Tag: Hun Sen

  • Prabowo – Hun Sen Lalu Pembicaraan Empat Mata, Apa yang Dibahas?

    Prabowo – Hun Sen Lalu Pembicaraan Empat Mata, Apa yang Dibahas?

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto bertemu empat mata dengan Presiden Senat Kerajaan Kamboja, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Senin (5/5/2025) siang.

    Berdasarkan pantauan Bisnis, Prabowo menyambut langsung kedatangan Hun Sen sekitar pukul 11.13 WIB. Prabowo tampak menyapa hangat Hun Sen saat keluar dari mobil berwarna hitam.

    Setelah itu, Prabowo mengajak tamunya berdiri di podium depan Istana Merdeka untuk mengikuti upacara penyambutan resmi.

    Sebelum tiba di lokasi, iring-iringan kendaraan Hun Sen yang dikawal pasukan berkuda sempat melintasi kawasan Monas.

    Dalam upacara penyambutan, kedua pemimpin mendengarkan lagu kebangsaan masing-masing negara yang diiringi dentuman meriam. Selanjutnya, Prabowo dan Hun Sen berjalan bersama di atas karpet biru untuk memeriksa barisan kehormatan, sebelum memperkenalkan anggota delegasi dari kedua negara.

    Usai upacara, keduanya memasuki Istana Merdeka untuk sesi foto bersama di Ruang Kredensial, dilanjutkan dengan penandatanganan buku tamu resmi. Setelah itu, keduanya mengadakan pertemuan tête-à-tête atau pertemuan pribadi.

    Beberapa pejabat negara tampak mendampingi Prabowo, di antaranya Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Sosial Saifullah Yusuf, serta Sekretaris Kabinet Letkol Teddy Indra Wijaya.

    Sebelumnya, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Yusuf Permana, telah mengonfirmasi agenda tersebut. Dia menyebut pertemuan akan digelar pukul 11.00 WIB di Istana Kepresidenan.

    “Pertemuan ini merupakan momen penting untuk memperkuat hubungan bilateral Indonesia-Kamboja dan memperluas kerja sama strategis di berbagai sektor,” tandas Yusuf.

  • Penuh Kemeriahan, Prabowo Sambut Kehadiran Presiden Senat Kamboja – Page 3

    Penuh Kemeriahan, Prabowo Sambut Kehadiran Presiden Senat Kamboja – Page 3

    “Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto diagendakan menerima kunjungan kehormatan Presiden Senat Kerajaan Kamboja Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin, 5 Mei 2025 sekitar pukul 11.00 WIB,” tutur Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana dalam keterangan tertulisnya.

    Menurut Yusuf, tentunya pertemuan tersebut menjadi momen penting dalam membangun hubungan kedua negara.

    “Presiden Prabowo dan Presiden Senat Hun Sen akan melakukan pertemuan dengan delegasi kedua negara. Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk mempererat dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Kamboja, serta memperkuat kerja sama di berbagai bidang strategis,” kata dia.

  • Prabowo Akan Terima Kunjungan Presiden Senat Kamboja di Istana Siang Ini – Page 3

    Prabowo Akan Terima Kunjungan Presiden Senat Kamboja di Istana Siang Ini – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan menerima kunjungan Presiden Senat Kerajaan Kamboja, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen di Istana Negara, Jakarta Pusat, Senin (5/5/2025) siang ini.

    “Presiden Republik Indonesia Bapak Prabowo Subianto diagendakan menerima kunjungan kehormatan Presiden Senat Kerajaan Kamboja Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen di Istana Kepresidenan Jakarta, pada Senin, 5 Mei 2025 sekitar pukul 11.00 WIB,” tutur Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Yusuf Permana dalam keterangan tertulisnya.

    Menurut Yusuf, tentunya pertemuan tersebut menjadi momen penting dalam membangun hubungan kedua negara.

    “Presiden Prabowo dan Presiden Senat Hun Sen akan melakukan pertemuan dengan delegasi kedua negara. Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk mempererat dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Kamboja, serta memperkuat kerja sama di berbagai bidang strategis,” kata dia.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menerima kunjungan Utusan Khusus Perdana Menteri Jepang, yang juga mantan Perdana Menteri Jepang, Fumio Kishida, beserta delegasi di kediamannya di Kertanegara, Jakarta, pada Minggu malam, 4 Mei 2025.

    Dalam pertemuan tersebut, Kishida menyampaikan surat dari Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, kepada Presiden Prabowo.

    “Ya tentu mantan PM Kishida itu menyampaikan surat dari Perdana Menteri Ishiba yang disampaikan langsung kepada Pak Presiden dan tentu salah satu isinya terkait dengan beliau special envoy Perdana Menteri khusus untuk proyek-proyek AZEC (Asia Zero Emission Community) ini,” ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (5/5/2025).

