Tag: Henry Najoan

  • Penjualan Rokok Makin Diperketat, Pengusaha Ungkap Dampaknya

    Penjualan Rokok Makin Diperketat, Pengusaha Ungkap Dampaknya

    Jakarta

    Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 menuai polemik terutama para pengusaha pabrik rokok. Aturan tersebut dinilai berdampak luas ekonomi terutama bisa menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

    Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpandangan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar tidak memaksakan penerapan PP 28/2024 di saat situasi geo politik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini.

    “Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja,” kata Henry Najoan dalam keterangannya, Senin (17/2/2025).

    GAPPRI kata Henry mengingatkan agar Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menyerap jutaan tenaga kerja jangan sampai terganggu oleh agenda FCTC yang menginfiltrasi melalui produk hukum, salah satunya PP 28/2024.

    Kajian GAPPRI menyatakan, PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp 182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.

    “Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp 84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp 41,8 triliun,” ujar Henry Najoan.

    Henry Najoan menegaskan, apabila ketiga aturan tersebut (kemasan polos, larangan penjualan, dan pembatasan iklan) diberlakukan, potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp 160,6 triliun.

    “Selain itu, kemasan rokok polos berpotensi mendorong down trading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok ilegal 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09%,” terang Henry Najoan.

    GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial.

    Pasalnya, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

    “Berbagai tekanan regulasi terhadap IHT legal dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain,” tegas Henry Najoan.

    GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang.

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” pungkas Henry Najoan.

    (rrd/rrd)

  • GAPPRI tolak pemberlakuan PP 28/2024 dan aturan turunannya

    GAPPRI tolak pemberlakuan PP 28/2024 dan aturan turunannya

    Jakarta (ANTARA) – Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menolak diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 Bab XXI tentang pengamanan zat adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463 dan aturan turunannya (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan).

    Menurut Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI, Henry Najoan ruang lingkup pengaturan tersebut akan mematikan kelangsungan Industri Hasil Tembakau (IHT).

    “PP 28/2024 ini akan menimbulkan persaingan tidak sehat dan memicu maraknya peredaran rokok ilegal,” ujarnya di Jakarta, Senin.

    Dia menyatakan proses pembuatan regulasi tersebut minim transparansi dan tidak melibatkan pelaku IHT sehingga menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan, sehingga berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan, tidak hanya bagi industri, tetapi juga bagi perekonomian nasional secara keseluruhan.

    Menurut Henry Najoan, upaya untuk segera memberlakukan PP 28/2024 menunjukkan bahwa Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) daripada melindungi kemaslahatan masyarakat yang terdampak oleh pengaturan tersebut.

    Dia menegaskan, IHT adalah pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, dengan begitu, seharusnya memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan regulasi tersebut.

    “GAPPRI mendesak pemerintah membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan dalam membuat regulasi yang adil dan berimbang. Hal itu sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, serta menjaga stabilitas perekonomian nasional,” kata Henry dalam keterangannya.

    Oleh karena itu, GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial.

    Pihaknya berharap pemerintah tidak membuat kebijakan seperti PP 28/2024 yang mengatur pembatasan tar dan nikotin, melarang bahan tambahan dan penyeragaman kemasan yang tidak cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki produk khas seperti kretek.

    “Dengan pelarangan bahan tambahan, akan membuat petani tembakau dan cengkeh menjadi tidak terserap hasil panennya,” katanya.

    Merujuk data GAPPRI, IHT merupakan salah satu sektor strategis nasional yang mempekerjakan kurang lebih 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor.

    Menurut dia, IHT telah mengalami tekanan berat, yang dibuktikan dengan tidak tercapainya target penerimaan cukai di 2024 yang berarti menjadi kali kedua secara berturut-turut target CHT tidak tercapai.

    Tahun 2024, dari target cukai sebesar Rp230,4 triliun hanya mampu diraup sebesar Rp216,9 triliun.

