Tag: Ichsanuddin Noorsy

  • PA GMNI Jakarta Raya dorong kemandirian ekonomi di tengah globalisasi

    PA GMNI Jakarta Raya dorong kemandirian ekonomi di tengah globalisasi

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPD Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PA GMNI) Jakarta Raya Ario Sanjaya menyatakan bahwa seri diskusi publik kali ini mendorong kemandirian ekonomi Jakarta di tengah arus globalisasi dan diharapkan ibu kota tidak meninggalkan nilai-nilai keadilan sosial.

    “Kemandirian ekonomi bukan hanya soal angka pertumbuhan, tapi bagaimana ekonomi kota ini bisa menyejahterakan warga dan memperluas kesempatan kerja. Global city yang sejati adalah kota yang beradab, manusiawi, dan inklusif,” kata Ario di Jakarta, Minggu.

    Ia menyatakan bahwa rangkaian Seri Diskusi Publik III pra-Konferda V dengan mengangkat tema “Menumbuhkan Jakarta Kota Berdikari secara Ekonomi di Tengah Arus Globalisasi Dunia”.

    Pada diskusi tersebut terdapat sejumlah narasumber, antara lain Anggota Komisi XIII DPR RI Marinus Gea, Pakar Ekonomi Kerakyatan Ichsanuddin Noorsy, Ketua Komite II DPD RI Badikenita Sitepu, serta Ketua Kelompok Pangan dan Ekonomi Daerah Biro Perekonomian dan Keuangan Pemprov DKI Jakarta Abdul Gofar Al Hakim.

    Menurut dia, diskusi tersebut merupakan bagian dari upaya PA GMNI membangun ruang intelektual dan praksis politik yang konstruktif bagi pembangunan Jakarta.

    “Setiap seri diskusi ini kami harapkan melahirkan gagasan konkret yang bisa disampaikan kepada pemerintah daerah. Kami ingin memastikan bahwa cita-cita menjadikan Jakarta sebagai kota global tidak meninggalkan nilai-nilai keadilan sosial,” ujarnya.

    Ia menambahkan, pihaknya ingin agar Jakarta tumbuh sebagai kota modern yang tetap berpihak pada rakyat kecil.

    Sementara itu, Ketua Harian DPP PA GMNI Aruji Wahyono menegaskan bahwa membicarakan Jakarta berarti membicarakan kota yang “tidak pernah tidur”.

    Menurut dia, Jakarta adalah pusat ekonomi, pemerintahan, politik, sekaligus pusat mimpi banyak orang yang datang dari berbagai daerah.

    “Di balik gemerlap Jakarta, kita tahu banyak persoalan mendasar, kesenjangan ekonomi, harga tanah yang melambung tinggi, kesempatan usaha yang belum merata, serta makin kuatnya pengaruh kapital global yang sering menyingkirkan pelaku lokal,” katanya.

    Ia menambahkan bahwa ironi sosial juga masih kuat terasa. Bayangkan, dari penerima bantuan sosial di Jakarta, 60 persen justru digunakan untuk perjudian daring. Ini fakta miris yang harus menjadi perhatian bersama.

    Menurut Aruji, semangat berdikari sebagaimana diajarkan oleh Bung Karno harus kembali dimaknai secara utuh. Berdikari bukan berarti menutup diri dari dunia, tapi menegaskan kemandirian bangsa dan daerah untuk tidak bergantung pada kekuatan asing.

    “Kami berharap para alumni GMNI Jakarta Raya bisa merumuskan konsep ekonomi berdikari dengan baik sebagai masukan untuk Gubernur DKI Jakarta,” ujarnya.

    Sementara Pakar Ekonomi Kerakyatan Ichsanuddin Noorsy menyoroti lemahnya pelayanan publik dan ketimpangan yang terus meningkat di Jakarta.

    “Kota global seharusnya punya sistem yang efisien dan inklusif, tapi yang kita lihat justru sebaliknya,” kata dia.

    Adapun dari Pemprov DKI Jakarta, Abdul Gofar Al Hakim menjelaskan bahwa pemerintah daerah telah menyiapkan peta jalan ekonomi menuju Jakarta Global City 2045.

