Presiden Bukan Pahlawan!
Peneliti & Assessor pada IISA Assessment Consultancy & Research Centre
ADA
satu usulan yang belakangan ini kembali muncul ke permukaan: semua presiden Indonesia sebaiknya otomatis diberi gelar pahlawan.
Sekilas terdengar masuk akal. Bukankah mereka pernah memimpin bangsa ini? Bukankah jabatan tertinggi layak mendapat penghormatan tertinggi?
Namun, di balik logika yang tampak mulia itu tersembunyi kekeliruan yang tak bisa dibiarkan: kita mencampuradukkan otoritas dengan integritas.
Kita menganggap bahwa karena seseorang pernah menjadi
presiden
, maka ia pasti layak disebut pahlawan.
Padahal, Undang-Undang No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menetapkan syarat yang jauh lebih dalam: integritas moral, keteladanan, perilaku baik, dan bebas dari hukuman pidana berat.
Mengabaikan syarat-syarat ini demi memudahkan proses bukanlah bentuk penghormatan, melainkan bentuk amnesia kolektif yang disengaja.
Kita ingin mengenang tanpa mengingat, memuliakan tanpa mengkaji. Kita ingin sejarah yang nyaman, bukan sejarah yang jujur.
Setiap presiden Indonesia adalah figur yang kompleks. Soekarno adalah proklamator, tapi juga membubarkan DPR dan menerima status presiden seumur hidup.
Soeharto dikenal sebagai “Bapak Pembangunan”, tapi warisannya dibayangi pelanggaran HAM dan praktik KKN yang diakui secara resmi.
Habibie membuka ruang demokrasi, tetapi masa jabatannya diwarnai krisis multidimensi. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dijuluki “Bapak Pluralisme”, tapi kepemimpinannya memicu ketegangan politik.
Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan Aceh, tetapi dikritik atas konflik antara KPK dan Polri. Jokowi membangun infrastruktur masif, tapi mendapat “Rapor Merah” dari mahasiswa atas regresi demokrasi.
Obsesi terhadap pemimpin sempurna adalah refleksi psikologis yang belum dewasa. Kita ingin pahlawan yang bersih dari cela, padahal sejarah tidak pernah sesederhana itu.
Kepahlawanan bukanlah hasil jabatan, melainkan hasil evaluasi kritis terhadap jasa dan kontroversi. Mengkultuskan presiden sebagai pahlawan tanpa syarat adalah bentuk pelarian dari kenyataan bahwa pemimpin adalah manusia yang penuh paradoks.
Jika kita ingin menjadi bangsa yang dewasa, kita harus berani berkata: jabatan bukan jaminan jasa. Presiden bukan otomatis pahlawan. Titik.
Jika elite politik menawarkan logika otoritas, ruang digital menyodorkan jebakan lain:
bandwagon fallacy
. Kita menganggap sesuatu benar karena populer.
Di era algoritma, kita menyaksikan runtuhnya figur “pahlawan monolitik” yang dulu dinarasikan negara.
Seperti diungkap Jean-François Lyotard, kita hidup di zaman “ketidakpercayaan terhadap metanarasi”. Narasi pahlawan sempurna adalah metanarasi yang telah runtuh.
Roland Barthes dalam “The Death of the Author” menekankan bahwa makna kini ditentukan oleh pembaca, bukan penulis. Dalam konteks digital, “pembaca” adalah publik yang dimediasi algoritma.
Namun, algoritma tidak netral. Ia dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan, bukan kebenaran.
Konten yang sederhana, emosional, dan nostalgik—seperti meme “Piye kabare? Isih penak jamanku, toh?”—lebih mudah viral daripada laporan pelanggaran HAM yang kompleks dan traumatis. Ini bukan ingatan otentik, melainkan produk amnesia historis yang dimediasi teknologi.
Ketika jumlah
likes
dan
shares
dianggap sebagai validasi sejarah, kita telah keliru menyamakan legitimasi algoritmik dengan legitimasi historis.
Akibatnya, memori kolektif terfragmentasi ke dalam perang narasi yang tak kunjung usai. Kita tidak lagi mendidik memori, melainkan memuja popularitas.
Fenomena ini bukan sekadar soal nostalgia. Ia adalah cerminan dari cara kita mengonsumsi sejarah: cepat, dangkal, dan emosional.
Kita lebih mudah tersentuh oleh meme daripada oleh arsip. Kita lebih percaya pada viralitas daripada pada verifikasi. Dan dalam proses itu, kita kehilangan kemampuan untuk membedakan antara kenangan dan kenyataan.
