Tag: Heru Sutadi

  • Menanti Indonesia Punya Internet Super Ngebut 100 Mbps, Kapan?

    Menanti Indonesia Punya Internet Super Ngebut 100 Mbps, Kapan?

    Jakarta

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berencana untuk meningkatkan kecepatan internet Indonesia hingga tembus 100 Mbps. Niat pemerintah tersebut menjadi sinyal baik yang akan berdampak pada ekonomi digital nasional di masa mendatang.

    Pakar telekomunikasi dari ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan, sudah seharusnya Indonesia menargetkan layanan broadband yang lebih baik. Terlebih negara di Asia Tenggara juga berupaya untuk meningkatkan koneksi mereka di masa mendatang.

    “Kalau mengacu pada banyak negara, bahkan di kawasan Asia Tenggara, arahnya memang sudah menargetkan kecepatan internet pada angka 100 Mbps,” ujar Heru kepada detikINET.

    Bila mengacu pada laporan bulanan yang dirilis Ooka melalui Speedtest Global Index, kecepatan internet Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara tetangga. Adapun yang terbaru koneksi Indonesia untuk internet mobile rata-rata 40 Mbps, sedangkan fixed broadband 34 Mbps.

    “Jadi, Indonesia mau tidak mau harus juga melakukan upaya sama menargetkan kecepatan internet broadband minimal 100 Mbps. Sebab, kalau tidak, mau Indonesia yang saat ini kecepatan internetnya di barisan bawah negara-negara kawasan akan semakin paling tertinggal,” tuturnya.

    Untuk mencapai kecepatan internet Indonesia meroket sampai 100 Mbps, mantan Komisioner BRTI ini, Pemerintahan Prabowo Subianto perlu memperhatikan dan peningkatan kecepatan internet ini secara simultan.

    “Ini mungkin bisa terjadi (internet 100 Mbps) sepanjang kita mengadopsi teknologi terkini, baik berupa 5G, satelit, maupun dukungan transmisi kabel serat optik dan FTTH (fiber to the Home),” jelasnya.

    Persoalan berikutnya, kata Heru, Pemerintah RI harus mempunyai strategi untuk mewujudkan internet ngebut tersebut. Disampaikannya, walau tidak mudah, tetapi hal itu bisa dicapai.

    “Strategi itu juga mencakup kolaborasi pembangunan dan peningkatan jaringan dengan operator telekomunikasi, kemudian pemerintah juga harus siapkan anggaran utamanya meningkatkan kecepatan internet di daerah 3T dan membangun jaringan serat optik backbone nasional yang untuk wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua masih minim,” pungkasnya.

    (agt/fyk)

  • Komdigi Diminta Siapkan Aturan AI yang Lebih Komprehensif, Bukan Sekadar Etika

    Komdigi Diminta Siapkan Aturan AI yang Lebih Komprehensif, Bukan Sekadar Etika

    Bisnis.com, JAKARTA—Pengamat menilai etika saja tak memadai untuk menyusun regulasi Artificial Intelligence (AI).

    Diketahui, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menargetkan penyusunan peta jalan (roadmap) AI rampung pada Juni 2025. Salah satu fokus utama dalam tahap awal regulasi ini adalah etika penggunaan AI. 

    Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menekankan pentingnya pendekatan yang lebih luas dalam merumuskan peta jalan AI.

    “Kami mendukung kita memiliki Peta Jalan Pengembangan AI di Indonesia. Namun kalau kami melihat, ada banyak aspek yang harus diperhatikan dalam pengembangan AI tersebut,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Kamis (19/6/2025). 

    Heru mengatakan etika memang merupakan salah satu aspek penting, namun masih banyak aspek lain yang perlu diperhatikan. Karena itu, ia berharap peta jalan ini disusun secara komprehensif dan dapat menjadi dasar untuk penyusunan RUU Kecerdasan Buatan.

    Lebih lanjut, Heru menyebut sejumlah aspek lain yang krusial, seperti transparansi dan akuntabilitas algoritma AI, perlindungan data dan privasi, serta potensi penyalahgunaan teknologi seperti deepfake dan chatbot penipuan. Dia juga menggarisbawahi pentingnya keadilan dan nondiskriminasi dalam algoritma AI serta perlunya mekanisme audit yang melibatkan beragam pemangku kepentingan secara adil.

    “Terkait algoritma juga, ini harus dijaga keadilan dan nondiskriminasi, jadi ada rekomendasi mengembangkan pedoman untuk pengujian dan audit algoritma yang melibatkan representasi stakeholder secara adil,” tambahnya.

    Heru mendorong adanya regulasi yang tegas namun adaptif terhadap perkembangan teknologi. Dia mencontohkan sejumlah negara yang telah lebih dahulu menyusun regulasi khusus AI seperti European Union AI Act (Uni Eropa), AI and Data Act (Kanada), serta undang-undang AI yang baru saja diadopsi Jepang. Di Amerika Serikat, pendekatan dilakukan lewat Executive Order on Safe, Secure, and Trustworthy AI.

    “Kita perlu mendorong regulasi yang jelas dan adaptif, termasuk menyusun UU khusus tentang AI,” kata Heru.

    Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid sebelumnya mengungkapkan bahwa aturan pertama dalam peta jalan AI kemungkinan akan mengatur soal etika penggunaan AI.

    “Jadi kemungkinan besar, ini sedikit bocoran, bahwa aturan pertama terkait artificial intelligence akan menyangkut dengan etika AI itu sendiri,” ujar Meutya saat ditemui di Makassar pada 16 Juni 2025. 