     

  • Presiden Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Kamboja Hun Sen Pagi Ini

    Presiden Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Kamboja Hun Sen Pagi Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan menerima kunjungan kehormatan dari Presiden Senat Kerajaan Kamboja, Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (5/5/2025).

    Selain sebagai Presiden Senat, Hun Sen adalah politikus berpengaruh Kamboja. Dia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri terlama dan baru mundur pada tahun 2023 lalu.

    Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden, Yusuf Permana mengatakan bahwa kunjungan tersebut akan berlangsung sekitar pukul 11.00 WIB dan pertemuan ini akan melibatkan delegasi dari kedua negara.

    “Presiden Prabowo dan Presiden Senat Hun Sen akan melakukan pertemuan dengan delegasi kedua negara,” ungkap Yusuf lewat pesan teks, Senin (5/5/2025).

    Yusuf pun menekanka bahwa kunjungan ini diharapkan menjadi langkah nyata dalam memperdalam hubungan diplomatik dan memperluas kolaborasi antara Indonesia dan Kamboja di berbagai sektor, termasuk ekonomi, pendidikan, dan pertahanan.

    “Pertemuan ini menjadi momentum penting untuk mempererat dan meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan Kamboja, serta memperkuat kerja sama di berbagai bidang strategis,” pungkas Yusuf.

    Dalam catatan Bisnis, Kamboja akhir-akhir ini juga sering disorot oleh media dan pegiat hak asasi manusia, karena dianggap sebagai tempat beroperasinya judi online. Jaringan judi online Kamboja bahkan memperkejakan warga negara Indonesia sebagai admin atau bahkan sebagai opetor judol. 

  • Meningkatnya Risiko dalam Peliputan Berita di Kamboja

    Meningkatnya Risiko dalam Peliputan Berita di Kamboja

    Jakarta

    Pemerintah Kamboja dituduh sedang menargetkan para jurnalis, baik lokal maupun asing, yang meliput isu-isu sensitif. Hal itu menimbulkan pertanyaan, apakah peliputan berita di negara Asia Tenggara tersebut menjadi semakin berisiko?

    Dalam salah satu insiden terbaru, jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ditolak masuk kembali ke Kamboja di Bandara Internasional Siem Reap bulan lalu setelah berlibur singkat di negara tetangga, Thailand.

    Flynn mengatakan, pejabat imigrasi Kamboja mengatakan visa miliknya palsu dan ia “dilarang masuk secara permanen” ke Kamboja. Ia kemudian dipaksa naik pesawat kembali ke Thailand.

    Flynn merupakan staf penulis di Mongabay, sebuah situs berita konservasi yang berbasis di Amerika Serikat. Ia baru-baru ini berkontribusi dalam sebuah film dokumenter dari media Prancis tentang tantangan lingkungan di Kamboja, di mana temuan itu disebut pemerintah Kamboja sebagai “berita palsu.”

    Ancaman bahaya peliputan berita di Kamboja

    Nathan Paul Southern, seorang jurnalis sekaligus direktur pelaksana di Eyewitness Project, sebuah organisasi jurnalisme investigatif, secara rutin melaporkan berita di Kamboja dalam beberapa tahun terakhir. Ia memperingatkan, segala bentuk peliputan yang mempermalukan negara itu bisa berbahaya.

    “Di Kamboja, hampir semua orang menyensor diri sendiri, berhenti dari profesinya, atau melarikan diri. Melaporkan isu-isu lingkungan itu sangat berbahaya, tetapi meliput krisis lain yang mempermalukan pemerintah juga bisa membuat seseorang terbunuh atau dipenjara,” katanya kepada DW.

    Pada Desember tahun lalu, jurnalis isu lingkungan asal Kamboja, Chhoeung Chheng, ditembak saat sedang menyelidiki pembalakan liar atau penggundulan hutan ilegal di Provinsi Siem Reap. Ia kemudian meninggal akibat luka yang dideritanya. Pihak berwenang mengklaim telah menangkap pelaku penembakan dan menyatakan bahwa insiden itu adalah perselisihan pribadi.

    Kematian Chhoeung mengingatkan pada kasus serupa yang terjadi satu dekade sebelumnya, ketika jurnalis Tiang Try ditembak dan dibunuh saat sedang menyelidiki pembalakan liar di Kamboja.

    Pihak berwenang Kamboja juga dituduh menindak para advokasi aktivis lingkungan dengan menjatuhkan hukuman penjara terberat.

    Pada Juli 2024, 10 anggota kelompok aktivis Mother Nature dijatuhi hukuman enam hingga delapan tahun penjara atas tuduhan bersekongkol melawan negara Kamboja.

    Para aktivis lingkungan itu sedang menyelidiki pencemaran limbah di Sungai Tonle Sap di Phnom Penh dan telah lama berkampanye menentang perusakan lingkungan di Kamboja, dengan tuduhan terkait dengan korupsi.

