Tag: Hujurat

  • BKSAP: Konferensi Ke-19 PUIC bertepatan peringatan 25 tahun berdiri

    BKSAP: Konferensi Ke-19 PUIC bertepatan peringatan 25 tahun berdiri

    Kerja sama yang solid di antara negara-negara Islam akan menjadi kekuatan baru untuk memperjuangkan keadilan global.

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP) DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan bahwa penyelenggaraan Konferensi Ke-19 Uni Parlemen Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam atau Parliamentary Union of the OIC (PUIC) menjadi spesial karena bertepatan dengan peringatan 25 tahun berdirinya PUIC pada tahun 1999.

    “Ini bukan hanya momen refleksi, melainkan juga peluang untuk memperbarui komitmen kita terhadap prinsip-prinsip perdamaian, keadilan, hak asasi manusia, dan pembangunan ekonomi,” kata Mardani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Mardani mengemukakan hal itu ketika memberikan pidato dalam acara Embassy Briefing penyelenggaraan Konferensi Ke-19 PUIC di Gedung Nusantara, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

    Ia menegaskan pentingnya memperkuat kerja sama antarnegara anggota PUIC dalam membangun masa depan dunia Islam yang lebih damai dan berkeadilan.

    “Ayat ini mengajarkan kita bahwa keberagaman adalah kekuatan karenanya, kita harus mempererat hubungan, memperkuat solidaritas, dan mendorong kerja sama antarparlemen negara-negara muslim,” ujar Mardani mengutip ayat 13 Surah Al-Hujurat dalam Al-Qur’an.

    Selain itu, dia juga memandang penting membangun lembaga yang kuat, transparan, dan akuntabel di tengah tantangan global saat ini, mulai dari ketegangan geopolitik, perubahan iklim, hingga ketidakpastian ekonomi.

    Wakil rakyat ini menyebut konferensi itu juga akan menjadi forum membahas isu-isu penting seperti dukungan penuh terhadap perjuangan Palestina, perlindungan hak-hak minoritas muslim, dan penguatan kerja sama negara-negara Selatan (South-South Cooperation/SSC).

    Ia mengatakan bahwa Konferensi Ke-19 PUIC merupakan bagian dari upaya berkelanjutan BKSAP DPR RI guna memperkuat diplomasi parlementer Indonesia di kancah internasional.

    “Kami percaya, kerja sama yang solid di antara negara-negara Islam akan menjadi kekuatan baru untuk memperjuangkan keadilan global,” katanya.

    Diketahui bahwa Konferensi Ke-19 PUIC dengan tema Good Governance and Strong Institutions as Pillars of Resilience itu akan digelar di Jakarta pada tanggal 12—15 Mei.

    Sebelumnya, Jumat (14/3), Ketua BKSAP DPR RI Mardani Ali Sera mengatakan bahwa DPR RI akan menjadi tuan rumah Konferensi Ke-19 PUIC atau konferensi organisasi parlemen negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) pada tahun 2025 yang diselenggarakan pada tanggal 12—15 Mei.

    “Pada tanggal 12 sampai 15 Mei 2025 Indonesia, parlemen, dipimpin Mbak Puan (Ketua DPR Puan Maharani) akan jadi tuan rumah pertemuan parlemen negara-negara OKI, PUIC yang ke-19, bertepatan dengan 25 tahun hari jadi PUIC,” kata Mardani di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

  • Menjaga Anggota Tubuh dari Maksiat

    Menjaga Anggota Tubuh dari Maksiat

    Ajaran agama dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori utama: menjauhi maksiat dan melaksanakan ibadah. Meskipun keduanya integral, menjauhi larangan agama dipandang lebih berat daripada melaksanakan ibadah. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan alami manusia untuk cenderung kepada kesenangan duniawi dan pemenuhan hawa nafsu, yang seringkali bertentangan dengan perintah agama.

    Melaksanakan ibadah, seperti salat atau puasa, dapat dilakukan oleh siapa pun dengan relatif mudah. Namun, meninggalkan maksiat, yang berarti mengendalikan dan melawan dorongan nafsu, membutuhkan komitmen dan kejujuran yang mendalam kepada Allah Swt.  Karena itulah Rasulullah bersabda:

    الْمُهَاجِرُ مَنْ هَاجَرَ السُّوْءَ وَالْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ هَوَاهُ

    Artinya: “Hakikat orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan keburukan dan hakikat orang yang berjuang (berjihad) adalah orang yang memerangi hawa nafsunya.”

    Ini menegaskan bahwa menjauhi maksiat merupakan perjuangan spiritual yang setara dengan jihad di medan perang. Individu yang mampu mengendalikan hawa nafsunya dan menjauhi larangan agama dipandang sebagai orang yang berhijrah dari keburukan menuju kebaikan, dan sebagai pejuang sejati yang berjuang melawan dorongan internal yang negatif.

    Bayangkan, semua anggota tubuh yang kita miliki ini adalah anugerah, pinjaman yang luar biasa dari Allah Swt. Mata untuk melihat keindahan dunia, telinga untuk mendengar lantunan ayat suci, tangan untuk berbuat baik, dan semua anggota tubuh lainnya. Tapi, apa jadinya kalau anugerah ini malah kita gunakan untuk berbuat dosa? Itu sama saja kita tidak mensyukuri nikmat-Nya, bahkan mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan.

    Bermaksiat dengan anggota tubuh kita adalah puncak dari kedurhakaan. Kita seakan-akan menentang Allah dengan menggunakan pemberian-Nya untuk hal-hal yang Dia larang. Ini seperti kita diberi hadiah yang indah, tapi malah kita rusak dan kita buang. Rasulullah SAW bersabda, 

    كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

    Artinya: “Semua dari kalian adalah pemimpin dan semuanya akan ditanya tentang tanggung jawabnya.”

    Perlu diketahui bahwa semua anggota tubuh kita akan bersaksi atas diri kita kelak di dalam pengadilan hari kiamat. Semuanya akan berbicara dengan bahasa yang lancar dan jelas untuk membuka hakikat diri kita. Allah berfirman:

    يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْ يَعْمَلُوْنَ

    Artinya: “Pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. An-Nuur/24: 24).

    Allah juga berfirman:

    الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيْهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْ يَكْسِبُوْنَ

    Artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, tangan mereka akan berkata kepada Kami dan kaki mereka akan memberi kesaksian terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Yaasiin/36: 65).terima 

    Terkait penjelasan ayat ini, terdapat riwayat dalam tafsir al-Tabari yang menggambarkan perbedaan sikap orang mukmin dan orang kafir di akhirat kelak. Bayangkan, pada hari kiamat, seorang mukmin akan dipanggil oleh Allah. Semua amal perbuatannya ditunjukkan, dan dia mengakuinya dengan jujur. Lalu, Allah SWT dengan rahmat-Nya yang luas akan mengampuni dosa-dosa orang mukmin tersebut dan menutupinya rapat-rapat. Tidak ada satu makhluk pun yang akan tahu kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Yang tersisa hanyalah kebaikan-kebaikannya yang bersinar terang, sehingga dia pun berharap semua orang bisa melihatnya.