    Dia menjelaskan bahwa pendekatan regulasi di Indonesia tidak akan berbentuk satu aturan besar, melainkan akan dibagi per sektor atau pilar. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan antara perlindungan masyarakat dan ruang bagi inovasi.

    Meutya juga menyoroti pentingnya penerapan labeling pada konten berbasis AI, menyusul maraknya perdebatan publik terkait hasil AI yang menyerupai kenyataan, seperti dalam kasus gambar tambang buatan AI yang diklaim berasal dari Raja Ampat.

    “Itu yang tadi namanya etika, jadi di beberapa negara yang kami lihat memang harus ada labeling AI. Kalau orang memang lihatnya [AI] untuk menyebarkan hoaks maka dia tidak akan menaruh etika,” ujar Meutya.

    Wakil Menteri Komunikasi dan Digital, Nezar Patria, menyampaikan bahwa penyusunan roadmap AI melibatkan forum-forum diskusi dan kerja sama lintas sektor, termasuk masukan dari perusahaan dan lembaga riset.

    “Diskusi sudah berlangsung di beberapa forum, termasuk juga kerja sama kita dengan beberapa organisasi dan beberapa company yang ikut mendukung,” ungkap Nezar.

    Dia juga mengapresiasi kontribusi lembaga seperti Mandala Consulting yang telah melakukan pemetaan posisi Indonesia dalam lanskap global tata kelola AI.

  • Komdigi Bakal Terapkan Skema Jaringan Terbuka di Pita 1,4 GHz

    Komdigi Bakal Terapkan Skema Jaringan Terbuka di Pita 1,4 GHz

    Bisnis.com, MAKASSAR — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyiapkan pita frekuensi 1,4 GHz sebagai pita yang akan digunakan untuk kerja sama terbuka atau open acces. 

    Direktur Jenderal Infrastruktur Digital, Wayan Toni Supriyanto, menyatakan bahwa skema open access sudah berjalan sebagai praktik yang sah dan telah dipayungi oleh regulasi. Model ini memungkinkan pemanfaatan pita frekuensi seluler dengan skema sharing, sehingga operator dapat berbagi infrastruktur dan kapasitas jaringan.

    Secara khusus, pada pita frekuensi 1,4 GHz, pemerintah mewajibkan penggunaan serat optik (FO) sebagai backhaul dari setiap BTS 1,4 GHz.

    Serat optik ini tidak hanya digunakan oleh operator BWA (Broadband Wireless Access), tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh ISP dan penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. 

    “Dengan adanya open access yang menjadi kewajiban operator BWA 1,4 GHz, hal tersebut akan mendorong kolaborasi di industri telekomunikasi Indonesia,” kata Wayan kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).

    Wayan menambahkan bahwa kebijakan ini tidak menghapus kewajiban operator dalam membayar biaya hak penggunaan frekuensi (BHP). Undang-Undang Cipta Kerja (UU 11/2020 hingga UU 6/2023) telah mempertegas subjek kewajiban pembayaran BHP frekuensi. 

    Ketentuan ini kini hanya berlaku bagi pemegang izin penggunaan spektrum frekuensi radio, menghilangkan potensi penafsiran ganda yang pernah terjadi pada masa lalu, dalam kasus PT Indosat Mega Media (IM2). Pengaturan lebih lanjut juga dituangkan dalam PP No.46/2021 dan PM Kominfo No.7/2021.

    Menanggapi usulan industri terkait model pembayaran fleksibel seperti pay as you grow*, grace period, atau penghapusan sementara BHP frekuensi dalam skema baru, Wayan mengungkapkan bahwa opsi insentif PNBP BHP spektrum frekuensi radio saat ini masih dalam tahap kajian dan diskusi lintas instansi. Koridor hukum yang digunakan adalah PP 43 Tahun 2023 tentang PNBP di lingkungan Kominfo. 

    “Pada saatnya nanti setelah siap, tentu akan tersampaikan juga informasinya kepada pelaku usaha terkait dan masyarakat melalui rekan media,” ujarnya.

    Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai implementasi skema jaringan terbuka bersama masih menghadapi tantangan regulasi, risiko hukum, dan beban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi.

    Dia menyarankan penghapusan BHP dan percepatan lelang spektrum agar kebijakan ini benar-benar efektif. Saat ini, mayoritas sekolah, puskesmas, dan kantor desa masih belum memiliki koneksi internet tetap yang memadai.

    “Open akses bukan merupakan kebijakan baru, ini sudah lama dijalankan, namun dalam praktiknya tidak mudah,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Minggu (15/6/2025). 

    Heru menilai apabila pemerintah benar-benar ingin menjalankan skema ini, maka harus ada penguatan regulasi dan dukungan dari aparat penegak hukum untuk menghindari potensi pelanggaran hukum.

    Dia mencontohkan kasus Indosat Mega Media (IM2) yang sempat tersandung persoalan hukum karena adanya perbedaan tafsir terhadap penggunaan spektrum.

    Lebih lanjut, Heru menjelaskan bahwa dalam praktiknya, open access relatif lebih mudah diterapkan pada spektrum frekuensi berbasis kelas seperti 2,4 GHz atau 5,8 GHz yang bersifat bebas (free), karena tidak menimbulkan implikasi keuangan bagi negara. Kendati begitu, penerapan skema serupa pada spektrum yang memiliki kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi membutuhkan kejelasan skema pembayaran dan pengaturan teknis.

    “Sebab kalau ada pemancaran BTS operator A, kemudian dipakai operator B, ini selama ini dianggap pelanggaran,” kata Heru.