    “Pemerintah Kamboja semakin agresif terhadap segala bentuk kritik, sekecil apa pun, dan bagi banyak orang hal ini dapat mengancam nyawa atau mengubah hidup mereka secara drastis, baik bagi jurnalis yang berani dan berdedikasi seperti Gerry maupun bagi masyarakat biasa yang hanya mengungkapkan kekhawatirannya di Facebook,” kata Southern.

    “Jurnalis, aktivis, dan pekerja nonpemerintah asal Kamboja yang tidak memilih meninggalkan negara ini dengan berani mengambil risiko paling besar, tetapi mereka justru paling sedikit menerima dukungan dan perhatian internasional.”

    Memenjarakan para jurnalis

    Pada November 2024, Mech Dara, seorang jurnalis terkenal asal Kamboja, mengumumkan bahwa ia memilih berhenti dari profesinya dua bulan setelah ditangkap dan dihukum atas tuduhan penghasutan setelah menerbitkan laporan yang mengungkap skandal penipuan dan korupsi online. Dara menghabiskan lebih dari 30 hari dalam tahanan praperadilan dan masih menghadapi hukuman hingga dua tahun penjara.

    Tuduhan serupa juga dialami oleh jurnalis asal Kamboja lainnya, Sok Oudom, yang dijatuhi hukuman 20 bulan penjara pada 2020, karena dianggap telah menyiarkan berita palsu dengan tujuan menimbulkan hasutan.

    Sejak 2017, beberapa media di Kamboja juga dicabut izin penyiarannya, termasuk Voice of Democracy (VOD), salah satu media independen terakhir di Kamboja.

    Akibatnya, semakin banyak warga Kamboja yang beralih ke media sosial untuk mendapatkan asupan berita. Namun, mengunggah di media sosial pun juga berisiko bagi para jurnalis.

    Pada 2021, Khou Piseth didakwa atas tuduhan penghasutan setelah mengkritik pejabat di media sosial Facebook terkait kebijakan COVID-19, menurut laporan berita. Pada tahun yang sama, Youn Chhiv, yang mengelola situs Koh Kong Hot News, dijatuhi hukuman satu tahun penjara setelah ia “mengunggah komentar yang menimbulkan keresahan” di Facebook, menurut Vey Phearom, wakil jaksa di pengadilan provinsi Koh Kong.

    Serangan terhadap jurnalisme

    Aliansi Jurnalis Kamboja (CamboJA), sebuah asosiasi jurnalis berbasis keanggotaan yang bersifat netral secara politik, telah mencatat setidaknya ada 14 kasus di mana jurnalis menjadi target secara hukum atau fisik dari Juli hingga September 2024.

    Nop Vy, Direktur Eksekutif CamboJA, mengatakan bahwa pemerintah Kamboja semakin tidak toleran terhadap jurnalisme investigatif.

    “Kami (telah) menemukan bahwa hukum pidana (Kamboja) lebih sering (digunakan) untuk melawan jurnalis, bukan hukum perdata atau pers, dan itu membuat suasana yang menakutkan bagi pers,” katanya kepada DW melalui email.

    “Keputusan pemerintah Kamboja untuk menolak masuknya jurnalis asal Inggris, Gerald Flynn, ke Kamboja dan melarangnya dari negara ini adalah serangan terang-terangan terhadap jurnalisme dan menjadi contoh lain dari ketidaktoleranan otoritas Kamboja terhadap jurnalisme yang kritis dan investigatif.”

    Menanggapi kekhawatiran terkait kebebasan pers itu, Kementerian Informasi Kamboja menegaskan komitmen pihaknya untuk terus melindungi jurnalis dan menjamin kebebasan pers di negara itu.

    Dalam pernyataan yang dimuat oleh The Phnom Penh Post mengenai kondisi media di Kamboja pada 2024, seorang juru bicara kementerian bertekad untuk terus menciptakan lingkungan kerja yang aman bagi para jurnalis di Kamboja, mendukung pengembangan profesional mereka, dan menegakkan kebebasan pers.

    “Kami mendesak semua jurnalis untuk bekerja dengan jujur, integritas, dan tanpa keberpihakan, menjaga martabat dan disiplin, serta mengedepankan kepentingan publik, mematuhi standar etika, dan menghormati prinsip-prinsip jurnalistik guna meningkatkan nilai dan kualitas jurnalisme serta keberlanjutan sektor media di Kamboja,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

    Dinasti yang berkuasa

    Partai Rakyat Kamboja (CPP) telah berkuasa sejak 1979 di negara itu. Banyak kritikus menyebut para pemimpin Kamboja ini sebagai “Dinasti Hun.”