    “Pengaturan yang berlebihan dan tidak proporsional terhadap industri hasil tembakau akan mengganggu stabilitas ekonomi nasional, mengingat kontribusi kretek nasional terhadap penerimaan negara melalui cukai, pajak, dan lapangan kerja padat karya sangat signifikan,” ujar Henry Najoan.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

  • Tok! Pemerintah Naikkan Harga Jual Eceran Rokok Sampoerna Cs

    Tok! Pemerintah Naikkan Harga Jual Eceran Rokok Sampoerna Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengungkapkan kenaikan harga jual eceran untuk rokok konvensional dan elektrik sudah mulai berlaku pada 1 Januari 2025.

    Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea Cukai Akbar Harfianto menjelaskan perusahaan roko mulai dari Sampoerna, Djarum, hingga Gudang Garam sudah menggunakan pita cukai dengan harga jual eceran terbaru, terhitung per 1 Januari 2025.

    “Dengan kenaikan rata-rata 10%,” ujar Akbar dalam konferensi pers di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Jakarta Timur, Jumat (10/1/2025).

    Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto menambahkan meski harga jual eceran hasil tembakau naik namun pabrik-pabrik tetap banyak memesan pita cukai dengan harga terbaru.

    Nirwala mengungkapkan notabenenya Bea Cukai menyiapkan 17 juta lembar pita cukai rokok untuk Januari 2025. Ternyata, klaimnya, pabrik-pabrik memesan pita cukai rokok hingga sekitar 23 juta lembar untuk Januari 2025.

    “Ini bisa dibayangkan, ya tercapai targetnya,” kata Nirwala pada kesempatan yang sama.

    Sebelumnya, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) berharap agar pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau mulai 1 Januari 2025. Pasalnya, industri hasil tembakau (IHT) masih tertekan dampak cukai tinggi. 

    Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, pihaknya berharap agar industri mendapatkan relaksasi dengan tidak menaikkan tarif HJE dan cukai hasil tembakau (CHT) selama periode 2025-2027. 

    “Permohonan ini dengan maksud, agar IHT bisa melakukan pemulihan setelah mengalami kontraksi akibat dampak kenaikan tarif CHT yang di atas nilai keekonomian selama 2020-2024 selain akibat pandemi yang belum sepenuhnya pulih,” kata kepada Bisnis, dikutip Senin (16/12/2024). 

    Henry menerangkan, dengan tidak menaikkan tarif CHT dan HJE, maka akan mempersempit penyebaran rokok ilegal di pasar sehingga konsumsinya pun dapat ditekan. 

    Di sisi lain, dia menerangkan bahwa kenaikan tarif terhadap jenis sigaret kretek tangan (SKT) dengan rata-rata kisaran 14,07% akan membuat harga SKT yang selama ini bersaing dengan rokok ilegal akan naik lebih tinggi. 

    “Beban tambahan seperti PMK No. 97/PMK 012/2024 yang menaikkan tarif HJE dengan rata-rata tertimbang, 10,07% ini akan menambah berat bagi kami karena masih di angka dua digit,” ujarnya. 

  • Pengusaha Cemas Kenaikan Harga Jual dan PPN Bikin Rokok Ilegal Makin Subur – Page 3

    Pengusaha Cemas Kenaikan Harga Jual dan PPN Bikin Rokok Ilegal Makin Subur – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memprediksi kebijakan pemerintah yang mengerek harga jual eceran (HJE) rerata 10,5% dan kenaikan PPN dari 9,9 % menjadi 10,7% pada rokok yang berlaku awal Januari 2025 makin menyuburkan peredaran rokok ilegal.

    Merujuk hitungan GAPPRI, harga rokok tahun 2025 pasca kenaikan HJE rata-rata 10,5% dan PPN menjadi 10,7%, maka harga rokok per-golongan dapat naik sebesar 13,56% sampai 28,27% atau rata-rata naik 19%.

    “Kenaikan persentase harga tertinggi akan dialami oleh sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 28,27%. Ini berarti karpet merah telah digelar pemerintah untuk rokok ilegal,” kata ketua umum GAPPRI, Henry Najoan di Jakarta, Jumat (3/1/2025)

    Henry Najoan mengatakan, kenaikan HJE jelas membebani industri hasil tembakau (IHT), mengingat rata-rata kenaikannya berada di angka dua digit atau 10,5%. Bahkan, SKT mengalami kenaikan HJE hingga 14,07%, sehingga berpotensi membuat harga-harga rokok naik. Beban makin berat lantaran kenaikan PPN dari 9,9% menjadi 10,7%.