    Diketahui, Komdigi menyiapkan skema jaringan terbuka berbasis spektrum frekuensi baru untuk mendukung penyediaan layanan internet tetap berkecepatan tinggi di wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik. 

    Kebijakan tersebut dirancang untuk mendorong keterlibatan berbagai penyelenggara telekomunikasi dengan model open access, di mana pemegang izin jaringan wajib membuka infrastrukturnya untuk digunakan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi percepatan pemerataan digital nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. 

    “Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam pidato pelantikannya, Presiden menyampaikan secara berulang pentingnya digitalisasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat,” kata Meutya dalam pertemuan dengan pimpinan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL Smart di Jakarta, pada Kamis (12/6/2025).

    Spektrum baru yang akan dialokasikan itu disiapkan melalui proses seleksi operator yang berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meutya menambahkan kebijakan spektrum ini tidak semata berfokus pada regulasi, tetapi juga mengedepankan keterlibatan dan kesiapan industri.

    Sebelum memperkenalkan kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pertukaran pandangan dengan sejumlah operator seluler terkait penyediaan akses internet tetap hingga kecepatan 100 Mbps, khususnya di wilayah yang belum memiliki infrastruktur serat optik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor desa.

    Menurut data Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, saat ini 86% sekolah atau sekitar 190.000 unit belum memiliki akses internet tetap. Sementara itu, 75% Puskesmas atau sekitar 7.800 unit belum terkoneksi dengan baik, dan sebanyak 32.000 kantor desa masih berada dalam zona blank spot. Adapun penetrasi fixed broadband di rumah tangga baru mencapai 21,31% secara nasional.

  • Jalan Terjal Skema Jaringan Terbuka, Kepastian Hukum hingga Luka IM2

    Jalan Terjal Skema Jaringan Terbuka, Kepastian Hukum hingga Luka IM2

    Bisnis.com, JAKARTA — Langkah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk menerapkan skema jaringan terbuka (open access) melalui spektrum frekuensi baru dihadapkan dengan sejumlah tantangan mulai dari kepastian hukum, hingga penurunan biaya hak penggunaan frekuensi. Kasus yang menimpa PT Indosat Mega Media (IM2) juga menjadi pelajaran yang tak boleh dilupakan. 

    Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai implementasi skema ini masih menghadapi tantangan regulasi, risiko hukum, dan beban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi.

    Dia menyarankan penghapusan BHP dan percepatan lelang spektrum agar kebijakan ini benar-benar efektif. Saat ini, mayoritas sekolah, puskesmas, dan kantor desa masih belum memiliki koneksi internet tetap yang memadai.

    Heru menilai apabila pemerintah benar-benar ingin menjalankan skema ini, maka harus ada penguatan regulasi dan dukungan dari aparat penegak hukum untuk menghindari potensi pelanggaran hukum. 

    Dia mencontohkan kasus Indosat Mega Media (IM2) yang sempat tersandung persoalan hukum karena adanya perbedaan tafsir terhadap penggunaan spektrum.

    Diketahui, pada 2013, PT Indosat Mega Media (IM2) terseret kasus hukum dengan dengan dugaan penyalahgunaan frekuensi 2,1 GHz (3G) oleh PT IM2 yang bekerja sama dengan PT Indosat Tbk.

    Kerugian negara ditaksir mencapai Rp1,3 triliun, dengan tuduhan IM2 tidak membayar biaya penggunaan frekuensi yang seharusnya. 

    Terjadi perbedaan interpretasi antara lembaga penegak hukum dan instansi terkait mengenai aturan penggunaan frekuensi dan kewajiban perusahaan.

    Petugas memperbaiki jaringan internet di menara BTS

    Para pemerhati hukum dan badan regulasi telekomunikasi saat itu menilai IM2 sudah menjalankan kewajibannya sesuai peraturan dan UU Telekomunikasi dan tidak ada unsur pelanggaran aturan dan hukum dalam proses pengadaan PKS dengan Indosat tersebut. Tetapi keyakinan tersebut ternyata bertolak belakang dengan apa yang terjadi di pengadilan.

    Heru juga mengatakan bahwa penerapan skema terbuka lebih baik diberlakukan terhadap spektrum yang bersifat bebas.

    “Open access relatif lebih mudah diterapkan pada spektrum frekuensi berbasis kelas seperti 2,4 GHz atau 5,8 GHz yang bersifat bebas (free), karena tidak menimbulkan implikasi keuangan bagi negara,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (16/6/2025). 

    Dia menuturkan penerapan skema serupa pada spektrum yang memiliki kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi membutuhkan kejelasan skema pembayaran dan pengaturan teknis.

    “Sebab kalau ada pemancaran BTS operator A, kemudian dipakai operator B, ini selama ini dianggap pelanggaran,” kata Heru.

    Menurutnya, skema ini akan lebih efektif jika BHP frekuensi bisa dihapuskan untuk mendukung kolaborasi antar operator. Jika tidak, dia khawatir kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru.

    Di sisi lain, Heru juga menyoroti pentingnya percepatan lelang frekuensi agar program pemerataan digital berjalan optimal. Dia menyebut Indonesia sudah terlambat dua tahun dalam proses lelang, khususnya pada pita 700 MHz yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih awal.

    Heru menekankan pentingnya penyesuaian harga lelang agar tidak terlalu membebani operator. Jika biaya terlalu tinggi, operator bisa kesulitan melakukan pembangunan infrastruktur.

    Heru mengingatkan saat ini regulatory cost di sektor telekomunikasi Indonesia sudah sangat tinggi. Untuk mendorong perluasan jaringan dan pemerataan layanan, diperlukan kebijakan insentif seperti pengurangan harga atau skema pembayaran yang fleksibel.

