan calon tunggal Kepala Kepolisian RI yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi.
Novel dikenal kritis dan tak ragu menyampaikan sikap meskipun kadang tak sejalan dengan pimpinan KPK.
Karir Novel di KPK terhenti setelah ia diberhentikan dari lembaga antirasuah.
Novel merupakan satu dari 75 pegawai yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN.
Kemudian, dari 75 pegawai itu, 24 orang dinyatakan masih dapat dibina dan diangkat menjadi ASN, sedangkan 51 sisanya dianggap punya rapor merah dan tidak bisa lagi mendapatkan pembinaan.
Dari 24 orang tersebut, hanya 18 orang yang bersedia mengikuti diklat bela negara untuk dapat menjadi ASN dan bertahan di KPK.
Dengan begitu, ada 56 pegawai yang akhirnya tak bisa berstatus ASN dan harus diberhentikan dari KPK. Novel menjadi salah satu dari 56 pegawai yang diberhentikan dengan hormat oleh KPK pada 30 September.
Nama Novel Baswedan menjadi sorotan setelah menjadi korban penyerangan oleh orang tak dikenal dengan air keras.
Dilansir dari Surya.co.id, kejadian itu terjadi pada subuh 11 April 2017.
Novel disiram dengan air keras oleh orang tak dikenal di dekat kediamannya di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Serangan tersebut terjadi di tengah upaya Novel menyelidiki kasus korupsi pengadaan KTP Elektronik yang melibatkan anggota DPR serta oknum pemerintah, dan telah menjerat Ketua DPR Setya Novanto.
Akibat serangan dengan air keras, keesokan harinya, Novel diterbangkan ke Singapura untuk menjalani operasi dan perawatan matanya, yang berakhir pada Februari 2018 ketika ia kembali ke Indonesia.
Serangan itu menyebabkan kebutaan permanen pada mata kirinya akibat air keras yang mengenai wajah.
Polri kemudian membentuk tim gabungan pencari fakta yang terdiri dari penyidik KPK, anggota kepolisian, Komnas HAM, serta akademisi pada Januari 2019 sebagai upaya penyelidikan serangan terhadap Novel.
Tim gabungan tersebut berjalan di bawah komando mantan Kapolri Tito Karnavian.
Setelah penyelidikan berjalan beberapa bulan tanpa perkembangan, Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada saat itu memberikan tenggat 1 bulan kepada Idham Azis untuk menyelesaikan kasus penyerangan Novel setelah pelantikannya sebagai Kapolri pada 1 November 2019.
Pada 26 Desember 2019, Polri menyatakan bahwa pelaku penyerangan Novel telah berhasil ditangkap.
Dua pelaku tersebut adalah Ronny Bugis dan Rahmat Kadir, dan merupakan anggota aktif kepolisian.
Novel menyatakan, bahwa kedua pelaku tersebut hanyalah orang suruhan, dan meminta kepolisian mengungkap dalang utama yang memerintahkan kedua pelaku.
(KOMPAS.COM/IRFAN KAMIL)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Idham Azis
-

Habib Rizieq Sindir Pemerintah: FPI Dibubarkan, Ormas Preman Masih Aman? – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kenapa FPI bisa dibubarkan, tapi ormas-ormas yang diduga meresahkan justru dibiarkan tetap eksis?
Pertanyaan itu dilontarkan Habib Rizieq Shihab dalam sebuah pernyataan tajam yang langsung menyentil pemerintah, baik di era Presiden ke-7 RI Joko Widodo maupun Prabowo Subianto yang kini memimpin.
Dalam video yang ramai diperbincangkan, tokoh agama itu menyindir keberanian pemerintah membubarkan Front Pembela Islam, namun terkesan “tak berdaya” terhadap ormas yang disebutnya sok jago dan jadi tukang peras.
Sindiran Tajam untuk Dua Rezim
Dalam tayangan YouTube Cerita Untungs pada Selasa (6/5/2025), Habib Rizieq menyoroti ketimpangan sikap pemerintah terhadap ormas.
Ia mempertanyakan mengapa pemerintah dengan tegas membubarkan FPI, namun membiarkan ormas-ormas lain yang justru disebutnya meresahkan masyarakat.
