Tag: Heri Gunawan

  • KPK Dalami Peran Anggota Komisi XI DPR pada Kasus CSR BI-OJK Usai Tahan Dua Tersangka

    KPK Dalami Peran Anggota Komisi XI DPR pada Kasus CSR BI-OJK Usai Tahan Dua Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memulai babak baru dalam penelusuran kasus dugaan korupsi CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan memeriksa Anggota Komisi XI DPR RI.

    Menurut Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, pemeriksaan sejumlah legislator tersebut dilakukan setelah dua tersangka Satori dan Heri Gunawan ditahan lembaga antirasuah.

    “Kami sedang fokus penyelesaian nih, bentar lagi, bentar lagi ya terkait tersangka yang sudah diumumkan yaitu sodara S dan sodara HG Ini dalam waktu dekat,” kata Asep, Senin (15/12/2025).

    Asep menjelaskan penahanan kedua tersangka hanya menunggu waktu dan diupayakan sebelum pergantian tahun 2025.

    “Semoga tidak menyebrang ke bulan, tahun ya. Ya itu tunggu saja,” ujarnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.

    Keduanya diduga melakukan tindak pidana pencucian uang dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer. 

    Uang digunakan untuk kebutuhan pribadi seperti pembelian bidang tanah, membuka showroom mobil, dan aset lainnya.

  • Akankah Semua Anggota Komisi XI DPR 2019-2024 Jadi Tersangka Korupsi CSR?

    Akankah Semua Anggota Komisi XI DPR 2019-2024 Jadi Tersangka Korupsi CSR?

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengancam akan memproses hukum seluruh anggota Komisi XI DPR periode 2019-2024 yang terbukti menerima dana program sosial (PS) atau corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menegaskan, semua penerima dana harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum, sama seperti dua rekan mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka.

    “Semua anggota Komisi XI yang menerima dana dari BI dan OJK harus mempertanggungjawabkan secara hukum seperti dua orang anggota Komisi XI yang telah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Tanak melalui pesan singkat, Jumat (12/12/2025).

    Saat ini, KPK masih menelusuri kemungkinan keterlibatan pihak lain, baik dari internal BI, OJK, maupun anggota Komisi XI lainnya. Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menyatakan penyidikan dikembangkan berdasarkan keterangan saksi dan temuan persidangan.

    “Penyidik mendalami dan meminta keterangan para anggota DPR khususnya Komisi XI untuk memastikan apakah program PS BI dan OJK digunakan sebagaimana mestinya atau ada dugaan penyimpangan seperti yang dilakukan ST dan HG,” jelas Budi.

    KPK sebelumnya telah menetapkan dua anggota Komisi XI DPR, Satori dan Heri Gunawan, sebagai tersangka. Keduanya diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 28,38 miliar, yakni Rp 15,8 miliar untuk Heri dan Rp 12,52 miliar untuk Satori yang tidak sesuai peruntukan. Dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti pembangunan rumah, bisnis, pembelian tanah, kendaraan, hingga pembangunan showroom.

    Selain anggota dewan, KPK juga menelusuri potensi penyimpangan di internal BI dan OJK sebagai pemilik anggaran. Pemeriksaan mencakup keseluruhan proses, mulai dari perencanaan, penyusunan RAB, pelaksanaan, pengawasan, hingga pertanggungjawaban dana.

    Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor dan UU TPPU. KPK memastikan akan menindak semua pihak yang terbukti terlibat dalam kasus penyimpangan dana publik ini.

  • Penyidik KPK Diminta Periksa Semua Anggota Komisi XI 2019-2024, Ini Alasannya

    Penyidik KPK Diminta Periksa Semua Anggota Komisi XI 2019-2024, Ini Alasannya

     Merespons pernyataan Tanak, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo memastikan akan memeriksa jadwal pemanggilan terhadap seluruh anggota Komisi XI DPR periode 2019–2024.

    “Nanti kami cek kalau untuk penjadwalan pemeriksaan saksi apakah masih ada lagi atau selesai,” imbuh Budi.