    Berbeda sekali dengan orang kafir dan munafik. Ketika amal perbuatan mereka diperlihatkan, mereka justru mengingkarinya. Mereka bersumpah tidak pernah melakukan dosa-dosa itu. Namun, para malaikat akan menjadi saksi dan membeberkan semua perbuatan mereka dengan detail: apa yang mereka lakukan, kapan, dan di mana. Karena terus-menerus berdusta, akhirnya Allah SWT akan menutup mulut mereka. Imam Al-Asy’ari, berpendapat bahwa setelah mulut mereka ditutup, anggota tubuh mereka sendirilah yang akan bersaksi. Mungkin dimulai dari paha kanannya, lalu anggota tubuh lainnya, seperti yang disebutkan dalam surat Yasin ayat 65.

    Riwayat ini menjadi pengingat yang sangat kuat bagi kita untuk selalu bertakwa dan jujur, karena pada akhirnya, semua amal perbuatan kita akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.

    Imam al-Ghazali menganjurkan untuk menjaga seluruh anggota badan dari kemaksiatan, khususnya tujuh anggota terpenting. Karena neraka Jahannam memiliki tujuh pintu dan masing-masing pintu mempunyai kelompok tersendiri. Tidak akan memasuki pintu-pintu neraka itu kecuali orang yang telah bermaksiat kepada Allah dengan tujuh anggota tersebut. Tujuh anggota tersebut ialah mata, telinga, mulut, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.

    Pada paparan kali ini akan dijelaskan terlebih dahulu tentang menjaga lidah. Lidah adalah anugerah yang luar biasa. Allah SWT menciptakannya dengan berbagai fungsi mulia, seperti berdzikir, membaca Al-Qur’an, mengajak orang lain ke jalan kebaikan, dan berkomunikasi untuk memenuhi kebutuhan dunia dan akhirat. Namun, jika kita malah menggunakannya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan dilarang, maka kita telah mengingkari nikmat Allah dan menyia-nyiakan karunia-Nya.

    Ingatlah, lidah ibarat pedang bermata dua. Bisa menjadi sumber pahala jika digunakan dengan bijak, namun juga bisa menjadi sumber dosa jika disalahgunakan. Lidahlah menjadi salah satu yang menentukan keselamatan kita di dunia dan akhirat. Imam al-Ghazali memaparkan dalam keterangannya untuk menjaga lisan dalam delapan hal: yaitu berbohong, mengingkari janji, menggunjing, berdebat dan berbantah, memuji diri sendiri, melaknat, serta bergurau.

    Yang pertama: Berbohong. Imam al-Ghazali menganjurkan untuk bersikap hati-hati dengan dusta, sekecil apapun itu! Jangan sampai lisan kita terbiasa berdusta, baik saat serius maupun bercanda. Ingat, dusta itu seperti penyakit, jika dibiasakan akan sulit dihilangkan dan bisa menghancurkan diri kita sendiri. Kepercayaan orang lain akan hilang, kita akan dipandang rendah dan diremehkan. Lebih parah lagi, dusta adalah dosa besar yang bisa menjauhkan kita dari rahmat Allah SWT.

    Yang kedua: Ingkar janji. Berjanjilah hanya jika kita yakin bisa memenuhinya. Lebih baik lagi, berbuat baiklah secara langsung tanpa perlu mengumbar janji. Jika terpaksa berjanji, tepatilah! Kecuali jika ada halangan yang benar-benar di luar kemampuan kita. Ingkar janji itu ciri orang munafik dan tanda akhlak yang buruk. Rasulullah ﷺ bersabda:

    ثلاث من كن فيه فهو منافق وإن صام وصلى : من إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف، وإذا ائتمن خان

     “Tiga hal yang jika ada pada diri seseorang, maka ia munafik meskipun ia berpuasa dan shalat: jika berbicara ia berdusta, jika berjanji ia ingkar, dan jika diberi amanah ia khianat.”

    Yang ketiga: Menggunjing. Al-Ghazali membahas tentang bahaya menggunjing dan pentingnya menjaga lisan. Ghibah atau menggunjing, yaitu membicarakan keburukan orang lain yang jika didengarnya akan membuatnya sakit hati, merupakan dosa besar. Bahkan, dalam sebuah hadis, dosa menggunjing disebutkan lebih berat daripada tiga puluh kali berzina. Meskipun apa yang dibicarakan sesuai fakta, tetap saja termasuk perbuatan zalim. Menggunjing mencederai nama baik seseorang dan merusak hubungan sosial.

    Yang lebih ironis adalah ketika kebiasaan buruk ini dilakukan oleh orang yang berpenampilan religius dengan cara yang tersamar. Misalnya, dengan mengungkapkan kekesalan terhadap seseorang lalu diakhiri dengan doa seolah-olah mendoakan kebaikannya. Padahal, hakikatnya adalah mengunjing dan menonjolkan diri sendiri. Jika benar ingin mendoakan seseorang, hendaknya dilakukan secara diam-diam, bukan diumbar di depan umum. Sikap empati dan kepedulian seharusnya diwujudkan dengan menutupi aib seseorang, bukan malah membuka keburukannya kepada orang lain. Maka menurut al-Ghazali QS. Al-hujurat: 12 cukup menjadi peringatan untuk menjaga diri dari menggunjing.

    وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ

    Yang keempat: Berdebat. Imam al-Ghazali mengkritik keras kebiasaan berdebat dan berbantah, serta menyerukan untuk menjaga lisan dari perbuatan yang merugikan tersebut.

    Berdebat dan berbantah cenderung menimbulkan perasaan sakit hati, menghina orang lain, dan menumbuhkan kesombongan dalam diri. Meskipun dilakukan dengan dalih menegakkan kebenaran, seringkali setan menyesatkan dengan membungkus keburukan dalam kemasan kebaikan.

    Penting untuk diingat bahwa menyampaikan kebenaran memiliki etika dan adabnya tersendiri. Nasihat yang baik disampaikan secara personal dan dengan cara yang lemah lembut, bukan melalui debat kusir yang mempermalukan orang lain.

    Sayangnya, di era modern ini, banyak oknum ulama yang dalam bahasa al-Ghazali disebut ‘ulama suu’justru mencontohkan sikap suka berdebat dan berbantah. Mereka menganggapnya sebagai bentuk kemuliaan dan kepandaian, padahal sebenarnya menimbulkan kemurkaan Allah dan manusia. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan menjauhi lingkungan yang menganut pola pikir seperti itu.

