Tag: Hindia

  • Gereja Blenduk, Gereja Tertua di Semarang yang Dijuluki "Perhiasan Hindia Belanda"
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        13 Juni 2025

    Gereja Blenduk, Gereja Tertua di Semarang yang Dijuluki "Perhiasan Hindia Belanda" Regional 13 Juni 2025

    Gereja Blenduk, Gereja Tertua di Semarang yang Dijuluki “Perhiasan Hindia Belanda”
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com –
    Di tengah riuhnya geliat
    Kota Lama Semarang
    , Jawa Tengah, berdiri megah sebuah bangunan berkubah perak keabu-abuan, dengan dua menara simetris menjulang ke langit.
    Itulah
    Gereja Blenduk
    . Bangunan gereja tertua di
    Semarang
    yang menyimpan kisah panjang peradaban kolonial, keyakinan, dan arsitektur lintas abad.
    Dibangun pertama kali pada tahun 1753, Gereja Blenduk sejatinya bukan sekadar tempat ibadah, melainkan simbol kehadiran kuat Eropa di tanah Jawa.
    Kala itu, Kota Semarang mulai berkembang sebagai permukiman kolonial, menggantikan benteng kecil VOC yang dikenal sebagai De Vijfhoek.
    Gereja pun menjadi salah satu fasilitas utama yang wajib ada selain kantor, gudang senjata, hingga tempat hiburan.
    Awalnya, bentuk awal gereja ini jauh dari megah. Seorang pelancong pada abad ke-18 menggambarkan gereja Protestan pertama di Semarang sebagai bangunan panggung sederhana bergaya Jawa.
    Namun bangunan ini tak bertahan lama. Tahun 1787, gereja dibongkar dan dibangun ulang dengan struktur yang lebih kokoh.
    Tapi sejarah terus bergulir, hanya tujuh tahun kemudian, pada 1794, gereja tersebut kembali dirobohkan dan digantikan dengan bangunan yang masih berdiri hingga hari ini.
    “Arsitektur yang kita lihat sekarang itu adalah hasil pembangunan tahun 1794. Menara kembar dan kubah besarnya menjadikannya sangat mencolok di antara bangunan-bangunan lain pada masa itu,” ujar sejarawan Kota Semarang, Rukardi dalam wawancara dengan Kompas.com, Jumat (13/6/2025).
    Ia menambahkan, bangunan ini bahkan pernah disebut sebagai “perhiasan Hindia Belanda” oleh penulis Belanda, T.H. van Sypesteyn.
    Nama “Blenduk” sendiri bukanlah nama resmi. Dalam catatan pemerintah kolonial, gereja ini bernama Gereja Protestan Immanuel.
    Sebutan “Blenduk” berasal dari masyarakat Jawa, merujuk pada bentuk atapnya yang cembung, atau dalam bahasa Jawa disebut “mblenduk”.
    Sejarah gereja ini juga sempat menyeberang batas denominasi. Pada masa pemerintahan Herman Willem Daendels di bawah kekuasaan Napoleon, sekitar tahun 1808, umat Katolik sempat diizinkan menggunakan Gereja Blenduk sebagai tempat ibadah.
    Hal ini menjadi catatan unik, karena sebelumnya gereja tersebut hanya dikhususkan untuk umat Protestan sebagai agama resmi Belanda.
    Setelah kekuasaan kolonial Belanda kembali pulih, umat Katolik tak lagi dapat mengakses gereja ini dan mulai mencari tempat ibadah mereka sendiri, yang kelak berdiri di kawasan Gedangan.
    Bangunan gereja pun sempat mengalami renovasi besar pada tahun 1894. Arsitek Westmaas dan H.P.A. de Wilde memperkuat struktur yang telah berdiri selama satu abad itu tanpa mengubah desain dasarnya.
    Renovasi ini lebih banyak menyasar bagian kubah dan menara, memastikan keindahan arsitektural tetap terjaga tanpa kehilangan nilai sejarah.
    “Jadi bisa dikatakan bahwa Gereja Belenduk itu ya gereja pertama yang ada di Semarang ya,” ucap Rukardi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Perairan Selatan DIY!

    BMKG: Waspada Gelombang Tinggi di Perairan Selatan DIY!

    Yogyakarta, Beritasatu.com – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan kepada masyarakat untuk mewaspadai potensi gelombang tinggi di wilayah perairan selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diprediksi berlangsung hingga 12 Juni 2025. 