Ironisnya, artikel ini pun berisiko menjadi bagian dari algoritma yang ia kritik. Namun, lebih baik menjadi virus reflektif daripada menjadi vaksin yang tak pernah disuntikkan.
Untuk keluar dari jebakan logika dan algoritma ini, kita membutuhkan reformasi sistemik yang membangun kedewasaan historis. Tiga langkah utama dapat ditempuh:
Pertama, Reformasi Institusional. Proses pemberian gelar pahlawan harus transparan dan deliberatif.
Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan perlu bertransformasi dari lembaga administratif-seremonial menjadi lembaga edukatif-deliberatif.
Setiap kandidat kontroversial harus disertai publikasi neraca sejarah yang utuh—kajian komprehensif atas jasa dan kontroversinya. Bukan hanya daftar pujian, tetapi juga daftar kritik. Bukan hanya glorifikasi, tetapi juga evaluasi.
Bayangkan jika setiap pengajuan gelar pahlawan disertai dengan dokumen sejarah yang jujur dan lengkap. Ini bukan sekadar penghargaan, tetapi pendidikan publik.
Kita tidak hanya memberi gelar, tetapi juga memberi ruang bagi bangsa untuk belajar dari sejarahnya sendiri.
Kedua, Reformasi Edukasional. Kurikulum sejarah nasional harus mengadopsi pendekatan
Critical Historical Thinking
.
Sejarah tidak boleh lagi diajarkan sebagai hafalan nama dan tanggal. Ia harus menjadi metode investigasi yang mengajarkan analisis terhadap ambivalensi dan bukti yang saling bertentangan.
Sejarawan Hilmar Farid menekankan pentingnya menjadi bangsa yang “tidak takut pada sejarah”. Ini berarti berani menghadapi sisi gelap masa lalu, bukan menutupinya demi kenyamanan politik atau nostalgia.
Anak-anak kita harus diajak untuk bertanya, bukan hanya menghafal. Mereka harus diajak untuk membaca sumber primer, membandingkan narasi, dan memahami bahwa sejarah adalah arena interpretasi.
Ketiga, Reformasi Kognitif Publik. Kita memerlukan gerakan nasional Literasi Digital Kritis. Ini bukan sekadar cek fakta, tetapi edukasi tentang cara kerja algoritma,
echo chamber
, dan bias kognitif.
Publik harus memahami bagaimana algoritma mengeksploitasi emosi dan preferensi untuk membentuk persepsi sejarah.
Ketahanan kognitif kolektif adalah benteng terakhir melawan
bandwagon fallacy.
Tanpa itu, kita akan terus terjebak dalam narasi viral yang menyesatkan dan kehilangan kemampuan untuk mengevaluasi sejarah secara kritis.
Gerakan ini harus melibatkan sekolah, media, komunitas, dan platform digital. Kita perlu membangun budaya digital yang tidak hanya cepat dan interaktif, tetapi juga reflektif dan bertanggung jawab.
Kita perlu mengajarkan bahwa tidak semua yang viral itu benar, dan tidak semua yang populer itu pantas dikenang.
Kepahlawanan sejati tidak lahir dari jabatan atau viralitas. Ia lahir dari keberanian kolektif untuk mengingat secara jujur dan mengevaluasi secara kritis.
Tugas kita bukan mencari pahlawan sempurna, melainkan menjadi bangsa yang dewasa—yang mampu belajar dari pemimpin yang tidak sempurna.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Hilmar Farid
-
/data/photo/2024/10/23/6718a365cedc9.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Presiden Bukan Pahlawan!
-

Sejumlah Tokoh Ajukan jadi Sahabat Pengadilan di Sidang Praperadilan Nadiem Makarim
Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 12 tokoh antikorupsi dari berbagai bidang mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan (amicus curiae) pada saat sidang praperadilan Nadiem Makarim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
“Beban pembuktian harusnya dibebankan kepada termohon yaitu penyidik bukan kepada pemohon,” kata salah seorang sahabat pengadilan (amici) yang juga pegiat antikorupsi Natalia Soebardjo di Jakarta, Jumat.
Amicus curiae di Kamus Besar Bahasa Indonesia Kemendikbud mengandung arti pihak yang tidak memihak sehingga dapat membantu memberikan pendapat untuk suatu perkara hukum.
