Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sidang uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) atau pasal perintangan penyidikan bergulir dengan agenda mendengar keterangan Presiden atau Pemerintah, dan DPR.
Sidang ketiga perkara 136/PUU-XXIII/2025 yang diajukan Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto itu digelar di ruang sidang pleno Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
Keterangan pertama yang didengarkan adalah dari DPR yang saat itu diwakili oleh Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta.
Wayan Sudirta hadir secara daring, membacakan alasan DPR bernada dukungan atas gugatan Hasto yang meminta agar ancaman hukuman penjara pelaku perintangan penyidikan kasus korupsi lebih ringan daripada yang diatur saat ini.
Dalam Pasal 21 UU Tipikor dijelaskan, ancaman hukuman maksimal pelaku
obstruction of justice
kasus korupsi adalah 12 tahun.
Hal ini dinilai kontradiktif dengan ancaman hukuman pidana pokok yang bisa lebih ringan, seperti kasus suap misalnya.
Sudirta menilai, akan terjadi disparitas antara ancaman hukuman perintangan penyidikan dengan pidana pokok.
Kader PDI-P ini kemudian merujuk beberapa negara lain, di mana ancaman pidana perintangan penyidikan harus lebih kecil dari pidana pokoknya.
“Dengan merujuk Jerman, Belanda, Singapura, Inggris, dan Amerika Serikat, ancaman hukuman
obstruction of justice
secara spesifik merujuk pada dan kurang dari bahkan hingga seperempat ancaman pidana tindak pidana awal atau pokok,” kata dia.
Alasan lain, politikus PDI-P ini mengatakan Pasal 21 ini harus dimaknai bukan merupakan bagian tindak pidana korupsi.
Karena itu, dia khawatir pasal tersebut justru digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan merupakan pelaku tindak pidana korupsi.
“Pasal ini akan digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi,” ucap Sudirta.
Setelah memperkuat argumennya, Sudirta tiba pada permohonan agar Mahkamah Konstitusi menuruti keinginan Hasto agar ancaman maksimal pidana perintangan kasus korupsi dikurangi jadi tiga tahun.
“Menyatakan bahwa Pasal 21 UU RI nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung, penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi,” kata Sudirta.
“Dan atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak semestinya dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta, dan paling banyak Rp 600 juta,” sambung dia.
Tak seperti DPR, pemerintah sebagai pembentuk undang-undang mempertahankan argumennya atas pembuatan Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
Mereka tetap bertahan dan meminta agar permohonan Hasto ditolak, bukan hanya dari sisi permohonan, tetapi juga kedudukan hukumnya.
Sikap pemerintah ini disampaikan Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak.
“Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
legal standing
,” kata Leonard.
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
“Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” kata dia.
Mendengar sikap dua lembaga pembentuk undang-undang yang berbeda yakni antara pemerintah dan DPR, Hakim Konstitusi Saldi Isra angkat bicara.
Dia menyebut, tak biasanya DPR yang dikenal galak mempertahankan produk legislasi mereka tiba-tiba menyetujui revisi undang-undang lewat jalur gugatan di MK.
Karena pembentuk undang-undang seyogianya memiliki kewenangan merevisi kapan pun undang-undang yang dianggap tidak sesuai.
Tapi kali ini berbeda, DPR menyetujui permintaan Hasto agar Pasal 21 UU Tipikor direvisi normanya untuk mengurangi ancaman pidana pelaku kejahatan perintangan penyidikan kasus korupsi.
“Ini memang agak jarang-jarang suasananya terjadi ada pemberi keterangan (dari DPR-RI) yang setuju dengan permohonan pemohon,” kata Saldi Isra.
Dia juga langsung menyindir kuasa hukum Hasto yang hadir dalam sidang tersebut, jika cerdas maka tak perlu ada lagi sidang lanjutan uji materi Pasal 21 UU Tipikor tersebut.
Karena, DPR sudah menyatakan dukungan untuk mengubah Pasal 21 UU Tipikor sesuai keinginan Hasto.
Pihak Hasto seharusnya langsung tancap gas ke Senayan, membawa proposal revisi UU Tipikor.
“Sebetulnya kalau kuasa hukum pemohon cerdas, sudah saatnya ini datang ke DPR, biar DPR saja yang mengubahnya, tidak perlu melalui Mahkamah Konstitusi, biar komprehensif sekalian,” ucap Saldi.
Di akhir kata, Saldi meminta agar DPR segera mengirimkan pernyataan tertulis agar menjadi pertimbangan hakim dalam uji materi UU Tipikor tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: I Wayan Sudirta
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anomali Gugatan Hasto soal UU Tipikor: DPR Setuju Revisi tapi Pilih Jalur MK Nasional 2 Oktober 2025
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor Nasional
Pemerintah Minta MK Tolak Gugatan Hasto terhadap UU Tipikor
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilayangkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto.
Kuasa Presiden yang diwakili Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, memohon agar MK menolak gugatan tersebut secara keseluruhan.
“Menyatakan bahwa pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum atau
legal standing
,” kata Leonard dalam sidang yang digelar di ruang sidang pleno MK, Jakarta Pusat, Rabu (1/10/2025).
“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima,” tutur Leonard.
Selain meminta MK menolak permohonan Hasto, Leonard juga meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 21 yang digugat Hasto telah sesuai dengan konstitusi.