    “Kami terus mendorong kolaborasi lintas sektor dan memperkuat peran UMKM, yang kini sudah mencapai 400 ribu unit binaan aktif,” ucapnya.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: Mahmudah
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Bukan Hanya Whoosh, Pakar Ekonomi Politik Ungkap Proyek Lain yang Gadaikan Kedaulatan Negara

    Bukan Hanya Whoosh, Pakar Ekonomi Politik Ungkap Proyek Lain yang Gadaikan Kedaulatan Negara

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar Ekonomi Politik, Ichsanuddin Noorsy angkat suara. Terkait Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh yang dianggap menggadaikan kedaulatan negara.

    Hal tersebut, diungkapkan menanggapi pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut sebelumnya mengatakan proyek Whoosh sudah busuk sejak awal.

    “Kita minta penjelasan kepada Luhut, apa pengertian busuknya? Gitu loh,” kata Ichsanuddin dalam program Rakyat Bersuara, dikutip dari iNews TV, Senin (27/10/2025).

    Dia juga menyoroti Menteri Perhubungan kala itu, yakni Budi Karya Sumadi. Karena menjalankan proyek tersebut.

    “Tanya juga kepada Budi Karya Sumadi, kenapa dia jalankan. Gitu loh Bung. Tanya juga sama timnya, kenapa lu tandatangani pembegkakan gitu loh,” ujarnya.

    Usai memaparkan hal tersebut, host program itu, Aiman Witjaksono menanyakan, apakah berarti proyek Whoosh menggadaikan kedaulatan negara. Ichsanuddin pun menimpali.

    “Nah, kalau Anda bilang itu menjual. Saya bilang kepada Anda, tesis tentang investasi asing dan pinjaman luar negeri pada hakikatnya adalah menggadaikan kedaulatan negara,” ucapnya.

    Dia mengaku punya sejumlah bukti. Tidak hanya Whoosh, ada beberapa proyek yang menggadaikan kedaulatan negara.

    “Saya temukan terakhir dua, ISLE, Indonesia Sustainability Least Cost Electrification. One and Two. Anda membeli kebijakan, Anda membeli utang, Anda membiayai PLTS, padahal PLTS itu teknologinya dari luar,” jelasnya.

    “Itu terjadi. Itu sudah terjadi. Anda beli kebijakan untuk PLTS, Anda kemudian melakukan yang namanya pinjaman untuk membayar PLTS. Anda kemudian membangun teknologi dengan beli lagi keluar. Ayo coba,” tambahnya.
    (Arya/Fajar)

  • LaNyalla bahas strategi penguasaan negara pada buku “Prahara Bangsa”

    LaNyalla bahas strategi penguasaan negara pada buku “Prahara Bangsa”

    Surabaya (ANTARA) – Anggota DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti membahas strategi penguasaan negara dunia ketiga lewat pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944 dalam bedah buku “Prahara Bangsa” karya Ichsanuddin Noorsy di Kadin Jatim, Selasa.

    “Dalam buku ini mencakup pembentukan Bank Dunia untuk pinjaman pembangunan, International Monetary Fund (IMF) untuk stabilitas moneter, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) untuk perdagangan global dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk politik internasional,” kata LaNyalla.

    Menurut LaNyalla, Presiden Soekarno di era orde lama menolak strategi tersebut karena bertentangan dengan Pancasila dan memilih bergabung dengan blok ekonomi COMECON.

    “Sebaliknya, di era orde baru, pendekatan developmentalisme Presiden Soeharto membuka pintu bagi lembaga-lembaga tersebut. Puncaknya, Indonesia menandatangani Letter of Intent dengan IMF saat krisis moneter,” ujarnya.

    Sehingga, lanjutnya, Indonesia semakin terjebak dalam utang luar negeri dan kebijakan asing saat terjadi kemenangan kapitalisme-imperialisme di Indonesia yang terjadi pada era Reformasi dengan amandemen konstitusi pada 1999-2002.