    Kenaikan UMP

    Di sisi lain, kenaikan upah mininum provinsi (UMP) belum tentu mendorong daya beli konsumen, justru bisa makin memberatkan produsen tembakau yang sudah ditimpa berbagai beban pengeluaran.

    Henry Najoan menegaskan, kenaikan komponen-komponen seperti HJE, PPN, hingga upah jelas akan mengerek harga jual rokok. Jika harga rokok sudah di atas nilai keekonomian, maka tren rokok murah bahkan rokok ilegal akan berlanjut.

    “Semakin banyak konsumen yang beralih ke rokok murah, apalagi sebagiannya adalah rokok ilegal, kemungkinan besar akan membuat produksi rokok nasional menyusut. Jika ini terjadi, kami kira yang justru untung adalah penjual rokok ilegal yang tidak terbebani oleh pungutan sebagaimana rokok legal,” kata Henry Najoan.

    Henry Najoan menyebut, dalam 10 tahun terakhir produksi rokok di dalam negeri cenderung turun di level 0,78%. Kemungkinan besar tren penurunan produksi rokok akan berlanjut.

    “Yang kami khawatirkan utamanya adalah penurunan produksi pada jenis SKT yang padat karya, karena kenaikan HJE dan pungutan lain akan memicu penurunan permintaan yang berakibat pada nasib pekerja,” kata Henry Najoan.

     

  • Produsen Rokok Minta Harga Jual Eceran & Tarif Cukai Tak Naik hingga 2027

    Produsen Rokok Minta Harga Jual Eceran & Tarif Cukai Tak Naik hingga 2027

    Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) berharap agar pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) produk hasil tembakau mulai 1 Januari 2025. Pasalnya, industri hasil tembakau (IHT) masih tertekan dampak cukai tinggi. 

    Ketua Umum Gappri Henry Najoan mengatakan, pihaknya berharap agar industri mendapatkan relaksasi dengan tidak menaikkan tarif HJE dan cukai hasil tembakau (CHT) selama periode 2025-2027. 

    “Permohonan ini dengan maksud, agar IHT bisa melakukan pemulihan setelah mengalami kontraksi akibat dampak kenaikan tarif CHT yang di atas nilai keekonomian selama 2020-2024 selain akibat pandemi yang belum sepenuhnya pulih,” kata kepada Bisnis, dikutip Senin (16/12/2024). 

    Henry menerangkan, dengan tidak menaikkan tarif CHT dan HJE, maka akan mempersempit penyebaran rokok ilegal di pasar sehingga konsumsinya pun dapat ditekan. 

    Di sisi lain, dia menerangkan bahwa kenaikan tarif terhadap jenis sigaret kretek tangan (SKT) dengan rata-rata kisaran 14,07% akan membuat harga SKT yang selama ini bersaing dengan rokok ilegal akan naik lebih tinggi. 

    “Beban tambahan seperti PMK No. 97/PMK 012/2024 yang menaikkan tarif HJE dengan rata-rata tertimbang, 10,07% ini akan menambah berat bagi kami karena masih di angka dua digit,” ujarnya. 

    Terlebih, tahun 2025, juga ada kenaikan tarif PPN menjadi 10,7% dan kenaikan tarif upah minimum. Ketiga komponen tersebut, tentu akan menambah beban bagi perusahaan.

    “Simulasi yang coba kami lakukan, menunjukkan bahwa SKT isi 12 batang yang di harga Rp12.000 – Rp14.000 akan naik menjadi Rp15.000 – Rp17.000,” tuturnya. 

    Sementara itu, rokok ilegal jenis sigaret kretek mesin (SKM) dengan isi 20 batang tetap di harga sekitar Rp10.000- Rp12.000 per pak. Perbandingan harga antara rokok legal dan ilegal tersebut dikhawatirkan berpotensi membuat rokok ilegal makin marak di pasaran. 

    Adapun, pihaknya masih belum dapat memperkirakan penurunan produksi akibat dampak dari kenaikan HJE tahun depan. Namun, beberapa pelaku usaha masih memesan pita cukai hingga akhir tahun ini. 