Menurut dia, para tokoh antikorupsi mendesak agar pada proses praperadilan, pihak termohon, dalam hal ini penyidik, mampu menjelaskan alasan pemohon patut untuk diduga sebagai pelaku tindak pidana.
Dia mengatakan bahwa para tokoh ini, menilai bahwa dua alat bukti yang dijadikan dasar penetapan tersangka terhadap pemohon tidak cukup kuat untuk menduga pemohon sebagai pelaku tindak pidana.
Dengan kata lain, tindakan pemohon menetapkan status tersangka tidak berlandaskan pada konsep kecurigaan yang beralasan (reasonable suspicion).
“Karena pada dasarnya penyidiklah yang mendalilkan sesuatu, bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga pemohon adalah pelakunya,” ujarnya dikutip dari Antara, Selasa (7/10/2025).
Dengan menjalankan prinsip tersebut, mereka menilai, dalam sidang praperadilan, hal pertama yang harus dilakukan oleh termohon adalah menjelaskan tindak pidana yang diduga terjadi dan alasannya menduga seseorang sebagai pelaku tindak pidana.
Cara seperti ini kata Natalia, dinilai penting agar publik juga bisa memahami proses penegakan hukum dan ikut mengawasi timbulnya suatu perkara hukum.
“Publik memiliki hak untuk mengetahui dengan jelas mengenai hal yang diperkarakan. Inilah pentingnya sebuah proses hukum dijalankan secara transparan, akuntabel dan penuh tanggung jawab. Jika itu dilaksanakan, kepercayaan publik terhadap penegakan hukum akan semakin tinggi,” ucapnya.
Dia menambahkan, adapun amicus curiae ini dimaksudkan untuk mendorong agar praperadilan atas sah tidaknya penetapan tersangka dapat berjalan lebih efektif, efisien, sederhana namun tepat sasaran.
Hal itu karena mereka melihat proses pemeriksaan praperadilan yang berjalan selama ini, menuruti mekanisme yang menyerupai hukum acara perdata dengan prinsip siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan.
Padahal, prinsip ini tidak tepat untuk pemeriksaan praperadilan yang hanya ada dalam hukum pidana.
Mereka yang mengajukan diri terdiri dari para tokoh dan pegiat antikorupsi yang memiliki latar belakang beragam.
Berikut mereka :
1. Pimpinan KPK Periode 2003-2007, Amiien Sunaryadi
2. Pegiat Antikorupsi dan Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), Arief T Surowidjojo
3. Peneliti Senior Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan, Arsil
4. Pegiat Antikorupsi dan Juri Bung Hatta Anti Corruption Award, Betti Alisjahbana
5. Pimpinan KPK 2003-2007, Erry Riyana Hardjapamekas
5. Penulis dan Pendiri Majalah Tempo, Goenawan Mohamad
7. Aktivis dan Akademisi, Hilmar Farid
8. Jaksa Agung Periode 1999-2001, Marzuki Darusman
9. Direktur Utama PLN 2011-2014, Nur Pamudji
10. Pegiat Antikorupsi dan Anggota International Council of Transparency International, Natalia Soebagjo
11. Advokat, Rahayu Ningsih Hoed
12. Pegiat Antikorupsi dan Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW) Todung Mulya Lubis
-
/data/photo/2025/09/04/68b96b1e314a5.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kejagung Sindir 12 Tokoh Anti-korupsi yang Ajukan Amicus Curiae untuk Nadiem Makarim Nasional 6 Oktober 2025
Kejagung Sindir 12 Tokoh Anti-korupsi yang Ajukan Amicus Curiae untuk Nadiem Makarim
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) menyindir amicus curiae atau Sahabat Pengadilan yang disampaikan 12 tokoh terhadap praperadilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim.
Sindiran ini disampaikan dalam sidang praperadilan dengan agenda pembacaan duplik Kejagung, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/10/2025).
“Jika mempertimbangkan nilai-nilai hidup di masyarakat, seharusnya 12 tokoh anti-korupsi tersebut memahami bahaya akibat korupsi di Indonesia,” kata Kejagung, Senin.
Kejagung menyinggung bahwa tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang harus segera diberantas karena merusak kehidupan masyarakat.
“Bahwa nilai-nilai yang hidup di masyarakat mengingat adanya bahaya-bahaya korupsi harus diberantas karena merupakan
extra ordinary crime
(kejahatan luar biasa) yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat,” kata Kejagung.
