Tag: Henri Subiakto

  • Cuitan Fufufafa yang Menyebut Prabowo Jago Pidato di Kandang Diungkit, Henri Subiakto: Kok Benar

    Cuitan Fufufafa yang Menyebut Prabowo Jago Pidato di Kandang Diungkit, Henri Subiakto: Kok Benar

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Cuitan Fufufafa yang diduga menyindir Prabowo Subianto saat berpidato kembali diungkit publik. 

    “Jago pidato di kandangnya sendiri, di hadapan pendukungnya sendiri. Macan Asia mengeong,” tulis Fufufafa yang diunggah 11 Juni 2014 silam. 

    Pakar Ilmu Komunikasi Politik, Henri Subiakto bahkan ikut mengomentari postingan itu. 

    “Kenapa ucapan fufufafa benar, karena kata- katanya saat ditutup identitas rahasia justru jujur mencerminkan pandangan asli dirinya dan keluarga fufufafa saat melihat pak Prabowo,” tutur Henri Subiakto dalam akun X, pribadinya, Kamis, (20/2/2025).

    “Hanya kepentingan politik yang membuat pak Prabowo harus melupakan semua kata-kata yang menyakitkan,” lanjutnya. 

    Sebelumnya, pidato Presiden Prabowo di HUT Gerindra banyak disoroti publik. Mulai dari pencapresannya kembali untuk 2029, pernyataan ‘ndasmu’ hingga ungkapan kedekatannya ke Joko Widodo. 

    Puncak perayaan HUT ke-17 Gerindra di SICC, Bogor, Jawa Barat, 15 Februari 2025. 

    “Ada orang pintar, kabinet ini kabinet gemuk, terlalu besar, ndasmu,” tutur Prabowo dengan mimik bibir sedikit maju. (*) 

  • Cuitan Fufufafa yang Menyebut Prabowo Jago Pidato di Kandang Diungkit, Henri Subiakto: Kok Benar

    Prabowo Bilang Ndasmu Tanggapi Kritik Kabinet Gemuk, Henri Subiakto: Rakyat Makin Terbelah

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pakar Komunikasi Politik Universitas Airlangga, Henri Subiakto menilai Presiden Prabowo merendahkan kritik publik. Terkait dengan tanggapannya soal kritik kabinet gemuk.

    “Prabowo dalam penampilan pidatonya belakangan ini tak hanya meremehkan kritik netizen dan masyarakat, tapi juga meremehkan pendapat para akademisi, dan para profesor yang dia sebutkan,” kaya Henri dikutip dari unggahannya di X, Senin (17/2/2015).

    Hal itu, disebut Henri sebagai fallacy of relevance. Menyerang kembali pengkritiknya dengan cara tertentu.

    “Prabowo melakukan fallacy of relevance, menyerang pendapat atau pemikiran yang tidak relevan dengan argumen asli dari para pengritiknya,” ucap Henri.

    Padahal menurut Henri, Kabinet gemuk Prabowo berhubungan dengan efisiensi anggaran. Hal yang didengungkan pemerintah belakangan ini.

    “Maka perbandingan yg relevan adalah dengan Kabinet Kabinet Pemerintah Indonesia sebelumnya. Misal dibandingkan dengan struktur Kabinetnya Presiden Jokowi, SBY hingga Soeharto atau Sukarno,” terangnya.

    Sementara Prabowo, malah membandingkan negara maju. Seperti di Uni Eropa.

    “Bukan malah dibandingkan dengan Uni Eropa yg merupakan kumpulan negara negara maju di Eropa,” imbuhnya.

    Secara luas, memang27 negara Uni Eropa itu seluas Indonesia. Tapi konteksnya berbeda.

    “Walau luas negara kita memang sebanding dengan Uni Eropa tapi kita itu satu negara, sedang UE terdiri 27 negara, dengan kekuatan ekonomi, sejarah dan kondisi rakyatnya sangat kontras dan tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia dan provinsi2nya,” jelasnya.

