Tag: Henry Najoan

  • Cukai Rokok Tak Naik Bikin Buruh Lega, Ini Alasannya – Page 3

    Cukai Rokok Tak Naik Bikin Buruh Lega, Ini Alasannya – Page 3

    Hal itu, lanjut Henry Najoan, industri kretek merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya sejumlah aturan.

    Kendati demikian, pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk meninjau ulang beberapa regulasi.Pada titik inilah, GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang, agar tercipta kebijakan yang bukan dominan hanya berorientasi kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya mengorbankan sektor lain, tetapi harus adil juga bagi kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan industri.

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” pungkas Henry Najoan. 

     

  • Purbaya Pastikan Cukai Rokok Tidak Naik, Industri Bisa Bernapas Lega – Page 3

    Purbaya Pastikan Cukai Rokok Tidak Naik, Industri Bisa Bernapas Lega – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Keputusan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan (Menkeu) RI, Purbaya Yudhi Sadewa tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) tahun 2026 bertujuan untuk mendapatkan penghidupan jutaan pekerja yang bergantung pada sektor industri hasil tembakau (IHT) nasional. Keputusan Menkeu Purbaya itu beroleh dukungan dari Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, dan pimpinan Komisi XI DPR RI.

    Menyikapi putusan tersebut, Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan mengapresiasi langkah Menkeu Purbaya. Keputusan itu dinilai Henry Najoan bahwa negara hadir untuk melindungi warga negaranya yang mempertaruhkan haknya untuk bekerja.

    Hal itu, lanjut Henry Najoan, industri kretek merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya sejumlah aturan.

    “Berbagai tekanan regulasi terhadap industri kretek nasional dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, GAPPRI meminta pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda dari negara lain,” tegas Henry Najoan di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

    Kendati demikian, pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk meninjau ulang beberapa regulasi.

    Pada titik inilah, GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang, agar tercipta kebijakan yang bukan dominan hanya berorientasi kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya mengorbankan sektor lain, tetapi harus adil juga bagi kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan industri.

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” pungkas Henry Najoan. 

     

     

  • Pengusaha Apresiasi Purbaya Tak Naikkan Cukai Rokok 2026

    Pengusaha Apresiasi Purbaya Tak Naikkan Cukai Rokok 2026

    Jakarta

    Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menanggapi terkait keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa yang tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2026. Ketua GAPPRI Henry Najoan mengapresiasi langkah pemerintah.

    Henri menilai keputusan itu menjadi bukti negara hadir untuk melindungi warga negaranya yang mempertaruhkan haknya untuk bekerja. Hal itu, lanjut Henry, industri kretek merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

    “Berbagai tekanan regulasi terhadap industri kretek nasional dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, GAPPRI meminta pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda dari negara lain,” ujar Henry dalam keterangannya, Kamis (02/10/2025).

    Kendati demikian, Henry menilai pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk meninjau ulang beberapa regulasi. Salah satunya, polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam pasal 429-463 berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

    “Kami meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geopolitik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini,” tambahnya.

    Menurut Henry, PP 28/2024 dinilai cacat hukum. Pasalnya, proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT). Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja.

    GAPPRI mensinyalir, pemaksaan diimplementasikannya PP 28/2024 oleh Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ketimbang melindungi kepentingan masyarakat yang terdampak. Padahal, banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

    “GAPPRI mengingatkan agar pemerintah berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menyerap jutaan tenaga kerja jangan sampai terganggu oleh agenda FCTC yang menginfiltrasi melalui produk hukum, salah satunya PP 28/2024,” imbuh Henry.

    Henry Najoan mewanti-wanti pemerintah adanya ancaman intervensi asing terhadap kedaulatan ekonomi nasional semakin nyata. Pihak asing bekerja dengan strategi sistematis untuk melemahkan industri strategis nasional, seperti industri tembakau melalui perang narasi dan infiltrasi kebijakan.

    “Mereka menggunakan proksi Kementerian kita sendiri. Padahal, industri hasil tembakau memiliki peran vital dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” kata Henry Najoan.