Kejagung juga menegaskan bahwa praperadilan hanya memeriksa aspek formal dari sebuah proses hukum.
Dengan demikian, benar atau tidaknya Nadiem melakukan tindak pidana yang disangkakan seharusnya diuji dalam sidang pokok perkara.
“Kemudian mengenai apakah benar, sangkaan dan tuduhan kepada pemohon tersebut, atau tidak, maka akan dibuktikan dalam putusan pokok perkara dalam pengadilan tindak pidana korupsi,” kata Kejagung.
“Termohon sebelumnya telah menyampaikan tanggapan bahwa praperadilan hanya menguji aspek formal, bukan materil,” ucap pihak Korps Adhyaksa.
Sebanyak 12 tokoh antikorupsi mengajukan pendapat hukum dalam bentuk amicus curiae untuk permohonan praperadilan yang diajukan Nadiem Makarim.
Dari 12 tokoh tersebut, terdapat nama mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman dan mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi.
Amicus itu disampaikan langsung dalam sidang perdana praperadilan Nadiem, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jumat (3/10/2025).
Penyampaian dilakukan oleh dua perwakilan, yakni peneliti senior pada Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Arsil, serta pegiat antikorupsi Natalia Soebagjo.
“Amicus curiae ini dimaksudkan untuk memberikan masukan kepada hakim ketua Yang Mulia perihal hal-hal penting yang seharusnya diperiksa dalam proses praperadilan mengenai sah tidaknya penetapan seseorang sebagai tersangka,” kata Arsil.
Arsil menambahkan, 10 tokoh lainnya berhalangan hadir untuk menyampaikan langsung amicus tersebut.
Ia menegaskan, pendapat hukum ini tak hanya ditujukan untuk praperadilan Nadiem semata, melainkan untuk praperadilan penetapan tersangka secara umum.
Adapun daftar 12 tokoh yang mengajukan amicus curiae, yaitu:
1. Amien Sunaryadi, Pimpinan KPK periode 2003–2007
2. Arief T Surowidjojo, pegiat antikorupsi dan Pendiri Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
3. Arsil, peneliti senior LeIP
4. Betti Alisjahbana, pegiat antikorupsi dan juri Bung Hatta Anti Corruption Award
5. Erry Riyana Hardjapamekas, Pimpinan KPK periode 2003–2007
6. Goenawan Mohamad, penulis dan pendiri majalah Tempo
7. Hilmar Farid, aktivis dan akademisi
8. Marzuki Darusman, Jaksa Agung periode 1999–2001
9. Nur Pamudji, Direktur Utama PLN periode 2011–2014
10. Natalia Soebagjo, pegiat antikorupsi dan Anggota International Council of Transparency International
11. Rahayu Ningsih Hoed, advokat
12. Todung Mulya Lubis, pegiat antikorupsi dan Pendiri Indonesia Corruption Watch (ICW)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Istana Ungkap Sri Mulyani Ikut Usulkan Bimo & Djaka Jadi Dirjen
Jakarta, CNBC Indonesia – Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ikut mengusulkan langsung Bimo Wijayanto dan Djaka Budhi Utama sebagai Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai. Usulan tersebut ditetapkan dalam surat tertulis Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Hasan pun memastikan bahwa pemilihan keduanya sebagai pejabat di lingkungan Kementerian Keuangan sudah sesuai prosedur hukum.
“Secara prosedur (Bimo dan Djaka) diusulkan oleh Menteri Keuangan. Ada usulan dari Menkeu saya lupa apakah 13-14 Mei. Pokoknya ada usulan dari Menteri Keuangan,” kata Hasan kepada jurnalis di istana, Senin kemarin (26/5/2025).
Terkait dengan meritokrasi pemilihan pejabat di Kementerian Keuangan, Hasan menegaskan pemilihan Dirjen di Kementerian Keuangan juga bagian dari hak prerogatif pemerintah untuk menempatkan orang-orang yang dianggap mampu untuk menjalankan hal-hal yang diinginkan oleh Presiden.
“Dan secara prosedur ini kan berdasarkan usulan dari Menteri Keuangan juga. Jadi prosedurnya kan sudah ditempuh semua, prosedur minta berhentinya sudah ditempuh, prosedur pemberhentian juga sudah ditempuh, pengusulannya oleh Menteri Keuangan,” paparnya.
“Dan untuk Eselon 1A memang surat keputusan pengangkatannya dari Presiden. Seperti Deputi di kantor saya, Deputi itu surat keputusannya juga keputusan Presiden. Dirjen-dirjen itu pengangkatannya keputusan Presiden. Jadi kira-kira seperti itu,” tambah Hasan.