  • Masuk Nominasi Terkorup Dunia, Dedy PSI Sanjung Jokowi: Tokoh yang Tidak Pernah Selesai Dibicarakan

    Masuk Nominasi Terkorup Dunia, Dedy PSI Sanjung Jokowi: Tokoh yang Tidak Pernah Selesai Dibicarakan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Biro Ideologi dan Kaderisasi DPW PSI Bali, Dedy Nur, turut memberikan tanggapan terkait ramainya pembicaraan mengenai Presiden ke-7 RI, Jokowi, belakangan ini.

    Dikatakan Dedy, sosok Jokowi merupakan tokoh bangsa yang selalu menarik perhatian, baik di tingkat nasional maupun internasional.

    “Tokoh bangsa satu ini memang tidak pernah selesai untuk dibicarakan, baik oleh mereka yang nongkrong di dalam negeri maupun media-media luar negeri,” ujar Dedy dalam keterangannya di aplikasi X @DedynurPalakka (2/1/2025).

    Ia menilai, kepemimpinan Jokowi selama satu dekade telah memberikan dampak besar, termasuk pada sejumlah pihak yang merasa terusik oleh kebijakan yang diambilnya.

    “Ketergantungan pada sosok ini memang agak berat, karena 10 tahun menjadi Presiden Indonesia ternyata bikin banyak kepentingan terutama asing sangat resah dan terganggu,” sebutnya.

    Dedy menyebut, ketergantungan terhadap sosok Jokowi cukup tinggi, terutama setelah 10 tahun memimpin Indonesia.

    “Dulu saat dia berkuasa, tidak ada satupun lembaga seperti OCCRP yang berani bersuara,” imbuhnya.

    Menurutnya, kepemimpinan Jokowi membuat banyak kepentingan, termasuk pihak asing, merasa terganggu.

    Ia juga menyinggung keberanian lembaga-lembaga tertentu seperti OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) yang baru muncul memberikan kritik setelah Jokowi tak lagi menjabat sebagai Presiden.

    “Tapi setelah beliau purna tugas baru lembaga sejenis ini muncul ke permukaan. Ada apa?,” kuncinya.

    Sebelumnya, Guru Besar Universitas Airlangga sekaligus pengamat politik, Prof. Henri Subiakto, menyoroti isu yang mengemuka setelah Presiden ke-7, Jokowi, masuk dalam daftar pejabat terkorup versi OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project).

  • Saksikan Malam Ini, Rakyat Bersuara Gejolak 2024 & Ramalan di Depan Mata 2025 Bersama Aiman Witjaksono, Adian Napitupulu, Roy Suryo, dan Narasumber Kredibel Lainnya di iNews

    Saksikan Malam Ini, Rakyat Bersuara Gejolak 2024 & Ramalan di Depan Mata 2025 Bersama Aiman Witjaksono, Adian Napitupulu, Roy Suryo, dan Narasumber Kredibel Lainnya di iNews

    loading…

    Saksikan Malam Ini, Rakyat Bersuara Gejolak 2024 & Ramalan di Depan Mata 2025 Bersama Aiman Witjaksono, Adian Napitupulu, Roy Suryo, dan Narasumber Kredibel Lainnya di iNews

    JAKARTA – Tahun 2024 telah menjadi panggung penuh dinamika, di mana berbagai peristiwa besar di bidang politik, ekonomi, dan sosial membentuk wajah dunia yang baru. Namun, perjalanan belum selesai. Tahun 2025 sudah di depan mata, membawa berbagai prediksi, tantangan, dan harapan untuk masa depan. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

    Dalam episode terbaru Rakyat Bersuara malam ini bersama Aiman Witjaksono , Henri Subiakto, Adian Napitupulu, Roy Suryo, dan para narasumber kredibel lainnya akan membahas secara mendalam tema hangat “Gejolak 2024 & Ramalan di Depan Mata 2025”.

    2024 menandai transisi besar dalam lanskap politik Indonesia. Pemilu Serentak telah melahirkan pemimpin baru. Berlanjut dari sektor ekonomi, berbagai kebijakan ekonomi seperti peluncuran IKN di Kalimantan Timur menjadi sorotan. Dunia kriminalitas juga mencatat berbagai peristiwa besar sepanjang 2024. Salah satu kasus yang paling menyita perhatian adalah misteri pembunuhan Vina Cirebon yang terus bergulir hingga kini.