“Menyatakan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak bertentangan dengan pasal 1 ayat 3, pasal 24 ayat 1, pasal 28D ayat 1, dan pasal 28E UUD 1945,” katanya.
Permintaan pemerintah ini berseberangan dengan DPR RI yang menilai permohonan tersebut perlu dikabulkan oleh MK.
Dalam persidangan yang sama, I Wayan Sudirta sebagai perwakilan DPR RI menyatakan permohonan Hasto terkait ancaman maksimal pidana dalam Pasal 21 UU Tipikor yang dikurangi dari 12 tahun menjadi 3 tahun harus dikabulkan oleh MK.
Alasannya senada, karena ancaman hukuman 12 tahun penjara dinilai lebih tinggi dari pidana pokok seperti kasus suap.
Adapun gugatan ini dilayangkan oleh Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang menggugat Pasal 21 UU Tipikor karena dinilai ancaman pidananya lebih tinggi dari pidana pokok.
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan
obstruction of justice
ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, 13 Agustus lalu.
Untuk diketahui,
obstruction of justice
mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara, sedangkan pelaku yang merintangi kasus suap seperti merusak barang bukti diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
“Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Anggota DPR Sebut Polisi Duduki Jabatan Sipil untuk Dukung Transformasi ASN agar Kompeten Nasional 15 September 2025
Anggota DPR Sebut Polisi Duduki Jabatan Sipil untuk Dukung Transformasi ASN agar Kompeten
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Salah satu alasan polisi boleh menduduki jabatan sipil dikaitkan dengan transformasi aparatur sipil negara (ASN) agar lebih akuntabel dan kompeten.
Hal ini disampaikan perwakilan DPR I Wayan Sudirta dalam sidang uji materi terkait polisi merangkap jabatan sipil, yang digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (15/9/2025).
Dalam sidang, Sudirta mengatakan, jika dikaitkan dengan arah pengaturan ASN pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, semangat polisi masuk jabatan sipil adalah untuk mendukung transformasi ASN yang akuntabel dan kompeten.
“Apabila dikaitkan dengan politik hukum arah pengaturan Undang-Undang Nomor 20/2023 yang menjadi payung hukum ASN saat ini, maka semangat yang ingin diwujudkan adalah pelaksanaan transformasi ASN dengan hasil kerja tinggi dan perilaku yang berorientasi pelayanan akuntabel, kompeten, harmonis, loyal, adaptif, dan kolaboratif,” kata Sudirta, dalam sidang, Senin.
“Untuk mendukung upaya transformasi ASN, pengaturan pengisian jabatan ASN oleh anggota Polri juga sejalan dengan pengimplementasian asas resiprokal (timbal balik),” sambung dia.
Sudirta mengatakan, asas resiprokal sendiri merupakan prinsip timbal balik atas legalitas pengisian jabatan oleh anggota Polri atau TNI di lingkup jabatan ASN.
Materi terkait resiprokal ini, kata Sudirta, diatur dalam ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003.
“Bahwa ketentuan pasal tersebut dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan dan kesinambungan dalam pengisian jabatan sesuai dengan tujuan transformasi ASN,” ucap dia.
Dalil resiprokal ini pernah diungkapkan oleh Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, pada sidang sebelumnya, Senin (8/9/2025).
Eddy mengatakan, permintaan resiprokal ini adalah keinginan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) saat masih menjabat.
“Saya ingat persis, Yang Mulia, ketika poin ini dibahas dalam ratas di Istana, waktu itu Presiden (ke-7 RI) Joko Widodo meminta untuk ada resiprokal (timbal balik),” tutur dia.
Atas dasar itu juga, kata Eddy, ketentuan Pasal 20 Undang-Undang ASN yang baru memungkinkan aparatur sipil negara menduduki jabatan di kepolisian.
“Nah, itu mengapa sampai ada prinsip resiprokal dalam undang-undang yang terbaru, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023, dan itu ditulis secara ekspresif verbis dalam Pasal 20,” imbuh dia.
Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh Syamsul Jahidin yang menggugat Pasal 28 Ayat (3) dan Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Alasan mereka menggugat adalah karena saat ini banyak anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, dan Kepala BNPT.
Para anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.
Hal ini dinilai bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara, menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil untuk mendapat perlakuan setara dalam pengisian jabatan publik.
Pemohon juga menilai, norma pasal tersebut secara substantif menciptakan dwifungsi Polri karena bertindak sebagai keamanan negara dan juga memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Menkeu Sri Jawab Kritik Belanja APBN untuk Pendidikan, Tak Harus Habis!
Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjabarkan strategi penggunaan anggaran pendidikan yang mencapai 20% dari penerimaan negara.
Dia menyebut anggaran yang menjadi mandatory spending sebesar 20% dari APBN itu tak perlu dipaksakan habis seluruhnya. “Jangan sampai mandatory dianggap sebagai sesuatu yang harus kemudian dihabiskan hanya sekedar karena mandatory,” ujar Sri di Gedung DPR, Selasa (15/7/2025).
Menteri Keuangan berpengalaman dalam tiga pemerintahan presiden berbeda itu menyampaikan bahwa selama ini negara telah melaksanakan amanat untuk mengalokasikan anggaran pendidikan setiap tahunnya sesuai ketentuan. Selanjutnya, dia menyebut pemerintah tidak akan membelanjakan seluruh anggaran pendidikan hanya karena dialokasikan sedemikian banyak. Namun, akan terus berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas anggaran jumbo tersebut.