    “Yang pasti, kalau kita cermati laporan-laporan perusahaan yang go public, menunjukkan bahwa semua perusahaan terpangkas marginnya. Ini menunjukkan bahwa kondisi pasar masih labil,” jelasnya. 

    Di sisi lain, tahun ini bagi industri hasil tembakau mendapat tekanan yang cukup berat, baik dari sisi fiskal karena kenaikan tarif cukai yang beruntun maupun nonfiskal dengan diterbitkannya PP Nomor 28/2024.

    Dalam beberapa kesempatan, Gappri disebut telah mencoba mengkomunikasikan terkait kebijakan seperti HJE kepada pemerintah baik melalui surat maupun melalui media. 

    “Ini dengan maksud, agar suara industri terdengar ke pengambil kebijakan, tetapi sepertinya pemerintah punya pertimbangan berbeda sehingga lahir PMK tersebut,” pungkasnya. 

  • Gappri Dorong Pemerintah Tinjau Kebijakan Fiskal dan Nonfiskal Atasi Peredaran Rokok Ilegal

    Gappri Dorong Pemerintah Tinjau Kebijakan Fiskal dan Nonfiskal Atasi Peredaran Rokok Ilegal

    Tangerang, Beritasatu.com – Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan mendorong pemerintah untuk dapat mengevaluasi kembali kebijakan regulasi fiskal dan nonfiskal yang menyebabkan tarif cukai rokok naik. Dia mengatakan kenaikan tarif cukai menjadi penyebab mudahnya peredaran rokok ilegal di Indonesia.

    “Kenaikan tarif cukai yang sangat tinggi sejak tahun 2020 sampai ke tahun 2024, kurang lebih kenaikan tarif cukai sekitar 60% itu menyebabkan disparitas harga rokok legal dan ilegal makin jauh,” ujar Henry Najoan saat ditemui usai acara Focus Group Discussion (FGD) mengenai Peredaran Rokok Ilegal dan Tantangan Industri Rokok Indonesia yang digelar di Kantor B-Universe, Tangerang, Banten, Kamis (13/12/2024).

    Henry menuturkan disparitas harga rokok yang jauh antara rokok legal dan rokok ilegal membuat para konsumen beralih memilih rokok ilegal. Dia menambahkan saat ini industri rokok mengalami penurunan keuntungan yang signifikan sejak tahun 2019.

    Henry mengungkapkan pada tahun 2023, tercatat produksi rokok legal hanya 318 miliar batang. Sementara itu, di tahun 2019 produksinya mencapai 359 miliar batang.

    “Jadi kontraksi ini sangat luar biasa seyogyanya kami harapkan pemerintah coba menganalisa dan mengevaluasi lagi peraturan-peraturan fiskal maupun nonfiskal yang nyatanya membuat industri kontraksi lebih dalam,” ucapnya.

    Dia meminta pemerintah bisa segera menetapkan rokok ilegal sebagai suatu tindakan kejahatan yang luar biasa. Lebih lanjut, dia menggantung harapan kepada pemerintah untuk lebih ekstra dalam melakukan penindakan pelaku pembuatan dan peredaran rokok ilegal dengan melibatkan seluruh aparat penegak hukum.

    “Harapan kami peraturan itu (yang membuat peredaran rokok ilegal meningkat) yang sudah berjalan saat ini bisa ditinjau ulang dan diberikan relaksasi untuk kami untuk recovery,” harap Henry.
     

  • Negara Terancam Merugi Rp 15 Triliun

    Negara Terancam Merugi Rp 15 Triliun

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat peredaran rokok ilegal berpotensi merugikan negara mencapai Rp 15 triliun. Kondisi tersebut tidak lain karena industri rokok merupakan salah satu sumber pendapatan utama negara.

    Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Merrijanti Punguan menjelaskan, industri rokok merupakan salah satu sektor terbesar di Indonesia yang produksinya mencapai ratusan miliar batang setiap tahun.

    Merujuk data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pada 2023, produksi rokok di Indonesia mencapai 318 miliar batang, meliputi rokok ilegal sebesar 6,9%. Artinya, rokok ilegal mencapai 22 miliar batang pada 2023.