    Yang kelima: Memuji diri sendiri. Dalam uraiannya al-Ghazali mengutip ayat al-Qur’an, 

    فَلَا تُزكوا أَنفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى

    Artinya:  “Janganlah kalian menganggap suci diri kalian sendiri karena Allah lebih tahu tentang orang yang bertakwa.”

    Ada sebuah kisah menarik tentang seorang bijak yang ditanya tentang sifat jujur yang paling buruk. Jawabannya cukup mengejutkan, yaitu ketika seseorang selalu menceritakan kebaikannya sendiri. Kenapa bisa buruk? Karena, sesungguhnya, menyombongkan diri dan memuji diri sendiri itu malah merendahkan martabat kita di mata manusia dan mendatangkan murka Allah.

    Yang keenam: Melaknat. Al-Ghazali memberikan perhatian yang begitu keras untuk jangan menggunakan lidah kita untuk melaknat sesuatu yang diciptakan oleh Allah secara khusus dan jelas. Baik binatang, makanan apalagi manusia. Jangan juga mudah memvonis seseorang yang muslim dengan sifat kufur, syirik ataupun munafik berdasarkan penglihatan dan pengetahuan kita. Karena yang mampu melihat segala hakikat hanyalah Allah, (termasuk keimanan dan keislaman mereka). Tidak ada hak bagi kita untuk ikut campur di dalam urusan yang terjadi antara Allah dengan hamba-hamba-Nya.

    Di akhirat nanti, kita tidak akan ditanya tentang kenapa kita tidak mencaci maki seseorang atau kenapa kita memilih diam. Bahkan, seandainya seumur hidup kita tidak pernah mencela iblis sekalipun, kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban. Justru sebaliknya, setiap cacian dan makian yang kita lontarkan kepada sesama manusia, akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

    Janganlah pula kita mencela apa pun yang diciptakan oleh Allah. Karena di dalam hadis dinyatakan bahwa Rasulullah sama sekali tidak pernah mencela makanan yang tidak beliau sukai, akan tetapi, jika beliau menginginkannya maka beliau memakannya dan apabila tidak menyukainya, maka beliau berdiam dan membiarkannya.

    Yang ketujuh: mendoakan jelek pada makhluk lain. Al-Ghazali menganjurkan untuk menjaga mulut kita dari berdoa buruk kepada seseorang dari makhluk Allah walaupun dia telah berbuat zhalim kepada kita. Lebih baik serahkanlah balasan yang akan menimpanya kepada Allah. Dalam sebuah hadis dinyatakan:

    إِنَّ الْمَظْلُومَ لَيَدْعُوَ عَلَى ظَالِمِهِ حَتَّى يُكَافِتَهُ ثُمَّ يَبْقَى لِلظَّالِمِ فَضْلٌ عِنْدَهُ يُطَالِبُهُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

    Artinya: “Sungguh orang yang dizalimi terkadang mendoakan buruk atas orang yang menzhalimi sehingga dia membalaskan kezalimannya. Kemudian ia berdoa buruk lagi kepadanya sehingga melebihi kezhalimannya, maka orang yang menzalimi akan menuntut kepadanya di hari kiamat.”

    Yang kedelapan: Bergurau dan Melawak. Anjuran al-Ghazali untuk menghindari bergurau di sini ialah ketika ada potensi menjadi pemicu keributan, amarah, dan perkelahian yang bisa menanamkan rasa kebencian di hati orang.  

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

  • Ramadan Lintas Negara, dari Tradisi Unik hingga Perbedaan Durasi

    Ramadan Lintas Negara, dari Tradisi Unik hingga Perbedaan Durasi

    Jakarta, Beritasatu.com – Ramadan adalah bulan suci yang ditunggu-tunggu oleh umat muslim sedunia, kehadirannya membawa kebahagiaan. Puasa merupakan ibadah yang dijalankan oleh umat muslim di seluruh dunia selama bulan Ramadan. Meskipun esensi puasanya sama menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan dari terbit fajar hingga matahari terbenam setiap negara memiliki pengalaman yang unik. 

    Dari perbedaan durasi puasa akibat letak geografis hingga ragam tradisi berbuka yang khas, puasa lintas negara menawarkan perspektif menarik tentang bagaimana umat Muslim menjalankan ibadah ini di berbagai belahan dunia.

    Bagaimana rasanya berpuasa di negara dengan siang yang lebih panjang atau di tempat dengan iklim ekstrem? Apa saja makanan khas yang biasa disajikan saat berbuka di berbagai budaya? Artikel ini akan membahas bagaimana umat muslim di berbagai negara menjalani Ramadan dengan cara yang berbeda namun tetap penuh makna.

    Perbedaan-perbedaan tersebut sebuah rahmat keindahan dan keunikan yang dianugerahkan Tuhan. Perbedaan merupakan keniscayaan atau sunnatullah yang tidak bisa kita hindari. Hal tersebut sudah termaktub dalam surat Al-Hujurat ayat 13:

    يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣ ( الحجرٰت/49: 13)

    Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti. (Al-Hujurat/49:13)

    Perbedaan sebaiknya kita sikapi dengan bijak dan bisa mengambil pelajaran dari setiap perbedaan tersebut. Masyarakat muslim di Indonesia harus bersyukur karena melaksanakan puasa hanya berdurasi 13 sampai 14 jam saja, karena masih ada umat muslim yang harus melaksanakan puasa dengan durasi yang lebih panjang dan lebih berjuang menjalaninya.

    Pengalaman berpuasa di setiap negara bisa sangat berbeda, terutama karena faktor geografis, budaya, dan tradisi yang beragam. Mulai dari perbedaan durasi puasa hingga cara masyarakat menjalankannya, Ramadan menjadi pengalaman unik di berbagai belahan dunia.

    Perbedaan Durasi Puasa

    Durasi puasa sangat dipengaruhi oleh letak geografis suatu negara. Di negara-negara yang berada di sekitar khatulistiwa, seperti Indonesia, Malaysia, dan Arab Saudi, durasi puasa cenderung stabil sekitar 13-14 jam. Namun, di negara-negara yang terletak jauh di utara atau selatan, perbedaan waktu siang dan malam lebih ekstrem, terutama ketika Ramadan jatuh di musim panas atau dingin.