    Dia juga menyebutkan bahwa saat ini telah tersedia berbagai model alokasi dan pembayaran spektrum yang bisa dipertimbangkan pemerintah, mulai dari skema pay as you grow, grace period, hingga relaksasi atau penghapusan BHP frekuensi dalam jangka waktu tertentu. 

    “Tinggal dipertimbangkan mana yang lebih optimal bagi pemerintah, bagi masyarakat, dan operator telekomunikasi,” pungkas Heru.

    Infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T

    Sebelumnya, Komdigi menyiapkan skema jaringan terbuka berbasis spektrum frekuensi baru untuk mendukung penyediaan layanan internet tetap berkecepatan tinggi di wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik. 

    Kebijakan tersebut dirancang untuk mendorong keterlibatan berbagai penyelenggara telekomunikasi dengan model open access, di mana pemegang izin jaringan wajib membuka infrastrukturnya untuk digunakan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi percepatan pemerataan digital nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. 

    “Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam pidato pelantikannya, Presiden menyampaikan secara berulang pentingnya digitalisasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat,” kata Meutya dalam pertemuan dengan pimpinan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL Smart di Jakarta, pada Kamis (12/6/2025).

    Spektrum baru yang akan dialokasikan itu disiapkan melalui proses seleksi operator yang berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meutya menambahkan kebijakan spektrum ini tidak semata berfokus pada regulasi, tetapi juga mengedepankan keterlibatan dan kesiapan industri.

    “Ini adalah langkah kami dalam memastikan bahwa setiap kebijakan spektrum tidak hanya mengutamakan aspek regulasi, tapi juga membuka ruang seluas-luasnya untuk keterlibatan dan kesiapan industri,” jelasnya.

    Komdigi juga telah merampungkan penyusunan Peraturan Menteri yang menjadi landasan hukum dari program internet murah tersebut. Regulasi ini telah melalui masa konsultasi industri selama lebih dari satu bulan. Ke depannya, pemilihan operator penyedia jaringan akan mengedepankan kesiapan teknologi dan komitmen untuk menyediakan layanan dengan harga yang terjangkau.

    Sebelum peluncuran kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pertukaran pandangan dengan sejumlah operator seluler terkait penyediaan akses internet tetap hingga kecepatan 100 Mbps, khususnya di wilayah yang belum memiliki infrastruktur serat optik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor desa.

    Menurut data Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, saat ini 86% sekolah atau sekitar 190.000 unit belum memiliki akses internet tetap. Sementara itu, 75% Puskesmas atau sekitar 7.800 unit belum terkoneksi dengan baik, dan sebanyak 32.000 kantor desa masih berada dalam zona blank spot. Adapun penetrasi fixed broadband di rumah tangga baru mencapai 21,31% secara nasional.

  • Komdigi Siapkan Skema Jaringan Terbuka Lewat Spektrum Frekuensi Baru, Apa Saja Tantangannya?

    Komdigi Siapkan Skema Jaringan Terbuka Lewat Spektrum Frekuensi Baru, Apa Saja Tantangannya?

    Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berencana menerapkan skema jaringan terbuka (open access) berbasis spektrum frekuensi baru untuk memperluas akses internet tetap berkecepatan tinggi, khususnya di wilayah tanpa jaringan serat optik.

    Meski dinilai strategis, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menilai implementasi skema ini masih menghadapi tantangan regulasi, risiko hukum, dan beban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi. Dia menyarankan penghapusan BHP dan percepatan lelang spektrum agar kebijakan ini benar-benar efektif. Saat ini, mayoritas sekolah, puskesmas, dan kantor desa masih belum memiliki koneksi internet tetap yang memadai.

    “Open akses bukan merupakan kebijakan baru, ini sudah lama dijalankan, namun dalam praktiknya tidak mudah,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Minggu (15/6/2025). 

    Heru menilai apabila pemerintah benar-benar ingin menjalankan skema ini, maka harus ada penguatan regulasi dan dukungan dari aparat penegak hukum untuk menghindari potensi pelanggaran hukum. Dia mencontohkan kasus Indosat Mega Media (IM2) yang sempat tersandung persoalan hukum karena adanya perbedaan tafsir terhadap penggunaan spektrum.

    Lebih lanjut, Heru menjelaskan bahwa dalam praktiknya, open access relatif lebih mudah diterapkan pada spektrum frekuensi berbasis kelas seperti 2,4 GHz atau 5,8 GHz yang bersifat bebas (free), karena tidak menimbulkan implikasi keuangan bagi negara. Kendati begitu, penerapan skema serupa pada spektrum yang memiliki kewajiban Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi membutuhkan kejelasan skema pembayaran dan pengaturan teknis.

    “Sebab kalau ada pemancaran BTS operator A, kemudian dipakai operator B, ini selama ini dianggap pelanggaran,” kata Heru.

    Menurutnya, skema ini akan lebih efektif jika BHP frekuensi bisa dihapuskan untuk mendukung kolaborasi antaroperator. Jika tidak, dia khawatir kebijakan ini justru menimbulkan persoalan baru. Di sisi lain, Heru juga menyoroti pentingnya percepatan lelang frekuensi agar program pemerataan digital berjalan optimal. Dia menyebut Indonesia sudah terlambat dua tahun dalam proses lelang, khususnya pada pita 700 MHz yang seharusnya bisa dimanfaatkan lebih awal.

    Lebih lanjut, Heru menekankan pentingnya penyesuaian harga lelang agar tidak terlalu membebani operator. Jika biaya terlalu tinggi, operator bisa kesulitan melakukan pembangunan infrastruktur.