“Kalau pembinanya pejabat, bagaimana ceritanya?” kata Rizieq menyindir.
Ia menuding beberapa ormas dilindungi oleh pejabat sehingga aktivitasnya tetap berjalan meski melanggar hukum.
Menurut Rizieq, FPI adalah organisasi sosial, bukan preman. Ia pun menantang pemerintah bertindak adil.
“Pemerintah berani bubarin FPI. Kenapa organisasi preman enggak berani bubarin, ada apa?” ujarnya.
FPI Dibubarkan, Ormas Lain Aman?
Sebagai catatan, pemerintah secara resmi membubarkan FPI pada 30 Desember 2020 lewat Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat tinggi negara.
Menko Polhukam Mahfud MD menyebut FPI tidak memiliki legalitas formal dan kerap melanggar hukum.
Pejabat yang menandatangani SKB:
Mendagri Tito Karnavian
Menkumham Yasonna Laoly
Menkominfo Johnny G Plate
Kapolri Jenderal Idham Azis
Jaksa Agung ST Burhanuddin
Kepala BNPT Boy Rafli Amar
Isi penting SKB:
FPI dianggap bubar secara de jure.
Aktivitas FPI dianggap mengganggu ketertiban.
Simbol dan atribut FPI dilarang keras.
Aparat diminta menghentikan semua kegiatan FPI.
Masyarakat diminta melapor jika menemukan aktivitas FPI.
Aturan Pembubaran Ormas: Tidak Bisa Sembarangan
Pembubaran ormas bukan tanpa aturan. Negara memiliki landasan hukum kuat dalam mengatur dan membubarkan ormas, termasuk:
UU No. 17 Tahun 2013
Perppu No. 2 Tahun 2017
UU No. 16 Tahun 2017
Sanksi terhadap ormas bisa bersifat administratif dan pidana. Prosedur pembubaran dilakukan lewat tahapan:
Peringatan tertulis
Penghentian kegiatan
Pencabutan status hukum
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menegaskan bahwa pemerintah wajib bertindak jika ada ormas yang tidak sesuai Pancasila.
Namun, ucapan Habib Rizieq membuka kembali diskusi tentang keberpihakan pemerintah dalam menertibkan ormas. Apakah semua ormas diperlakukan setara? Ataukah ada yang kebal hukum karena kedekatan dengan kekuasaan?
-

Menolak Lupa Skandal Buku Merah Seret Tito Karnavian: KPK Terguncang!
GELORA.CO – Buku merah yang pernah menyeret nama mantan Kapolri Tito Karnavian yang saat ini menjadi Mentero Dalam Negeri (Mendagri) kembali jadi perbincangan hangat baik di media sosial (medsos) maulun di publik secara langsing.
Bahwa mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan saat itu pernah membuat pengakuan soal adanya skandal buku merah yang menyeret nama Tito Karnavian itu.
Dia sempat meminta waktu untuk dapat bertemu Tito Karnavian dengan maksud ingin memberikan klarifikasi dari beredarnya isu negatif tentang dirinya dan beberapa orang di KPK.
Isu adalah Novel dan koleganya di KPK tengah secara khusus menargetkan Tito Karnavian.
Akhirnya Novel Baswedan dan Tito Karnavian menyempatkan diri untuk bertemu satu sama lain di rumah dinas Tito Karnavian yang berlokasi di Jalan Pattimura, Jakarta Selatan pada Selasa, 4 April 2017.
Tidak sendirian, Novel Baswedan datang ke rumah Tito Karnavian dengan ditemabi oleh seorang teman kerjanya.
Juga ada beberapa perwira polisi yang mendampingi Tito Karnavian dalam pertemuan itu.
Diketahui salah satu perwira yang mendapinginya adalah Idham Azis (mantan Kapolri juga).
Kemudian Novel ingin meyakini Tito Karnavian bahwasannya KPK tidak ada target ke orang tertentu demi kepentingan tertentu pula.
KPK dinilai Novel Baswedan akan bekerja secara obyektif tanpa menyudutkan pihak mana pun yang memang terbukti tidak bersalah.