    Puasa-puasa terpanjang dialami oleh negara-negara seperti Islandia, Swedia, Norwegia, dan Finlandia mengalami siang yang sangat panjang saat musim panas, sehingga umat muslim di sana bisa berpuasa hingga 19-21 jam. Di kota-kota seperti Tromsø (Norwegia) atau Reykjavik (Islandia), matahari hampir tidak tenggelam selama beberapa bulan tertentu. Untuk mengatasi hal ini, banyak umat muslim mengikuti fatwa yang memperbolehkan mereka berpuasa mengikuti waktu di Makkah atau negara muslim terdekat.

    Sebaliknya, negara-negara di belahan bumi selatan seperti Argentina, Selandia Baru, dan Afrika Selatan memiliki durasi puasa yang lebih pendek ketika Ramadan jatuh di musim dingin, yaitu sekitar 10-12 jam. Di kota Ushuaia, Argentina, puasa bisa berlangsung hanya sekitar 10 jam, menjadikannya salah satu tempat dengan durasi puasa tersingkat di dunia.

    Pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, puasa dilakukan di wilayah Jazirah Arab, khususnya di Makkah dan Madinah, yang memiliki durasi puasa relatif stabil sekitar 13-14 jam. Waktu imsak dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an:

    اُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ اِلٰى نِسَاۤىِٕكُمْ ۗ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَاَنْتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ اللّٰهُ اَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُوْنَ اَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ ۚ فَالْـٰٔنَ بَاشِرُوْهُنَّ وَابْتَغُوْا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ ۗ وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ ١٨٧ ( البقرة/2: 187)

    Dihalalkan bagimu pada malam puasa bercampur dengan istrimu. Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat menahan dirimu sendiri, tetapi Dia menerima tobatmu dan memaafkanmu. Maka, sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah bagimu. Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Akan tetapi, jangan campuri mereka ketika kamu (dalam keadaan) beriktikaf di masjid. Itulah batas-batas (ketentuan) Allah. Maka, janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa. (Al-Baqarah/2:187)

    Meskipun durasi puasa di Jazirah Arab tidak terlalu panjang dibandingkan negara-negara di belahan bumi utara, tantangan utama yang dihadapi umat Muslim saat itu adalah cuaca yang sangat panas dan minimnya sumber air. Oleh karena itu, Nabi Muhammad ﷺ mengajarkan untuk berbuka dengan kurma dan air, serta menganjurkan makan sahur untuk menjaga kekuatan tubuh selama berpuasa.

  • Gibah Virtual dan Puasa Ramadan

    Gibah Virtual dan Puasa Ramadan

    Ramadan merupakan sarana yang tepat untuk meningkatkan ketakwaan. Bulan ini merupakan hadiah besar yang dianugerahkan kepada umat muslim sebagai momen untuk memperbaiki kekurangan dan bertobat atas kesalahan, serta meningkatkan ketaatan kepada Sang Pencipta. Visi dari madrasah Ramadan telah ditegaskan oleh Allah Taala dalam QS Al-Baqarah ayat 183.

    Ketakwaan yang diharapkan dari puasa saat Ramadhan tidak hanya berdimensi spiritual. Lebih dari itu, puasa Ramadan menjadi sarana efektif untuk membentuk berbagai aspek ketakwaan, baik dalam hubungan langsung antara manusia dan Tuhan-Nya atau antara sesama manusia. Oleh karenanya, banyak dalil yang menjelaskan keutamaan puasa dan ibadah, seperti bangun untuk salat pada malam hari pada Ramadan. 

    Rasulullah ﷺ bersabda yang maknanya,”Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim)

    Hadis yang maknanya serupa sangat banyak. Misalnya, orang yang menghidupkan malam-malam Ramadan dengan salat dijanjikan ampunan oleh Allah. Namun, tidak semua orang yang menjalankan ibadah puasa dan qiyamul lail mendapatkan pahala yang dijanjikan. 

    Rasulullah ﷺ mengingatkan dalam hadisnya,”Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan dahaga. Dan betapa banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapatkan apa-apa selain sekadar begadang.” (HR Ahmad dan Ibnu Majah)

    Perbandingan dalil-dalil di atas membuat seorang muslim merenung kembali tentang hakikat ibadah yang dilakukannya. Puasa seperti apakah yang akan mendapatkan ampunan dari Sang Pencipta? Hal apa sajakah yang dapat mengurangi, bahkan menghapus, pahala puasa? 

    Dari banyak dalil yang ada, dapat disimpulkan bahwa salah satu penyebab utama hilangnya pahala puasa adalah ketidakmampuan seseorang untuk menahan diri dari segala hal yang dapat merusak pahala puasa semata-mata untuk mendapatkan rida Allah Taala, sebagaimana makna dari hadis Nabi:

    “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan dosa serta kebodohan, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari nomor 1903)

    Hadis ini menegaskan bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, juga dari perbuatan tercela, seperti gibah. Jika seseorang tetap melakukan gibah, puasanya kehilangan nilai dan pahalanya berkurang. 

    Secara hukum fikih, puasanya tetap sah, tetapi bisa jadi tidak ada pahalanya karena tidak mampu mengekang nafsu dari perbuatan buruk, termasuk gibah.

    Gibah diharamkan berdasarkan Al-Qur’an, sunah, dan ijmak ulama. Banyak ulama yang menggolongkannya sebagai dosa besar. Allah Taala menyamakan perbuatan ini dengan memakan daging saudara sendiri yang telah mati, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat Al-Hujurat: 12.  

    Definisi gibah adalah membicarakan keburukan orang lain yang jika orang tersebut mengetahuinya, ia akan merasa tidak suka. Seorang sahabat bertanya,”Wahai Rasulullah, apa itu gibah? Beliau bersabda,‘Engkau menyebut saudaramu dengan sesuatu yang ia tidak sukai.’ Dikatakan,‘Bagaimana jika memang benar ada padanya apa yang aku katakan?’ Rasulullah menjawab,‘Jika memang benar ada padanya, berarti engkau telah menggunjingnya. Namun jika tidak ada padanya, berarti engkau telah memfitnahnya’.” (HR Muslim).

    Syaikh Nawawi al-Bantani menjelaskan definisi gibah dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah:

    ومعنى الغيبة أن تذكر إنسانا بما يكرهه لو سمعه سواء ذكرته بلفظك، أو في كتابك أو رمزت أو أشرت إليه بعينك أو يديك أو رأسك

    “Hakikat gibah adalah menyebut orang lain dengan sesuatu yang tidak ia sukai jika sampai kepadanya, meskipun itu memang benar ada padanya, baik dengan lafaz (kalimat yang engkau ucapkan), tulisan, simbol, isyarat dengan mata, tangan, kepala, dan lain sebagainya.”