    Kondisi ini disebabkan oleh pengaruh sistem bibit siklonik 92W yang terpantau di kawasan timur Filipina.

    Kepala Stasiun Meteorologi Yogyakarta, Warjono menyampaikan keberadaan bibit siklon tersebut mengakibatkan dominasi angin timuran yang berdampak pada kondisi laut di selatan Pulau Jawa, termasuk kawasan DIY.

    “Saat ini terdeteksi bibit siklon 92W di timur perairan Filipina. Pola angin dari arah timur cukup kuat dan mempengaruhi cuaca di wilayah Jawa, khususnya DIY, yang berdampak pada potensi gelombang tinggi dalam beberapa hari mendatang,” jelas Warjono dikutip dari Antara, Senin (9/6/2025).

    Menurut prakiraan BMKG, gelombang laut di perairan selatan DIY yang mencakup wilayah Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo diperkirakan akan mencapai ketinggian antara 2,5 hingga 4,0 meter.

    Untuk itu, masyarakat yang beraktivitas di kawasan pesisir, terutama nelayan, operator kapal, dan wisatawan, diminta untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kondisi laut yang kurang bersahabat.

    Warjono menjelaskan perahu nelayan berisiko terganggu jika angin berkecepatan 15 knot dan gelombang mencapai lebih dari 1,25 meter. Sementara itu, kapal tongkang mulai terdampak pada gelombang 1,5 meter disertai angin 16 knot, dan kapal feri terancam jika gelombang mencapai 2,5 meter dengan angin 21 knot.

    Selain pengaruh bibit siklon 92W, dinamika atmosfer juga dipengaruhi oleh sirkulasi siklonik di barat daya Sumatera, yang menciptakan daerah konvergensi serta belokan angin (shearline). Kombinasi faktor-faktor ini memperkuat pola angin dari timur hingga tenggara yang turut mendorong peningkatan tinggi gelombang di selatan Jawa.

    BMKG juga mencatat suhu permukaan laut di kawasan Laut Jawa dan Samudra Hindia selatan Jawa saat ini berada di kisaran 28 hingga 30 derajat celsius, dengan anomali suhu mencapai 2,5 derajat Celsius. Kondisi tersebut meningkatkan penguapan dan memperkuat potensi pembentukan awan hujan di kawasan tersebut.

  • Waspada! Gelombang Tinggi Akan Hantam 6 Wilayah Perairan Ini

    Waspada! Gelombang Tinggi Akan Hantam 6 Wilayah Perairan Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Gelombang tinggi diperkirakan akan kembali melanda sejumlah wilayah perairan Indonesia pada Senin (9/6/2025) mulai pukul 07.00 WIB hingga Kamis (12/6/2025).

    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperingatkan, tinggi gelombang dapat mencapai 4 meter.

    Kondisi ini dipengaruhi oleh pola angin di bagian utara yang bergerak dari arah tenggara hingga barat daya dengan kecepatan 6 hingga 25 knot. Sementara di bagian selatan, angin bertiup dari timur ke tenggara dengan kecepatan 4 hingga 25 knot.

    Kecepatan angin tertinggi tercatat terjadi di Selat Malaka bagian utara, Samudra Hindia barat Kepulauan Nias, dan Laut Banda.

    Wilayah perairan yang berpotensi mengalami gelombang tinggi 2,5 hingga 4 meter antara lain:

       Samudra Hindia barat Aceh   Samudra Hindia selatan Banten   Samudra Hindia selatan Jawa Barat   Samudra Hindia selatan Jawa Tengah   Samudra Hindia selatan Jawa Timur   Samudra Hindia selatan Yogyakarta

    BMKG mengimbau masyarakat, terutama para nelayan dan yang beraktivitas di laut, agar meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi bahaya gelombang tinggi yang dapat mengancam keselamatan pelayaran.

  • Kisah Mbah Suro, Kakek dari Jombang yang Menyambut Kelahiran Bung Karno

    Kisah Mbah Suro, Kakek dari Jombang yang Menyambut Kelahiran Bung Karno

    Jombang (beritajatim.com) – Di sebuah desa kecil bernama Mangunan, Kecamatan Kabuh, Kabupaten Jombang, tersimpan kisah yang bisa mengguncang ulang peta sejarah kelahiran sang proklamator.

    Di sana, Sulisyono Imam Jayaharja, seorang budayawan sekaligus cucu buyut tokoh masyarakat setempat, membuka kembali catatan lama keluarganya—bukan dari buku sejarah, tapi dari selembar foto tua dan ingatan turun-temurun.