Adapun, berbagai upaya tata kelola Sri Mulyani janji tingkatkan, termasuk dana abadi pendidikan yang salah satunya digunakan untuk pembiayaan beasiswa LPDP. Dana abadi pendidikan ini sekarang telah mencapai lebih dari Rp150 triliun.
“Kami juga terus berkomitmen meningkatkan upaya kualitas pendidikan, penelitian, riset dasar dan kebudayaan serta berbagai cabang pendidikan yang begitu beragam,” lanjutnya.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut menjawab kritik dari sejumlah fraksi terkait realisasi anggaran pendidikan dalam Rapat Paripurna pekan lalu.
Salah satunya, anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sabam Rajagukguk yang mendukung fokus pemerintah untuk terus melakukan perbaikan penganggaran, perencanaan, dan implementasi program kebijakan terkait mandatory spending 20%.
“Agar [anggaran pendidikan] berdampak besar terhadap kualitas manusia Indonesia,” tuturnya, Selasa (8/7/2025).
Dirinya berharap, anggaran pendidikan dapat tersalurkan secara efektif, juga melalui program makan bergisi gratis, cek kesehatan gratis di sekolah, membangun sekolah rakyat, menaikkan gaji guru dan tunjangan profesi guru, program Sekolah Garuda, serta perbaikan sarana dan prasarana pendidikan untuk menghadirkan pendidikan yang bermutu dan berdaya saing.
Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan I Wayan Sudirta juga menyoroti belanja yang pemerintah lakukan untuk pendidikan rata-rata hanya tercapai 16% bahkan kurang.
Dirinya meminta pemerintah untuk menjaga kualitas belanja semakin baik saat belanja semakin besar—begitu pula dengan anggaran pendidikan yang mengikuti besaran alokasi belanja setiap tahunnya.
“Nilai belanja negara yang terus meningkat hal ini harus disertai dengan kualitas belanja yang semakin baik. Belanja negara yang semakin efisien efektif dan diarahkan sebesar-besarnya kepada rakyat,” lanjutnya.
Realisasi Anggaran Pendidikan
Anggaran pendidikan untuk tahun 2024 yang senilai Rp665 triliun atau tepat 20% dari APBN 2024. Dari anggaran ini, nyatanya hanya terserap Rp550,4 triliun.
Sementara pada tahun ini, anggaran pendidikan direncanakan senilai Rp724,26 triliun dengan rincian melalui belanja pemerintah pusat senilai Rp297,17 triliun, anggaran pendidikan melalui TKD Rp347,09 triliun, dan anggaran pendidikan melalui pembiayaan Rp80 triliun.
Hingga semester I/2025, realisasi anggaran pendidikan telah mencapai Rp259,3 triliun atau 35,8% dari pagu. Penyaluran anggaran pendidikan tercatat Rp82 triliun melalui belanja pemerintah pusat dan melaluiu transfer ke daerah (TKD) senilai Rp177,3 triliun.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan untuk tahun depan, anggaran pendidikan dialokasikan antara Rp727 triliun hingga Rp761 triliun.
-

Pemberantasan Mafia Hukum dan Peradilan Masih Setengah Hati
JAKARTA – Beberapa waktu lalu, Kejaksaan Agung menangkap empat hakim dan dua pengacara serta seorang panitera terkait dugaan suap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO di PN Jakarta Pusat.
Kasus itu menambah daftar panjang kasus terkait mafia peradilan yang telah diungkap oleh penegak hukum. Sebelumnya, Kejagung juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan terhadap tiga orang hakim di Pengadilan Negeri Surabaya. Ketiga hakim itu ditangkap atas dasar tuduhan menerima suap dalam proses penanganan perkara pembunuhan dengan terdakwa Gregorius Ronald Tanur.
Tidak berhenti sampai di situ, penyidik berhasil mengembangkan informasi bahwa dalam perkara yang sama, terdapat upaya mempengaruhi proses hukum kasasi yang diajukan oleh Ronald Tanur. Benar saja, tidak lama berselang, pihak yang diduga sebagai makelar kasus akhirnya turut ditetapkan sebagai tersangka, yakni Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung.
Anggota Komisi III DPR RI, I Wayan Sudirta mengungkapkan, fenomena suap hakim dan mafia peradilan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik yang merusak integritas penegakan hukum. Praktik suap, intervensi pihak eksternal, dan kolusi antara penegak hukum, pengacara, dan para pihak berperkara telah menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Bukan rahasia umum bahwa sistem peradilan dan penegakan hukum sangat rentan dengan suap maupun mafia atau calo. Hal ini sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat. Meski pemerintah dan DPR telah berupaya dengan berbagai cara seperti membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgasus) maupun Panitia Kerja (Panja) untuk menyoroti hal ini, namun ternyata kartel hukum ini tidak hilang.
ilustrasi
“Sebenarnya sudah ada komitmen untuk mereformasi sistem hukum dan peradilan secara lebih terbuka, profesional, dan terpercaya. Seluruh model dan format kajian terhadap independensi, kemandirian, maupun upaya untuk meningkatkan integritas dan kualitas peradilan yang tinggi telah dicoba untuk digalakkan,” ujar Sudirta.