    Seiring perkembangan teknologi, gibah tidak hanya dilakukan secara lisan, juga melalui media sosial dan platform digital lainnya. Gibah virtual terjadi ketika seseorang menggunjing, mencela, atau menyebarkan keburukan orang lain, dalam bentuk tulisan, gambar, video, atau komentar di dunia maya. Sejumlah grup WhatsApp berubah menjadi tempat membicarakan aib orang lain. Di Facebook, gibah virtual dapat berbentuk status sindiran atau komentar yang membuka aib seseorang. Di Instagram, gibah bisa berupa postingan yang mengekspos keburukan seseorang disertai caption bernada ejekan.

    Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar menjelaskan bahwa gibah tidak hanya berlaku bagi orang yang berbicara, juga bagi orang yang mendengar tanpa menegur atau mengingkarinya. Bagi yang mendengar dan tidak mengingkari juga mendapatkan dosa seperti yang melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa mendengarkan gibah di grup WhatsApp, membaca komentar buruk di Facebook tanpa berusaha menegurnya, bahkan menyukai dan menyebarkan postingan yang mengandung gibah di Instagram, juga bisa termasuk perbuatan gibah yang dapat mengurangi atau menghapus pahala puasa.

    Banyak faktor yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam gibah, di antaranya: rasa iri dan dengki, tidak senang melihat orang lain mendapatkan nikmat, mengikuti kebiasaan lingkungan dan teman-teman yang suka bergunjing, ingin menonjolkan kelebihan diri, dan lain sebagainya. Penyebab terbesarnya adalah merasa diri lebih baik dari orang yang digunjingnya. 

    Oleh karenanya, Ibnu Abbas berkata,”Jika engkau hendak mengingat atau menyebutkan aib orang lain, maka terlebih dahulu ingatlah aibmu sendiri.” (Syu’abul Iman, 9/110)

    Introspeksi diri sehingga tidak sempat melihat aib orang lain merupakan kunci agar tidak mudah terjerumus dalam gibah. Dalam kitab Maraqil ‘Ubudiyyah ada beberapa cara untuk mengenali aib diri sendiri, di antaranya memiliki murabbi yang akan membantu untuk menunjukkan kekurangan agar bisa memperbaikinya, mendengarkan nasihat dari sahabat yang baik yang mau menunjukkan kesalahan, belajar dari kritik musuh meskipun menyakitkan, karena orang yang tidak suka akan selalu melihat kekurangan dari yang tidak disukainya, serta banyak bergaul dan mengamati perilaku orang lain.

    Marilah bijak dalam menggunakan media sosial dengan mengedepankan konsep tabayun sebelum membagikan informasi. Apa manfaatnya apabila dibagikan? Ubah topik jika dirasa mengandung unsur gibah dan apabila sulit dikendalikan, lebih baik keluar dari grup yang salah. 

    Kemudian, tidak menyukai, mengomentari, atau membagikan postingan yang mengandung celaan, fitnah, atau aib seseorang. Semoga Allah menjauhkan kita dari segala yang dapat merusak pahala puasa, seperti gibah, dan menerima amal ibadah serta menjadikan kita sebagai hamba-Nya yang bertakwa.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).

     

  • Merawat Kemabruran Puasa: Menjauhi Ujaran Kebencian

    Merawat Kemabruran Puasa: Menjauhi Ujaran Kebencian

    Oleh:

    Menteri Agama Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar, MA

    TRIBUNJATIM.COM – Salah satu yang perlu dicermati jika hendak merawat kemabruran puasa ialah bagaimana menghindari ujaran kebencian (hate speech (HS).

    Dalam kamus disebutkan: speech that attacks a person or group on the basis of race, religion, gender, or sexual orientation (ungkapan yang menyerang seseorang atau kelompok berdasarkan ras, agama, gender, atau orientasi seksual).

    Dalam sosiologi masyarakat Indonesia HP lebih banyak diartikan sebagai ungkapan dan syiar kebencian yang dialamatkan kepada orang perorangan, kelompok, atau lembaga berdasarkan agama, kepercayaan, aliran, etnik, ras, golongan, gender, orientasi seksual, dan hal-hal lain yang dapat memancing kemarahan publik. Istilah yang digunakan dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian ialah “Ujaran Kebencian” sebagai terjemahan dari “Hate Speech”.

    HP bisa terjadi dalam berbagai bentuk. Bisa dalam bentuk statemen, tulisan, karikatur, dan berbagai isyarat lain yang memompokan semangat kebencian dan antipasti kepada kelompok tertentu.

    Yang paling sensitif adalah Religiuos-Hate Speech (RHS), yaitu ungkapan kebencian berlatar belakang agama, kepercayaan, aliran, mazhab, sekte, dan atribut keagamaan lainnya.

    Sebuah tindakan dapat disebut RHS jika tindakan tersebut memenuhi syarat dan unsur RHS, yaitu adanya pelaku yang terbukti melakukan RHS, ada perbuatan yang dapat dikategorikan RHS, dan ada kelompok yang dituding dan yang bersangkutan mengalami kerugian atas ungkapan tersebut.

    Ungkapan atau ujaran kebencian memang sesuatu yang tercela dan bisa merusak ketenangan dan ketenteraman masyarakat, bisa mengoyak persatuan dan kesatuan sebagai warga bangsa, dan lebih berbahaya ialah bisa menimbulkan konflik dan perang terbuka.

    Jika HP dibiarkan tanpa ada ketentuan yang mengaturnya maka akan bermuara kepada sebuah masyarakat yang berantakan (social disorder) yang pada gilirannya akan merugikan dunia kemanusiaan.

    Karena itu HP perlu ada penanganan yang secara terukur. Disebut terukur karena kalau penanganan HS ditangani secara berlebih berlebihan bisa juga menimbulkan kontra produktif untuk sebuah masyarakat demokratis.

    Kita tidak ingin penangan HP menimbulkan kevakuman dinamisme masyarakat, memasung kreatifitas intelektual, mengurangi kebebasan mimbar, dan menutup kembali era keterbukaan yang dengan susah payah diperjuangkan.

    Dalam bahasa agama, HS memiliki beberapa padanan. Di antaranya yang paling dekat ialah hasud. Hasud dalam bahasa Arab berarti menghasut, memprovokasi orang lain agar ikut membenci musuhnya.

    Orang itu akan merasa puas saat melihat musuhnya terkapar dan tidak berdaya. Perbuatan hasud sangat tercela dalam Islam dan mungkin juga semua agama.

    Dalam Alquran Allah SWT mengajarkan dua perlindungan terhadap orang-orang hasad: Wa minsyarri hasidin idza hasad (dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki/Q.S.al-Falaq/113:5).

    Dalam Hadis Nabi menyatakan kebencian terhadap para penghasud dengan mengatakan: “sesungguhnya hasad itu memakan kebaikan seperti mana api memakan kayu bakar”.

