Tag: Hiendra Soenjoto

  • Kasus Jet Pribadi Kaesang Disinggung di Sidang Eks Sekretaris MA Nurhadi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        28 November 2025

    Kasus Jet Pribadi Kaesang Disinggung di Sidang Eks Sekretaris MA Nurhadi Nasional 28 November 2025

    Kasus Jet Pribadi Kaesang Disinggung di Sidang Eks Sekretaris MA Nurhadi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Kubu Eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi menyinggung penerimaan fasilitas jet oleh putra bungsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Widodo), Kaesang Pangarep, saat membacakan nota keberatan atau eksepsi dalam kasus dugaan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
    Kuasa hukum
    Nurhadi
    menyinggung bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) telah menerapkan standar ganda dalam memperlakukan kasus kliennya dibandingkan dengan peristiwa yang melibatkan Kaesang.
    Dalam kasus ini, Nurhadi didakwa mengendalikan menantunya, Rezky Herbiyono, untuk menerima
    gratifikasi
    dan melakukan pencucian uang melalui rekening Rezky serta beberapa pihak lainnya.
    “Kalaupun penerimaan Rezky Herbiyono yang merupakan hasil dari kegiatan bisnis disangkutpautkan dengan Terdakwa, maka timbul pertanyaan, lantas apa bedanya dengan fasilitas yang diterima oleh
    Kaesang Pangarep
    ?” ujar salah satu pengacara Nurhadi dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (28/11/2025).
    Pihak Nurhadi juga menyinggung soal penggunaan fasilitas jet pribadi oleh Kaesang yang ramai dibicarakan publik pada Agustus 2024 lalu.
    Menurut mereka, tidak mungkin seorang Kaesang bisa menerima fasilitas tersebut jika bukan karena statusnya sebagai anak Jokowi.
    “Apakah seorang manusia bernama Kaesang Pangarep jika tidak dalam kapasitasnya sebagai putra Presiden? Apa mau oligarki menyediakan fasilitas untuk seorang Kaesang Pangarep jika dia bukan anak dari Presiden Joko Widodo?” ujar sang kuasa hukum.
    Kubu Nurhadi juga menyoroti respons petinggi KPK yang seakan-akan membela Kaesang.
    “Ironisnya, KPK melakukan pembelaan untuk seorang Kaesang Pangarep anak Presiden Joko Widodo yang menerima fasilitas dari oligarki dengan alasan bahwa fasilitas itu diberikan tidak ada kaitannya dengan kedudukan Kaesang Pangarep sebagai anak Joko Widodo selaku Presiden,” imbuh pengacara itu.
    Pada akhirnya, KPK menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa Kaesang terkait penggunaan fasilitas jet pribadi ini karena putra bungsu Jokowi bukan pegawai negeri sipil (PNS).
    Sementara, dalam dakwaan, KPK selalu menyangkutpautkan tindakan Rezky dengan Nurhadi.
    “Sangat terang dan jelas penanganan perkara
    a quo
    KPK
    in casu
    penyidik
    juncto
    penuntut umum telah menggunakan standar ganda dalam menentukan subyek tersangka,” kata pengacara Nurhadi.
    Kubu Nurhadi menyebutkan, jika hakim tetap mengadili dan memeriksa perkara Nurhadi, ini akan menjadi preseden buruk untuk penegakan hukum di masa depan.
    Mereka juga menilai surat dakwaan JPU cacat dan tidak dapat diterima.
    “Surat dakwaan penuntut umum telah disusun dengan melanggar hukum sebagaimana ditentukan Pasal 140 ayat 1 KUHAP dan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang KPK, sehingga dakwaan a quo adalah cacat dan oleh karenanya demi hukum harus dinyatakan tidak dapat diterima,” kata kubu Nurhadi.
    Pada kasus ini, Nurhadi dijerat dengan dua dugaan tindak pidana, yaitu gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar dan juga melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) senilai Rp 307,2 miliar.
    Atas perbuatannya ini, Nurhadi dijerat dengan pasal berlapis.
    Untuk tindak pidana gratifikasi, Nurhadi disebutkan melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Sementara, untuk TPPU yang dilakukannya, Nurhadi didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Sebelumnya, pada tahun 2021, Nurhadi sudah terbukti menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah kepengurusan perkara.
    Saat itu, ia divonis 6 tahun penjara setelah terbukti menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016, Hiendra Soenjoto, terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
    Selain itu, dia juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Sita Hasil Kebun Sawit Rp1,6 miliar Milik Eks Sekretaris MA Nurhadi