Namun seolah permasalahan itu tidak akan pernah berhenti dan terus menerus terjadi, bahkan semakin marak dan kasat mata. Menurutnya, reformasi peradilan bukan hanya berbicara dari permasalahan suap di pengadilan yang diungkap Kejagung, tapi juga berbicara di seluruh tahap peradilan.
“Ini berarti sistem peradilan pidana misalnya juga menyangkut penyidikan, upaya paksa, penuntutan, hingga putusan itu sendiri. Atau dari pengajuan gugatan atau permohonan, putusan, hingga eksekusi, seluruh tahap seolah memiliki tarif,” imbuhnya.
Dalam praktek di lapangan, banyak modus yang telah tercipta untuk memuluskan peran dan pengaruh mafia hukum dan peradilan. Karena itu, reformasi peradilan tidak hanya berbicara soal struktur dan substansi dari hukum dan peraturan perundang-undangan, namun juga kultur dari hukum dan fenomena tersebut.
Sudirta menjelaskan, permasalahan mengenai suap menyuap dalam sistem peradilan bukan hal baru karena terkait dengan penanganan perkara dan kewenangannya. Hal itu teridentifikasi dari beberapa akar permasalahan, pertama adalah korupsi yang sudah sangat kronis dan sistemik dibarengi dengan lemahnya pengawasan internal dan eksternal.
“Kita sering mendengar adanya penanganan terhadap hakim yang bermasalah, tapi tampaknya tidak juga memberikan dampak yang signifikan. Penanganan permasalahan hakim dan aparat penegak hukum sepertinya hanya gesture belaka atau untuk meredam amarah publik,” tuturnya.
Kedua, sistem rekrutmen dan seleksi hakim atau sistem karir yang seringkali tidak transparan dan banyak “titipan”. Hal ini terasa biasa saja namun berdampak cukup jauh, koneksi masuknya mafia hukum dan peradilan menjadi langgeng dan banyak yang kemudian tersandera dengan “utang budi” tersebut.
“Kita tidak membicarakan terlebih dahulu soal kapasitas dan kualitasnya, karena pada akhirnya bergantung pula pada “koneksi”. Persoalan ini diperparah dengan sistem pembinaan karir yang tidak meritokratis. Sistem reward and punishment dikhawatirkan hanya menjadi slogan,” tukas Sudirta.
Ketiga adalah permasalahan rendahnya gaji hakim dan kesejahteraannya dibandingkan dengan beban kerja dan godaan suap yang jauh timpang. Meskipun kini gaji dan tunjangan hakim sudah dinaikkan, tidak serta merta membuat hakim merasa “aman” dan tercukupi.
Selanjutnya adalah banyaknya intervensi dan minimnya pengawasan karena pengaruh dari luar (mafia) cukup tinggi. Pengawasan internal dan eksternal tidak efektif karena kalah dengan asas kemandirian dan independensi yudikatif; yang bebas dan mandiri. Pengawasan eksternal dari Komisi Yudisial (KY) maupun lembaga pengawas eksternal lainnya akhirnya hanya mengandalkan publik untuk menekan, bukan komitmen dari pengawas yang memegang kewenangan.
Persoalan selanjutnya kata Sudirta, adalah minimnya pendidikan dan pelatihan yang mendorong integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas. Pelatihan integritas, pembangunan zona integritas dan wilayah bebas korupsi tidak memiliki tolok ukur yang jelas dan obyektif. Modus operandi penyuapan terhadap lembaga penegak hukum dan peradilan sebenarnya sudah teridentifikasi, namun tidak memiliki semacam denah (roadmap) untuk penanggulangannya.
Hal yang paling dapat terlihat tentunya adalah menurunnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan atau penegakan hukum. Ketidakpastian berdampak pada sistem ekonomi dan investasi serta pelindungan Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dapat terlihat adanya penyimpangan terhadap tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Hingga kini adagium seperti “keadilan hanya milik penguasa atau orang kaya” atau “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas” akan selalu muncul.
Penguatan Sistem Pengawasan Internal dan Eksternal Bisa Menekan Praktik Mafia Peradilan
Sudirta mengatakan, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengatasi persoalan suap dan penyimpangan dalam sistem peradilan di Indonesia. Pertama, reformasi struktur peradilan dan penegakan hukum perlu dijamin. Kedua, penguatan fungsi pengawasan melalui sistem, pengawasan internal, maupun pengawasan eksternal. Sistem peradilan pidana misalnya memiliki pengawasan hakim secara internal (Bawas MA), Komisi Yudisial sebagai pengawas eksternal, hingga aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) ataupun penegakan hukum.
“Perlu dipikirkan kembali bagaimana sistem dapat secara otomatis mengawasi akuntabilitas dan keakuratannya. Revisi Hukum Acara Pidana harus memungkinkan upaya untuk mengajukan keberatan terhadap beberapa tindakan atau upaya paksa yang telah diatur dalam undang-undang, secara obyektif dan transparan,” terangnya.