    “Kalau kita kalikan minimal cukai satu batang rokok yang dikenakan minimal itu Rp 750 itu mencapai hampir Rp 15 triliun kerugian negara,” ujar Merrijanti dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar B-Universe, di HQ PIK 2, Banten, Kamis (12/12/2024).

    Dia menambahkan, jika dikalikan dengan cukai tertinggi, yaitu Rp1.300 × 22 miliar batang, dapat dilihat sangat signifikan potensi kehilangan penerimaan negera.

    Selaras dengan itu, Kepala Pusat Industri Pedagangan dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho menyebut industri rokok ilegal berpotensi mengurangi penerimaan cukai negara dan kebocoran penerimaan negara. Dia pun meminta pemerintah segera bertindak.

    “Negara akan kehilangan penerimaan tidak hanya dari cukai, tetapi PPN. Jadi, pemerintah harus segera melakukan upaya extra ordinary. Jika tidak, ke depan kebocoran terkait penerimaan negara pasti tidak akan teratasi,” bebernya.

    Menurut Andry, peredaran rokok ilegal berdampak terhadap penerimaan cukai. Apalagi, 90% penerimaan cukai negara berasal dari industri rokok.

    Selain itu, rokok ilegal berkontribusi sekitar 7% terhadap produk domestik bruto (PDB), yang meliputi produksi, distribusi, ritel, hingga penyuplai bahan baku tempakau, yakni perkebunan tembakau.

    Sebagai informasi B-Universe menggelar FGD membahas peredaran rokok ilegal dan tantangan industri rokok atau tembakau. FGD dihadiri para narasumber kompeten di antaranya Direktur Eksekutif IndoData Danis Wahidin, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Henry Najoan, dan Ketum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Benny Wachjudi.

    Selain itu, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, Kementerian Perindustrian Merrijanti Punguan, Kepala Pusat Industri Pedagangan & Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho, Direktur Komunikasi & Bimbingan Pengguna Jasa, dan Direktorat Jenderal Bea & Cukai Nirwala Dwi Heryanto.

    Diskusi soal peredaran rokok ilegal berjalan aktif melibatkan peserta dari berbagai stakeholder, seperti Perwakilan Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (Yaya & Sigit), Perwakilan Gudang Garam (Fendi Wu & Heri Yanuari Kustanto), Director Public Affairs PT Djarum (Mutiara Diah Asmara).

  • Negara Terancam Merugi Rp 15 Triliun

    Rokok Ilegal Rugikan Penerimaan Negara, Pakar INDEF Serukan Langkah Luar Biasa

    Jakarta, Beritasatu.com – Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Andry Satrio Nugroho, menyatakan peredaran rokok ilegal berdampak negatif pada penerimaan negara. Dampak tersebut tidak hanya berasal dari kebocoran penerimaan cukai, tetapi juga pajak pertambahan nilai (PPN), mengingat cukai rokok menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam penerimaan negara bersama PPN dan PPh.

    “Menurut saya, negara pasti kehilangan penerimaan, baik dari cukai maupun PPN. Oleh karena itu, pemerintah harus segera mengambil langkah luar biasa. Jika tidak, kebocoran penerimaan negara tidak akan dapat diatasi,” ujar Andry saat mengikuti focus group discussion (FGD) bersama B-Universe di PIK 2, Kamis (12/12/2024).

    Ia menambahkan, industri rokok menyumbang sekitar 90% dari total penerimaan cukai nasional. Namun, maraknya rokok ilegal memberikan tekanan besar terhadap ekonomi, termasuk penurunan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB).

    “Rokok legal menyumbang hampir 7% terhadap PDB. Kontribusi ini meliputi produksi, distribusi, ritel, hingga sektor perkebunan tembakau. Jika kita fokus pada pengembangan industri legal, dampaknya akan sangat signifikan bagi ekonomi nasional,” jelas Andry.

    Selain itu, Andry juga mengingatkan dampak rokok ilegal terhadap ekonomi daerah. Banyak wilayah di Indonesia bergantung pada aktivitas ekonomi berbasis tembakau. Penekanan berlebih pada industri tembakau legal berpotensi memicu peningkatan pengangguran di daerah penghasil tembakau dan penurunan pendapatan daerah.