Terkait dengan latar belakang kedua pejabat tersebut, Hasan mengemukakan ini bukan pertama kalinya, pejabat tinggi setingkat eselon I kementerian bukan pegawai karier di instansi tersebut. Dia mencontohkan ada Hilmar Farid yang merupakan orang di luar kementerian yang pernah menjabat eselon I, dia pernah jadi Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud.
Seperti diketahui, Bimo merupakan mantan Asisten Deputi Investasi di Kemenko Marves dan Djaka, Dirjen Bea Cukai Kemenkeu, sebelumnya adalah purnawirawan TNI. Hasan pun memastikan surat pemberhentian Djaka sebagai prajurit sudah keluar sejak 6 Mei 2025. Maka dari itu, Djaka kini statusnya bukan lagi tentara, namun sipil yang ditunjuk jadi pejabat tinggi di kementerian.
“Sekarang ya Letjen Djaka itu statusnya purnawirawan, sama-sama sipil, dan statusnya PPPK yang menjabat sebagai Dirjen Bea Cukai,” tegas Hasan.
(haa/haa)
-

ASTRA Infra Sustainability Fest 2024, Kreativitas Berbalut Inklusivitas
Jakarta, Beritasatu.com – Sejalan dengan semangat Astra 2030 Sustainability Aspirations, ASTRA Infra berkomitmen untuk berkontribusi dalam pengembangan masyarakat sekitar, salah satunya melalui program-program tanggung jawab sosial perusahaan yang menjunjung keberagaman dan inklusivitas. Dengan semangat tersebut, ASTRA Infra menggelar ASTRA Infra Sustainability Fest 2024 yang menghadirkan komunitas difable dan neurodiverse di dalam rangkaiannya. Acara yang berlangsung selama dua hari, pada tanggal 3-4 Desember 2024 di Menara Astra, Jakarta Pusat, juga bertepatan dengan peringatan Hari Difabel Internasional.
Dalam kesempatan ini, Group COO ASTRA Infra, Billy Perkasa Kadar menyampaikan harapannya terhadap penyelenggaraan acara ini.
“Dengan mengusung tema “See in Us: Towards Sustainability by Collaborating Through Difable & Neurodiverse Creative Work” acara ini bertujuan untuk menunjukkan kemampuan dari teman-teman difable dan neurodiverse dengan memperkenalkan karya seni inspiratif serta produk hasil karya mereka, serta membuka peluang bagi mereka untuk berkarya di berbagai industri,” ujar Billy.
Kolaborasi ASTRA Infra Sustainability Fest 2024 dengan Komunitas Difable dan Neurodiverse
Dalam mewujudkan lingkungan inklusif, ASTRA Infra Sustainability Fest 2024 berkolaborasi dengan berbagai komunitas difable dan neurodiverse, di antaranya Filoksenia Foundation, Outsider Art Jakarta, Sekolah Cita Buana, Mata Hati Koffie, dan Sekolah Khusus (SKh) Aditiya Silih Asih.
Filoksenia Foundation merupakan sebuah yayasan yang memberdayakan talenta seni dan desain grafis pada seniman neurodiverse. ASTRA Infra turut memberikan dukungan dalam bentuk kolaborasi profesional dengan Filoksenia Foundation dengan memberikan pengembangan pengalaman client handling serta membantu meningkatkan exposure terhadap seniman beserta karyanya.
Outsider Art Jakarta adalah gerakan yang memiliki visi untuk merealisasikan potensi teman-teman difable dan neurodiverse dalam bidang kesenian, khususnya seni lukis. Melalui gerakan ini, Outsider Art Jakarta telah menggelar berbagai art exhibition. Pada kesempatan ini, Outsider Art Jakarta juga berkolaborasi dengan Sekolah Cita Buana untuk menampilkan karya-karya seniman difable dan neurodiverse.
Mata Hati Koffie merupakan kedai kopi yang mempunyai sebuah gerakan dalam memberdayakan komunitas netra untuk dapat belajar, berkreasi dan berusaha dalam menjadi seorang barista yang dapat meracik kopi secara profesional. Melalui penyediaan peralatan dan perlengkapan yang menunjang proses pembuatan kopi, ASTRA Infra turut mendukung misi Mata Hati Koffie dalam memberdayakan komunitas netra yang mandiri.