    Mantan Perdana Menteri (PM) Kamboja Hun Sen telah memimpin negara ini selama hampir empat dekade, sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada putranya, PM Hun Manet, pada 2023.

    Di bawah kepemimpinan keduanya, pemerintah Kamboja semakin memperketat cengkeramannya dengan melarang adanya oposisi politik, menargetkan media independen, serta menindak para kritikus dan pembangkang baik di dalam maupun luar negeri.

    Aleksandra Beilakowska, manajer advokasi di Reporters Without Borders (RSF), memperingatkan bahwa Kamboja telah menekan para media independen untuk mengendalikan opini publik dan semakin memperkuat kekuasaan dinasti itu.

    “Dengan menekan jurnalis, pemerintah Kamboja mengirimkan pesan menakutkan dan mengancam siapa pun yang masih mencoba meminta pertanggungjawaban dari para penguasa,” katanya.

    Kamboja kini berada di peringkat ke-151 dari 180 negara dan wilayah, dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia laporan RSF. Posisi Kamboja itu turun sembilan peringkat dalam dua tahun terakhir.

    Artikel ini diadaptasi dari bahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Penembakan Politisi Kamboja, Thailand Tak Aman Bagi Pembangkang di Asia Tenggara – Halaman all

    Penembakan Politisi Kamboja, Thailand Tak Aman Bagi Pembangkang di Asia Tenggara – Halaman all

    Kegagalan Bangkok dalam melindungi para pembangkang dan pengungsi politik kembali disorot, setelah pada tanggal 7 Januari lalu seorang mantan anggota parlemen Kamboja, Lim Kimya, ditembak mati di ibu kota Thailand. Padahal, dia baru saja tiba di Bangkok pada hari itu dengan menumpang bus dari Kamboja.

    Juga ada laporan terpisah, pemerintah Thailand sedang mempersiapkan pengiriman balik 48 orang Uighur ke Cina. Warga etnis Uighur tersebut sebelumnya telah ditahan di Bangkok selama lebih dari satu dekade.

    “Pembunuhan Lim Kimya dan situasi terkait etnis Uighur saat ini, menunjukkan bahwa Thailand bukanlah tempat yang aman bagi para pengungsi,” kata Patrick Phongsathorn, seorang spesialis advokasi senior di Fortify Rights, kepada DW.

    Deretan panjang kekerasan terhadap pengungsi politik

    Namun, pembunuhan Lim Kimya dan dugaan rencana deportasi warga Uighur itu hanyalah kasus terbaru dalam deretan panjang insiden kekerasan terkait migran di Thailand.

    Pada November 2024, otoritas Thailand secara paksa mengembalikan enam aktivis oposisi ke Kamboja untuk dihadapkan pada tuduhan pengkhianatan. Padahal, mereka memiliki status pengungsi yang diakui oleh PBB.

    Pada pertengahan 2024, Bangkok juga menangkap Y Quynh Bdap, seorang aktivis hak-hak etnis minoritas Vietnam, menyusul permintaan ekstradisi dari Hanoi.

    Setahun sebelumnya, Bounsuan Kitiyano, seorang aktivis politik Laos yang juga memiliki status pengungsi PBB, dibunuh di provinsi Ubon Ratchathani, Thailand bagian timur laut.

    Pada tahun 2015, Thailand juga memulangkan 109 tahanan Uighur ke Cina, sebuah keputusan yang dikecam secara luas. 48 orang lainnya yang diduga akan dideportasi berdasarkan laporan terbaru, saat ini masih berada di penjara Thailand.

    Menurut Phongsathorn, mengirimkan warga etnis Uighur kembali ke Cina, adalah sebuah tindakan ilegal. Uighur adalah sebuah kelompok etnis yang sebagian besar beragama Islam di provinsi Xinjiang, Cina bagian barat laut, yang kerap mendapat persekusi dari Beijing.

    “Pemerintah tidak hanya melanggar hukum internasional, tetapi juga undang-undang anti-penyiksaannya sendiri, yang melindungi individu dari deportasi ke tempat-tempat di mana mereka menghadapi penyiksaan atau penganiayaan,” kata Phongsathorn.

    Tak ada keamanan di Asia Tenggara

    Bukan hanya Thailand, negara-negara lain di Asia Tenggara juga tampaknya mengikuti tren yang sama.

    Dalam sebuah email kepada DW, Amnesty International mengaku telah “mengamati eskalasi penindasan transnasional yang mengakhawatirkan” di Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar.

    “Para aktivis, pembela hak asasi manusia, dan pembangkang politik yang melarikan diri dari negara asalnya, dengan harapan mendapatkan tempat berindung yang aman, akhirnya menghadapi penculikan, penghilangan paksa, pembunuhan, dan pemulangan paksa ke tempat-tempat di mana mereka terancam menghadapi pelanggaran hak asasi manusia,” kata Chanatip Tatiyakaroonwong, peneliti Amnesty International untuk Thailand dan Laos.