    “Banyak daerah yang bergantung pada industri tembakau. Jika tekanan terhadap industri ini terlalu besar, tentu akan memengaruhi aktivitas ekonomi daerah dan menciptakan tekanan ekonomi signifikan,” tandasnya.

    Diskusi ini melibatkan narasumber kompeten, meliputi Direktur Eksekutif Indodata Danis Wahidin, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Henry Najoan, Ketum Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Benny Wachjudi.

    Kemudian, Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, Kementerian Perindustrian Merrijanti Punguan; Kepala Pusat Industri Pedagangan & Investasi Indef Andry Satrio Nugroho; Direktur Komunikasi & Bimbingan Pengguna Jasa, Direktorat Jenderal Bea & Cukai Nirwala Dwi Heryanto, ikut hadir dalam diskusi peredaran rokok ilegal..

  • Penundaan Kenaikan Tarif Cukai Jadi Angin Segar Industri Tembakau

    Penundaan Kenaikan Tarif Cukai Jadi Angin Segar Industri Tembakau

    Jakarta

    Pemerintah memutuskan untuk menunda kenaikan tarif cukai rokok di 2025, hal ini menjadi angin segara bagi industri hasil tembakau (IHT).

    Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE – FEB UB) bahkan merekomendasikan agar pemerintah melakukan moratorium kenaikan tarif cukai demi menjaga kelangsungan IHT.

    Direktur PPKE-FEB UB, Prof. Candra Fajri Ananda mengatakan, moratorium kenaikan tarif cukaiadalah opsi yang lebih bijaksana untuk menjagakeberlangsungan IHT dan mencegah lonjakan peredaran rokok ilegal, sembari tetap menjaga stabilitas penerimaan negara dan sektor tenaga kerja yang bergantung pada industri ini.

    Apabila tarif cukai ditujukan untuk mencapai keseimbangan pilar kebijakan IHT, maka tarif cukai sebesar 4-5% (dari tarif yang berlaku saat ini) adalah tarif cukai yang direkomendasikan untuk dapat diterapkan dalam mencapai keseimbangan antara penerimaan negara dan keberlangsungan industri hasil tembakau (IHT).

    “Kenaikan tarif di atas batas ini berisiko meningkatkan peredaran rokok ilegal karena konsumen beralih ke produk yang lebih murah dan tidak dikenai cukai,” kata Candra, di Jakarta, Minggu (10/11/2024).
    Kajian PPKE-FEB UB juga menunjukkan, kenaikan tarif cukai yang tidak diimbangi dengan kemampuan daya beli masyarakat justru mendorong peningkatan peredaran rokok ilegal. Data simulasi yang dilakukan memperlihatkan bahwa setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok ilegal sehingga mengakibatkan berkurangnya potensi penerimaan negara hingga 5,76 triliun rupiah per tahun.

    “Kenaikan tarif cukai berpengaruh negatif pada volume produksi rokok legal. Peningkatan harga membuat permintaan beralih ke produk ilegal, sehingga industri rokok mengalami penurunan kapasitas produksi. Akibatnya, lapangan kerja di sektor ini terancam, terutama bagi pabrik kecil yang tidak mampu bersaing di tengah tingginya tarif cukai dan menurunnya permintaan,” terang Prof. Candra.
    Candra mengatakan, temuan penting hasil kajian PPEK-FEB UB adalah bahwa ada titik optimal dalam kenaikan tarif cukai, dimana kenaikan lebih lanjut tidak efektif lagi dalam mencapai tujuan kebijakan. Berdasarkan simulasi, pihaknya menyarankan agar tarif cukai ditetapkan pada kisaran 4-5% untuk mencapai keseimbangan antara pengendalian konsumsi rokok, stabilitas penerimaan negara, dan keberlangsungan industri.

    “Pada kisaran ini, peredaran rokok ilegal masih terkendali, penerimaan negara tetap signifikan, dan industri rokok masih bisa bertahan tanpa mengorbankan terlalu banyak lapangan kerja,” tegas Candra.

    Ketua umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengamini hasil kajian PPKE-FEB UB. Henry Najoan sepakat pentingnya moratorium atau penundaan kenaikan tarif cukai dalam beberapa tahun mendatang untuk menekan peredaran rokok ilegal yang terus meningkat. Menurutnya, kenaikan cukai yang berlebihan menciptakan kondisi yang tidak stabil bagi industri dan menurunkan daya saing produk legal di pasar.