    KPK Sita Hasil Kebun Sawit Rp1,6 miliar Milik Eks Sekretaris MA Nurhadi

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita hasil panen kebun sawit senilai Rp1,6 miliar milik mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi.

    Pasalnya, lahan sawit yang dibeli Nurhadi diduga berasal dari hasil Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sehingga hasil panen sawit disita oleh penyidik.

    “Hari ini total nilai yang disita Rp1,6 miliar,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo kepada jurnalis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (23/10/2025).

    Budi menjelaskan sebelumnya penyidik lembaga antirasuah telah menyita hasil panen kebut sawit senilai Rp3 miliar sehingga total penyitaan sebesar Rp4,6 miliar.

    “Artinya kebun sawit yang disita ini dalam kondisi produktif sehingga secara rutin menghasilkan sawit, maka atas hasil sawit itu kemudian disita oleh penyidik,” ucap Budi.

    Lahan yang terletak di Padang Lawas, Sumatera Utara ini dilakukan setelah KPK memeriksa dua orang saksi, yakni Notaris dan PPAT, Musa Daulaen dan Pengelola Kebun Sawit, Maskur Halomoan Daulay, pada Kamis (23/10/2025).

    Penyitaan hasil panen akan menambah nilai asset recovery yang masuk ke kas negara. Menurut Budi, upaya ini merupakan terobosan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

    “Tentu satu untuk kebutuhan pembuktian yang kedua sebagai langkah awal KPK dalam mengoptimalkan asset recovery,” jelasnya.

    Sekadar informasi, Nurhadi kembali ditangkap KPK setelah mejalani hukuman atas kasus suap dan gratifikasi di lingkungan MA, Minggu (29/6/2025). 

    Nurhadi bersama menantunya Rezky Herbiono divonis bersalah karena menerima suap dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto dan menerima gratifikasi dari sejumlah pihak senilai total Rp49 miliar.

    Uang tersebut bertujuan untuk memuluskan dan mengatur sejumlah perkara. Keduanya divonis oleh Pengadilan Tipikor Jakarta masing-masing penjara enam tahun penjara dan denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis lebih ringan dari tuntutan jaksa, yaitu 12 tahun penjara untuk Nurhadi dan Rezky 11 tahun penjara.

  • Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM

    Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM

    Penahanan Kembali Eks Sekretaris MA Nurhadi oleh KPK Dinilai Melanggar HAM
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kuasa Hukum Eks Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Maqdir Ismail menyebut, penahanan kliennya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
    pelanggaran hak asasi manusia
    (HAM).
    Menurut dia, kasus yang saat ini menimpa kliennya setelah menjalani vonis enam tahun sengaja tidak digabungkan dengan kasus sebelumnya.
    “Bukan cuma seolah-olah menunda, ini melanggar hak asasi manusia. Ini gitu loh, karena bagaimanapun juga kan prinsip dasar hukum acara pidana kita itu kan peradilan itu cepat dengan biaya ringan,” kata Maqdir, saat dihubungi melalui telepon, Senin (30/6/2025).
    Maqdir mengaku mendapat informasi Nurhadi ditahan kembali atas dugaan
    tindak pidana pencucian uang
    (TPPU).
    Namun, menurut dia, penangkapan dan penahanan kembali Nurhadi bukan soal kasus baru yang ditemukan KPK, tetapi soal proses hukumnya.
    “Kenapa tidak dilakukan pengadilannya secara bersamaan? Ini ternyata tidak, ini (kasus baru) dipisah sedemikian rupa,” kata dia.
    Maqdir mengatakan, Nurhadi akan ditahan dalam kurun waktu 20-40 hari oleh penyidik KPK.
    Penahanan ini dilakukan setelah Nurhadi akan bebas murni dari Lapas Sukamiskin pada 28 Juni 2025.
    Atas peristiwa ini, Maqdir berencana melaporkan tindakan KPK ke Dewan Pengawas.
    “Kita lapor ke Dewas juga, mudah-mudahan Dewas akan melakukan tindakan kalau kita lapor,” kata dia.
    Sebelumnya, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menyebut pihaknya telah menangkap Nurhadi sebelum dinyatakan bebas murni.
    “Benar, KPK melakukan penangkapan dan kemudian dilakukan penahanan kepada saudara NHD di Lapas Sukamiskin,” kata Budi dalam keterangannya, Senin (30/6/2025).
    Budi mengatakan, penangkapan dan penahanan dilakukan pada Minggu (29/6/2025) dini hari.
    “Penangkapan dan penahanan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang di lingkungan MA,” kata dia.
    Nurhadi pernah divonis enam tahun penjara dalam
    kasus suap dan gratifikasi
    penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
    Dalam kasus tersebut, Nurhadi dinyatakan menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016, Hiendra Soenjoto, terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
    Selain itu, dia juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 6
                    