“Ada orang tertentu di oknum Polri yang mengembuskan isu bahwa seolah-olah saya sedang memimpin suatu satgas untuk menarget Pak Tito,” kata Novel Baswedan kala itu.
Akan tetapi Novel Baswedan sangat menyayangkan pada akhirnya isu Tito ditargetkan KPK sudah menyebar luas ke permukaan publik.
“Saya meyakini dia, Pak Tito mengira (kalau isu penargetan tersangka) itu benar,” tutur Novel.
Tito Karnavian membenarkan bahwa memang ada pertemuan dengan Novel Baswedan, hanya saja dia tidak menjelaskan secara rinci apa isi dari percakapan antara keduanya.
Misterinya adalah tepat malam hari setelah pertemuan itu ada peristiwa lain yang menimpa penyidik perempuan di KPK Surya Tarmiani yang dirampok saat hendak pulang ke kostnya di Setiabudi Timur, Jakarta Selatan. Posisinya Surya baru saja pulang dari Yogyakarta.
Dari Bandara Soekarno-Hatta Surya berangkat ke kosnya menumpangi taksi. Di perjalanan itu Surya membawa tas yang isinya adalah sejumlah bukti perkara suap Basuki Hariman, ia menaruhnya di bagasi taksi.
Kasus perampokan itu bermula saat taksi harus berhenti di dekat rumah kos Surya lantaran gang yang menjadi akses menuju ke tempat tinggal Surya tertutup portal.
Tak ingin memaksakan masuk, Surya akhirnya berjalan kaki ke kosannya. Dari situ ada seorang pria dengan pakaian serba gelap menyambar tas ranselnya.
Perampok itu lalu kabur dengan cepat dengan menaiki sepeda motor.
Satu minggu setelah peristiwa itu, tepatnya pada tanggal 11 April 2017, Novel mendapat serangan yang sangat vital.
Novel Baswedan saat itu posisinya baru saja pulang dari salat subuh di masjid dekat rumahnya, ia mendapat siraman oleh orang tak dikenal dengan menggunakan air keras.
Akibat dari serangan itu wajah dan mata kanan luka, bahkan mata kiri Novel juga nyaris buta.
Apa kata Mabes Polri kala itu?
Pada 2018 silam Markas Besar Polri menyatakan akan mempelajari soal isu nama Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian yang tercatat dalam buku merah itu.
Tito diduga menerima aliran dana. “Ya kalau dipelajari tentu kita akan pelajari, tapi kalau memang itu hoaks ya nanti kita buang, gitu kan. Kita enggak akan membuang-buang waktu yang tidak perlu, sekarang kita fokus ke masalah yang kasus menghebohkan ini, Ratna Sarumpaet,” kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Irjen Pol Setyo Wasisto di kantornya, Jakarta Selatan, (9/10/2018).
Setyo menuturkan, bahwa kasus yang dimunculkan itu merupakan kasus lama tahun 2017, dan kala itu penyidik kepolisian sudah melakukan penyelidikan.
Bahkan, Direktur Reserse Kriminal Khusus, Komisaris Besar Polisi Adi Deriyan Jaya Marta sendiri telah memeriksa tersangka pengusaha importir daging Basuki Hariman.
“Nah di situ Pak Basuki Hariman tidak mengakui apa yang tertulis, karena dia mengatakan dia menulis itu untuk mengambil uangnya. Jadi dia tulis atas nama si A si B si C, karena istrinya ikut mengontrol keuangan perusahaan. Jadi kalau dia menggunakan nama-nama itu,” jelasnya.
Kemudian, Polri juga membantah kalau dua anggota polisi yang bertugas di Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan aksi vandalisme terhadap catatan buku warna merah itu.
“Dua orang itu sudah diperiksa juga oleh Paminal, untuk dicek sampai sejauh mana kasusnya. Dan tidak terbukti dia melakukan itu, dan pemeriksaan dari sana juga tidak ada masalah,” jelas Setyo.
-

Beban Idham Azis soal Polisi yang Kerap Langgar Hak Minoritas
JAKARTA – Kepolisian tercatat sebagai salah satu institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak minoritas. Tugas berat menanti kepala polisi yang baru, Idham Azis.