    Budi menyatakan, saat ini proses pemberkasan tersangka Satori dan Heri Gunawan terus berjalan. Dia memberi sinyal, kedua tersangka itu bakal dijebloskan ke jeruji besi dalam waktu dekat.

    “Secepatnya penyidik akan melakukan penahanan, berkas-berkas on progres sedang dilengkapi tentu juga agar proses penyidikan atau penanganan perkara ini juga bisa tuntas serta memberi kepastian hukum kepada pihak-pihak terkait,” jelas Budi.

    Budi menambahkan, penyidik juga mendalami segala aspek terkait dugaan rasuah pemberian CSR BI dan OJK. Salah satunya terkait penyaluran dana bantuan sosial yang diterima Anggota Komisi XI. Salah satu yang didalami apakah disalurkan sesuai peruntukannya atau tidak.

    “Penyidik mendalami dan meminta keterangan sejumlah pihak yaitu para anggota DPR khususnya di Komisi XI untuk mendalami apakah program dari PS (Program Sosial) BI dan OJK ini dipergunakan sebagaimana mestinya atau ada dugaan penyimpangan seperti halnya dilakukan oleh saudara ST dan HG,” tambah Budi.

    Budi menegaskan, KPK tidak pernah menutup kemungkinan peluang adanya tersangka baru dan penerapan pasal suap.

    “Ini yang masih terus didalami termasuk dalam proses-proses BI-OJK ini sebagai mitra dari Komisi XI DPR RI. Nah, ini kaitannya (pemberian) seperti apa. Dari sana kita bisa melihat apakah kemudian juga ada fakta-fakta yang bisa menjadi bukti baru untuk kemungkinan pengembangan penyidikan,” Budi menandasi.

  • Hadapi Ancaman Non-Militer, Pasal 30 UUD 1945 Dinilai Perlu Direvisi

    Hadapi Ancaman Non-Militer, Pasal 30 UUD 1945 Dinilai Perlu Direvisi

    Jakarta

    Wakil Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Benny K. Harman menilai Pasal 30 UUD 1945 masih berpijak pada paradigma lama yang hanya fokus pada ancaman fisik, sementara Indonesia kini menghadapi ancaman non-militer yang jauh lebih kompleks. Ia menegaskan perlunya pembaruan konsep pertahanan nasional agar mampu merespons ancaman pangan, energi, siber, dan disrupsi internal.

    “Tantangan kita hari ini bukan hanya pada ancaman militer. Ancaman pangan, energi, lingkungan hidup, hingga serangan siber menjadi isu krusial yang menentukan ketahanan nasional. Jika bangsa ini bergantung sepenuhnya pada pangan dari luar, negara bisa masuk dalam situasi yang membahayakan,” ujar Benny dalam keterangan tertulis, Selasa (18/11/2025).

    Hal itu disampaikan dalam Forum Group Discussion (FGD) Kelompok V Badan Pengkajian MPR RI bertema ‘Pertahanan dan Keamanan Negara’ di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (18/11).

    Politisi Demokrat itu menyoroti bahwa Pasal 30 sebetulnya telah mengatur tiga pilar pertahanan dan keamanan negara (TNI, Polri, dan rakyat). Namun, perkembangan ancaman modern menuntut perumusan ulang konsep pertahanan yang lebih adaptif.

    Ia juga menyampaikan kekhawatiran terkait kerentanan Indonesia sebagai negara majemuk dapat dimanfaatkan oleh aktor-aktor asing maupun kelompok berkepentingan di dalam negeri. Ancaman disrupsi internal dianggap justru lebih berbahaya daripada ancaman militer terbuka.

    “Yang lebih menakutkan adalah kemampuan pihak tertentu untuk melemahkan bangsa dari dalam. Isu pangan, energi, dan penguasaan sumber daya alam menjadi titik kritis. Jika tidak dikelola dengan baik, itu bisa menjadi alat untuk melemahkan kedaulatan kita,” terangnya.