Keempat, transparansi dari rekrutmen, pembinaan karir, uji kompetensi, dan peningkatan integritas harus dapat dijamin, diharapkan akan mendorong publik agar ikut mengawasi. Sistem pembinaan karir, mutasi, promosi, demosi, dan pengisian jabatan harus memiliki tolok ukur yang jelas, obyektif, dan kepastian atau ketegasan. Jaminan untuk pembinaan karir dan penempatan di wilayah harus dilakukan dengan sistem pengelolaan Sumber Daya Manusia yang sesuai dengan kompetensi dan profesionalitasnya.
Kelima, perhatian terhadap hakim dan kesejahteraan maupun fasilitas yang mendukung optimalisasi kerja dan profesionalitas. Saat ini, banyak hakim atau aparat yang mengalami kekurangan dari sisi kesejahteraan maupun dukungan sarana dan prasarana kerja. Penanganan terhadap pelanggaran etik maupun hukum harus dapat dilakukan secara terbuka atau membuka ruang publik untuk dapat mengadu dan mendapat tindak lanjut yang jelas.
“Pemanfaatan teknologi informasi juga dapat dioptimalkan untuk pengawasan dan transparansi publik. Hal terkait adalah penggunaan whistleblowing system dapat saling melaporkan penyimpangan tentunya dengan penghargaan jika terbukti dan bermanfaat,” tambah Sudirta.
Keenam, peningkatan keterlibatan masyarakat sipil dalam pemantauan dan pengungkapan praktik mafia hukum dan peradilan. Selain edukasi terhadap seluruh aparat penegak hukum, hakim, dan termasuk advokat; dibutuhkan kejelasan sistem yang dapat memudahkan penanganan pelanggaran seperti hukum dan etik yang sangat berat dan dilakukan melalui SOP atau prosedur yang jelas dan obyektif.
“Reformasi struktural, pemanfaatan teknologi, penegakan hukum tegas, dan peningkatan kesadaran integritas harus dilakukan secara konsisten dan simultan. Tanpa upaya serius, kepercayaan publik terhadap hukum di Indonesia akan terus merosot dan tentunya menghambat pembangunan bangsa dan sumber daya manusia Indonesia,” tegas politikus dari PDI Perjuangan itu.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Diky Anandya menilai, pengungkapan kasus mafia peradilan seperti pada penangkapan Zarof Ricar bukan sesuatu yang mengejutkan. Sebab modus yang dilakukan oleh Zarof serupa dengan yang dilakukan oleh jaringan mafia peradilan lainnya yang sebelumnya pernah diproses hukum oleh KPK, yakni Sekretaris MA, Nurhadi dan Hasbi Hasan. Sekalipun ketiganya bukan merupakan hakim atau pihak yang menangani perkara, namun dengan pengaruh besar yang dimiliki, mereka memperdagangkan pengaruh itu untuk menjadi perantara suap kepada hakim yang menangani perkara.
“Modus ini juga setidaknya juga menjadi salah satu modus korupsi yang telah dipetakan oleh ICW sejak tahun 2003 silam. Artinya, modus korupsi di sektor peradilan tidak pernah berubah. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa, meski sudah pernah ada jaringan mafia peradilan yang diproses hukum, dan modus-modusnya sudah terpetakan, namun prakteknya masih ada hingga saat ini,” tuturnya.
Menurut Diky, dua kemungkinan penyebab eksistensi mafia peradilan. Pertama, proses penegakan hukum dalam perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK atau penegak hukum lainnya tidak pernah menyasar hingga aktor-aktor intelektualnya. Kedua, tidak ada upaya signifikan yang dilakukan oleh MA untuk melakukan upaya reformasi yang berdampak signifikan untuk menutup ruang gerak bagi hakim, panitera, atau pegawai pengadilan untuk melakukan praktik-praktik bertindak sebagai makelar kasus.
Kondisi ini tentu semakin menunjukkan bahwa moralitas para penegak hukum, khususnya hakim di lembaga peradilan, telah berada di titik nadir yang sangat mengkhawatirkan. Maka tidak berlebihan rasanya jika publik, yang notabene merupakan para pencari keadilan, mengharapkan bahwa pengungkapan Zarof Ricar dijadikan sebagai momentum bagi penegak hukum untuk mengungkap jaringan mafia peradilan yang lebih luas di Mahkamah Agung.
Selain itu, penguatan kewenangan Komisi Yudisial sebagai lembaga otonom penjaga etika kehakiman juga perlu diperkuat. Sebab, prakteknya saat ini, Komisi Yudisial hanya dapat memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan aduan mengenai pelanggaran kode etik dan kode perilaku hakim, dan kewenangan untuk memutusnya tetap di Mahkamah Agung.
“Sebagai langkah menghindari adanya potensi konflik kepentingan, maka Komisi Yudisial perlu diberikan wewenang untuk melakukan pemeriksaan dan memberikan sanksi kepada hakim. Namun yang paling penting, agar simultan dengan strategi-strategi tersebut, perlu ada terobosan kebijakan dari Ketua MA untuk menjadi orkestrator dalam upaya mereformasi lembaganya guna mengembalikan kembali muruah lembaga peradilan,” tutup Diky.