Laporan riset tentang kebebasan beragama yang dilakukan Setara Institute menempatkan kepolisian sebagai aktor dari negara yang paling menonjol dalam keterlibatan terkait diskriminasi kebebasan beragama. Setidaknya, ada 480 pelanggaran yang dilakukan kepolisian dalam 12 tahun terakhir.
Jadi ironis. Sebab, sebagai penyelenggara negara, polisi harusnya jadi pelindung hak warga negara atas kebebasan beragama atau berkeyakinan. Namun, hal ini tidak berbanding lurus dengan adanya fakta jika polisi jadi salah satu aktor pelanggar aktual yang menonjol selain pemerintah daerah.
“Pertanyaannya, apakah kepolisian selalu optimal dalam melindungi hak konstitusional setiap warga negara, terutama untuk kelompok minoritas? Saya kira tidak. Sehingga kita berikan kritik serius terhadap kepolisian karena tidak melakukan fungsi optimal mereka,” kata Direktur Riset Setara Institute Halili dalam sebuah diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2019).
Berkaca dari fakta ini, tugas berat kini dibebankan kepada Idham Azis sebagai kepala kepolisian yang baru. Melindungi hak-hak golongan minoritas untuk beragama sepenuhnya jadi tugas utama Idham Azis. Menurut Halili, tugas ini bukan hal mudah. Berkaca pada kepemimpinan terdahulu, misalnya. Tito Karnavian bahkan dinilai gagal mewujudkan hal ini.
“Persoalan yang paling bisa kita tagihkan ke Kapolri baru mestinya menunjukkan kepimpinan yang menonjolkan kebhinekaan … Kita harus tetap kritisi kalau fakta di lapangan, begitu banyak minoritas yang menjadi korban kebebasan beragama dan berkeyakinan,” katanya.
Pembenahan internal kepolisian
Berkaitan perlindungan terhadap masyarakat minoritas, Setara mendorong Idham Azis membenahi sektor internal Polri. Sebab, beberapa anggota kepolisian telah terpapar pemikiran radikalisme dan hal ini dibuktikan dengan adanya penangkapan terhadap anggota mereka.
“Mulai dari Brigadir K di Jambi pada tahun 2018 hingga Bripda NOS yang dua kali ditangkap pada 2019. Maka mendesak bagi Kapolri melakukan audit tematik dalam jabatan atas petinggi serta screening ideologi dalam rekrutmen di lingkungan internal,” kata Halili.
Tak sampai di situ, berdasarkan survei yang mereka lakukan di tahun 2017 yang lalu, ada potensi ancaman yang nyata terhadap Pancasila. Potensi ini terendus dengan adanya upaya mengganti dasar negara Pancasila dengan dasar atau ideologi lain.
Tercatat, dari 171 sekolah yang mereka survei ada 0,3 persen siswa terpapar ideologi teror; 2,4 persen intoleran aktif; 35,7 persen intoleran pasif dan 61,6 berperilaku toleran. Sedangkan di tahun 2019, dengan mengambil sampel dari sepuluh perguruan tinggi negeri tercatat 8,1 persen mahasiswa ingin berjihad untuk menjadikan keyakinannya sebagai regulasi formal negara.
“Untuk ASN, kami punya studi kebijakan tahun 2018 yang mengonfirmasi bahwa ASN itu terpapar radikalisme, dalam konteks ini anggota kepolisian juga,” jelasnya.
Sehingga, berdasar angka tersebut, Halili mengatakan pihak kepolisian harus mengambil peran yang tepat terutama terkait penegakan hukum dan pencegahan ancaman terhadap dasar negara sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Tentunya, penegakan dan pencegahan ini harus dilakukan secara demokratis dan tidak menggunakan cara kekerasan.
“Pendekatan demokratis dan non-kekerasan harus dikedepankan dalam menangani ancaman tersebut, sebagaimana pendekatan yang sama juga harus dipilih sebagai prioritas dalam penanganan aksi-aksi damai,” tutupnya.
/data/photo/2024/11/06/672b1b918a6f6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/06/05/68419e5b34b1e.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2021/12/09/61b1f6f024557.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