    Menurutnya, banyak undang-undang terkait keamanan nasional termasuk Undang-Undang Terorisme, Undang-Undang Pertahanan, dan sejumlah regulasi turunan belum dirumuskan secara lengkap. Contoh paling jelas adalah persoalan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang tidak berjalan optimal karena tidak memiliki pedoman operasional yang tuntas.

    “Secara teori hukum, sebuah sistem harus runtut dari Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 hingga aturan pelaksana. Namun saat ini banyak celah yang membuat lembaga negara kebingungan dalam bertindak,” tegasnya.

    “Ketahanan pangan, energi, kesehatan, dan ekonomi adalah bagian dari elemen power nasional. Tanpa postur yang jelas, pemerintah sulit menilai kesiapan menghadapi ancaman non-militer maupun hibrida,” jelasnya.

    Puguh menyebutkan pentingnya Indonesia segera memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional (Kamnas) sebagai ‘fishbone’ tata kelola keamanan yang nantinya menjadi dasar pembentukan Dewan Keamanan Nasional atau lembaga serupa yang berada langsung di bawah Presiden.

    Sementara itu, Mayjen TNI (Purn) I Gede Sumertha menegaskan Indonesia membutuhkan pembenahan besar pada tata kelola pertahanan dan keamanan untuk menghadapi ancaman modern yang semakin kompleks.

    Sumertha juga menjelaskan meskipun kerangka hukum sudah memisahkan urusan pertahanan dan keamanan, secara praktik kedua sektor tersebut membutuhkan penyatuan koordinasi melalui strategi keamanan nasional (national security).

    Ia juga menyoroti bahwa peraturan terkait tugas TNI selain perang masih minim, sehingga sering terjadi tumpang tindih dengan Polri, khususnya dalam operasi di Papua.

    “Tidak ada Rule of Engagement yang jelas, tidak ada SOP lintas institusi. Bahkan latihan bersama pun hampir tidak pernah dilakukan,” ujarnya.

    Selain itu, ia menekankan Indonesia masih kekurangan doktrin pertahanan non-militer, padahal ancaman saat ini tidak hanya bersifat militer, namun juga mencakup ancaman kesehatan, ekonomi, digital, hingga genomik.

    Sumertha pun menegaskan Indonesia membutuhkan grand strategy keamanan nasional yang terintegrasi serta didukung oleh regulasi, komando, dan koordinasi lintas sektor yang jelas.

    “Selama kita tidak punya National Security Council, tidak punya doktrin non-militer, dan belum rapi dalam kerja lintas lembaga, maka respons kita terhadap ancaman modern akan selalu tertinggal,” pungkasnya.

    Pada kesempatan yang sama, Laksda TNI Ivan Yulivan menyampaikan strategi pertahanan Indonesia perlu menyesuaikan dengan ancaman kontemporer yang bersifat hybrid dan berbasis teknologi tinggi. Selain itu, perlu pembaharuan dengan pemanfaatan intelijen, AI, dan kolaborasi riset ilmiah.

    “Tidak mungkin Indonesia diserang secara head-to-head karena biaya dan luas wilayah yang sangat besar. Ancaman modern datang dari dalam, menghancurkan ekonomi, demokrasi, perilaku, dan sistem informasi,” tambahnya.

    Ivan juga menyampaikan pentingnya integrasi lintas lembaga dan peran rakyat dalam pertahanan negara. Selain itu, perlunya koordinasi antara DPN, TNI, Polri, kementerian, lembaga riset, serta industri pertahanan untuk menyusun kebijakan terintegrasi dan menghadapi ancaman global seperti cyber attack, satelit, dan propaganda internasional.

    Persiapan teknologi dan industri pertahanan, kata Ivan, adalah hal yang juga dinilai sangat penting. Ia juga mengingatkan bahwa peran rakyat, integrasi strategi, dan modernisasi doktrin pertahanan merupakan kunci agar Indonesia dapat menghadapi ancaman masa depan dengan efektif dan terukur.

    “Penguatan drone, rudal taktis, kapal patroli, serta sistem AI harus menjadi prioritas, karena perang modern bukan lagi fisik langsung, tapi informasi dan teknologi,” katanya.