    Heru mengingatkan saat ini regulatory cost di sektor telekomunikasi Indonesia sudah sangat tinggi. Untuk mendorong perluasan jaringan dan pemerataan layanan, diperlukan kebijakan insentif seperti pengurangan harga atau skema pembayaran yang fleksibel.

    Dia juga menyebutkan bahwa saat ini telah tersedia berbagai model alokasi dan pembayaran spektrum yang bisa dipertimbangkan pemerintah, mulai dari skema pay as you grow, grace period, hingga relaksasi atau penghapusan BHP frekuensi dalam jangka waktu tertentu.“Tinggal dipertimbangkan mana yang lebih optimal bagi pemerintah, bagi masyarakat, dan operator telekomunikasi,” pungkas Heru.

    Sebelumnya, Komdigi menyiapkan skema jaringan terbuka berbasis spektrum frekuensi baru untuk mendukung penyediaan layanan internet tetap berkecepatan tinggi di wilayah-wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik. 

    Kebijakan tersebut dirancang untuk mendorong keterlibatan berbagai penyelenggara telekomunikasi dengan model open access, di mana pemegang izin jaringan wajib membuka infrastrukturnya untuk digunakan bersama. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, mengatakan langkah ini merupakan bagian dari strategi percepatan pemerataan digital nasional, sebagaimana diamanatkan oleh Presiden Prabowo Subianto. 

    “Sebagaimana kita ketahui bersama, dalam pidato pelantikannya, Presiden menyampaikan secara berulang pentingnya digitalisasi untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat,” kata Meutya dalam pertemuan dengan pimpinan Telkom, Telkomsel, Indosat, dan XL Smart di Jakarta, pada Kamis (12/6/2025).

    Spektrum baru yang akan dialokasikan itu disiapkan melalui proses seleksi operator yang berlangsung secara transparan dan akuntabel. Meutya menambahkan kebijakan spektrum ini tidak semata berfokus pada regulasi, tetapi juga mengedepankan keterlibatan dan kesiapan industri.

    “Ini adalah langkah kami dalam memastikan bahwa setiap kebijakan spektrum tidak hanya mengutamakan aspek regulasi, tapi juga membuka ruang seluas-luasnya untuk keterlibatan dan kesiapan industri,” jelasnya.

    Komdigi juga telah merampungkan penyusunan Peraturan Menteri yang menjadi landasan hukum dari program internet murah tersebut. Regulasi ini telah melalui masa konsultasi industri selama lebih dari satu bulan. Ke depannya, pemilihan operator penyedia jaringan akan mengedepankan kesiapan teknologi dan komitmen untuk menyediakan layanan dengan harga yang terjangkau.

    Sebelum peluncuran kebijakan ini, pemerintah telah melakukan pertukaran pandangan dengan sejumlah operator seluler terkait penyediaan akses internet tetap hingga kecepatan 100 Mbps, khususnya di wilayah yang belum memiliki infrastruktur serat optik seperti sekolah, puskesmas, dan kantor desa.

    Menurut data Direktorat Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, saat ini 86% sekolah atau sekitar 190.000 unit belum memiliki akses internet tetap. Sementara itu, 75% Puskesmas atau sekitar 7.800 unit belum terkoneksi dengan baik, dan sebanyak 32.000 kantor desa masih berada dalam zona blank spot. Adapun penetrasi fixed broadband di rumah tangga baru mencapai 21,31% secara nasional.

  • ASSI Sebut Starlink Terapkan FUP yang Bikin Pengguna Ritel Sulit Berbagi Internet

    ASSI Sebut Starlink Terapkan FUP yang Bikin Pengguna Ritel Sulit Berbagi Internet

    Bisnis.com, JAKARTA — Satelit orbit rendah (low earth orbit/LEO) milik Elon Musk, Starlink, disebut telah menerapkan sistem pemakaian batas wajar atau fair usage policy (FUP), yang membuat penggunanya tidak dapat lagi berbagi layanan Starlink melebih dari ketentuan yang ditetapkan.

    FUP merupakan kebijakan batas pemakaian yang ditetapkan oleh penyedia layanan internet (ISP) untuk memastikan penggunaan bandwidth yang adil di antara semua pelanggan. Ketika pengguna melebihi batas FUP, kecepatan internetnya akan diturunkan. 

    Sebagai contoh, IndiHome dan Biznet membatasi penggunaan internet hingga 1.500 GB. Jika dalam 1 bulan penggunaan melebih batas tersebut, maka kecepatan internet akan melambat secara otomatis.

    Kepala Biro Conference and Event Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) M. Saiful Hidayat mengatakan Starlink telah menerapkan FUP bagi pengguna ritel. Menurutnya, ketika batas kuota FUP tercapai, kecepatan internet pelanggan akan turun drastis.

    “Setahu saya ada FUP-nya. Seharusnya sekarang ketika kuota tercapai itu sudah balik ke speed. 1 Mbps kalau gak salah. Sudah rendah sekarang, harusnya sudah enggak bisa sebelum di-top up lagi, enggak akan bisa balik ke kecepatan awal,” kata Saiful kepada Bisnis, Sabtu (31/5/2025).

    Sementara itu, merujuk pada laman resmi, Starlink membagi paket layanan ritelnya menjadi dua yaitu residensial dan jelajah. Untuk paket residensial, Starlink membandrol mulai Rp479.000 untuk paket lite dan Rp750.000 untuk umum. Fitur utama yang ditawarkan adalah lokasi tetap dan kuota tanpa batas.