                        KPK Tangkap Lagi Eks Sekretaris MA Nurhadi Usai Bebas dari Sukamiskin
                        Nasional

    6 KPK Tangkap Lagi Eks Sekretaris MA Nurhadi Usai Bebas dari Sukamiskin Nasional

    KPK Tangkap Lagi Eks Sekretaris MA Nurhadi Usai Bebas dari Sukamiskin
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    ) kembali menangkap mantan Sekretaris
    Mahkamah Agung
    (MA) Nurhadi setelah bebas dari lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.
    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan, setelah ditangkap, Nurhadi langsung ditahan kembali.
    “Benar, KPK melakukan penangkapan dan kemudian dilakukan penahanan kepada saudara NHD di Lapas Sukamiskin,” kata Budi dalam keterangannya, Senin (30/6/2025).
    Budi mengatakan, penangkapan dan penahanan dilakukan pada Minggu (29/6/2025) dini hari.
    “Penangkapan dan penahanan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana
    pencucian uang
    di lingkungan MA,” katanya.
    Adapun Nurhadi pernah divonis enam tahun penjara dalam kasus suap dan gratifikasi penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
    Dalam kasus tersebut, Nurhadi dinyatakan menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016 Hiendra Soenjoto terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
    Selain itu, dia juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 6
                    
                        Ketika Vonis Bisa Dibeli, Ini Rentetan Skandal Hakim yang Terima Suap untuk Atur Putusan
                        Nasional