    Ketika Nabi melewati kuburan Baqi di Madina, ia tiba-tiba berhenti di atas dua makam baru. Ditanya oleh sahabat kenapa berhentiu di sini? Nabi menjawab, kasihan kedua orang ini merintih kesakitan karena disiksa di kuburannya.

    Yang pertama disiksa karena tidak bersih ketika ia membuang kotoran dan yang kedua disiksa karena suka membikin onar di dalam masyarakat (provokator).

    Alquran menunjukkan pemandangan berharga, bagaimana Raja Firaun hancur karena selalu melancarkan ungkapan kebencian (hate speech) kepada Nabi Musa.

    Alquran juga selalu mengingatkan kita agar tidak begitu mudah membenci oranglain: Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. (Q.S. al- Maidah/5:8).

    Dalam ayat lain ditegaskan: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian
    yang lain. (Q.S. al-Hujurat/49:12).

    Tegasnya, jika kita akan meraih ketenangan dan keberuntungan jauhi HS, khususnya RHS.

  • Kesetaraan Manusia di Hadapan Allah

    Kesetaraan Manusia di Hadapan Allah

    Islam adalah agama yang menjunjung tinggi kesetaraan di antara seluruh umat manusia. Kesetaraan yang dijunjung Islam digambarkan dengan baik dalam Al-Qur’an dan hadis. Di  dalam Al-Qur’an, Allah Swt menegaskan bahwa kesukuan, nasab, dan hal lainnya, tidak dapat  menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Allah SWT berfirman QS Al-Hujurat ayat 13: 

     يٰۤاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقۡنٰكُمۡ مِّنۡ ذَكَرٍ وَّاُنۡثٰى وَجَعَلۡنٰكُمۡ شُعُوۡبًا وَّقَبَآٮِٕلَ لِتَعَارَفُوۡا​ ؕ اِنَّ اَكۡرَمَكُمۡ عِنۡدَ اللّٰهِ اَ تۡقٰٮكُمۡ​ ؕ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيۡمٌ خَبِيۡرٌ‏ ١٣

    yâ ayyuhan-nâsu innâ khalaqnâkum min dzakariw wa untsâ wa ja‘alnâkum syu‘ûbaw wa qabâ’ila lita‘ârafû, inna akramakum ‘indallâhi atqâkum, innallâha ‘alîmun khabîr

    Artinya: Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.

    Untuk menjelaskan ayat ini, Imam Fakhruddin ar-Razi menegaskan bahwa kemuliaan agama berada di atas segala kemuliaan lainnya. Kemuliaan nasab tidak dapat mengalahkan kemuliaan agama, yakni ketakwaan. Baginya, seorang non-muslim walaupun bernasab  mulia tidak bisa dianggap lebih mulia dari seorang muslim yang tidak bernasab mulia.

    Kemuliaan nasab dan hal-hal duniawi lainnya hanya menjadi kemuliaan di mata manusia, sementara kemuliaan yang hakiki di mata Allah adalah kemuliaan dari takwa yang kuat. 

    Penegasan makna ayat ini disampaikan Rasulullah SAW dalam khotbahnya di hari tasyriq pada haji wadak. “Dari Abu Nadhrah telah menceritakan kepadaku orang yang pernah mendengar khotbah Rasulullah SAW di tengah-tengah hari tasyriq. Beliau bersabda,‘Wahai sekalian  manusia! Rabb kalian satu, dan ayah kalian satu (maksudnya Nabi Adam). Ingatlah. Tidak ada  kelebihan bagi orang Arab atas orang Ajam (non-Arab) dan bagi orang Ajam atas orang Arab. Tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, bagi orang berkulit  hitam atas orang berkulit merah, kecuali dengan ketakwaan. Apa aku sudah menyampaikan?’ Mereka menjawab: iya, benar Rasulullah SAW telah menyampaikan.” 

    Setelah ayat sebelumnya menegaskan bahwa kemuliaan hakiki di hadapan Allah didapatkan dengan ketakwaan, pada hadis ini Rasulullah SAW menegaskan kepada hadirin yang mayoritas orang Arab, sekaligus menyampaikan kepada hadirin yang datang kemudian, yakni bangsa Ajam. Kepada para sahabat, Rasulullah memberikan pesan bahwa mereka yang bangsanya terpilih menjadi tempat kelahiran agama Islam tidak lantas lebih mulia daripada orang-orang yang datang kemudian dan dari bangsa non-Arab. Rasul memotivasi umatnya yang datang kemudian dan dari bangsa  non-Arab agar tidak malu dan tidak minder untuk berlomba dengan mereka yang sudah  berbahasa Al-Qur’an sejak lahir.  

    Pada hadis lain, Rasulullah lagi-lagi mengingatkan adat buruk masa jahiliah yang membanggakan nasab. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menghapus dari kalian kebanggaan jahiliah dan berbangga-bangga dengan nenek moyang. (Kini hanya ada) seorang mukmin yang bertakwa atau seorang  yang durhaka dan celaka. Kalian semua adalah keturunan Adam dan Adam (diciptakan) dari  tanah. Hendaklah orang-orang yang berbangga dengan nenek moyang mereka berhenti atau  mereka akan menjadi lebih hina di sisi Allah daripada serangga kecil yang mendorong kotoran  dengan hidungnya. (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) 

    Pesan Rasulullah SAW ini disampaikan dalam konteks masyarakat Arab yang saat itu memiliki kebanggaan tinggi terhadap identitas kesukuan mereka. Hadis ini menjadi pengingat bahwa kelahiran di tanah Arab, bahkan kemampuan berbicara dalam bahasa Al-Qur’an sejak  lahir, bukanlah ukuran kemuliaan. Rasulullah memotivasi umat Islam, termasuk mereka yang  berasal dari bangsa Ajam, untuk tidak merasa rendah diri, melainkan berlomba-lomba  mencapai ketakwaan. 

    Hadis dan ayat Al-Qur’an diatas menggambarkan bagaimana Islam menjunjung tinggi  kesetaraan. Islam menjadikan sesuatu yang dapat diusahakan menjadi ukuran kemuliaan manusia, bukan menjadikan sesuatu yang merupakan pemberian atau given. Dalam hal ini, ada  beberapa hikmah yang dapat dipetik.  

    Pertama, ketika ketakwaan dijadikan sebagai tolak ukur kemuliaan manusia, hal ini membuka  peluang bagi setiap individu untuk berlomba-lomba menjadi yang terbaik di mata Allah Swt.  Tidak peduli dari mana asal-usulnya, keturunan, bahkan kelebihan atau kekurangan fisiknya,  semua orang memiliki kesempatan yang sama. 