    Sementara itu untuk paket Jelajah harganya mulai dari Rp794.000 untuk 50 GB. Jika penggunaan telah melebih batas yang ditentukan, maka pelanggan harus membeli paket baru.

    Kelebihan paket Jelajah adalah pengguna dapat menggunakan layanan Starlink di manapun, cakupan pesisir, hingga perjalanan perjalanan internasional.

    Perangkat penangkap sinyal Starlink

    Dalam Asia Pacific Satellite Conference (Konferensi Satelit Asia Pasifik) isu seputar Starlink menjadi sorotan. Tahun ini, isu tersebut masih menjadi perhatian.

    Perlu FUP?

    Sementara pembebasan penggunaan internet Starlink untuk beberapa pilihan paketnya disebut telah merugikan pemain internet lokal.

    Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyesali ketidakmampuan layanan satelit orbit rendah milik Elon Musk, Starlink, yang tidak mampu mengontrol penggunaan secara bersamaan di masyarakat Indonesia.

    Kegagalan tersebut berdampak pada lahirnya praktik jual kembali jasa internet secara ilegal atau RT/RW Net Ilegal. 

    Satelit khusus internet milik Elon Musk tersebut lalai dalam mengontrol penggunaan bersama.

    Sekjen Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Zulfadly Syam mengatakan Starlink turut mendorong penetrasi internet di Indonesia. Sayangnya, Starlink belum berhasil dalam mengontrol penggunaan secara berbagi atau sharing, yang kemudian dikomersialisasi oleh penyelenggara internet ilegal (RT/RW net ilegal).  

    “Jadi mereka masih melakukan sharing terhadap satu koneksinya, satu equipment kemudian dibagi dengan beberapa, tetapi dikomersialisasikan. Kalau tidak dikomersialisasikan sebenarnya tidak menjadi satu hal yang masalah, bahkan itu membantu benar-benar membuka mata masyarakat-masyarakat di daerah-daerah tertinggal,” kata Zulfadly beberapa waktu lalu.  

    Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan langkah pertama yang perlu diambil dalam penertiban tersebut adalah mendorong reseler internet di lingkungan RT/RW yang tak berizin itu, untuk mendaftar dan mengurus izin di Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), sehingga mereka dapat menjual kembali layanan internet secara ilegal. 

    Langkah selanjutnya, reseler RT/RW Net perlu mengantongi izin dari Starlink atau dari ISP untuk menjual kembali layanan Starlink kepada masyarakat. Tanpa izin, maka praktik jual kembali layanan Starlink adalah ilegal.

    “Kalau misalnya, siapapun, termasuk ISP atau RT RW NET, kalau misalnya dia tidak berizin ini ada ketentuan pidana,” kata Heru kepada Bisnis.

    Dia menambahkan bahwa penertiban RT/RW net ilegal menjadi tugas bersama, mulai dari penyedia jasa internet, hingga pemerintah untuk mendorong mereka agar mereka semua berizin. 

    Sementara itu mengenai penerapan sistem pemakaian batas wajar atau fair usage policy (FUP) untuk menekan pengguna internet ilegal di Starlink, menurut Heru tidak terlalu dibutuhkan. Pasalnya, Starlink merupakan layanan internet berbasis satelit yang memiliki kapasitas terbatas. 

    Jika teknologi tersebut digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam, maka dengan sendirinya kualitas yang diberikan akan berkurang. 

    “Katakanlah dia berlangganan 100 Mbps, tetapi kemudian digunakan oleh banyak pengguna, 10 pengguna, ternyata cuma 10 Mbps. Jadi bisa dikatakan tidak ada hubungannya juga antara Fair Usage Policy dengan tumbuh suburnya RT/RW Net.

    Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengatakan seharusnya Starlink memiliki perangkat untuk membaca trafik yang mencurigakan dan mengambil tindakan atas anomali trafik  tersebut.

    Starlink dapat, kata Ian, juga dapat menerapkan FUP. Namun cara itu akan membuat Starlink kalah dengan ISP lain, yang menawarkan paket unlimited. 

    “Memang harus dilihat apakah terjadi pembiaran karena trafik masih rendah ataupun khawatir pengguna berpindah ke ISP lain. Kalau terjadi pembiaran, tentu dalam hal ini ISP ikut serta bersalah. Maka itu bagian pengendalian harus secara aktif diberikan laporan ataupun berapa laporan tersebut yang ditindaklanjuti,” kata Ian. 

  • Pakar Sebut World ID Dapat Dioptimalkan untuk Melawan Buzzer

    Pakar Sebut World ID Dapat Dioptimalkan untuk Melawan Buzzer

    Bisnis.com, JAKARTA — Kehadiran Worldcoin dan World ID berpotensi memberikan manfaat besar dalam meningkatkan keamanan digital di Indonesia, khususnya untuk melawan buzzer. 

    Dalam konteks online, buzzer sering digunakan untuk merujuk pada akun atau pengguna yang sengaja memposting komentar atau konten provokatif untuk memancing reaksi atau memanipulasi opini publik. Buzzer dapat digunakan untuk mempromosikan suatu produk, ide, atau agenda tertentu, atau untuk mengganggu diskusi online.

    Istilah buzzer sering digunakan dalam diskusi tentang media sosial, politik, atau kampanye online.

    Pengamat keamanan siber Alfons Tanujaya mengatakan potensi tersebut bisa tercapai asalkan World ID dikelola dengan baik, transparan, dan sesuai standar keamanan data.

    Apalagi, transparansi dalam pengelolaan data dan audit dari lembaga independen sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik.

    “Harusnya kalau dikelola dengan baik World ID akan sangat berguna,” kata Alfons kepada Bisnis, Minggu (4/5/2025).