    Untuk itu, GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang, agar tercipta kebijakan yang bukan dominan hanya berorientasi kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya mengorbankan sektor lain, tetapi harus adil juga bagi kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan industri.

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” jelas Henry.

    (rea/rrd)

  • PP 28/2024 Berisiko Picu Ketimpangan Regulasi Industri Kretek

    PP 28/2024 Berisiko Picu Ketimpangan Regulasi Industri Kretek

    Bisnis.com, JAKARTA — Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menilai Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) berisiko menimbulkan ketimpangan regulasi industri kretek.

    Ketua Umum Gappri, Henry Najoan mengatakan kebijakan pemerintah yang tidak menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2026 merupakan bentuk kehadiran negara bagi petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor kretek.

    “Pemerintah masih memiliki pekerjaan untuk meninjau ulang beberapa regulasi yang dirasa memberatkan bagi industri kretek nasional,” kata Henry dalam keterangannya, Kamis (2/10/2025).

    Salah satunya, polemik Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463.

    Menurutnya, PP 28/2024 dinilai cacat hukum karena proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).

    “Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berisiko menimbulkan dampak negatif bagi industri dan perekonomian nasional,” ujarnya.

    Gappri mengingatkan agar pemerintah berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena industri hasil tembakau memiliki peran vital dalam penyerapan tenaga kerja dan kontribusi besar terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Pihaknya mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang, agar tercipta kebijakan yang adil bagi kepentingan pembangunan ekonomi, sosial dan industri.

    Berdasarkan catatan Bisnis.com, Selasa (30/9/2025), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kritik atas kebijakan pemerintah yang memutuskan tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau tahun ini.

    Dia menegaskan bahwa keputusan tidak menaikkan cukai tembakau diambil untuk menjaga kelangsungan industri rokok dalam negeri sekaligus melawan peredaran produk ilegal.

    “Karena saya nggak mau industri kita mati,” jelasnya.

  • Teka-teki Arah Kebijakan Cukai Rokok Menkeu Purbaya, Naik atau Turun?

    Teka-teki Arah Kebijakan Cukai Rokok Menkeu Purbaya, Naik atau Turun?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pelaku industri dan petani tembakau menunggu kebijakan cukai hasil tembakau alias CHT Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Apalagi Purbaya sempat mengemukakan bahwa kenaikan tarif cukai rokok yang berlaku saat ini terlampau tinggi.

    Seperti diketahui, Menkeu Purbaya mengatakan pernah menanyakan tren tarif cukai ke jajarannya. Namun, saat menanyakan tren kenaikannya, dia kaget besaran kenaikannya secara akumulasi sudah sangat tinggi.

    Purbaya mengatakan, tarif rata-rata yang dikenakan untuk produk hasil tembakau mencapai sekitar 57%. 

    “Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya, cukai rokok gimana, sekarang berapa rata-rata? 57%. Wah tinggi amat. Fir’aun lu,” kelakarnya saat konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Padahal, dia menyebut, jika tarif cukai diturunkan penerimaan negara justru akan lebih besar. Namun, dia memahami tujuan dari tingginya tarif cukai rokok adalah untuk menekan konsumsi rokok nasional dan mengecilkan industrinya. 

    “Ternyata, kebijakan itu bukan hanya pendapatan saja di belakangnya. Ada kebijakan memang untuk mengecilkan konsumsi rokok. Sehingga otomatis industri-nya kecil dan tenaga kerja di sana juga kecil. Bagus, ada WHO di belakangnya,” ujar Purbaya

    Kendati demikian, Purbaya menilai desain kebijakan CHT selama ini belum dilakukan secara optimal. Dia menuturkan, regulasi tersebut tidak memperhitungkan jumlah tenaga kerja yang berpotensi terdampak pada sektor itu.

    Dampaknya, sejumlah perusahaan rokok nasional pun harus melakukan efisiensi. Ribuan pekerja terdampak pemutus hubungan kerja (PHK) dan serapan tembakau dari petani juga menurun.