    Diskusi ini dihadiri oleh anggota Badan Pengkajian MPR RI, di antaranya Heri Gunawan dari Fraksi Partai Gerindra, Mayjen TNI (Purn) Hasanuddin dari Fraksi PDIP, Jialyka Maharani, Al Hidayat Samsu, dan Jupri Mahmud dari Kelompok DPD.

    (akd/akd)

  • KPK Duga Istri Kasat Lantas Polres Batu Tahu Aset Korupsi Heri Gunawan

    KPK Duga Istri Kasat Lantas Polres Batu Tahu Aset Korupsi Heri Gunawan

    GELORA.CO — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengisyaratkan istri Kasat Lantas Polres Batu, Melissa B Darbang, memiliki pengetahuan terkait aset-aset tersangka korupsi Heri Gunawan yang diduga berasal dari tindak pidana.

    Hal ini didalami penyidik saat memeriksa Melissa sebagai saksi pada Kamis (13/11/2025) lalu.

    Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengonfirmasi fokus pemeriksaan tersebut. 

    Saat ditanya apakah penyidik mendalami aset Heri Gunawan yang dipegang oleh Melissa atau terkait jual beli aset, Budi memberikan penegasan.

    “Didalami pengetahuannya terkait aset tersangka,” kata Budi kepada wartawan pada hari ini, Sabtu (15/11/2025).

    Pernyataan Budi ini memperkuat dugaan bahwa KPK memandang Melissa, yang merupakan anggota Bhayangkari, sebagai saksi kunci untuk memetakan dan menelusuri hasil kejahatan Heri Gunawan.

    Sebelumnya, Melissa B Darbang, yang merupakan istri dari Kasat Lantas Polres Batu AKP Kevin Ibrahim, telah menjalani pemeriksaan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025).

    Pantauan Tribunnews.com di lokasi, Melissa diperiksa selama kurang lebih tiga jam, dari pukul 16.57 WIB hingga 19.57 WIB. 

    Namun, usai pemeriksaan, ia memilih bungkam seribu bahasa.

    Saat dicecar awak media mengenai materi pemeriksaan dan hubungannya dengan tersangka Heri Gunawan, Melissa terus berjalan cepat meninggalkan gedung KPK tanpa memberikan komentar apapun.

    Pemeriksaan ini merupakan bagian dari pengembangan penyidikan kasus korupsi dana corporate social responsibility (CSR) dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menjerat Heri Gunawan, anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024.

    Heri Gunawan diduga menerima total Rp 15,86 miliar dengan modus mengatur penyaluran dana CSR ke yayasan-yayasan fiktif.

    KPK kini tengah berfokus pada dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan Heri Gunawan. 

    Uang hasil korupsi tersebut diduga kuat telah dialihkan, disamarkan, dan diubah bentuk menjadi berbagai aset.

    Selain Melissa, KPK pada hari yang sama juga memeriksa sejumlah saksi lain untuk kepentingan penelusuran aset, termasuk dua Tenaga Ahli Heri Gunawan, yakni Martono dan Helen Manik.

    Langkah gencar KPK memanggil berbagai saksi, mulai dari tenaga ahli, mahasiswa, hingga istri perwira polisi, menunjukkan keseriusan lembaga antirasuah untuk memburu dan menyita seluruh aset hasil korupsi Heri Gunawan demi memaksimalkan pemulihan kerugian negara

  • Diperiksa KPK Terkait Kasus CSR BI-OJK, Istri Kasat Lantas Polres Batu Bungkam  

    Diperiksa KPK Terkait Kasus CSR BI-OJK, Istri Kasat Lantas Polres Batu Bungkam  

    JAKARTA – Istri Kasat Lantas Polres Batu AKP Kevin Ibrahim, Melissa B. Darban bungkam usai diperiksa terkait dugaan korupsi program sosial atau CSR Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia dimintai keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi pada hari ini.

    Adapun Melissa meninggalkan kantor KPK sekitar pukul 19.56 WIB. Dia dimintai keterangan sejak sore hari.