    Sebagai contoh, aktivis hak asasi manusia Thailand, Wanchalearm Satsaksit, menghilang di Kamboja pada tahun 2020. Setahun sebelumnya, tiga aktivis Thailand, Chucheep Chiwasut, Siam Theerawut, dan Kritsana Tupthai, hilang setelah dilaporkan ditangkap di Vietnam. Keberadaan mereka masih belum diketahui.

    Pada akhir 2018, mayat dua aktivis anti-kerajaan Thailand, Chatcharn Buppawan dan Kraidej Luelert, ditemukan tertimbun beton di tepi Sungai Mekong.

    Menurut Chanatip, identitas para pelaku masih belum diketahui dalam banyak kasus, “meskipun ada kecurigaan kuat akan keterlibatan negara, karena para korban adalah para pengkritik dan pembangkang.”

    Polisi klaim pembunuhan Lim Kimya tidak bermotif politik

    Komisaris Polisi Thailand, Jenderal Pol Kitrat Phanphet, terkait penembakan Lim Kimya di Bangkok mengatakan, kejahatan tersebut “tidak bermotif politik, tetapi berasal dari konflik pribadi.” Kitrat tidak merinci bagaimana polisi bisa sampai pada kesimpulan tersebut.

    Namun, politisi Kamboja Sam Rainsy menuding mantan penguasa Kamboja, Hun Sen, sebagai dalang di balik pembunuhan tersebut.

    “Puluhan anggota oposisi telah dibunuh tanpa proses hukum,” kata Rainsy dalam sebuah unggahan online, seraya menambahkan bahwa dirinya juga menghadapi beberapa percobaan pembunuhan.

    Pada hari Lim Kimya ditembak, yang bertepatan dengan peringatan runtuhnya rezim Khmer Merah, mantan PM Hun Sen, yang pada tahun 2023 menyerahkan kekuasaan kepada putranya, Hun Manet, menyerukan undang-undang baru untuk melabeli mereka yang berusaha menggulingkan pemerintahan putranya sebagai “teroris.”

    Faktor kedekatan Bangkok dan Phnom Penh

    Dalam wawancara dengan DW, Tyrell Haberkorn, seorang profesor studi Asia Tenggara di University of Wisconsin-Madison, mengatakan kasus Lim Kimya adalah “bagian dari penganiayaan yang sudah berlangsung lama dan tidak berubah” terhadap para pengungsi politik dan pencari suaka di Thailand.

    “Apa yang memungkinkan hal ini terjadi dengan impunitas, adalah keengganan untuk menyelidiki atau meminta pertanggungjawaban para pelaku,” katanya.

    Selain itu, pemerintah Thailand dan Kamboja juga memiliki hubungan yang sangat dekat.

    Sebuah laporan dari Human Rights Watch pada tahun 2024, mengaitkan “intimidasi dan pelecehan, pengawasan, dan kekerasan fisik” yang dihadapi para pembangkang Kamboja di Thailand, dengan dekatnya hubungan antara Hun Sen dan mantan Perdana Menteri Thailand, Jenderal Prayuth Chan-ocha.

    Setelah pembunuhan Lim Kimya, otoritas Thailand harus menentukan “apakah ada kolusi antara elemen-elemen politik di Thailand dan Kamboja,” kata Phonsathorn kepada DW.

    Thailand menjadi lebih aman dengan bergabung ke UNHRC?

    Terlepas dari kegagalannya melindungi para pembangkang, Thailand sukses mewujudkan targetnya mendapatkan kursi di Dewan Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC) tahun lalu. Keanggotaannya telah dimulai pada 1 Januari dan akan berlaku selama tiga tahun.

    “Kinerja hak asasi manusia Thailand akan berada di bawah pengawasan yang lebih ketat, dan negara serta pemerintah Thailand akan memiliki standar yang lebih tinggi sebagai anggota UNHRC,” jelas Phongsathorn.

    Meski begitu, masih belum jelas bagaimana keanggotaan ini akan berdampak pada dugaan kesepakatan dengan pemerintah lain “terkait penindasan transnasional,” tambahnya.

    Sementara Chanatip mengatakan: “Pemerintah Thailand harus menggunakan keanggotaannya sebagai kesempatan untuk menjadi pemimpin dalam meningkatkan hak-hak pengungsi dan pencari suaka, baik di Thailand maupun di seluruh kawasan.”

    Diadaptasi dari artkel DW bahasa Inggris

  • Mantan Anggota Parlemen Oposisi Kamboja Tewas Ditembak di Bangkok

    Mantan Anggota Parlemen Oposisi Kamboja Tewas Ditembak di Bangkok

    Bangkok

    Seorang mantan anggota parlemen oposisi Kamboja, Lim Kimya, tewas usai ditembak seorang pria bersenjata yang mengendarai sepeda motor di Bangkok, Thailand. Polisi masih memburu pelaku dan belum mengetahui motif pembunuhan tersebut.