    “Yang menjambutku mengindjak dunia ini hanyalah seorang kakek jang sudah terlalu amat tua,” demikian penggalan kisah kelahiran Bung Karno yang tercantum dalam buku otobiografi Penyambung Lidah Rakjat karya Cindy Adams tahun 1966.

    Kakek tua yang dimaksud Bung Karno itu, menurut Sulisyono, sangat mungkin adalah Mas Kiai Surosentono, yang lebih dikenal sebagai Mbah Suro atau Kek Suro. Ia bukan tokoh sembarangan.

    Dalam selembar foto keluarga bertanggal 1925, yang disimpan rapi oleh keluarga besar Sulisyono, terlihat sosok Mbah Suro berdiri berdampingan dengan tokoh-tokoh penting lain dari Kabuh, termasuk Buyut Haji Ilyas, lurah Brumbung Mangunan saat itu sekaligus pemimpin Tarekat Satariyah di wilayah utara Sungai Brantas.

    “Foto itu koleksi keluarga kami. Diambil oleh Pakdhe Ikhwan, cucu Buyut Ilyas yang saat itu bekerja di Bea Cukai Hindia Belanda,” tutur Sulisyono. “Ada tulisan dalam fotonya: Koenjoengan R. Djamiloen ke Broemboeng 1925.”

    Nama Broemboeng yang tertulis di foto itu adalah nama lama dari Desa Mangunan, tempat keluarga besar Sulisyono berasal. Di sanalah, menurut cerita turun-temurun dalam keluarga mereka, Mbah Suro tinggal, bersahabat dekat dengan keluarga Buyut Ilyas, dan menjadi tokoh spiritual penting yang tak hanya dikenal di Kabuh, tapi juga di lingkaran dalam Bung Karno.

    Cerita ini menjadi semakin menarik ketika dikaitkan dengan penuturan Kushartono, pengurus Situs Persada Soekarno di Wates, Kediri. Ia menyebut bahwa Den Mas Mendung—ayah angkat Bung Karno—juga punya kaitan erat dengan Jombang, tepatnya tinggal di Dum Pring, Kabuh.

    “Kek Suro disebut sebagai orang yang menjambut kelahiran Bung Karno. Ia juga pernah menjadi penasihat spiritual Presiden Soekarno ketika berkantor di Istana Yogyakarta pada 1946–1949,” ungkap Kushartono. “Makamnya berada di Yogyakarta, satu kompleks dengan makam H.O.S. Cokroaminoto.”

    Pernyataan itu menguatkan dugaan bahwa Mbah Suro bukan hanya saksi kelahiran Bung Karno, melainkan juga bagian penting dari jejaring spiritual dan politik yang membentuk jalan hidup sang proklamator. Dan kisah ini bukan sekadar cerita keluarga, karena bahkan Roso Daras, sejarawan nasional sekaligus penulis buku-buku tentang Bung Karno, ikut angkat suara.

    “Saya mendengar tahun lalu ada penemuan foto sosok tua saksi kelahiran Bung Karno di Jombang. Sosok yang disebut dalam buku Cindy Adams,” kata Roso. “Ini penting sebagai petunjuk untuk menelusuri lebih jauh asal-usul Bung Karno.”

    Jika benar, maka Ploso Jombang—yang selama ini disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Bung Karno namun masih menuai perdebatan—bisa mendapatkan pengakuan sejarah yang lebih kuat. Bukan semata dari dokumen formal, melainkan dari narasi-narasi lokal, foto-foto keluarga, dan ingatan-ingatan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

    Dan dari tengah desa sunyi itu, nama Kek Suro kembali bersinar, bukan sekadar sebagai tetua kampung, melainkan mungkin sebagai penyambut kehidupan sang proklamator. Sebuah peran sunyi dalam sejarah yang nyaris terlupakan—hingga hari ini. [suf]

  • Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu Hantam RI, Ini Zona Merahnya

    Gempa Megathrust Tinggal Tunggu Waktu Hantam RI, Ini Zona Merahnya

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana gempa dan tsunami. Pasalnya, letak geografis Indonesia berada di Cincin Api Pasifik (Ring of Fire) yang mempertemukan beberapa lempeng.

    Salah satu yang perlu diwaspadai adalah ancaman gempa Megathrust. Setidaknya ada 13 segmen Megathrust yang tersebar di wilayah Indonesia.

    Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, sudah memberikan peringatan bahwa gempa dari 2 zona Megathrust tinggal menunggu waktu.

    Masing-masing adalah Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut. Pasalnya, 2 xona itu sudah lama tak mengalami gempa atau seismic gap, yakni berabad-abad. Biasanya, gemba besar memiliki siklus sendiri dalam rentang hingga ratusan tahun.

    Gempa Megathrust Ancam Jawa Barat

    Terpisah, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengatakan perlu diwaspadai dampak Megathrust untuk selatan Jawa Barat yang memanjang hingga Selat Sunda.

    Para peneliti memperingatkan, energi yang terkunci di zona subduksi ini terus bertambah seiring waktu. Jika energi ini dilepaskan sekaligus, dampaknya bisa memicu gempa besar hingga magnitudo 8,7.

    Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN, Nuraini Rahma Hanifa menjelaskan, pelepasan energi ini tidak hanya memicu guncangan kuat, tapi juga menggerakkan kolom air laut dan membentuk tsunami besar.

    Menurut hitungannya, jika Megathrust di wilayah Pangandaran pecah, gelombang tsunami setinggi 20 meter bisa terjadi dan menjalar ke berbagai wilayah, termasuk Banten, Lampung, bahkan sampai ke Jakarta.

    “Semua pesisir Banten akan terdampak, hanya saja tinggi tsunaminya berbeda-beda,” ujar Rahma kepada CNBC Indonesia belum lama ini.

    Di kawasan pesisir Banten, tsunami diprediksi bisa mencapai ketinggian antara 4 hingga 8 meter. Sementara di pesisir Lampung, kata ia, seluruh wilayah yang menghadap Selat Sunda disebut akan terkena dampaknya.

    Tsunami 1,8 Meter Ancam Jakarta

    Untuk Jakarta, tsunami diperkirakan mencapai pesisir utara dengan ketinggian sekitar 1 hingga 1,8 meter. Namun, waktu kedatangannya lebih lambat dibanding daerah lain, tsunami baru diperkirakan tiba di Jakarta setelah 2,5 jam sejak gempa terjadi.

    “Kalau di selatan Jawa, tsunami sampai dalam waktu 40 menit, bahkan di Lebak hanya 18 menit. Tapi di Jakarta Utara, tsunami datang 2,5 jam setelah gempa,” jelas Rahma.

    BRIN pun mengajak masyarakat Indonesia untuk waspada terhadap risiko Megathrust. Risiko Megathrust bukan hanya gempa dan tsunami, tapi juga kerusakan infrastruktur, gangguan layanan dasar, dampak sosial ekonomi, hingga korban jiwa.

    Terpisah, BMKG menyebut belum dapat memastikan kapan bencana alam besar tersebut akan terjadi. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyebut pihaknya terus membicarakan isu ini agar masyarakat bersiap menghadapi efek dari megathrust di Indonesia.

    “Sebetulnya isu Megathrust itu bukan isu yang baru. Itu isu yg sudah sangat lama. Tapi kenapa BMKG dan beberapa pakar mengingatkan? Tujuannya adalah untuk ‘ayo, tidak hanya ngomong aja, segera mitigasi (tindakan mengurangi dampak bencana),” ujar Dwikorita, dikutip dari CNN Indonesia.

    “Jadi tujuannya ke sana; mitigasi dan edukasi, persiapan, kesiapsiagaan,” imbuh dia.

    Langkah Antisipasi Megathrust di RI

    Dwikorita melanjutkan pihaknya sudah melakukan berbagai langkah antisipasi megathrust. Pertama, menempatkan sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS menghadap ke zona-zona megathrust.

    “InaTEWS itu sengaja dipasang untuk menghadap ke arah megathrust. Aslinya tuh di BMKG hadir untuk menghadapi, memitigasi megathrust,” jelasnya.

    Kedua, edukasi masyarakat lokal dan internasional. Salah satu bentuk nyatanya adalah mendampingi pemerintah daerah (pemda) buat menyiapkan berbagai infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga shelter tsunami.

    Selain itu, bergabung dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang juga berkantor di kompleks BMKG. Komunitas ini bertujuan buat mengedukasi 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.

    “Kami edukasi publik bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemda sebelum terjadi gempa dengan kekuatan tinggi yang menyebabkan tsunami,” kata dia.

    Ketiga, mengecek secara berkala sistem peringatan dini yang sudah dihibahkan ke pemda.