    Henry Najoan mengusulkan agar moratorium dilakukan selama tiga tahun, memberikan waktu bagi industri untuk beradaptasi dan memitigasi dampak negatif kenaikan tarif cukai.

    “Pentingnya pendekatan yang adil dalam kebijakan cukai dan meminta peningkatan pengawasan terhadap produsen rokok ilegal yang terus berkembang pesat. Sebab, keberhasilan kebijakan cukai akan sangat bergantung pada koordinasi erat antara bea cukai, aparat penegak hukum, dan industri tembakau,” terang Henry Najoan.

    (rrd/rir)

  • Asosiasi Sebut Industri Tembakau Bisa Tertekan Gara-gara Ini

    Asosiasi Sebut Industri Tembakau Bisa Tertekan Gara-gara Ini

    Jakarta

    Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia (GAPPRI) menyebut industri tembakau bisa mengalami tekanan berat karena turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang produk tembakau dan rokok elektronik.

    Menurut Ketua Umum GAPPRI Henry Najoan aturan kemasan polos tanpa merek atau plain packaging produk tembakau dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) yang merupakan turunan dari PP 28 Tahun 2024 memiliki potensi dampak signifikan yang perlu diperhatikan dengan serius.

    “Kemasan polos ini tentu akan mempengaruhi seluruh pelaku industri tembakau, namun yang menjadi kekhawatiran utama kami adalah dampak dari persaingan tidak sehat dan maraknya rokok ilegal,” ujar Henry dalam keterangannya ditulis Selasa (10/9/2024).

    Kemasan polos dirancang untuk menghilangkan elemen branding. Henry menjelaskan bahwa kemasan polos dapat memperburuk masalah rokok ilegal. Dengan kemasan yang seragam, ia menilai akan semakin sulit untuk membedakan produk legal dari ilegal.

    “Sudah pasti kebijakan peralihan ke kemasan polos dapat memperburuk kontraksi industri tembakau yang sudah menghadapi tekanan ekonomi berat,” beber dia.

    Sementara itu, dampak kemasan polos dan kebijakan pembatasan penjualan dipandang sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk mengurangi konsumsi rokok, namun ia berharap agar langkah-langkah tersebut mempertimbangkan dampak besar terhadap industri tembakau yang sah, dengan lebih dari 6 juta tenaga kerja dari petani hingga ritel, serta jutaan lainnya di industri pendukung seperti kreatif, periklanan, dan lainnya.

    “Kami berharap kebijakan ini tidak membuat industri kami menjadi korban dan menyebabkan industri tembakau yang legal terancam,” ujar dia.

    Sebagai langkah berikutnya, Henry mengimbau agar semua pihak, termasuk pemerintah, pengusaha, dan asosiasi, dapat bekerja sama untuk mencari solusi yang seimbang dan efektif. Sehingga, nantinya kebijakan yang hadir tidak hanya meminimalkan dampak negatif terhadap industri tetapi juga memastikan perlindungan terhadap konsumen dan masyarakat.

    “Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, perdebatan tentang kemasan polos menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang hati-hati dan terinformasi dalam perumusan kebijakan tembakau di Indonesia,” papar dia.

    Di samping itu, Henry juga menyoroti kebijakan pembatasan penjualan rokok di area tertentu seperti 200 meter dari sekolah dan tempat bermain anak-anak. Menurutnya, kebijakan ini tidak akan efektif.

    Dalam sesi diskusi yang sama, Pengamat Hukum Universitas Trisakti, Ali Rido, menyarankan bahwa aturan ini seharusnya tidak berlaku bagi penjual yang sudah memiliki toko atau warung saat ini. Di samping itu, bentuk satuan pendidikan juga tidak jelas.

    “Kalau tidak ada solusi dan hanya digusur begitu saja, di situlah pelanggaran konstitusinya. Kalau sekarang, akan terjadi kerepotan yang luar biasa untuk merelokasi. Satuan pendidikan itu pun tidak dijelaskan seperti apa, itu bahkan bisa kursus mengendarai mobil dan sebagainya,” ujar Ali.

    (kil/kil)