    Menurut Alfons, sistem World ID dapat menjadi alat yang efektif untuk menghadapi masalah bot dan buzzer yang sering disalahgunakan untuk kepentingan negatif. 

    Dirinya juga menyebut sistem ini dapat mencegah akun-akun palsu atau bot yang memberikan kesan seolah-olah mewakili banyak individu, padahal dikendalikan oleh segelintir pihak.

    Tak hanya itu, Alfons menilai World ID juga berpotensi membantu mencegah penyalahgunaan identitas ganda seperti pembuatan KTP, SIM, atau paspor lebih dari satu kali oleh individu yang sama.

    “Meskipun orangnya bisa ganti nama dan identitasnya tetapi biometriknya akan tetap sama dan terdeteksi oleh sistem,” ujarnya.

    Mengenai kekhawatiran soal kebocoran data, Alfons menekankan pentingnya pengelolaan dan enkripsi yang baik, serta pengawasan dari institusi yang terpercaya. 

    Dirinya juga menyoroti bahwa data pribadi warga Indonesia saat ini sudah banyak yang dikelola oleh perusahaan asing, seperti Google Maps dan Waze.

    “Demikian pula dengan data kita di cloud, Microsoft apps, WhatsApp, Meta itu semua data berharga. Jadi agak memperihatinkan kalau pemerintah kurang menyadari hal ini,” ucap Alfons.

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi mengingatkan pentingnya menjaga data biometrik, seperti sidik jari dan terutama iris mata, dari potensi penyalahgunaan. 

    Diringa menyoroti potensi penyalahgunaan oleh aplikasi yang tidak bertanggung jawab, salah satunya World ID.

    “Alih-alih untuk keamanan, bisa saja aplikasi nakal memanfaatkannya untuk hal-hal negatif, termasuk kejahatan siber,” pungkas Heru.

  • Permintaan Data Center Diprediksi Meroket, Indonesia Butuh Akselerasi Investasi

    Permintaan Data Center Diprediksi Meroket, Indonesia Butuh Akselerasi Investasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebutuhan data center atau pusat data di Indonesia diprediksi mengalami peningkatan signifikan, seiring dengan pertumbuhan ekonomi digital.

    Peningkatan ini didasari masifnya transformasi digital lintas sektor dan implementasi Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).

    Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital Heru Sutadi mengatakan bahwa kombinasi faktor-faktor tersebut membuat kebutuhan akan infrastruktur penyimpanan dan pemrosesan data makin mendesak.

    “Indonesia saat ini menjadi salah satu pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara, termasuk sektor e-commerce, fintech, edutech, hingga cloud computing. Semua ini memerlukan infrastruktur data center yang kuat dan berstandar,” kata Heru kepada Bisnis dikutip, Minggu (27/4/2025).

    Heru mencatat bahwa arus investasi asing terus mengalir ke sektor data center. Hal ini sejalan dengan meningkatnya minat investor global untuk membangun fasilitas pusat data di Indonesia. 

    Selain itu, arah pengembangan data center ke depan juga mengikuti tren global, seperti green data center yang efisien dan ramah lingkungan. Terdapat pula tren edge data center untuk mendukung kebutuhan Internet of Things (IoT) dan jaringan 5G.

    “Kemudian juga tentunya pusat data yang memang sudah terstandarisasi apakah itu standar SPBE [Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik],” ujarnya.

    Heru menyebut berdasarkan proyeksi, kapasitas daya data center nasional pada 2025 akan mencapai 971,9 megawatt (MW), dan diperkirakan meningkat menjadi 2.110 MW pada 2030.

    Namun, kapasitas terbangun diperkirakan baru mencapai 1.490 MW, sehingga berpotensi menimbulkan kekurangan pasokan (backlog) sebesar 20 hingga 30%.

    “Kalau melihat untuk jangka pendek 2024-2026 ini, kita masih ada kekurangan kapasitas sekitar 350 hingga 400 MW,” ucap Heru.

    Untuk menghindari defisit kapasitas, Heru menekankan pentingnya percepatan realisasi proyek pusat data serta dukungan infrastruktur pendukung seperti pasokan listrik yang stabil, ketersediaan lahan, dan kehadiran mitra investasi global.

    “Yang tidak kalah penting juga adalah mitra investasi global karena bagaimanapun bisnis data center ini merupakan bisnis yang cukup menyedot investasi yang cukup banyak,” pungkasnya.

  • Kehadiran XLSmart Bakal Ubah Peta Persaingan Telekomunikasi Nasional

    Kehadiran XLSmart Bakal Ubah Peta Persaingan Telekomunikasi Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Hadirnya PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk (XLSmart) diyakini akan mengubah secara signifikan lanskap industri telekomunikasi nasional.

    PT XL Axiata Thbk (EXCL), PT Smartfren Telecom Tbk (FREN), dan PT Smart Telecom (ST) resmi melakukan merger menjadi PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk (XLSmart).

    Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Smartfren Telecom dan Smart Telecom setuju untuk menggabungkan diri dengan XL Axiata sebagai perusahaan penerima penggabungan. Kini, status Smartfren Telecom dan Smart Telecom kemudian berakhir karena hukum atau penggabungan usaha.

    XL Axiata juga sebelumnya juga telah memperoleh persetujuan terkait dengan penggabungan usaha tersebut dari rapat umum pemegang saham luar biasa (RUPSLB) pada 25 Maret 2025.

    Penggabungan ini menyisakan tiga pemain utama di pasar, yakni Telkomsel (TSEL), Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), dan entitas baru yang disebut XLSmart.

    Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital Heru Sutadi menilai kehadiran XLSmart akan menciptakan kompetisi yang lebih sehat di sektor ini, khususnya dalam persaingan antara XLSmart dan IOH sebagai pemain kedua di bawah Telkomsel.

    “Semoga persaingan memberikan manfaat bagi masyarakat untuk mendapatkan layanan berkualitas, tarif kompetitif, dan penyediaan jaringan hingga jauh ke pelosok Indonesia,” katanya kepada Bisnis.com, Jumat (18/4/2025).

    Selain itu, Heru menekankan pentingnya peran pemerintah untuk tidak menambah pemain baru di industri telekomunikasi dalam negeri.

    “Hal tersebut hanya akan jadi beban industri atau belajar dari sejarah industri telekomunikasi, operator mendapat ijin kemudian dijual kembali,” ujarnya.

    Pengamat Telekomunikasi dari STEI ITB Agung Harsoyo menyebut merger tersebut sebagai bentuk konsolidasi terakhir di industri operator seluler (opsel). 

    Menurutnya, dengan tiga pemain utama yang memiliki sumber daya relatif seimbang, ekosistem telekomunikasi Indonesia akan jauh lebih sehat.

    “Diharapkan tiga hal sekaligus tercapai industri telko bertumbuh, Pemerintah memperoleh pajak dan PNBP yang meningkat, pelanggan mendapatkan layanan berkualitas dan merata di seluruh wilayah Indonesia,” ucap Agung.

    Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan bahwa pihaknya memberikan restu setelah melakukan pertemuan dengan pihak XL Smart.

    “Maka hari ini kami setelah verifikasi faktual dengan bertemu, kami prinsipnya memberikan persetujuan kepada PT XLSmart Telecom Sejahtera,” kata Meutya di Komdigi, Kamis (17/4/2025).

    Meutya menyebut, persetujuan itu juga memberikan beberapa syarat kepada seperti penambahan base transceiver station (BTS) sebanyak 8.000. Selain itu juga peningkatakan kecepatan jaringan sampai dengan 16% pada tahun 2029.

  • Kerja sama RI – India Bakal Sia-sia Tanpa Diiringi Keringanan Investasi 5G

    Kerja sama RI – India Bakal Sia-sia Tanpa Diiringi Keringanan Investasi 5G

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai biaya investasi 5G yang tinggi masih menjadi tantangan bagi negara-negara lain berinvestasi di Indonesia dalam pengembangan teknologi jaringan terbaru itu. 

    Ketua umum Mastel, Sarwoto Atmosutarno mengatakan bahwa biaya frekuensi untuk membangun jaringan 5G di Indonesia masih mahal. 

    Laporan GSMA mengungkap total biaya biaya hak penggunaan frekuensi yang harus dibayarkan perusahaan operator seluler bisa mencapai 12% dari total pendapatan tahunan. 

    GSMA meramal kondisi ini terus meningkat menjadi 20% dari total pendapatan pada 2030. Padahal, di sisi lain peningkatan pendapatan mereka juga cenderung mengalami penurunan.

    Selain biaya frekuensi, Sarwoto menyebut kondisi geografis yang kompleks dan tingkat adopsi perangkat yang masih rendah menjadi tantangan untuk mengakselerasi 5G di Tanah Air.

    “Padahal peluang 5G besar, dengan berbagai use cases seperti fixed broadband, mobile broadband, IoT, dan kecerdasan buatan (AI) baik untuk pengguna massal maupun sektor privat,” kata Sarwoto kepada Bisnis, Rabu (16/4/2025).

    Adapun, pemerintah membuka peluang untuk menjajaki kerja sama dengan India untuk mempercepat akselerasi 5G di Tanah Air.

    Pemerintah menyoroti pentingnya diversifikasi teknologi agar Indonesia tidak hanya bergantung pada teknologi dari Amerika Serikat dan China. 

    India dipandang sebagai mitra strategis baru yang bisa memberikan alternatif teknologi 5G yang kompetitif dan terbukti efektif.

    Sarwoto melihat bahwa India memang bisa menjadi patokan bagi Indonesia untuk mengembangkan jaringan 5G. Sebab, India dinilai berhasil dalam mendorong pertumbuhan 5G melalui insentif yang konkret.

    Apalagi, India merupakan salah satu negara dengan penetrasi jaringan 5G tercepat di dunia sejak diluncurkan secara komersial pada Oktober 2022 menurut Economic Times. 

    “Misalnya, pembebasan biaya frekuensi 5G untuk waktu tertentu. Kita masih belum punya kebijakan seperti itu,” ucapnya.

    Hal senada juga dikatakan oleh Direktur Eksekutif ICT sekaligus pengamat ekonomi digital, Heru Sutadi, yang mengatakan bahwa negara sah-sah saja melakukan kerja sama dengan siapapun.

    “Tapi memang, harus jelas kerja sama nya seperti apa,” ujar Heru.

    Namun, Heru melihat bahwa mahalnya biaya spektrum frekuensi dan minimnya insentif bagi operator telekomunikasi menjadi tantangan bagi negara yang ingin bekerjasama untuk mengakselerasi 5G.

    Heru menuturkan, meskipun banyak negara menunjukkan ketertarikan untuk masuk ke pasar Indonesia dengan membawa teknologi 5G, persoalan utamanya bukan pada aspek teknologi tetapi pada biaya investasi.

    “Hanya saja, isu utama kita akselerasi 5G bukan teknologi tapi spektrum frekuensi dan insentif bagi operator telekomunikasi karena regulatory cost yang sangat besar,” tutur.