    “Sirine [peringatan tsunami] harusnya tanggung jawab pemerintah daerah, hibah dari BNPB, hibah dari BMKG, tapi pemeliharaan dari pemerintah daerah, kan otonomi daerah. Ternyata sirine selalu kita tes tanggal 26 [tiap bulan], kebanyakan bunyi tapi yang macet ada,” bongkarnya.

    Keempat, menyebarluaskan peringatan dini bencana. Menurut Dwi, jika masyarakat harus siap, berarti harus ada penyebarluasan informasi. “Kami dibantu Kominfo,” pungkasnya.

    13 Segmen Megathrust di RI

    Mengacu pada Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017, berikut daftar 13 segmen megathrust yang mengancam Indonesia:

    1. Megathrust Mentawai-Pagai dengan potensi gempa M8,9

    2. Megathrust Enggano dengan potensi gempa M8,4

    3. Megathrust Selat Sunda dengan potensi gempa M8,7

    4. Megathrust Jawa Barat-Jawa Tengah dengan potensi gempa M8,7

    5. Megathrust Jawa Timur dengan potensi gempa M8,7

    6. Megathrust Sumba dengan potensi gempa M8,5

    7. Megathrust Aceh-Andaman dengan potensi gempa M9,2

    8. Megathrust Nias-Simelue denga potensi gempa M8,7

    9. Megathrust Batu dengan potensi gempa M7,8

    10. Megathrust Mentawai-Siberut dengan potensi gempa M8,9

    11. Megathrust Sulawesi Utara dengan potensi gempa M8,5

    12. Megathrust Filipina dengan potensi gempa M8,2

    13. Megathrust Papua dengan potensi gempa M8,7.

    (fab/fab)

  • Misteri Lempengan Tjipetir, Jejak Kejayaan Karet Indonesia di Eropa

    Misteri Lempengan Tjipetir, Jejak Kejayaan Karet Indonesia di Eropa

    Liputan6.com, Yogyakarta – Lempengan karet bertuliskan Tjipetir terus ditemukan di berbagai pantai Eropa sejak tahun 2012, yang mengungkap sejarah kejayaan industri karet Indonesia pada masa kolonial. Temuan ini menjadi bukti nyata peran Hindia Belanda sebagai pemasok utama bahan baku kabel bawah laut dunia di awal abad ke-20.

    Mengutip dari berbagai sumber, pabrik Gutta Percha Tjipetir di Sukabumi mulai beroperasi secara resmi pada tahun 1921 di bawah administrasi Pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi, penanaman pohon gutta percha (palaquium oblongifolium) sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1885.

    Tanaman langka ini hanya tumbuh optimal di wilayah Cipetir dan menghasilkan getah berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri global. Pabrik tersebut menjadi pusat produksi bahan insulasi kabel telegraf bawah laut, dengan pasar ekspor utama ke Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.

    Pada masa kejayaannya, getah perca dari Hindia Belanda memenuhi sekitar 70% kebutuhan global karena sifatnya yang tahan air dan memiliki daya isolasi tinggi. Lempengan bertuliskan Tjipetir pertama kali dilaporkan ditemukan oleh Tracey Williams di pantai Cornwall, Inggris pada tahun 2012.

    Sejak itu, temuan serupa dilaporkan di 16 negara Eropa lainnya, termasuk Swedia dan Swiss. Beberapa teori menyebutkan bahwa lempengan-lempengan ini mungkin berasal dari muatan kapal karam seperti Miyazaki Maru (1917) atau Titanic (1912), meskipun belum ada bukti definitif yang menguatkan teori tersebut.

     

  • Misteri Lempengan Tjipetir, Jejak Kejayaan Karet Indonesia di Eropa

    Misteri Lempengan Tjipetir, Jejak Kejayaan Karet Indonesia di Eropa

    Liputan6.com, Yogyakarta – Lempengan karet bertuliskan Tjipetir terus ditemukan di berbagai pantai Eropa sejak tahun 2012, yang mengungkap sejarah kejayaan industri karet Indonesia pada masa kolonial. Temuan ini menjadi bukti nyata peran Hindia Belanda sebagai pemasok utama bahan baku kabel bawah laut dunia di awal abad ke-20.

    Mengutip dari berbagai sumber, pabrik Gutta Percha Tjipetir di Sukabumi mulai beroperasi secara resmi pada tahun 1921 di bawah administrasi Pemerintah Kolonial Belanda. Akan tetapi, penanaman pohon gutta percha (palaquium oblongifolium) sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1885.