    “Saya tanya, apakah kita sudah buat program untuk mitigasi tenaga kerja yang menjadi nganggur? Programnya apa dari pemerintah? dijawab tidak ada. Loh, kok enak?,” katanya.

    Purbaya melanjutkan, mitigasi risiko terhadap pekerja yang berpotensi terdampak harus dilakukan sebelum kebijakan untuk mengecilkan industri rokok dibuat. Dengan demikian, kebijakan yang nantinya dihasilkan akan lebih optimal.

    “Selama kita tidak bisa punya program yang bisa menyerap tenaga kerja yang menganggur, industri itu nggak boleh dibunuh, ini hanya akan menimbulkan orang susah saja,” katanya.

    Petani Tembakau Menunggu 

    Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji mengaku, para petani tembakau dan masyarakat yang selama ini berkecimpung sekaligus menggantungkan perekonomian di sektor pertembakauan, memiliki asa besar terhadap pemerintah pusat untuk segera melakukan perbaikan atas regulasi tingginya Tarif CHT yang dinilai memberatkan.

    “Pernyataan ini kami anggap sebagai secercah asa. Kami berharap Menkeu Purbaya bisa mengkaji ulang dan memperbaiki regulasi terkait tingginya Tarif Cukai Hasil Tembakau yang selama ini memberatkan sektor industri, sekaligus berdampak negatif pada situasis ekonomi kalangan petani tembakau,” kata Pamuji dalam siaran resminya.

    Dia menyebut, ketika pihak industri dihantam kebijakan cukai yang mahal, maka secara otomatis akan berdampak langsung terhadap penyerapan bahan bahan baku tembakau di tingkat petani, akibat merosotnya daya beli konsumen terhadap produk rokokdi pasaran.

    Bahkan, lanjutnya, melemahnya perputaran ekonomi di sektor pertembakauan seperti ini, telah dirasakan sejak kurun waktu lima tahun terakhir. Terlebih, bagi mereka yang berada di daerah yang menjadi sentra pertembakauan.

    “Yang kami rasakan, petani tidak untung, tetapi malah buntung. Sehingga, perlu adanya langkah strategis dari pemerintah pusat agar dapat merubah kebijakan yang kami anggap justru melemahkan perekonomian dari sektor pertembakaun,” bebernya.

    Selain membuat kebijakan untuk menurunkan tingginya Tarif Cukai Hasil Tembakau, para petani juga mendorong agar pemerintah pusat menciptakan sebuah kebijakan tertentu, agar rokok ilegal dapat diarahkan menjadi produk rokok yang legal.

    “Tujuannya adalah agar peredaran rokok illegal, tidak menggerus eksistensi rokok yang resmi alias legal. Dampaknya juga buruk bagi petani, karena pada kasuistik rokok illegal, tidak ada kejelasan terkait masalah harga bahan baku tembakaunya sendiri,” jelasnya.

    Industri Menyambut Baik

    Kalangan pengusaha menilai opsi penurunan tarif cukai rokok akan menjadi insentif bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) untuk bertahan dari lemahnya daya beli dan maraknya rokok ilegal.

    Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Henry Najoan mendukung gebrakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang ingin mengkaji opsi penurunan tarif cukai rokok dan pemberantasan rokok ilegal.

    “Penurunan tarif cukai akan memperkecil jarak harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga membuka celah pasar yang lebih luas bagi produk legal,” kata Henry dalam keterangan resmi, Rabu (17/9/2025).

    Menurutnya, langkah Purbaya relevan dengan kondisi terkini IHT legal nasional yang dalam beberapa waktu terakhir, menghadapi tekanan yang cukup berat. Wacana tersebut sudah ditunggu oleh pelaku usaha.

    Henry menuturkan Gappri juga telah berkirim surat ke Kemenkeu, agar diperkenankan beraudiensi. Harapannya, dari audiensi itu Menkeu mendapatkan kondisi obyektif situasi pasar secara riil dari pelaku usaha.

    Selama ini, lanjutnya, kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang mencapai 67,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) hingga 89,5% dalam lima tahun terakhir telah membuat harga rokok legal menjadi tak terjangkau. Selisih yang terlalu jauh antara rokok legal dengan ilegal, membuat rokok ilegal masih marak.

    Gappri juga menyampaikan terima kasih kepada jajaran Kementerian Keuangan, terutama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang terus menerus gencar memberantas rokok ilegal. Melalui Operasi Gurita, selain menjangkau seluruh rantai distribusi rokok ilegal dari hulu ke hilir.

    “Gappri berharap, Operasi Gurita juga menyasar sampai ke produsen rokok ilegal,” katanya.

    Tergantung Evaluasi 

    Sementara itu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu menyampaikan bahwa pihaknya belum memutuskan terkait tarif nasib cukai hasil tembakau atau cukai rokok pada 2026.

    Anggito menjelaskan naik atau tidaknya cukai rokok pada tahun depan akan tergantung kepada evaluasi kinerja sepanjang tahun ini.

    “Kita kan baru dapatkan angka targetnya ya. Nanti kita lihat evaluasi 2025 dan nanti 2026 seperti apa,” ujar Anggito di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (18/9/2025).

    Adapun, target cukai rokok mencapai Rp230,09 triliun pada 2025. Hingga Juli 2025, realisasi penerimaan cukai rokok sebesar Rp121,98 triliun atau setara dengan 53,01% target sepanjang tahun.

  • Pengusaha Rokok Dukung Penurunan Cukai Demi Jaga Pasar

    Pengusaha Rokok Dukung Penurunan Cukai Demi Jaga Pasar

    Jakarta

    Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyambut baik langkah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang tengah mengkaji opsi penurunan tarif cukai rokok dan memperkuat pemberantasan rokok ilegal. GAPPRI berharap wacana ini bisa segera direalisasikan demi menyelamatkan industri.

    Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, menilai penurunan tarif cukai dapat menjadi insentif bagi Industri Hasil Tembakau (IHT) yang kini tertekan oleh lemahnya daya beli dan maraknya peredaran rokok ilegal.

    “Penurunan tarif cukai akan memperkecil jarak harga antara rokok legal dan ilegal, sehingga membuka celah pasar yang lebih luas bagi produk legal,” ujar Henry dalam keterangan resmi, Rabu (17/9/2025).

    GAPPRI menilai usulan Menkeu sejalan dengan kebutuhan industri saat ini. Henry mengungkap, pihaknya sudah melayangkan surat permohonan audiensi ke Kementerian Keuangan agar pemerintah bisa mendengar langsung kondisi riil pasar dari pelaku usaha.

    Selama lima tahun terakhir, tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) naik hingga 67,5% dan Harga Jual Eceran (HJE) melonjak 89,5%. Kenaikan ini dinilai membuat harga rokok legal sulit dijangkau konsumen sehingga memperlebar celah pasar rokok ilegal.

    Selain mendukung wacana penurunan cukai, GAPPRI juga mengapresiasi langkah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang terus gencar memberantas rokok ilegal melalui Operasi Gurita.

    “GAPPRI berharap Operasi Gurita bisa menyasar sampai ke produsen rokok ilegal, agar pasar rokok legal bisa pulih,” pungkas Henry.

    (rrd/rrd)

  • Industri Tembakau Tertekan, Pengusaha Minta Cukai Rokok Tak Naik

    Industri Tembakau Tertekan, Pengusaha Minta Cukai Rokok Tak Naik

    Jakarta

    Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) pada periode 2026-2029. Hal ini akan membuat industri hasil tembakau (IHT) Indonesia semakin terpuruk.

    Diketahui, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) tengah menyusun peta jalan (roadmap) kebijakan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok untuk periode 2026-2029.

    Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan mengatakan kondisi IHT di Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dikarenakan maraknya rokok ilegal yang beredar di masyarakat imbas adanya kenaikan cukai 2023-2024 lalu.

    “Industri hasil tembakau legal saat ini situasinya tidak sedang baik-baik saja. Maka itu, GAPPRI mendorong pemerintah tidak menaikkan tarif cukai dan HJE tahun 2026 – 2028 agar IHT bisa pulih terutama dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal dan produsennya,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (28/4/2025).

    Henry menyampaikan, kebijakan kenaikan cukai multi years periode 2023-2024 yang rata-rata kenaikannya 10% terlalu tinggi. Ia bilang kenaikan ini mengakibatkan rokok terutama golongan I mengalami trade fall. Di sisi lain, situasi itu dimanfaatkan oleh produsen rokok murah yang tak jelas prosesnya untuk melebarkan pasar.

    “Kebijakan 2023-2024 di atas nilai keekonomian, sehingga target penerimaan selalu tidak tercapai,” katanya.

    GAPPRI juga meminta agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) terkait industri hasil tembakau (IHT) dilibatkan dalam penyusunan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai hasil tembakau (CHT) dan harga jual eceran (HJE) periode 2026-2029. Hal ini guna memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja lHT, pertanian tembakau dan cengkeh.

    Henry mengatakan, selama ini kepastian usaha di IHT kerap kali mendapatkan hambatan. Misalnya kebijakan waktu pengumuman Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang kenaikan cukai hasil tembakau (CHT), kerapkali pada akhir tahun sehingga menyulitkan dalam proses perencanaan bisnis.

    “GAPPRI berharap, penyusunan roadmap kebijakan cukai 2026-2029 dilakukan secara komprehensif, transparan, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap industri dan perekonomian nasional,” katanya.

    Selain itu, GAPPRI mewanti-wanti agar pemerintah tidak melakukan penyederhanaan tarif (simplifikasi), mengingat dampaknya yang justru lebih besar dibanding manfaatnya.

    “Simplifikasi tarif justru akan membuat harga produk tembakau naik tinggi, yang membuat sulit bersaing dengan rokok yang tak jelas proses dan produsennya,” tegas Henry Najoan.

    (rrd/rrd)

  • Pembatasan Penjualan Produk Tembakau Dinilai Bikin Bingung Dunia Usaha – Halaman all

    Pembatasan Penjualan Produk Tembakau Dinilai Bikin Bingung Dunia Usaha – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah telah mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 (UU 17/2023) tentang Kesehatan sejak pertengahan tahun lalu. 

    Namun, beberapa pasal dalam peraturan tersebut menimbulkan kebingungan dan ketidakjelasan, terutama terkait larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Solihin, menyatakan dukungannya terhadap kampanye pemerintah mengenai bahaya rokok bagi orang di bawah 21 tahun.

    Meskipun ritel telah menerapkan aturan dengan tidak menjual rokok kepada orang di bawah 21 tahun, kebijakan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak dianggap membingungkan dunia usaha.

    ”Tanda tanya besar bagi kami, sebagai Ketua Umum APRINDO maupun APINDO DKI, kami menyayangkan adanya PP tersebut tanpa melibatkan stakeholder, terutama APRINDO,” kata Solihin, pekan lalu.

    Aturan ini membuat dunia usaha kebingungan dan menimbulkan tebang pilih dalam pelaksanaannya.

    Beberapa ritel modern telah didatangi oleh petugas berseragam yang dikhawatirkan hanya mencari kesalahan yang diada-adakan.

    Selain itu, belum ada edukasi yang jelas dari Kementerian terkait dalam pelaksanaannya di lapangan. Merespon ketidakjelasan tersebut, APRINDO berencana mengajukan judicial review terhadap pasal tersebut.

    ”Sampai saat ini belum ada dialog mengenai hal itu, tiba-tiba (aturannya) sudah keluar. Salah satu langkah kami adalah judicial review, tapi kita lihat dulu apakah ada penyesuaian dalam peraturan pelaksananya yang berasal dari masukan pengusaha, terutama ritel,” tambah Solihin.

    Di lain kesempatan, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah, menyebut pelaku usaha telah menjalankan aturan pengetatan penjualan rokok bagi anak di bawah umur 21 tahun, seperti peletakkan rokok di belakang kasir.

     Namun, larangan penjualan dalam radius 200 meter justru dikhawatirkan akan menyuburkan rokok ilegal.

    ”Jika rokok legal tidak ada dalam radius 200 meter dari sekolah, rokok ilegal bisa dijual dengan cara-cara ilegal, jualan diam-diam, akan ada orang yang tidak bayar pajak. Ini siapa yang bisa mengontrol?” kata Budihardjo.

    Kebijakan ini bisa menimbulkan masalah baru, seperti penurunan omzet hingga penerimaan cukai. Pada 2024, penerimaan cukai mencapai Rp226,4 triliun. Penjualan rokok juga menjadi salah satu sumber utama pendapatan pelaku usaha. ”Ini bisa menghilangkan penjualan puluhan triliun, itu bukan main-main, sama ekonomi macet juga setorannya,” tambah Budihardjo.

    Senada, Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (AKRINDO), Anang Zunaedi, memperkirakan kebijakan ini akan membuat omzet ritel dan koperasi menurun drastis, terutama di UMKM seperti warung kelontong. 

    “Kalau untuk pelaku UMKM, khususnya ritel, baik itu koperasi dan UMKM, (penjualan) rokok itu bisa punya kontribusi 20-40 persen pada penjualan. Bahkan kalau di kelompok pedagang yang ultra mikro di ritel, rokok itu bisa jadi protectors moving, menjadi stok utama, kontribusinya bahkan bisa lebih dari 40%. Jadi kalau diterapkan bisa turun sampai 50?ri keseluruhan omzet,” seru Anang.

    Oleh karena itu, penerapan kebijakan jangan sampai membuat UMKM terhimpit bahkan mati, apalagi penerapannya sulit dan sosialisasi dari Kementerian terkait belum jelas. 

    ”Kalau (aturan) itu memang diterapkan, tentunya akan berat ya, seperti koperasi-koperasi itu ada juga yang dekat dengan sarana pendidikan, termasuk ada yang di dalam lingkup pendidikan. Misalnya, seperti koperasi pondok pesantren, itu ada di dalam lingkungan pendidikan pondok pesantren. Kemudian, koperasi pasar, toko-toko yang sudah lama dan lebih dahulu ada sebelum adanya sarana pendidikan itu, kan juga menjadi tidak memungkinkan untuk terapkan.” kata Anang.

    Karena belum jelasnya edukasi dari regulasi ini, dunia usaha meminta agar larangan dan pembatasan penjualan rokok tersebut dikaji ulang. Ada kekhawatiran jika diterapkan tanpa persiapan matang justru membuat kegaduhan dan konflik di masyarakat.

    “Di ranah paling bawah bisa timbul paksaan dan intimidasi, misalnya pedagang tidak boleh jualan, barangnya dirampas atau disegel. Apa tidak terjadi konflik dengan masyarakat? Bisa ada gesekan, apakah Kepolisian atau Satpol PP yang bertindak? Ini akan menambah permasalahan yang lebih berat,” sebut Anang.

    Senada dengan dunia usaha ritel, kalangan pabrikan rokok juga mengaku belum mendapat sosialisasi yang jelas dari aturan ini.

    Kekhawatiran utama jika kebijakan diterapkan di lapangan adalah pengurangan ratusan ribu bahkan jutaan tenaga kerja. 

    Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wachjudi, juga khawatir target pertumbuhan ekonomi dari Presiden Prabowo Subianto tidak berhasil.

    “Aturan perlu mempertimbangkan ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat, termasuk petani, buruh dan sebagainya. Kemudian jangan lupa dengan kontribusi Cukai Hasil Tembakau sekitar lebih dari Rp200 triliun per tahun,” kata Benny.

    Benny menambahkan bahwa Indonesia memiliki perbedaan dengan negara-negara lain karena memiliki kebun, industri, dan pemerintah yang masih memerlukan industri tembakau. 

    “Rp200 triliun bukan nilai yang sedikit. Jika industri tembakau dihilangkan begitu saja, ekonomi juga akan turun. Kita mau mengejar pertumbuhan 8%, bagaimana mungkin kita mencapai target tersebut? Khawatirnya, dengan aturan-aturan seperti ini, 50?ri target pertumbuhan ekonomi juga tidak akan tercapai jika industri tembakau dihilangkan pada saat ini,” jelasnya.

    Tertekannya industri tembakau sudah mulai terasa, target pertumbuhan ekonomi 8% dikhawatirkan tidak tercapai.

    Padahal Presiden Prabowo telah menggaungkan perlunya deregulasi agar target pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Regulasi larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.

    “Ketentuannya dihilangkan akan lebih pasti. Masalah sekarang ini tidak ada kepastian hukum. Hukumnya ada tapi tidak bisa diterapkan. Judicial review adalah langkah tepat. Gaprindo mendukung rencana judicial review karena dampak langsung terasa kepada pedagang. Jika pedagang terganggu, industri juga akan terganggu,” ujar Benny.

    Sementara itu, Ketua Umum GAPPRI, Henry Najoan, mengkritik PP 28/2024 yang mengadopsi kebijakan asing tanpa mempertimbangkan konteks lokal di Indonesia. Menurutnya, kebijakan ini dapat menghilangkan sejarah budaya lokal kretek di Indonesia.

    “Dengan mengadopsi peraturan-peraturan global, sejarah keberadaan budaya lokal kretek terancam hilang dari negara kita,” ujar Henry beberapa waktu lalu.

    Kajian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menunjukkan bahwa industri tembakau tengah tertekan dengan beberapa skenario yang digodok oleh Kementerian terkait, seperti larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, hingga larangan pemajangan iklan rokok pada media luar ruang dalam radius 500 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.

    Ada juga wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek. Jika ketiga skenario ini dijalankan, potensi dampaknya adalah 2,3 juta orang kehilangan pekerjaan, atau sekitar 1,6?ri total penduduk yang bekerja.

    Khusus untuk larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter, dampaknya akan dirasakan oleh 33,08?ri total ritel, atau sekitar 734.799 pekerja. Selain itu, pendapatan pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga akan berkurang.

    “Ritel-ritel di daerah ini kan bayar pajak dan retribusi. Ritel kecil dapat meraih keuntungan dari hasil penjualan rokok sebesar 30?ri keseluruhan keuntungan yang didapatkan oleh ritel tersebut. Jadi, jika kinerja ritel menurun, pajak dan retribusi yang diberikan kepada daerah juga pasti akan berkurang. Ini tentu akan menurunkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari daerah tersebut,” sebut Kepala Center of Industry, Trade and Investment, INDEF, Andry Satrio Nugroho.

    Berkurangnya pendapatan tidak hanya berdampak pada penurunan produksi, tetapi juga potensi meningkatnya peredaran rokok ilegal. Pemerintah harus memikirkan cara agar rokok ilegal yang tidak memberikan pendapatan cukai bagi negara bisa lebih ditekan.

    “Tentu rokok ilegal pasti akan semakin berkembang. Selain larangan penjualan di ritel, larangan beriklan juga pasti akan menurunkan PAD. Pemerintah daerah harus bersiap menghadapi konsekuensi ini jika regulasi tersebut disahkan atau berlaku,” pungkas Andry.

  • GAPPRI: PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi

    GAPPRI: PP 28/2024 sarat agenda FCTC ancam kedaulatan ekonomi

    berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja

    Jakarta (ANTARA) – Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Henry Najoan menilai polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463 berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia.

    Menurut dia, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan agar tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geo politik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini.

    Dikatakannya, PP 28/2024 dinilai cacat hukum sebab proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).

    “Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja,” katanya di Jakarta, Senin.

    Henry menilai pemaksaan penerapan PP 28/2024 lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), padahal banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya mereka memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

    Kajian GAPPRI menyatakan PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak.

    “Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp41,8 triliun,” ujarnya dalam keterangannya.

    Selain itu, tambahnya, kemasan rokok polos atau tanpa cukai berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok ilegal 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09%,” terang Henry Najoan.

    GAPPRI berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial.

    Pasalnya, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

    “Berbagai tekanan regulasi terhadap IHT legal dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain,” tegas Henry Najoan.

    GAPPRI mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang.

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” katanya.

    Pewarta: Subagyo
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • PP 28/2024 Dapat Sorotan, Aturan soal Pengamanan Zat Adiktif Dinilai Bisa Ancam Kedaulatan Ekonomi – Halaman all

    PP 28/2024 Dapat Sorotan, Aturan soal Pengamanan Zat Adiktif Dinilai Bisa Ancam Kedaulatan Ekonomi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan berpandangan, polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) khususnya pada Bagian XXI Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 – 463 berpotensi mengancam kedaulatan ekonomi Indonesia. 

    Menurut Henry, Kementerian Kesehatan sebaiknya tidak memaksakan diimplementasikannya PP 28/2024 di saat situasi geo politik dan geo ekonomi global berdampak pada situasi di tanah air saat ini.

    Henry juga mengingatkan bahwa PP 28/2024 cacat hukum. Pasalnya, proses penyusunannya tidak transparan dan minim pelibatan pelaku industri hasil tembakau (IHT).

    “Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan dalam produk hukum yang dihasilkan dan berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi industri dan perekonomian nasional yang tidak sedang baik-baik saja,” kata Henry kepada wartawan, Senin (17/2/2025).

    Pihaknya menduga, pemaksaan diimplementasikannya PP 28/2024 oleh Kemenkes lebih mewakili agenda Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ketimbang melindungi kepentingan masyarakat yang terdampak. 

    Padahal, banyak pihak yang langsung terkena dampak dari regulasi ini, sehingga seharusnya memiliki hak untuk didengar dan dilibatkan dalam proses pembahasan.

    Karena itu, Henry mengingatkan agar Presiden Prabowo Subianto yang berkomitmen meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk menyerap jutaan tenaga kerja jangan sampai terganggu oleh agenda FCTC yang menginfiltrasi melalui produk hukum, salah satunya PP 28/2024. 

    Kajian GAPPRI, dikatakan Henry, bahwa PP 28/2024 memiliki dampak ekonomi yang sangat besar, yakni mencapai Rp 182,2 triliun, dengan 1,22 juta pekerja di seluruh sektor terkait terdampak. 

    “Larangan penjualan dalam radius 200 meter dari sekolah, potensi kerugian mencapai Rp 84 triliun. Pembatasan iklan berdampak ekonomi yang hilang mencapai Rp 41,8 triliun,” ujar Henry . 

    Dia menegaskan, apabila ketiga aturan tersebut (kemasan polos, larangan penjualan, dan pembatasan iklan) diberlakukan, potensi pajak yang hilang diperkirakan mencapai Rp 160,6 triliun. 

    “Selain itu, kemasan rokok polos berpotensi mendorong downtrading (peralihan konsumen ke produk rokok yang lebih murah) dan peralihan ke rokok ilegal 2-3 kali lebih cepat dari sebelumnya. Permintaan produk legal juga diprediksi turun sebesar 42,09 persen,” terang Henry.

    Maka itu, dia berharap pemerintah dapat mempertimbangkan masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, agar tercipta kebijakan yang tidak hanya melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga tidak mengorbankan kepentingan ekonomi dan sosial. 

    Pasalnya, IHT merupakan sektor strategis nasional yang mempekerjakan sekitar 5,8 juta orang, mulai dari petani tembakau, pekerja pabrik, hingga distributor. Namun, sektor ini telah mengalami tekanan berat sejak diterbitkannya UU 17/2023 tentang Kesehatan, serta aturan turunannya.

    “Berbagai tekanan regulasi terhadap IHT legal dirasa memberatkan bagi multi-sektor yang terkait. Maka itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil kebijakan, mengingat kondisi sosio-ekonomi Indonesia yang berbeda dari negara lain,” kata Henry.

    Pihaknya juga mendorong pemerintah untuk membuka ruang dialog yang inklusif dan transparan guna menciptakan regulasi yang adil dan berimbang. 

    “Hal ini diperlukan untuk memastikan keberlanjutan industri, melindungi jutaan pekerja, dan menjaga stabilitas perekonomian nasional sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo,” pungkas Henry.