    “Lim Kimya… tewas di tempat kejadian. Petugas dari Biro Kepolisian Metropolitan telah memulai perburuan untuk menangkap pembunuhnya,” Bangkok Post melaporkan, seraya menambahkan bahwa korban adalah warga negara Kamboja-Prancis, dilansir AFP, Selasa (7/1/2025).

    Polisi Thailand mengonfirmasi kematian seorang pria Kamboja tanpa mengidentifikasi Lim Kim-ya.

    “Kami saat ini sedang menyelidiki motifnya dan akan memberikan informasi lebih lanjut di lain waktu,” katanya kepada AFP.

    Beberapa media Thailand melaporkan bahwa seorang pria bersenjata yang mengendarai sepeda motor menembaki Lim Kimya saat ia tiba di ibu kota Thailand dari kota Siem Reap di Kamboja. Korban menggunakan bus dan ditemani oleh istrinya yang berkebangsaan Prancis dan seorang paman warga negara Kamboja.

    Seorang jurnalis foto AFP melihat darah di lokasi kejadian dekat kawasan populer Khao San Road di Bangkok.

    Hun Sen mengundurkan diri pada tahun 2023 dan menyerahkan kepemimpinan kepada putra sulungnya, Hun Manet.

    Diketahui, Lim Kimya terpilih sebagai anggota oposisi parlemen Kamboja setelah pemilihan umum pada tahun 2013 di mana partai yang berkuasa di bawah mantan pemimpin Hun Sen hampir kalah dalam pemilihan dari pesaingnya saat itu, Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP).

    Kelompok hak asasi manusia menuduh Hun Sen — yang memerintah Kamboja selama hampir empat dekade — menggunakan sistem hukum untuk menghancurkan setiap oposisi terhadap pemerintahannya. Puluhan politisi dan aktivis oposisi dihukum dan dipenjara selama masa kekuasaannya.

    Meskipun memegang kewarganegaraan Prancis, Lim Kimya tidak bergabung dengan puluhan anggota parlemen yang melarikan diri ke luar negeri setelah Presiden CNRP Kem Sokha ditahan atas tuduhan pengkhianatan pada tahun 2017.

    Lim Kimya mengatakan kepada AFP saat itu di Phnom Penh: “Saya tidak akan pernah menyerah pada politik”.

    (aik/jbr)

  • Mantan Politisi Oposisi Kamboja Ditembak Mati di Bangkok

    Mantan Politisi Oposisi Kamboja Ditembak Mati di Bangkok

    Jakarta, CNN Indonesia

    Mantan anggota parlemen oposisi Kamboja Lim Kimya ditembak mati pria bersenjata yang mengendarai sepeda motor di Bangkok, Thailand pada Selasa (7/1). Lim Kimya diberitakan media Thailand langsung tewas di tempat.

    Polisi Thailand awalnya mengonfirmasi kematian seorang pria Kamboja tanpa mengidentifikasi Lim Kimya, dan mengatakan kepada AFP “kami sedang menyelidiki motifnya dan akan memberikan informasi lebih lanjut di lain waktu.”

    “Petugas dari Biro Kepolisian Metropolitan telah memulai perburuan untuk menangkap pembunuhnya,” Bangkok Post melaporkan, seraya menambahkan bahwa korban tewas adalah warga negara Kamboja-Prancis.

    Beberapa media Thailand melaporkan seorang pria bersenjata mengendarai sepeda motor menembaki Lim Kimya saat ia tiba di Bangkok dari kota Siem Reap, Kamboja, bersama istrinya yang berkebangsaan Prancis dan paman yang berkebangsaan Kamboja.

    Seorang jurnalis foto AFP melihat darah di tempat kejadian dekat kawasan Jalan Khao San yang populer di Bangkok.

    Penembakan yang menewaskan Lim Kimya terjadi pada hari yang sama ketika mantan pemimpin berpengaruh Kamboja Hun Sen menyerukan undang-undang baru untuk melabeli siapa pun yang mencoba menggulingkan pemerintahan putranya Hun Manet sebagai “teroris.”

    Hun Sen mengundurkan diri pada 2023 dan menyerahkan kepemimpinan kepada putra sulungnya, Hun Manet.

    Lim Kimya terpilih sebagai anggota oposisi parlemen Kamboja setelah pemilihan umum pada 2013 di mana partai yang berkuasa di bawah mantan pemimpin Hun Sen hampir kalah dari Partai Penyelamat Nasional Kamboja (CNRP) kala itu.

    CNRP, yang didirikan pada 2012 oleh para pemimpin oposisi Sam Rainsy dan Kem Sokha, dibubarkan oleh perintah pengadilan pada 2017.