    “Dimana selama dua dekade ini, Indonesia sudah masuk semakin dalam jebakan hutang luar negeri dan jebakan kebijakan yang harus kita patuhi dan ratifikasi,” ucapnya.

    Oleh karena itu, pihaknya menekankan pentingnya kembali ke sistem demokrasi Pancasila sesuai rumusan pendiri bangsa, sebagaimana disepakati dalam sidang paripurna DPD RI pada Juli 2023.

    “Saat ini Indonesia punya harapan untuk mewujudkan gerakan tersebut, mengingat kita memiliki presiden yang di dalam bukunya Paradoks Indonesia dan Solusinya, Pak Prabowo Subianto telah menuliskan bahwa bangsa ini harus kembali ke Pancasila,” ujar Ketua DPD RI ke-5 itu.

    LaNyalla berharap, melalui buku yang dibuat oleh Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto semua pihak harus mengutamakan kepentingan nasional di atas kepentingan asing.

    “Semoga apa yang ditulis di dalam buku tersebut, mampu diwujudkan oleh Presiden Prabowo,” tuturnya.

    Pewarta: Indra Setiawan/Naufal Ammar Imaduddin
    Editor: Guido Merung
    Copyright © ANTARA 2024

  • Negara Bergerak Lambat Andai Sosok Figur Model Said Didu dan HRS Tidak Hadir dalam Kabinet

    Negara Bergerak Lambat Andai Sosok Figur Model Said Didu dan HRS Tidak Hadir dalam Kabinet

    Oleh: Damai Hari Lubis

    Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

    (Ikhtisar: sisi pandang objektif, NKRI butuh leadership figure and professionalism semata demi kemajuan bangsa dan sejahtera)

    Bakal lambatnya proses menuju globalisasi (slow process of globalization) pada Kabinet Merah Putih  karena negara dibawah pemerintahan kepemimpinan Jend. Purn Prabowo Subianto sepertinya bakal kesulitan mencapai kemajuan dan perubahan yang signifikan dalam bidang ketahanan pangan dan ekonomi, politik dan hukum demi membangun karakter budaya bangsa yang sehat serta memicu kemajuan di sektor olah raga, andai pemerintahan Prabowo tidak melibatkan sosok-sosok tokoh profesional dan proporsional serta handal dengan karakter kuat model Said Didu, Roy Suryo, Prof. Ryaas Rasyid, Mayor Jendral Soenarko, Prof Dr. Eggi Sudjana, Jendral Purn. Fachrur Razy dan Prof.Suteki serta Penasihat Khusus Presiden yang berintegritas yang ketokohan dimaksud ada pada jatidiri Dr. Habib Rizieq Shihab dan pakar ekonom Dr. Ichsanuddin Noorsy yang setara Alm. Rizal Ramly atau Alm. Faizal Basri.

    Dan sisi pandang terhadap para figur ini semata terkait hal nyata kebutuhan negara Pancasila yang amat kompleks, sehingga perlu melibatkan sosok-sosok pemimpin yang umum dikenal dengan jatidiri yang profesional dan proporsional serta memiliki sudut pandang objektif dengan karakteristik substamtif membangun

    Dan faktor potensial penyeimbang kenegarawanan pendamping RI.1 amat butuh sosok RI. 2 yang berintegritas, bersih, inovatif serta cerdas sekelas tokoh Anies Baswedan yang cukup kredibel sebagai pengganti Gibran Rakabumi Raka yang tidak sepadan dan tidak mungkin dapat mengimbangi diplomasi di kancah dunia internasional dengan cita-cita Negara Indonesia yang dapat meraih dan sejajar negara-negara maju sesuai tuntutan globalisasi dengan nilai-nilai intelektualitas dan jatidiri seorang Presiden Prabowo.

    Untuk itu, jelang 200 hari masa kepemimpinannya,  Prabowo Soebianto amat perlu mengambil inisiatif hak diskresi politik (prerogatif) untuk menarik mundur para menteri yang kurang mumpuni dan tidak timpang sinergi dalam membangun kabinet merah putih demi mempercepat proses integrasi dan interaksi bertahap diantara entitas individu para pemimpin daripada negara di seluruh dunia.