    Tak ada pernyataan yang disampaikan. Melissa juga mengabaikan pertanyaan jurnalis di lapangan, termasuk tentang hubungannya dengan Heri Gunawan, legislator Partai Gerindra yang jadi tersangka dalam kasus ini.

    Sementara itu, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan pemeriksaan terhadap Melissa untuk menelusuri aset yang diduga bersumber dari hasil tindak pidana korupsi. Tapi, dia tak memerinci lebih lanjut. 

    “Penelusuran aset,” kata Budi, Kamis malam.

    Selain Melissa, KPK pada hari ini turut memanggil lima orang saksi lainnya. Mereka adalah Martono dan Helen Manik yang merupakan eks tenaga ahli legislator Gerindra, Heri Gunawan; mahasiswa bernama Syarifah Husna dan Syifa Rizka Violin; serta dokter bernama Widya Rahayu Arini Putri.

    Diberitakan sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan legislator DPR Fraksi Partai NasDem Satori dan Heri Gunawan selaku legislator DPR Fraksi Partai Gerindra sebagai tersangka dugaan korupsi dana CSR BI-OJK. Keduanya diduga menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Satori diduga menerima total Rp12,52 miliar dalam kasus ini. Rinciannya Rp6,30 miliar dari BI; Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR lainnya.

    Uang tersebut diduga digunakan keperluan pribadinya, seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya.

    Sedangkan Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dan menggunakannya juga untuk kepentingan pribadi. Rinciannya Rp6,26 miliar dari BI; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR lainnya.

    Duit itu disebut KPK ditampung dalam rekening. Heri Gunawan kemudian menggunakannya untuk membangun rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan hingga kendaraan roda empat.

  • KPK Panggil 2 Tenaga Ahli Heri Gunawan terkait Kasus CSR BI-OJK

    KPK Panggil 2 Tenaga Ahli Heri Gunawan terkait Kasus CSR BI-OJK

    Bisnis.com, JAKARTA – Dua tenaga ahli dari tersangka kasus CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan, Heri Gunawan, dipanggil oleh Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK). 

    Keduanya berinisial HM dan MAT tenaga ahli saat Heri Gunawan menjabat sebagai anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024. KPK juga memeriksa MBD selaku Ibu Rumah Tangga, SH selaku Mahasiswa, WRA selaku Dokter, dan SRV selaku Mahasiswa.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Kamis (13/11/2025).

    Namun, Budi baru dapat menyampaikan detail materi pemeriksaan hingga mereka telah diperiksa penyidik lembaga antirasuah. 

    Selain Heri Gunawan, KPK juga telah menetapkan Satori, anggota Komisi XI DPR RI tahun 2019-2024 sebagai tersangka.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Keduanya menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah untuk membangun showroom, dan aset lainnya.

  • Kasus CSR BI-OJK, KPK Panggil Pramugari Maskapai Garuda

    Kasus CSR BI-OJK, KPK Panggil Pramugari Maskapai Garuda

    Bisnis.com, JAKARTA – KPK memanggil lima orang saksi untuk mendalami kasus dugaan korupsi Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Rabu (12/11/2025).

    Salah satu saksi yang dipanggil berinisial ERDP, pramugari dari maskapai Garuda. Kemudian SSR selaku ibu rumah tangga, VOD selaku mahasiswa, AIC selaku Dokter Umum, dan DYR selaku wiraswasta.

    “Pemeriksaan dilakukan di Gedung KPK,” tulis Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, Rabu (12/11/2025).

    Budi belum memberikan detail materi pemeriksaan hingga para saksi selesai diperiksa.

    Dalam perkara ini KPK telah menetapkan Heri Gunawan dan Satori, anggota Komisi XI DPR RI tahun 2019-2023 sebagai tersangka.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Keduanya menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah untuk membangun showroom, dan aset lainnya.

    Atas perbuatannya, tersangka disangkakan telah melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

  • KPK Sita Ambulance hingga Sita Tanah dan Bangunan Bernilai Rp10 M Diduga Terkait Korupsi CSR BI-OJK  

    KPK Sita Ambulance hingga Sita Tanah dan Bangunan Bernilai Rp10 M Diduga Terkait Korupsi CSR BI-OJK  

    JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita aset milik salah satu tersangka tersangka kasus (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Satori yang merupakan legislator Partai NasDem.