    Puluhan politisi dan anggota parlemen oposisi, termasuk Lim Kimya, dilarang melakukan kegiatan politik setelah pembubaran partai tersebut.

    Kelompok-kelompok hak asasi manusia menuduh Hun Sen — yang memerintah Kamboja selama hampir empat dekade menggunakan sistem hukum untuk menghancurkan setiap oposisi terhadap pemerintahannya.

    Puluhan politisi dan aktivis oposisi dihukum dan dipenjara selama masa kekuasaannya.

    Meskipun memegang kewarganegaraan Prancis, Lim Kimya tidak bergabung dengan puluhan anggota parlemen yang melarikan diri ke luar negeri setelah presiden CNRP Kem Sokha ditahan atas tuduhan pengkhianatan pada 2017.

    Lim Kimya mengatakan kepada AFP saat itu di Phnom Penh, “Saya tidak akan pernah menyerah pada politik.”

    (AFP/chri)

  • Mengapa Thailand dan Kamboja Bentrok Soal Pulau Koh Kood? – Halaman all

    Mengapa Thailand dan Kamboja Bentrok Soal Pulau Koh Kood? – Halaman all

    Ratusan ribu wisatawan melakukan perjalanan setriap tahun ke pulau Koh Kood, atau Ko Kut, di Teluk Thailand. Pulau terbesar keempat di Thailand ini di kalangan wisatawan asing mungkin tidak sepopuler Phuket atau Koh Samui, namun relevansinya semakin meningkat — dan bukan hanya karena pulau ini kini menjadi pusat perselisihan internasional.

    Pulau ini diyakini memiliki cadangan gas dan minyak yang sangat besar. Eksploitasi energi terhenti, karena Kamboja mengklaim sebagian wilayah tersebut. Kini, dengan meningkatnya permintaan energi di kedua negara Asia Tenggara tersebut, konflik rebutan pulau Koh Kood semakin meluas.

    Akar perselisihan ini sebenarnya sudah ada sejak era kolonial. Pada awal tahun 1900-an, Prancis menguasai wilayah yang dikenal sebagai Indochina, yang terdiri dari beberapa koloninya yang juga mencakup Kamboja saat ini.

    Pada tahun 1904, penguasa kolonial Indochina menyerahkan Koh Kood kepada Thailand, yang saat itu masih bernama Siam. Masalah perbatasan tersebut kemudian diselesaikan dengan Perjanjian Perancis-Siam pada tahun 1907.

    Pada tahun 1972, Indochina tidak lagi berfungsi dan Kamboja mengklaim batas maritim di sisi wilayah kedaulatannya berdasarkan perjanjian tersebut, termasuk bagian selatan pulau Koh Kood. Thailand tidak setuju, dan menyatakan pihaknya menguasai seluruh pulau itu.

    Tita Sanglee, analis independen di Thailand, mengatakan definisi perbatasan Kamboja dalam perjanjian itu kontroversial. “Klaim Kamboja berakar pada penafsiran yang berbeda terhadap perjanjian tersebut. Perlu dicatat bahwa perjanjian tahun 1907, seperti perjanjian-perjanjian lain pada masanya, dimaksudkan untuk membahas batas-batas daratan, bukan laut. Inilah sebabnya penafsiran Kamboja menjadi kontroversial,” katanya kepada DW.

    Diselesaikan antara keluarga penguasa?

    Pada tahun 2001, pemerintah Thailand mencapai nota kesepahaman mengenai klaim yang tumpang tindih, dimana Perdana Menteri saat itu Thaksin Shinawatra membahas pembagian keuntungan dari sumber daya energi Koh Kood dengan Hun Sen dari Kamboja.

    Kaum nasionalis Thailand marah dengan tawaran Thaksin kepada Kamboja, dan bersikeras bahwa Thailand tidak boleh menyerahkan tanah atau sumber daya apa pun kepada tetangganya. “Perselisihan yang muncul saat ini adalah karena pemerintah Thailand dan Kamboja, keduanya untuk pertama kalinya menyatakan ingin melanjutkan perundingan perbatasan maritim. Kedua belah pihak ingin memanfaatkan cadangan energi di kawasan yang belum dimanfaatkan, karena mereka menghadapi kenaikan biaya impor energi,” kata Tita.

    Saat ini, Thailand diperintah oleh Paetongtarn Shinawatra, putri Thaksin Shinawatra. Kamboja dipimpin oleh Hun Manet, putra Hun Sen. Ikatan pribadi antara keluarga penguasa tampaknya kuat, dan bagi banyak nasionalis Thailand, ini alasan untuk khawatir.