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Pembentuk UU Sebut Nyanyi Cukup Bayar Royalti, Kubu Ariel: Berarti Benar Kita Selama Ini Nasional
Pembentuk UU Sebut Nyanyi Cukup Bayar Royalti, Kubu Ariel: Berarti Benar Kita Selama Ini
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kuasa Hukum
Nazril Ilham
dan 28 musisi dalam
uji materi
Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, Panji Prasetyo mengatakan, permintaan kliennya sudah tepat karena meminta agar
Mahkamah Konstitusi
menafsirkan bahwa
penyanyi
tidak perlu izin dari pencipta lagu asalkan royalti dibayar.
Karena permintaan ini, kata Prasetyo, sesuai dengan maksud para pembentuk
UU Hak Cipta
, dalam hal ini DPR dan pemerintah, yang diungkapkan dalam sidang, Senin (30/6/2025) kemarin.
“Wah, berarti benar dong kita selama ini ya,” kata Panji, saat dihubungi melalui telepon, Selasa (1/7/2025).
Dia mengatakan, jawaban dari pembentuk undang-undang tersebut sama persis dengan maksud dan tujuan para kliennya melakukan uji materi UU Hak Cipta.
Mereka menggugat, kata Panji, karena adanya penafsiran yang membuat para penyanyi resah, yakni penafsiran bahwa lagu yang dibawakan penyanyi harus izin terlebih dahulu kepada pencipta lagu.
“Penafsiran liar yang bilang mau penyanyi harus dibayar, harus izin, segala macam. Nah, penafsiran-penafsiran itu kemudian didiamin saja. Nah, kami khawatir kalau itu didiamin akan jadi, justru undang-undangnya akan jadi inkonstitusional kan? Makanya kita ajuin,” imbuh dia.
Selain itu, penjelasan para pembentuk undang-undang terkait kewajiban royalti yang dibebankan kepada penyelenggara acara membuat para musisi semakin tenang.
Sebelumnya, Perwakilan DPR RI I Wayan Sudirta menyebutkan bahwa pembayaran royalti, baik dari penyelenggara pentas seni maupun musisi kepada pencipta lagu, telah menjadi tugas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Sudirta mengatakan, itu telah diatur dalam Pasal 23 Ayat 5 UU Hak Cipta.
“Bahwa berdasarkan tugas LMK dan LMKN, maka sudah secara detail, pelaksanaan pembayaran royalti sebagai penghargaan terhadap hak eksklusif yang dimiliki oleh pencipta telah diwujudkan melalui pelaksanaan Pasal 23 Ayat 5 UU Hak Cipta, yakni: dengan pembayaran royalti melalui LMK atau LMKN,” kata Sudirta.
Sebab itu, dia menyebut, jika pembayaran sudah diberikan kepada LMK/LMKN, musisi tidak perlu lagi meminta izin kepada pencipta lagu.
“Dengan adanya pembayaran melalui lembaga tersebut, maka tidak ada lagi kewajiban bagi pengguna ciptaan untuk meminta izin kepada pencipta,” kata dia.
“Hal ini dikarenakan skema
blanket license
pencipta memberikan kuasanya kepada LMK atau LMKN untuk melakukan pengelolaan royalti,” imbuhnya lagi.
Penegasan terkait kewajiban pembayaran royalti juga disinggung Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Rizalu.
Dia menyebutkan bahwa tanggung jawab pembayaran royalti bukan pada musisi, melainkan penyelenggara acara konser atau biasa disebut sebagai event organizer alias EO.
Musisi bisa dibebankan pembayaran royalti jika ia termasuk dalam penyelenggara konser musik tersebut.
“Untuk tanggung jawab pembayaran ada pada penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan penyanyi atau musisi, kecuali mereka juga sebagai penyelenggara,” ucap Rizalu.
Dalam perkara ini, Ariel bersama 28 musisi lainnya melakukan uji materi UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
Ada beragam permintaan Ariel Cs kepada MK yang didasari oleh kasus tuntutan pencipta lagu kepada musisi yang marak terjadi belakangan.
Salah satu permohonan mereka adalah meminta MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Anggota DPR Nilai Pancasila Belum Sepenuhnya Jadi Pedoman dalam Pemerintahan dan Hukum
Jakarta, Beritasatu.com – Anggota Komisi III DPR I Wayan Sudirta mengatakan Pancasila menghadapi tantangan zaman, terutama dalam aktualisasi Pancasila dalam ketatanegaraan Indonesia. Menurut Wayan, nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya menjadi pedoman dalam pemerintahan dan pembentukan hukum di Indonesia.
“Nilai-nilai Pancasila belum sepenuhnya menjadi pedoman baik itu dalam pemerintahan dan pembentukan hukum,” ujar Wayan dalam seminar Pra Kongres Ikatan Alumni Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang bertajuk “Menjadi Terang dan Garam Bagi Bangsa dan Negara”di Kampus UKI, Cawang, Jakarta, Jumat (14/2/2025).
Wayan mengatakan sendi-sendi kehidupan berbangsa saat ini belum mencerminkan nilai-nilai Pancasila serta keadilan sosial belum bisa terwujud secara optimal. Menurut dia, masih ada kesenjangan yang sangat lebar antara orang kaya dan orang miskin karena berbagai faktor yang ada.
“Sebagai contoh, walaupun di dalam pembukaan UUD, frasa keadilan disebut berulang kali, akan tetapi Pasal 33 ayat (4) UUD RI Tahun 1945 menimbulkan perdebatan karena mengedepankan efisiensi dan menomorduakan keadilan. Sementara itu, berbagai UU seperti UU Penanaman Modal, UU Pertambangan, UU Perkebunan dan UU Kehutanan masih mendapat kritik secara luas karena sebagian masyarakat menganggap UU tersebut lebih memihak kepada modal asing dan kurang berpihak kepada masyarakat,” jelasnya.