    Islam mengajarkan bahwa kemuliaan di sisi Allah bukanlah tentang status sosial, kekayaan, atau penampilan fisik, melainkan tentang  seberapa besar seseorang bertakwa kepada-Nya. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa  seseorang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata akan mendapatkan dua pahala, yakni satu untuk bacaan itu sendiri dan satu lagi untuk usaha yang dilakukannya. Hal ini menunjukkan  bahwa usaha dan ketekunan sangat dihargai dalam Islam.

    Dengan demikian, tidak ada alasan  bagi siapa pun untuk merasa kurang atau lebih baik dibandingkan orang lain, karena setiap  individu memiliki peluang yang sama untuk menjadi mulia di hadapan Allah Swt. 

    Kedua, menjadikan ketakwaan sebagai standar kemuliaan mencerminkan keadilan Islam yang  luar biasa. Jika kemuliaan seseorang ditentukan berdasarkan sesuatu yang bersifat given atau karunia bawaan, seperti kecantikan atau keturunan, maka akan muncul ketidakadilan.

    Orang-orang yang tidak memiliki karunia tersebut akan merasa dirugikan, seolah-olah Tuhan Yang Maha Adil mendiskriminasi mereka. Namun, Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Adil yang  tidak pernah membedakan makhluk-Nya berdasarkan hal-hal yang berada di luar kendali  mereka.

    Ta’ala Allahu ‘an Dzalik, Allah tidak akan memberikan kelebihan kepada satu  golongan, sehingga memulai dengan poin tambahan, sementara golongan lainnya memulai dari nol. Islam memberikan kesempatan yang sama kepada setiap individu, baik Arab maupun Ajam, tanpa diskriminasi.

  • Adab Bermedia Sosial dalam Pandangan Islam

    Adab Bermedia Sosial dalam Pandangan Islam

    Jakarta, Beritasatu.com – Di era digital yang semakin maju, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Berbagai informasi dapat diakses dengan cepat, dan komunikasi menjadi lebih mudah.

    Namun, sebagai seorang muslim, kita tidak boleh lepas dari nilai-nilai Islam dalam berinteraksi di dunia maya. Islam mengajarkan bahwa setiap ucapan dan perbuatan, termasuk yang dilakukan di media sosial, memiliki konsekuensi di dunia dan akhirat.

    Salah satu prinsip utama dalam bermedia sosial menurut Islam adalah menjaga lisan, yang dalam konteks digital berarti menjaga setiap kata yang kita tulis dan bagikan. Rasulullah SAW bersabda,

    “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (HR Bukhari dan Muslim).

    Ini menunjukkan bahwa setiap muslim harus berhati-hati dalam menyebarkan informasi, menghindari fitnah, gibah, dan ujaran kebencian yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Verifikasi kebenaran suatu berita sebelum membagikannya juga menjadi kewajiban agar tidak terjerumus dalam dosa menyebarkan kebohongan.  

    Oleh sebab itu, penting untuk memahami adab atau etika bersosial media dalam pandangan Islam. Dihimpun dari berbagai sumber, berikut adalah beberapa adab penting dalam bersosial media menurut ajaran Islam:

    1. Kejujuran dalam berkomunikasi

    Salah satu prinsip utama dalam sebuah komunikasi Islam adalah kejujuran. Dalam bersosial media, pengguna diharapkan untuk selalu menyampaikan informasi secara fakta dan akurat. Menyebarkan berita bohong atau fitnah tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga bertentangan dengan ajaran Islam.

    Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

    اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْۤا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًۢا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ  

    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya” (QS Al-Hujurat: 6).

    2. Menghindari fitnah dan gibah

    Adab bersosial media juga melarang untuk terlibat dalam gibah (menggunjing) dan fitnah. Dalam konteks media sosial, ini berarti tidak membicarakan orang lain di belakang melainkan menyebarkan informasi yang dapat merusak reputasi seseorang.

    Rasulullah SAW bersabda,

    “Janganlah kamu saling membenci, janganlah kamu saling cemburu, dan janganlah kamu saling membelakangi. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR Muslim).

    Ini pentingnya menjaga sikap saling menghormati dan tidak menyebarkan kebencian di platform media sosial.

    3. Berbicara dengan baik dan positif

    Islam juga mengajarkan untuk berbicara dengan baik dan positif. Dalam bersosial media, pengguna dianjurkan untuk menyampaikan pesan yang membangun dan memberikan manfaat.

    Dalam Al-Qur’an, Allah Swt berfirman:

    وَقُلْ لِعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنزَغُ بَيْنَهُمْ ۗاِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

    “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, ‘Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang baik” (QS Al-Isra: 53).

    Oleh karena itu, penting untuk berinteraksi di media sosial dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyinggung perasaan orang lain.

    4. Tanggung jawab atas konten yang dibagikan

    Setiap pengguna media sosial harus bertanggung jawab atas konten yang mereka bagikan. Hal ini termasuk memastikan bahwa informasi yang dibagikan tidak menyesatkan atau merugikan orang lain.

    Dalam konteks ini, penting untuk selalu tabayyun (verifikasi) sebelum membagikan informasi. Dengan demikian, ini sejalan dengan prinsip Islam yang menekankan tanggung jawab individu dalam setiap tindakan yang diambil.

    5. Menghindari cyberbullying

    Cyberbullying atau perundungan di dunia maya adalah masalah yang banyak terjadi di media sosial. Dalam pandangan Islam, setiap individu harus saling menghormati dan tidak melakukan perbuatan yang dapat menyakiti orang lain.

    Rasulullah SAW bersabda, 

    “Seorang Muslim adalah orang yang selamat dari lisan dan tangannya” (HR Bukhari).

    Oleh karena itu, penting untuk menjaga perilaku dan sikap yang baik di media sosial, juga tidak terlibat dalam tindakan yang dapat merugikan orang lain.

    6. Kebebasan berekspresi dengan tanggung jawab

    Meskipun Islam memberikan kebebasan dalam berekspresi, tetapi pengguna media sosial tetap harus bijak dan bertanggung jawab. Kebebasan tidak berarti tanpa adanya batas, melainkan harus diimbangi dengan etika moral.

    Hal ini penting untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, setiap individu harus mempertimbangkan dampak dari setiap kata dan perilaku yang dilakukan di media sosial.

    Adab bersosial media dalam pandangan Islam menuntut setiap individu untuk berkomunikasi dengan etika, menjaga kebenaran, dan bertanggung jawab atas setiap perbuatan yang dilakukan di dunia maya, yang disengaja maupun tidak disengaja. Dengan menerapkan prinsip-prinsip di atas, diharapkan media sosial dapat menjadi alat yang positif untuk menyebarkan kebaikan dan memperkuat hubungan antar sesama. 