SKh Aditiya Silih Asih yang terletak di Serdang Kulon, Kabupaten Tangerang, Banten, adalah sekolah berkebutuhan khusus yang berhasil berkontribusi mewujudkan lingkungan berkelanjutan sehingga mendapat predikat Sekolah Adiwiyata. ASTRA Infra turut memberikan dukungan kepada SKh Aditiya Silih Asih dalam mengimplementasikan program Sekolah Adiwiyata sebagai salah satu bagian dari program Infra Cerdas yang merupakan salah satu pilar kegiatan kontribusi sosial berkelanjutan ASTRA Infra, yaitu pendidikan.
Ragam bentuk kolaborasi yang dihasilkan dapat dilihat pada pameran karya seni yang akan menampilkan karya graphic designs, acrylic paintings, painted used box, painted used plastic gallon, dan painted used plastic bottles. Tidak hanya itu, masing-masing kolaborator juga menawarkan berbagai produk serta merchandise yang bisa dinikmati selama acara berlangsung.
Pada pameran ini, pengunjung juga dapat melihat hasil kolaborasi unit bisnis ASTRA Infra bersama komunitas difable dan neurodivers lainnya. ASTRA Infra Toll Road Cikopo-Palimanan mempersembahkan pertunjukan musik dari komunitas difable dan neurodiverse binaannya. ASTRA Infra Toll Road Tangerang-Merak juga menghadirkan berbagai macam produk hasil Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) binaan.
Rangkaian acara ini turut dibuka dan dihadiri oleh Pemerhati Budaya Hilmar Farid, Head of Filoksenia Foundation Romina S. Himawan, Group Chief Executive Officer ASTRA Infra Firman Yosafat Siregar, Group Chief Operating Officer ASTRA Infra Billy Perkasa Kadar, serta Group Chief Financial Officer ASTRA Infra Halim Wahjana yang juga meresmikan ASTRA Infra Sustainability Fest 2024.
Dalam kesempatan ini, Hilmar Farid menyampaikan apresiasinya tentang acara ini.
“ASTRA Infra Sustainability Fest 2024 telah menghadirkan sebuah perayaan keberagaman yang menginspirasi. Dengan memberikan wadah bagi seniman difable dan neurodiverse, acara ini tidak hanya merayakan seni, tetapi juga merangkul setiap individu untuk ikut membangun masyarakat yang inklusif,” jelas Hilmar.
Bincang Inspiratif dan Berbagai Hasil Karya Seniman Difable dan Neurodiverse
Sesi bincang inspiratif pertama dipandu oleh jurnalis senior Harian Kompas Nawa Tunggal berlangsung hangat dan interaktif. Talkshow sesi pertama ini membahas tentang peluang bagi teman-teman difable dan neurodiverse untuk berkarya di industri. Sesi ini menghadirkan Penerima SATU Indonesia Awards, Ratih Hadiwinoto, Psikolog dan Founder Sahabat Satu Hati Psychological Service Retno Dewanti Purba dan Head of Sustainability Management ASTRA Infra Beny Priyatna Kusumah.
Rangkaian acara dilanjutkan dengan bincang inspiratif sesi kedua yang dipandu oleh Head of Corporate Communications ASTRA Infra Deddy Pradityo Opficon, membahas lebih mendalam mengenai karya-karya seni yang dihasilkan oleh komunitas difable dan neurodiverse. Personel dari Group band RAN, Rayi Putra, Creative Director Filoksenia Foundation, Novaldy Prawhesmara, dan Seniman Filoksenia Foundation, Athallah Fikri Yanis, juga berbagi cerita inspiratif mengenai seni yang telah menjadi bagian penting dalam hidup mereka.
Selain talkshow, terdapat juga workshop mewarnai di atas canvas totebag yang dibimbing oleh Timotius Suwarsito atau akrab disapa Kak Toto dari Outsider Art Jakarta. Workshop ini memberikan kesempatan bagi teman-teman difable & neurodiverse untuk berkreasi.
ASTRA Infra Sustainability Fest 2024 merupakan bagian dari komitmen ASTRA Infra dalam mendukung terwujudnya Astra 2030 Sustainability Aspirations. Dengan memberikan wadah bagi komunitas neurodiverse dan difable untuk berkarya dan berkreasi, ASTRA Infra berharap dapat menginspirasi lebih banyak orang untuk menghargai perbedaan dan menciptakan masyarakat yang lebih inklusif.