Wayan mengatakan, salah satu cara merespons situasi saat ini adalah dengan memajukan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Menurut dia, pendidikan berbasis Pancasila harus menjadi solusi dan prioritas nasional. Wayan mengusulkan beberapa langkah strategis untuk menjadikan Pancasila menjadi solusi dan prioritas nasional.
Pertama, kata dia, mengintegrasikan nilai-nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan, tidak hanya sebagai mata pelajaran tetapi juga dalam praktik keseharian. Kedua, menerapkan pendidikan karakter sejak dini, agar nilai-nilai luhur Pancasila tertanam dalam pola pikir dan perilaku generasi muda.
“Ketiga, memanfaatkan teknologi sebagai sarana edukasi yang positif, keempat menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta kelima menyiapkan generasi pemimpin yang berorientasi pada pelayanan,” jelas Wayan.
-

Sakit Hati Dipecat Sebagai Kurir, Pria di Bali Culik Anak Mantan Bosnya dan Minta Tebusan Rp100 Juta – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR – Sakit hati dipecat, I Wayan Sudirta (29) menculik anak mantan bosnya dan meminta tebusan Rp100 juta.
Pelaku menculik anak mantan bosnya saat pulang sekolah dari SDK Harapan Jalan Raya Sesetan, Denpasar Selatan pada Rabu (5/2/2025) sekira pukul 14.00 WITA
IKS (49), orangtua korban, mengatakan sebenarnya tidak pernah bersinggungan dengan pelaku dalam pekerjaan sehari-hari.
IKS bahkan mengaku jarang bertemu pelaku karena IKS jarang di kantor.
I Wayan Sudirta saat itu bekerja sebagai kurir.
Namun, dia dianggap kurang kompeten selama dua bulan ini berdasarkan penilaian dari supervisor dan manajer.
“Pelaku bagian kurir, jadi dia punya atasan, ada supervisor dan manajernya. Saya cuma sifatnya approve. Saat supervisor dan manajernya bilang kurang berkompeten, dia mengajukan untuk orang ini diganti. Jadi saya hanya approve, saya tidak ada melakukan penilaian apapun,” ungkap IKS didampingi istrinya MW.
Menurutnya, apa yang dilakukan pelaku salah besar dan harus dipertanggungjawabkan apalagi nyawa anak terancam.
“Jadi pada intinya kalau dia merasa sakit hati dengan saya, itu salah. Karena kalau seperti itu banyak orang yang sakit hati sama saya. Karena bukan saya yang pemegang keputusan untuk memberhentikan dan mencari karyawan, saya cuma approve saja,” bebernya.
Pelaku ancam akan usik anak majikannya yang di Surabaya
Dia menjelaskan ancaman bukan hanya anaknya yang di Denpasar saja tapi anak yang berada di Surabaya jika tidak segera membayar tebusan.
“Ada itu di rekaman suara barang buktinya. Dia mengancam bukan hanya anak saya yang ada di sini, saya punya anak di surabaya juga diancam,” tuturnya.
“Dia bilang kalau tidak salah bukan saja anakmu yang di sini, tapi anakmu yang di surabaya juga akan bahaya, seperti itu lah bahasanya. Memang ada ancaman,” ungkapnya.
Dalam proses pengejaran pelaku juga terjadi negosiasi antara pelaku dan orang tua korban yang memang agar sengaja diulur, bahkan negosiasi berhasil dengan menurunkan angka tebusan dari Rp100 juta menjadi Rp10 juta namun uang belum sempat ditransfer pelaku sudah berhasil dibekuk.
“Sempat negosiasi tawar menawar karena kebetulan pada saat itu, saya melapor, tidak dalam hitungan 15 menit sudah direspons. Kemudian datang 2 personel persis saat pelaku nelepon,” ucapnya.
“Dia (pelaku, red) nelepon kemudian saya diarahkan, bapak itu minta nomor telepon. Kemudian saya diarahkan ulur waktu. Jadi saya melakukan negosiasi di sana, berusaha untuk berbicara biar lama,” jabarnya.
“Pertama dari Rp100 juta, kemudian Rp 80 juta. Kemudian Rp50 juta, sampai Rp30 juta, kemudian Rp20 juta, dan Rp10 juta terakhir,” timpal ibu korban.
Sementara itu, alasan sang anak mau diajak pelaku karena sang anak mengira bahwa pelaku masih karyawan orangtuanya, karena memang biasanya sang anak dijemput karyawan orang tuanya.
“Iya, memang karyawan saya yang jemput biasanya, anak saya mengenali dari suaranya, dan pelaku juga pernah menjemput kanak,” pungkasnya.
Ketika itu, korban hendak dijemput karyawan orangtuanya namun sudah tidak ada di SDK Harapan.
Tidak berselang lama, pelaku penculikan menelpon ibu korban dan meminta tebusan.
Orangtua korban kemudian melapor ke Polsek Denpasar Selatan untuk dilakukan penyelidikan lebih lanjut.