    “Yang mengkhawatirkan bagi banyak warga Thailand adalah semakin eratnya hubungan pribadi antara kepemimpinan Thailand dan Kamboja saat ini. Hal ini menimbulkan skeptisisme mengenai mengapa perundingan tampaknya berjalan begitu cepat,” kata Tita.

    “Ada banyak pertanyaan yang belum terselesaikan, termasuk status Koh Kood. Berdasarkan standar internasional, pulau itu milik Thailand.”

    Aktivis dan penentang kompromi mendapat tekanan

    Kedua pemerintah tampaknya bekerja sama dengan baik dalam apa yang oleh para pengkritiknya disebut sebagai represi transnasional – para aktivis dan pengkritik pemerintah yang melarikan diri melintasi perbatasan, cenderung tidak mendapat perlindungan baik di Kamboja maupun Thailand.

    Pada bulan November, Thailand mendeportasi enam aktivis Kamboja, yang sebagian besar telah diakui sebagai pengungsi di bawah Komisi Tinggi Pengungsi PBB. Mereka didakwa melakukan makar karena mengkritik pemerintah Kamboja.

    Namun Mark S. Cogan, profesor studi perdamaian & konflik di Universitas Kansai Gaidai di Jepang, memperingatkan, sejarah hubungan antara kedua negara panjang dan beragam, dan bahwa “pertanyaan kedaulatan” selalu menjadi pusat konflik antara Bangkok dan Phnom Penh.

    “Perselisihan wilayah mempunyai kenangan panjang di kalangan nasionalis Thailand,” dan ini tetap menjadi isu yang sangat penting “baik di luar pemerintahan maupun di dalam pemerintahan,” jelasnya.

    “Ini situasi yang sulit,” kata Tita Sanglee. “Jika pemerintah Kamboja menerima bahwa Koh Kood adalah milik Thailand, mereka harus menghadapi kemarahan kaum nasionalis di dalam negeri. Namun jika ada bagian dari kedaulatan Koh Kood yang dikompromikan, masyarakat Thailand tidak akan tinggal diam. Saya pribadi memperkirakan akan terjadi kebuntuan.”

  • Bikin Tegang, Kapal Perang AS Sandar Dekat Pangkalan China di Kamboja

    Bikin Tegang, Kapal Perang AS Sandar Dekat Pangkalan China di Kamboja

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sebuah kapal perang Amerika Serikat (AS) dilaporkan bersandar di Kamboja, Senin (16/12/2024). Kapal itu disebut sandar di dekat pangkalan Angkatan Laut China di negara itu.

    Mengutip AFP, kapal perang tersebut adalah USS Savannah. Kapal ini sandar di dekat wilayah Sihanoukville, dengan ketibaannya mendapatkan sambutan daru Angkatan Laut Phnom Penh.

    “Sangat senang bisa kembali, mengembalikan kehadiran AS di sini setelah delapan tahun. Kru kami sangat senang dijamu oleh Kamboja,” kata perwira komandan kapal AS, Daniel A. Sledz.

    Di sisi lain, Kementerian Pertahanan Kamboja mengatakan pada hari Jumat bahwa kunjungan USS Savannah itu bertujuan untuk memperkuat dan memperluas persahabatan serta mempromosikan kerja sama bilateral. Kapal itu akan sandar selama 5 hari.

    Hubungan Washington dengan Phnom Penh telah memburuk selama bertahun-tahun. Di sisi lain, China menggelontorkan miliaran dolar untuk investasi infrastruktur di bawah mantan pemimpin Kamboja Hun Sen.

    Sejak 2022, China telah mendanai renovasi pangkalan angkatan laut Ream, sekitar 30 kilometer (20 mil) dari Sihanoukville, yang awalnya dibangun sebagian menggunakan dana AS.

    Washington mengatakan pangkalan Ream dapat memberi Beijing posisi strategis utama di Teluk Thailand dekat Laut Cina Selatan yang disengketakan, di mana hampir 90% perairan itu diklaim China.

    Kapal perang China pertama kali berlabuh di dermaga sepanjang 363 meter (1.190 kaki) itu pada Desember tahun lalu. Dua kapal berlabuh di pelabuhan Sihanoukville pada Mei sebagai bagian dari latihan militer gabungan terbesar Beijing dengan Kamboja.

    Para pemimpin Kamboja telah berulang kali membantah bahwa pangkalan itu akan digunakan oleh kekuatan asing mana pun.

    Walau begitu, pada awal 2017, Kamboja membatalkan latihan gabungan serupa dengan pasukan AS yang telah diadakan selama tujuh tahun sebelumnya.

    Namun upaya untuk memulihkan hubungan AS dan Kamboja masih terus diupayakan. Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin bahkan mengunjungi Kamboja pada bulan Juni lalu.

    Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn dan Bridgette Walker dari Kedutaan Besar AS minggu lalu memuji “pemulihan kembali” hubungan militer antara kedua negara.

    (tps/haa)