    Tanaman langka ini hanya tumbuh optimal di wilayah Cipetir dan menghasilkan getah berkualitas tinggi untuk kebutuhan industri global. Pabrik tersebut menjadi pusat produksi bahan insulasi kabel telegraf bawah laut, dengan pasar ekspor utama ke Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.

    Pada masa kejayaannya, getah perca dari Hindia Belanda memenuhi sekitar 70% kebutuhan global karena sifatnya yang tahan air dan memiliki daya isolasi tinggi. Lempengan bertuliskan Tjipetir pertama kali dilaporkan ditemukan oleh Tracey Williams di pantai Cornwall, Inggris pada tahun 2012.

    Sejak itu, temuan serupa dilaporkan di 16 negara Eropa lainnya, termasuk Swedia dan Swiss. Beberapa teori menyebutkan bahwa lempengan-lempengan ini mungkin berasal dari muatan kapal karam seperti Miyazaki Maru (1917) atau Titanic (1912), meskipun belum ada bukti definitif yang menguatkan teori tersebut.

     

  • Perjuangan Hidup Mati! Begini Cara Jemaah Indonesia Berhaji pada 1928

    Perjuangan Hidup Mati! Begini Cara Jemaah Indonesia Berhaji pada 1928

    Jakarta, Beritasatu.com – Perjalanan untuk ibadah haji ke tanah suci Makkah sudah dilakukan oleh warga muslim Indonesia sejak zaman dahulu, sebelum adanya layanan penerbangan pesawat terbang. Saat itu, perjuangan berhaji antara hidup dan mati.

    Jemaah haji dari Pulau Jawa harus menempuh pelayaran berbulan-bulan dengan kapal. Keluarga harus ikhlas melepas mereka pergi, karena terkadang tak pernah kembali atau gugur dalam perjalanan yang melelahkan.

    Sebuah video dokumentasi perjalanaan jemaah haji Indonesia tahun 1928 yang diunggah akun Instagram @moslemnewscenter, memperlihatkan bagaimana beratnya perjuangan para tamu Allah memenuhi panggilan Tuhannya pada masa kolonial Belanda.

    Untuk berangkat haji pada masa itu, jemaah harus mendaftar dahulu ke agen perjalanan atau travel yang bekerja sama dengan perusahaan pelayanan milik Belanda. Ongkos haji harus dibayar dengan mata Belanda.

    Setelah mendapatkan tiket dan tiba waktu keberangkatan, jemaah jalan kaki menuju stasiun kereta api terdekat dengan membawa sejumlah barang bawaan dan bekal perjalanan. Mereka naik kereta api menuju Pelabuhan Tanjung Priok.

    Setelah semua jemaah naik ke kapal, perjalanan dimulai menuju Palembang untuk menjemput jemaah dari sana. Dari Palembang, kapal melintasi Selat Malaka berhari-hari hingga tiba di Pulau Rubiah, Kota Sabang, Aceh.

    Pulau Ribuah yang kini terkenal sebagai destinasi wisata paling digandrungi turis di Sabang dahulu merupakan pusat karantina haji Tanah Air masa Hindia Belanda. Kapal haji wajib singgah di sana.

    Setelah masuk karantina di Pulau Rubiah, jemaah akan menjalani menasik haji dan pemeriksaan kesehatan kurang lebih 1 bulan lamanya. 

    Apabila ada jemaah yang terdeteksi kena penyakit menular, seperti kolera atau malaria, maka otoritas pelayaran tidak mengizinkan mereka melanjutkan perjalanan. Pemerintah kolonial takut penyakit itu menular di kapal dan terkena mereka. 

    Dari Sabang, kapal pengangkut jemaah haji kemudian membelah Samudera Hindia dan melintasi perairan berbagai negara. Perjalanan berbulan-bulan di laut hingga sampai ke perairan Jeddah, wilayah Jazirah Arab.

    Jeddah merupakan pelabuhan utama sekaligus pintu gerbang bagi peziarah via laut menuju Makkah sejak masa khalifah Ustman Bin Affan, sahabat Nabi Muhammad SAW yang terkenal kaya rasa dan sangat dermawan. 

    Setiba di perairan Jeddah, jemaah akan dijemput dengan perahu-perahu kecil menuju daratan. Jangan bayangkan ada mobil yang menjemput. Para jemaah harus jalan kaki ratusan kilometer dari Jeddah menuju Makkah. 

    Ka’bah di Masjidil Haram dikelilingi jemaah haji dari seluruh dunua (Antara/Andika Wahyu)

    Bagi warga yang mampu bisa menyewa unta untuk membawa diri dan barang bawaan menuju Hijaz, menempuh perjalanan berhari-hari melintasi padang pasir di bawah terik matahari.  

    Setelah tiba di Makkah, jemaah bisa langsung beribadah di Masjidil Haram. Menjelang puncak haji, Jemaah bergerak ke Mina dan bermalam di sana. 

    Pada pagi buta 9 Zulhijah, jemaah jalan kaki ke Padang Arafah untuk menjalani wukuf, puncak ibadah haji yang dikenal sebagai Hari Arafah hingga matahari.

    Malam tiba, jemaah lanjut ke Muzdalifah untuk menginap atau mabit. Keesokannya melaksanakan lempar jumrah di Mina. 

    Setelah selesai wukuf, lempar jumrah, tawaf, sa’i, dan tahalul atau mencukur rambut, tibalah saatnya pulang.

    Jemaah haji kembali jalan kaki atau naik unta ke Jeddah, kemudian naik kapal yang sama menuju Tanah Air. Mereka kembali menghabiskan waktu berminggu-minggu di laut dan kembali singgah di Pulau Rubiah, Sabang menjalani karantina atau isolasi.

    Jemaah haji kembali diperiksa kesehatan. Jika lolos skrining, maka mereka kembali diizinkan naik ke kapal untuk melanjutkan perjalanan pulang ke daerah masing-masing. 

    Perjalanan melelahkan berbulan-bulan penuh risiko terkadang harus menelan korban. Tidak sedikit jemaah haji yang tak bisa kembali ke kampungnya karena wafat di tengah jalan.

  • Hujan ringan diprakirakan guyur RI bertepatan dengan Idul Adha

    Hujan ringan diprakirakan guyur RI bertepatan dengan Idul Adha

    logo BMKG

    Hujan ringan diprakirakan guyur RI bertepatan dengan Idul Adha
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 06 Juni 2025 – 07:53 WIB

    Elshinta.com — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprakirakan hujan ringan mengguyur sebagian besar wilayah RI bertepatan dengan perayaan Idul Adha, Jumat, untuk itu masyarakat yang menjalankan Shalat Idul Adha diimbau menyediakan payung. Prakirawan BMKG Ranti Kurniati pada kanal Youtube yang diikuti di Jakarta menyampaikan di Pulau Sumatra, cuaca diprakirakan berkabut di wilayah Padang serta berawan tebal di Banda Aceh.

    “Hujan ringan diprakirakan terjadi di Medan dan Pekanbaru, serta waspadai hujan petir yang dapat terjadi di wilayah Tanjung Pinang,” katanya.

    Cuaca berawan tebal berpotensi terjadi di Palembang, sedangkan hujan ringan diprakirakan terjadi di Bengkulu, Pangkal Pinang, dan Bandar Lampung.

    “Waspadai hujan petir yang berpotensi terjadi di wilayah Jambi,” ujar dia.

    Di Pulau Jawa, udara kabut berpotensi terjadi di Kota Surabaya, sedangkan Kota Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta berpotensi hujan ringan.

    “Kota Serang diprediksi hujan dengan intensitas sedang, serta waspadai hujan yang dapat disertai dengan petir di wilayah Bandung,” ucapnya.

    Di Bali dan Nusa Tenggara, cuaca berawan berpotensi terjadi di Denpasar dan Kupang, sedangkan Mataram diprakirakan berawan tebal. Di Pulau Kalimantan, cuaca diprakirakan berawan di Kota Palangkaraya dan Banjarmasin, sedangkan Kota Samarinda berpotensi berawan tebal.

    “Hujan ringan diprediksi terjadi di Pontianak, dan waspadai hujan petir yang dapat terjadi di wilayah Tanjung Selor,” kataya.

    Di Pulau Sulawesi, kabut berpotensi terjadi di Kota Palu, berawan tebal di Makassar dan Manado, serta hujan ringan di wilayah Mamuju, Kendari, dan Gorontalo. Di wilayah Indonesia bagian timur, cuaca berawan tebal berpotensi terjadi di wilayah Ternate, sedangkan Kota Ambon, Sorong, Manokwari, Nabire, Jayawijaya, Jayapura, dan Merauke diprakirakan hujan dengan intensitas ringan.