Polisi bergerak cepat melakukan penyisiran di seputaran By Pass Ngurah Rai karena dari pendalaman diketahui pelaku penculikan berada di area tersebut.
Kemudian diketahui pelaku penculikan sedang berada di areal kebun di kawasan Pesanggaran, Denpasar Selatan.
Saat Tim Polsek Denpasar Selatan melakukan penyisiran, orangtua korban diminta tebusan Rp100 juta oleh pelaku.
Kepolisian pun meminta orangtua korban mengulur waktu membicarakan terkait tebusan penculikan.
Sehingga, memiliki cukup waktu memburu pelaku penculikan.
Rencana berhasil, tim Polsek Denpasar Selatan langsung menyergap pelaku penculikan yang terlihat membonceng korban.
Pelaku sempat berupaya melarikan diri hingga korban penculikan akhirnya dapat diselamatkan dalam keadaan sehat namun mengalami trauma.
“Saat mengetahui anak tidak ada di sekolah, orang tua berkoordinasi dengan pihak sekolah. Dan mengecek CCTV sekolah yang terlihat dijemput oleh seseorang dengan menggunakan sepeda motor,” ungkap Kapolsek Denpasar Selatan Kompol Herson Djuanda.di Polsek setempat, pada Kamis (6/2/2025).
“Pelaku menculik anak untuk meminta tebusan uang sebesar Rp 100 Juta,” bebernya.
Kapolsek menjelaskan, bahwa motif penculikan anak tersebut adalah sakit hati karena diberhentikan kerja di perusahaan orangtua korban.
Pelaku penculikan anak yang berasal dari Banjar Dinas Belubuh, Desa Seraya, Karangasem itu bekerja dua bulan terakhir sebagai kurir tempat distributor kosmetik itu.
“Pelaku sakit hati karena diberhentikan kerja oleh bapak korban. Pelaku mengakui perbuatannya tersebut karena dendam terhadap orang tua korban yang mengeluarkan pelaku dari tempat kerja,” pungkasnya.
Polisi mengamankan barang bukti berupa sepeda motor Honda beat warna hitam DK 6980 MR yang digunakan pelaku beraksi dan 1 buah HP Iphone. (TRIBUN BALI)
-

Video Motif Penculik Anak Mantan Bosnya di Bali: Sakit Hati Dipecat
Video Motif Penculik Anak Mantan Bosnya di Bali: Sakit Hati Dipecat
136 Views | Kamis, 06 Feb 2025 14:07 WIB
Polisi telah menangkap I Wayan Sudirta (IWS), pelaku penculikan anak di Denpasar, Bali. Polisi mengungkap, motif pelaku karena kesal dipecat oleh mantan bosnya, yang juga ayah dari korban.
I Nyoman Adhisthaya Sawitra – 20DETIK
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5032928/original/095264400_1733195927-WhatsApp_Image_2024-12-03_at_10.16.16.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Pernyataan Kapolrestabes Semarang hingga Komisi III DPR saat RDP Bahas Kasus Polisi Tembak Siswa – Page 3
Anggota Komisi III dari Fraksi PDIP I Wayan Sudirta, meminta Kapolrestabes Semarang Kombes Pol Irwan Anwar tidak melindungi Aipda Robig yakni polisi yang tembak siswa SMKN 4 Semarang, GRO (17) hingga berujung kematian.
“Khusus kepada Pak Kapolres Semarang saya dengar reputasinya bagus, karena itu saya menyampaikan satu pak jangan pasang badan untuk lindungi anggota dalam kasus ini pak, cintai kepolisian dengan bertindak tegas. Kalau dia salah ya katakan kesalahan,” kata Wayan dalam Rapat Komisi III bersama Kapolrestabes Semarang, di DPR, Selasa 3 Desember 2024.
Wayan meminta Irwan agar peristiwa penembakan tidak berulang.
“Apa yang bapak akan lakukan sebagai terobosan agar kejadian ini tidak terulang. Sebenarnya kami ingin menagih janji dan sejenis komitmen, bisa kah pastikan di Semarang ataupun Indonesia mulai besok tidak ada lagi penembakan oleh polisi,” kata dia.
Sebelumnya, Wayan menanyakan kepada Irwan, apakah masih perlu polisi memegang senjata api ke depan. Mengingat senjata telah banyak memakan korban.
“Orang mulai mengusik senjata yang dipegang polisi. Apa masih perlu kepolisian pegang senjata. Bisa bapak gambarkan gak di mana kelemahan SOP, sampe senjata dengan mudah yang harusnya melindungi rakyat tapi malah bukannya hanya membunuh rakyat tapi bisa juga membunuh polisi,” kata Wayan.
Wayan menyebut pihaknya membaca kajian bahwa polisi ke dean lebih baik membawa pentungan seperti negara maju.
“Ada kajian walau berupa UU, kajian yang ada tentang polisi cukup berupa pentungan seperti negara maju, kelihatannya perlahan tapi pasti kita mengarah ke sana. Beri gambaran kepada kami kenapa senjata masih perlu dipegang,” kata dia.
Wayan mengingatkan, apabila ke depan polisi masih akan terus memegang pistol, aka tak boleh untuk membunuh rakyat.
“Jika polisi masih boleh memegang senjata, gubakan secara baik. Jangan digunakan untuk menghadapi rakyat,” pungkasnya.