  • Ramai Omongan Gus Miftah ke Penjual Es, Simak Hukum Merendahkan Orang Lain dalam Islam

    Ramai Omongan Gus Miftah ke Penjual Es, Simak Hukum Merendahkan Orang Lain dalam Islam

    Jakarta: Baru-baru ini viral di media sosial, penceramah kondang Gus Miftah melontarkan kata-kata kasar yang bernada merendahkan kepada seorang penjual es teh di sebuah acara pengajian.

    Tindakan tersebut menuai kecaman dari publik yang menilai Gus Miftah telah mempermalukan seorang pedagang kecil di depan umum.

    Dalam video yang beredar, Gus Miftah mengolok-olok penjual es teh yang hadir di acara tersebut. Ia bahkan mengucapkan kata-kata ‘gob*ok’ yang ditujukan kepada pedagang itu. 

    Penjual es teh yang menjadi korban olok-olok Gus Miftah hanya terdiam di tengah-tengah para hadirin yang tertawa. Kejadian ini pun menjadi viral di media sosial dan mengundang banyak reaksi negatif dari warganet. 
     

     

    Allah SWT membenci perbuatan merendahkan orang lain

    Menghina ataupun merendahkan orang lain dalam Islam termasuk perbuatan tercela dan dibenci Allah SWT. 

    Hal ini berlaku baik dalam situasi serius maupun bercanda, merendahkan orang lain tidak dibenarkan karena menyebabkan yang dihina sakit hati. 

    Dalam Alquran dijelaskan bahwa Allah SWT membenci orang yang suka menghina orang lain. 

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11). 
     

     

    Merendahkan orang lain kategori sifat sombong

    Imam Ibn Katsir berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim bahwa, ayat di atas berisi larangan meremehkan dan menghina orang lain. Sebab, perbuatan tersebut termasuk ke dalam kategori sombong. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: 

    Artinya: “Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).

    Selain dari ayat Alquran, larangan menghina orang lain juga banyak tercantum dalam hadits berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika Rasulullah ditanya tentang hukuman bagi orang yang menghina orang lain, maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:

    Artinya: “Itu perbuatan buruk, terdapat hukuman ta’zir (hukuman yang kadarnya tidak ditentukan secara baku oleh syari’at), namun tidak ada hukuman hadd (hukuman baku yang telah ditentutan kadarnya oleh syari’at) untuknya.” (HR. Al-Baihaqi 8: 253 dan dinilai hasan oleh Al-Albani).

    Jakarta: Baru-baru ini viral di media sosial, penceramah kondang Gus Miftah melontarkan kata-kata kasar yang bernada merendahkan kepada seorang penjual es teh di sebuah acara pengajian.
     
    Tindakan tersebut menuai kecaman dari publik yang menilai Gus Miftah telah mempermalukan seorang pedagang kecil di depan umum.
     
    Dalam video yang beredar, Gus Miftah mengolok-olok penjual es teh yang hadir di acara tersebut. Ia bahkan mengucapkan kata-kata ‘gob*ok’ yang ditujukan kepada pedagang itu. 
    Penjual es teh yang menjadi korban olok-olok Gus Miftah hanya terdiam di tengah-tengah para hadirin yang tertawa. Kejadian ini pun menjadi viral di media sosial dan mengundang banyak reaksi negatif dari warganet. 
     

     

    Allah SWT membenci perbuatan merendahkan orang lain

    Menghina ataupun merendahkan orang lain dalam Islam termasuk perbuatan tercela dan dibenci Allah SWT. 
     
    Hal ini berlaku baik dalam situasi serius maupun bercanda, merendahkan orang lain tidak dibenarkan karena menyebabkan yang dihina sakit hati. 
     
    Dalam Alquran dijelaskan bahwa Allah SWT membenci orang yang suka menghina orang lain. 
     

     
    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik.” (QS. Al Hujurat: 11). 
     

     

    Merendahkan orang lain kategori sifat sombong

    Imam Ibn Katsir berkata dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim bahwa, ayat di atas berisi larangan meremehkan dan menghina orang lain. Sebab, perbuatan tersebut termasuk ke dalam kategori sombong. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW: 
     

     
    Artinya: “Sombong adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim).
     
    Selain dari ayat Alquran, larangan menghina orang lain juga banyak tercantum dalam hadits berdasarkan sabda Rasulullah SAW. Diriwayatkan dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu ketika Rasulullah ditanya tentang hukuman bagi orang yang menghina orang lain, maka beliau radhiyallahu ‘anhu berkata:
     

     
    Artinya: “Itu perbuatan buruk, terdapat hukuman ta’zir (hukuman yang kadarnya tidak ditentukan secara baku oleh syari’at), namun tidak ada hukuman hadd (hukuman baku yang telah ditentutan kadarnya oleh syari’at) untuknya.” (HR. Al-Baihaqi 8: 253 dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (PRI)

  • Hukum Dalam Islam Menghina Orang Lain, Tidak Bisa Masuk Surga

    Hukum Dalam Islam Menghina Orang Lain, Tidak Bisa Masuk Surga

    Jakarta, Beritasatu.com – Menurut pandangan Islam menghina orang lain termasuk dalam perbuatan tercela dan dibenci oleh Allah Swt. Menghina kekurangan orang lain sama halnya seperti menghina diri sendiri.

    Menghina orang lain dalam pandangan Islam tertuang dalam firman Allah Swt surah Al-Hujurat (49) ayat 11 yang bunyinya,

    يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ ١١

    Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”.

    Ayat di atas menjadi pengingat bagi umat Islam untuk tidak saling menghina dan merendahkan sesama hamba Allah. Selain itu, tafsir ayat tersebut juga memerintahkan hamba-Nya untuk bertaubat dan meninggalkan perkara tersebut, apabila tidak ingin masuk ke golongan orang-orang zalim.

    Kemudian, orang yang menghina orang lain dan merendahkan mereka karena merasa lebih baik dan lebih mulia, maka dia tidak akan masuk surga. Nabi Muhammad Saw bersabda,

    لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ، فَقَالَ رَجُلٌ : إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ حَسَناً وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ، الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

    Artinya: “Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam kalbunya terdapat rasa takabur seberat biji sawi. Kemudian ada seorang lelaki bertanya, “Sesungguhnya seorang lelaki menyukai bila baju dan sandalnya baik”. Nabi menjawab, “Sesungguhnya Allah itu indah lagi menyukai keindahan. Takabur ialah menolak perkara yang hak dan menghina manusia”. (HR Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

    Maka dari itu, sebagai umat Islam yang beriman dan bertaqwa hindari perbuatan menghina, mengejek, mengolo-olok, dan merendahkan orang lain. Mari jaga lisan dan tutur kata agar tidak melukai perasaan orang lain. Pastikan mulut selalu hanya digunakan dalam menyampaikan hal baik dan positif.