    Masyarakat juga diminta waspada potensi gelombang 2,5 hingga 4 meter di Samudera Hindia barat Bengkulu hingga Lampung, Selat Sunda bagian selatan, Samudera Hindia selatan Banten, hingga Jawa Barat.

    Sumber : Antara

  • BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan cuaca panas ekstrem yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia bukanlah fenomena gelombang panas atau heatwave, melainkan hot spell. 

    Hal ini disampaikan oleh Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, berdasarkan hasil kajian selama satu dekade terakhir.

    “Kalau ditanya tentang heatwave di Indonesia, dari hasil BRIN, itu kami mendeteksi bukan heatwave, tapi namanya hot spell ya,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Kamis (5/6/2025). 

    Dia menuturkan bahwa hot spell adalah kondisi suhu panas yang melampaui ambang batas ekstrem, namun belum memenuhi kriteria heatwave yang umumnya terjadi pada suhu di atas 40 derajat Celcius secara konsisten.

    Lebih lanjut, Erma menjelaskan bahwa fenomena hot spell berkaitan dengan posisi matahari terhadap ekuator. Wilayah Indonesia yang berada di garis ekuator akan mengalami suhu yang lebih panas dibandingkan yang jauh dari garis ekuator. 

    Sejumlah wilayah yang rentan mengalami kondisi ini antara lain Sumatra (seperti Pekanbaru, Riau, Jambi), serta beberapa kawasan di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

    “Jadi wilayah yang terkena itu adalah yang di dekat ekuator, tetapi termasuk juga pantura yang ada di Jawa,” kata Erma.

    Data BRIN mencatat suhu di beberapa wilayah telah melampaui angka 37 derajat Celsius. Namun, kondisi tersebut belum mencapai ambang heatwave. Fenomena ini kerap terjadi pada Maret, April, Mei, September, Oktober, dan November. 

    Selain menjelaskan soal hot spell, Erma juga mengungkap tren kemarau basah yang terdeteksi secara reguler sejak 2018 hingga 2022. 

    Fenomena ini terjadi selama musim kemarau, terutama pada Mei hingga September, dan dipicu oleh anomali kelembaban serta gangguan atmosfer seperti pusaran siklonik di Samudera Hindia.

    “Soal kemarau basah sendiri sebenarnya sudah secara general atau reguler terjadi sejak tahun 2018 sampai 2022. Kami mendeteksi bahwa ada fenomena yang bisa memicu kondisi dari kemarau basah itu,” jelasnya.

    Erma menjelaskan bahwa selama periode 2018 hingga 2022, BRIN mendeteksi adanya anomali basah yang terjadi di Indonesia pada musim kemarau. 

    Dia menyebut gangguan cuaca berskala sinoptik berperan dalam mengubah karakter musim kemarau menjadi lebih basah dibandingkan kondisi normal.

    “Sehingga kemungkinannya kita akan menghadapi lebih sering kondisi basah pada musim kemarau itu lebih tinggi probabilitasnya dibanding dengan kondisi yang normal atau musim kemarau yang kering,” pungka Erma.

    Penjelasan BRIN ini sejalan dengan pernyataan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, yang menyebut cuaca panas saat ini merupakan bagian dari masa pancaroba, bukan gelombang panas.

    “Benar penjelasan BMKG. Suhu panas di Indonesia bukan karena heat wave. Saat masa pancaroba [April—Mei dan Oktober—November] suhu udara di banyak kota di Indonesia lebih tinggi daripada saat musim hujan [Desember—Maret] atau musim kemarau [Juni—September],” kata Thomas kepada Bisnis pada Selasa (3/6/2025).

    Thomas juga menyoroti dampak urban heat island yang menyebabkan suhu di kota-kota besar meningkat akibat emisi kendaraan, industri, dan aktivitas rumah tangga.

    “Efek pemanasan kota [urban heat island] akibat emisi karbon dioksida dari kendaraan bermotor, industri, dan kegiatan rumah tangga menyebabkan suhu udara di kota-kota besar makin tinggi, termasuk malam hari,” ujarnya.

    Sementara itu, BMKG memprediksi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah tahun ini. 

    Sekitar 84% wilayah diperkirakan masih menerima curah hujan tinggi hingga puncak musim kemarau di Agustus 2025, didorong oleh suhu muka laut yang hangat, monsun aktif, serta pengaruh La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.