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan upaya paksa dilakukan pada Selasa, 4 November. Aset yang disita berupa tanah dan bangunan, ambulance hingga kursi roda.

    “Penyidik melakukan penyitaan atas dua bidang tanah dan bangunan, dua mobil ambulance, dua unit mobil berjenis Toyota ELP dan Toyota Kijang, 1 unit motor serta 18 kursi roda,” kata Budi kepada wartawan yang dikutip Kamis, 6 November.

    Budi mengatakan aset ini disita penyidik karena diduga berasal dari korupsi dana CSR BI-OJK. “Dimana total nilai aset-aset dimaksud sekitar Rp10 miliar,” tegasnya.

    “Penyitaan dilakukan di Cirebon dari tersangka ST. Upaya paksa ini sebagai langkah progresif penyidik untuk mendukung pembuktian perkara sekaligus langkah awal yang positif dalam asset recovery yang optimum,” sambung Budi.

    Diberitakan sebelumnya, KPK secara resmi mengumumkan legislator DPR Fraksi Partai NasDem Satori dan Heri Gunawan selaku legislator DPR Fraksi Partai Gerindra sebagai tersangka dugaan korupsi dana CSR BI-OJK. Keduanya diduga menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Satori diduga menerima total Rp12,52 miliar dalam kasus ini. Rinciannya Rp6,30 miliar dari BI; Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR lainnya.

    Uang tersebut diduga digunakan keperluan pribadinya, seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya.

    Sedangkan Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dan menggunakannya juga untuk kepentingan pribadi. Rinciannya Rp6,26 miliar dari BI; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR lainnya.

    Duit itu kemudian ditampung dalam rekening. Heri Gunawan kemudian menggunakannya untuk membangun rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan hingga pembelian kendaraan roda empat.

  • KPK Sita Aset Rp10 Miliar Milik Satori dalam Korupsi CSR BI dan OJK

    KPK Sita Aset Rp10 Miliar Milik Satori dalam Korupsi CSR BI dan OJK

    Bisnis.com, JAKARTA — Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyita aset-aset dari tersangka Satori terkait kasus dugaan gratifikasi corporate social responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menjelaskan, penyitaan dilakukan pada Selasa (4/11/2025) terhadap sejumlah aset yang digunakan oleh yayasan penerima bantuan. Lokasi penyitaan berlangsung di Cirebon, Jawa Barat.

    “Penyidik melakukan penyitaan atas 2 (dua) bidang tanah dan bangunan, 2 mobil ambulans, 2 (dua) unit mobil berjenis Toyota ELP dan Toyota Kijang, 1 unit motor, serta 18 kursi roda,” ujar Budi dalam keterangan tertulis, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Menurut Budi, penyitaan dilakukan karena aset-aset tersebut diduga berasal dari hasil tindak pidana gratifikasi. Nilai total aset yang disita diperkirakan mencapai Rp10 miliar. Untuk dua mobil ambulans, penyitaan dilakukan dalam bentuk penyimpanan sementara.

    Budi menambahkan, penyitaan ini merupakan langkah progresif penyidik untuk memperkuat pembuktian perkara sekaligus menjadi tahapan awal dalam proses asset recovery.

    Dalam perkara ini, KPK telah menetapkan dua tersangka, yakni Heri Gunawan dan Satori, yang merupakan anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2023.

    Berdasarkan hasil penyidikan, Heri Gunawan diduga menerima total Rp15,86 miliar, terdiri atas Rp6,26 miliar dari BI melalui Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta Rp1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.

    Adapun Satori diduga menerima total Rp12,52 miliar, yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Dana hasil gratifikasi tersebut diduga digunakan untuk keperluan pribadi, antara lain penempatan deposito, pembelian tanah untuk pembangunan showroom, serta pembelian berbagai aset pribadi lainnya.

    Atas perbuatannya, kedua tersangka disangkakan melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Selain itu, mereka juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP