Ajaran agama dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: menjauhi maksiat dan melaksanakan ibadah. Meskipun keduanya integral, menjauhi larangan agama dipandang lebih berat daripada melaksanakan ibadah. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan alami manusia untuk cenderung kepada kesenangan duniawi dan pemenuhan hawa nafsu, yang seringkali bertentangan dengan perintah agama.
Melaksanakan ibadah, seperti salat atau puasa, dapat dilakukan oleh siapa pun dengan relatif mudah. Namun, meninggalkan maksiat, yang berarti mengendalikan dan melawan dorongan nafsu, membutuhkan komitmen dan kejujuran yang mendalam kepada Allah Swt. Karena itulah Rasulullah bersabda:
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَاجَرَ السُّوْءَ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ هَوَاهُ
Artinya: “Hakikat orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan keburukan dan hakikat orang yang berjuang (berjihad) adalah orang yang memerangi hawa nafsunya.”
Ini menegaskan bahwa menjauhi maksiat merupakan perjuangan spiritual yang setara dengan jihad di medan perang. Individu yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan menjauhi larangan agama dipandang sebagai orang yang berhijrah dari keburukan menuju kebaikan, dan sebagai pejuang sejati yang berjuang melawan dorongan internal yang negatif.
Bayangkan, semua anggota tubuh yang kita miliki ini adalah anugerah, pinjaman yang luar biasa dari Allah Swt. Mata untuk melihat keindahan dunia, telinga untuk mendengar lantunan ayat suci, tangan untuk berbuat baik, dan semua anggota tubuh lainnya. Tapi, apa jadinya kalau anugerah ini malah kita gunakan untuk berbuat dosa? Itu sama saja kita tidak mensyukuri nikmat-Nya, bahkan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan.
Bermaksiat dengan anggota tubuh kita adalah puncak dari kedurhakaan. Kita seakan-akan menentang Allah dengan menggunakan pemberian-Nya untuk hal-hal yang Dia larang. Ini seperti kita diberi hadiah yang indah, tapi malah kita rusak dan kita buang. Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Semua dari kalian adalah pemimpin dan semuanya akan ditanya tentang tanggung jawabnya.”
Perlu diketahui bahwa semua anggota tubuh kita akan bersaksi atas diri kita kelak di dalam pengadilan hari kiamat. Semuanya akan berbicara dengan bahasa yang lancar dan jelas untuk membuka hakikat diri kita. Allah berfirman:
يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْ يَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nuur/24: 24).
Allah juga berfirman:
الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْ يَكْسِبُوْنَ
Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yaasiin/36: 65).terima
Terkait penjelasan ayat ini, terdapat riwayat dalam tafsir al-Tabari yang menggambarkan perbedaan sikap orang mukmin dan orang kafir di akhirat kelak. Bayangkan, pada hari kiamat, seorang mukmin akan dipanggil oleh Allah. Semua amal perbuatannya ditunjukkan, dan dia mengakuinya dengan jujur. Lalu, Allah SWT dengan rahmat-Nya yang luas akan mengampuni dosa-dosa orang mukmin tersebut dan menutupinya rapat-rapat. Tidak ada satu makhluk pun yang akan tahu kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Yang tersisa hanyalah kebaikan-kebaikannya yang bersinar terang, sehingga dia pun berharap semua orang bisa melihatnya.
Berbeda sekali dengan orang kafir dan munafik. Ketika amal perbuatan mereka diperlihatkan, mereka justru mengingkarinya. Mereka bersumpah tidak pernah melakukan dosa-dosa itu. Namun, para malaikat akan menjadi saksi dan membeberkan semua perbuatan mereka dengan detail: apa yang mereka lakukan, kapan, dan di mana. Karena terus-menerus berdusta, akhirnya Allah SWT akan menutup mulut mereka. Imam Al-Asy’ari, berpendapat bahwa setelah mulut mereka ditutup, anggota tubuh mereka sendirilah yang akan bersaksi. Mungkin dimulai dari paha kanannya, lalu anggota tubuh lainnya, seperti yang disebutkan dalam surat Yasin ayat 65.
Riwayat ini menjadi pengingat yang sangat kuat bagi kita untuk selalu bertakwa dan jujur, karena pada akhirnya, semua amal perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.
Imam al-Ghazali menganjurkan untuk menjaga seluruh anggota badan dari kemaksiatan, khususnya tujuh anggota terpenting. Karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu dan masing-masing pintu mempunyai kelompok tersendiri. Tidak akan memasuki pintu-pintu neraka itu kecuali orang yang telah bermaksiat kepada Allah dengan tujuh anggota tersebut. Tujuh anggota tersebut ialah mata, telinga, mulut, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.
Pada paparan kali ini akan dijelaskan terlebih dahulu tentang menjaga lidah. Lidah adalah anugerah yang luar biasa. Allah SWT menciptakannya dengan berbagai fungsi mulia, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an, mengajak orang lain ke jalan kebaikan, dan berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Namun, jika kita malah menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan dilarang, maka kita telah mengingkari nikmat Allah dan menyia-nyiakan karunia-Nya.
Ingatlah, lidah ibarat pedang bermata dua. Bisa menjadi sumber pahala jika digunakan dengan bijak, namun juga bisa menjadi sumber dosa jika disalahgunakan. Lidahlah menjadi salah satu yang menentukan keselamatan kita di dunia dan akhirat. Imam al-Ghazali memaparkan dalam keterangannya untuk menjaga lisan dalam delapan hal: yaitu berbohong, mengingkari janji, menggunjing, berdebat dan berbantah, memuji diri sendiri, melaknat, serta bergurau.
Yang pertama: Berbohong. Imam al-Ghazali menganjurkan untuk bersikap hati-hati dengan dusta, sekecil apapun itu! Jangan sampai lisan kita terbiasa berdusta, baik saat serius maupun bercanda. Ingat, dusta itu seperti penyakit, jika dibiasakan akan sulit dihilangkan dan bisa menghancurkan diri kita sendiri. Kepercayaan orang lain akan hilang, kita akan dipandang rendah dan diremehkan. Lebih parah lagi, dusta adalah dosa besar yang bisa menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT.
Yang kedua: Ingkar janji. Berjanjilah hanya jika kita yakin bisa memenuhinya. Lebih baik lagi, berbuat baiklah secara langsung tanpa perlu mengumbar janji. Jika terpaksa berjanji, tepatilah! Kecuali jika ada halangan yang benar-benar di luar kemampuan kita. Ingkar janji itu ciri orang munafik dan tanda akhlak yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:
ثلاث من كن فيه فهو منافق وإن صام وصلى : من إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان
“Tiga hal yang jika ada pada diri seseorang, maka ia munafik meskipun ia berpuasa dan shalat: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat.”
Yang ketiga: Menggunjing. Al-Ghazali membahas tentang bahaya menggunjing dan pentingnya menjaga lisan. Ghibah atau menggunjing, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang jika didengarnya akan membuatnya sakit hati, merupakan dosa besar. Bahkan, dalam sebuah hadis, dosa menggunjing disebutkan lebih berat daripada tiga puluh kali berzina. Meskipun apa yang dibicarakan sesuai fakta, tetap saja termasuk perbuatan zalim. Menggunjing mencederai nama baik seseorang dan merusak hubungan sosial.
Yang lebih ironis adalah ketika kebiasaan buruk ini dilakukan oleh orang yang berpenampilan religius dengan cara yang tersamar. Misalnya, dengan mengungkapkan kekesalan terhadap seseorang lalu diakhiri dengan doa seolah-olah mendoakan kebaikannya. Padahal, hakikatnya adalah mengunjing dan menonjolkan diri sendiri. Jika benar ingin mendoakan seseorang, hendaknya dilakukan secara diam-diam, bukan diumbar di depan umum. Sikap empati dan kepedulian seharusnya diwujudkan dengan menutupi aib seseorang, bukan malah membuka keburukannya kepada orang lain. Maka menurut al-Ghazali QS. Al-hujurat: 12 cukup menjadi peringatan untuk menjaga diri dari menggunjing.
وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ
Yang keempat: Berdebat. Imam al-Ghazali mengkritik keras kebiasaan berdebat dan berbantah, serta menyerukan untuk menjaga lisan dari perbuatan yang merugikan tersebut.
Berdebat dan berbantah cenderung menimbulkan perasaan sakit hati, menghina orang lain, dan menumbuhkan kesombongan dalam diri. Meskipun dilakukan dengan dalih menegakkan kebenaran, seringkali setan menyesatkan dengan membungkus keburukan dalam kemasan kebaikan.
Penting untuk diingat bahwa menyampaikan kebenaran memiliki etika dan adabnya tersendiri. Nasihat yang baik disampaikan secara personal dan dengan cara yang lemah lembut, bukan melalui debat kusir yang mempermalukan orang lain.
Sayangnya, di era modern ini, banyak oknum ulama yang dalam bahasa al-Ghazali disebut ‘ulama suu’justru mencontohkan sikap suka berdebat dan berbantah. Mereka menganggapnya sebagai bentuk kemuliaan dan kepandaian, padahal sebenarnya menimbulkan kemurkaan Allah dan manusia. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan menjauhi lingkungan yang menganut pola pikir seperti itu.
Yang kelima: Memuji diri sendiri. Dalam uraiannya al-Ghazali mengutip ayat al-Qur’an,
فَلَا تُزكوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
Artinya: “Janganlah kalian menganggap suci diri kalian sendiri karena Allah lebih tahu tentang orang yang bertakwa.”
Ada sebuah kisah menarik tentang seorang bijak yang ditanya tentang sifat jujur yang paling buruk. Jawabannya cukup mengejutkan, yaitu ketika seseorang selalu menceritakan kebaikannya sendiri. Kenapa bisa buruk? Karena, sesungguhnya, menyombongkan diri dan memuji diri sendiri itu malah merendahkan martabat kita di mata manusia dan mendatangkan murka Allah.
Yang keenam: Melaknat. Al-Ghazali memberikan perhatian yang begitu keras untuk jangan menggunakan lidah kita untuk melaknat sesuatu yang diciptakan oleh Allah secara khusus dan jelas. Baik binatang, makanan apalagi manusia. Jangan juga mudah memvonis seseorang yang muslim dengan sifat kufur, syirik ataupun munafik berdasarkan penglihatan dan pengetahuan kita. Karena yang mampu melihat segala hakikat hanyalah Allah, (termasuk keimanan dan keislaman mereka). Tidak ada hak bagi kita untuk ikut campur di dalam urusan yang terjadi antara Allah dengan hamba-hamba-Nya.
Di akhirat nanti, kita tidak akan ditanya tentang kenapa kita tidak mencaci maki seseorang atau kenapa kita memilih diam. Bahkan, seandainya seumur hidup kita tidak pernah mencela iblis sekalipun, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Justru sebaliknya, setiap cacian dan makian yang kita lontarkan kepada sesama manusia, akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Janganlah pula kita mencela apa pun yang diciptakan oleh Allah. Karena di dalam hadis dinyatakan bahwa Rasulullah sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak beliau sukai, akan tetapi, jika beliau menginginkannya maka beliau memakannya dan apabila tidak menyukainya, maka beliau berdiam dan membiarkannya.
Yang ketujuh: mendoakan jelek pada makhluk lain. Al-Ghazali menganjurkan untuk menjaga mulut kita dari berdoa buruk kepada seseorang dari makhluk Allah walaupun dia telah berbuat zhalim kepada kita. Lebih baik serahkanlah balasan yang akan menimpanya kepada Allah. Dalam sebuah hadis dinyatakan:
إِنَّ الْمَظْلُومَ لَيَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ حَتَّى يُكَافِتَهُ ثُمَّ يَبْقَى لِلظَّالِمِ فَضْلٌ عِنْدَهُ يُطَالِبُهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya: “Sungguh orang yang dizalimi terkadang mendoakan buruk atas orang yang menzhalimi sehingga dia membalaskan kezalimannya. Kemudian ia berdoa buruk lagi kepadanya sehingga melebihi kezhalimannya, maka orang yang menzalimi akan menuntut kepadanya di hari kiamat.”
Yang kedelapan: Bergurau dan Melawak. Anjuran al-Ghazali untuk menghindari bergurau di sini ialah ketika ada potensi menjadi pemicu keributan, amarah, dan perkelahian yang bisa menanamkan rasa kebencian di hati orang.
Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).