    6 Ketika Vonis Bisa Dibeli, Ini Rentetan Skandal Hakim yang Terima Suap untuk Atur Putusan Nasional

    Ketika Vonis Bisa Dibeli, Ini Rentetan Skandal Hakim yang Terima Suap untuk Atur Putusan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Praktik suap di lingkungan peradilan kembali mencuat setelah
    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) menetapkan tiga hakim sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap terkait vonis lepas ekspor
    crude palm oil
    (CPO) untuk tiga perusahaan besar, Minggu (13/4/2025).
    Mereka adalah Agam Syarif Baharuddin (ASB) dan Ali Muhtarom (AM) yang merupakan hakim Pengadilan Negeri Jakarta (PN) Pusat, serta hakim PN Jakarta Selatan, Djuyamto (DJU).
    Kejagung menduga ketiga tersangka menerima suap dari Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta (MAN), sebesar Rp 22,5 miliar agar putusan perkara tiga korporasi besar itu onslag atau putusan lepas.
    Suap tersebut diberikan dua kali.
    Pertama, Rp 4,5 miliar dengan pesan agar perkara ekspor CPO diatasi.
    Lalu yang kedua sebesar Rp 18 miliar agar kasus tersebut divonis lepas.
    “Untuk ASB menerima uang dollar dan bila disetarakan rupiah sebesar Rp 4,5 miliar. Kemudian DJU menerima uang dollar jika dirupiahkan sebesar atau setara Rp 6 miliar, dan AM menerima uang berupa dollar ASB jika disetarakan rupiah sebesar Rp 5 miliar,” ujar Direktur Penyidikan (Dirdik) Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung, Abdul Qohar.
    Kasus ini menambah daftar panjang hakim yang diduga menerima suap untuk mempengaruhi putusan pengadilan.
    Berikut deretan hakim yang berkasus serupa sebelumnya:
    Masih melekat di ingatan, kasus suap tiga hakim dalam vonis bebas Ronald Tannur, pelaku penganiayaan seorang wanita yang merupakan kekasihnya hingga tewas.
    Tiga hakim yang tertangkap merupakan hakim di PN Surabaya, yakni Erintuah Damanik, Mangapul, dan Hari Hanindyo.
    Dari ketiganya dalam operasi tangkap tangan, Kejagung mengamankan uang hingga Rp 20 miliar.
    Dalam rekaman video OTT Kejagung, tampak segepok dollar AS yang dibungkus dan dilabeli dengan tulisan “Untuk Kasasi”.
    Tiga hakim itu diduga menerima suap terkait vonis bebas Ronald Tannur.
    Kejagung juga mengamankan seorang pengacara bernama Lisa Rahmat.
    Dari hasil OTT, Kejagung menyita uang rupiah hingga asing, dan dokumen terkait suap.
    Atas perbuatannya, Lisa Rahmat dijerat Pasal 5 Ayat 1 Juncto Pasal 6 Ayat 1 Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Sementara untuk hakim Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 5 Ayat 2 Juncto Pasal 6 Ayat 2 Juncto Pasal 12 huruf e Juncto Pasal 12B Juncto Pasal 18 UU Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Kasus dugaan suap jual beli perkara juga menyelimuti Mahkamah Agung (MA) pada 2023 lalu.
    Salah satunya dugaan keterlibatan mantan Sekretaris MA Hasbi Hasan.
    Nama Hasbi muncul bersama Komisaris PT Wika Beton, Dadan Tri Yudianto, dalam dakwaan pengacara penyuap hakim agung, Theodorus Yosep Parera dan Eko Suparno.
    Klien Yosep, Heryanto Tanaka, disebut mentransfer uang Rp 11,2 miliar kepada Dadan karena telah membantu menjembatani dengan Hasbi Hasan dalam pengurusan perkara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana.
    Kasus ini pun didalami oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Dalam dakwaannya, Jaksa KPK menyebut transaksi uang Rp 11,2 miliar itu dilakukan terkait pemidanaan Pengurus KSP Intidana, Budiman Gandi Suparman.
    Budiman sebelumnya dilaporkan Heryanto Tanaka dan sejumlah debitur KSP Intidana lainnya atas dugaan pemalsuan akta.
    Pengadilan Negeri Semarang kemudian menyatakan ia bebas.
    Jaksa lantas mengajukan kasasi ke MA.
    Beriringan dengan langkah hukum tersebut, Heryanto Tanaka diduga menyuap hakim agung untuk mempengaruhi isi putusan.
    Majelis hakim MA kemudian menyatakan Budiman bersalah dan dihukum 5 tahun penjara.
    Salah satu hakim agung yang mengadili perkara itu adalah Gazalba Saleh yang ditetapkan sebagai tersangka.
    Dalam dakwaan itu, Dadan disebut menjadi perantara Heryanto dengan Sekretaris MA terkait perkara Budiman Gandi Suparman.
    Sebelumnya, juga ada kasus ditangkapnya mantan Sekretaris MA Nurhadi pada Maret 2021.
    Nurhadi tak sendirian. Menantunya, Rezky Herbiyono, juga terlibat kasus suap.
    Masing-masing dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
    Keduanya dinyatakan bersalah dalam kasus suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di MA.
    Dalam kasus ini, Nurhadi dan Rezky dinyatakan menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016, Hiendra Soenjoto, terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
    Selain itu, keduanya juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.