    Tak hanya itu, tahun ini juga menyuguhkan banyak peristiwa penting yang memengaruhi tatanan global dan nasional. Dari ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia, perubahan iklim yang semakin nyata, hingga transformasi teknologi yang kian mendominasi kehidupan kita. Semua hal ini menjadi dasar untuk memprediksi arah yang akan dituju dunia di tahun 2025. Lantas, bagaimana tahun 2025 akan berjalan? Apakah akan menjadi tahun penuh harapan atau justru tantangan baru yang lebih besar?

    Saksikan selengkapnya dalam Rakyat Bersuara malam ini “Gejolak 2024 & Ramalan di Depan Mata 2025” bersama, Henri Subiakto-Guru Besar Komunikasi Unair, Hendri Satrio-Pengamat Politik, Adian Napitupulu-Politisi PDI Perjuangan, Astrio Felligent-Jubir Gerindra, Irma Hutabarat-Politisi PSI, Roy Suryo-Pakar IT, dan San Salvator- Waketum Jokowi Mania, Pukul 19.35 WIB, hanya di iNews.

    (zik)

  • PDIP Versus Jokowi, Prof Henri Subiakto: Kebusukan Siapa yang akan Terbongkar?

    PDIP Versus Jokowi, Prof Henri Subiakto: Kebusukan Siapa yang akan Terbongkar?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sejak Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP bicara ke publik lewat rekaman video usai ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Prof. Henri Subiakto, Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga menduga ada kemungkinan PDIP akan membongkar kasus kasus korupsi yang mereka ketahui, bahkan termasuk hal hal yang selama ini dirahasiakan terkait dinasti politik Jokowi dan latar belakang mereka.

    “Sejak mantan ketua KPK Agus Raharjo membuka pengalaman pribadinya diintervensi Jokowi di saat menangani kasus E KTP, hingga kemudian pengakuan Agus tidak pernah jadi laporan adanya fitnah atau pencemaran nama baik, bahkan tidak ada bantahan resmi dari pihak Jokowi, maka kesan Jokowi hobi cawe-cawe tehadap hukum jadi sangat kuat melekat,” tulis Henri di akun X pribadinya, dikutip pada Sabtu (28/12/2024).

    Belakangan, lanjut dia, Hasto Sekjen PDIP juga bicara ke publik, bahwa dulu sempat ada kriminalisasi terhadap Anies Baswedan adalah perintah Jokowi.

    “Nampaknya amunisi menyerang Jokowi sudah mulai ditembakkan. Tak hanya itu, PDIP kemudian bahkan memecat mantan presiden ke 7 tersebut dari keanggotaan partai,” sambungnya.

    Tentu, menurut Henri, apa yang dilakukan PDIP itu dimaknai sangat menyakitkan Jokowi. Kemudian balasannya sekarang Hasto ditersangkakan KPK.

    Kasus Harun Masiku yang sejak tahun 2019 buron karena terlibat menyuap komisioner KPU, diangkat kembali hingga menyeret Sekjen PDIP sebagai tersangka pelaku obstraction of justice, menghalang halangi penegakkan hukum.

    “Inilah kasus hukum yang sangat kental dengan nuansa politik. Pada saat PDIP masih jadi bagian dari lingkar kekuasaan, kasus Harun Masiku seperti gelap tak berkembang. Tapi kemudian saat PDIP berseteru dengan Jokowi, kasus Harun Masiku dibuka kembali dan Hasto langsung jadi tersangka KPK. Maka ramailah di publik, dianggap hukum telah dijadikan sebagai alat politik. Penegakkan hukum diwarnai oleh kepentingan politik penguasa,” ungkapnya.

  • Cuitan Fufufafa yang Menyebut Prabowo Jago Pidato di Kandang Diungkit, Henri Subiakto: Kok Benar

    Minta Pemenang Pilkada Tak Bangga, Henri Subiakto: Kejadian di Lapangan Banyak Kecurangan dan Pelanggaran

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pakar Komunikasi Universitas Airlangga (Unair), Henri Subiakto meminta para pemennang Pilkada tak berbangga. Mengingat banyaknya kecurangan.

    “Tidak usah bangga dengan kemenangan. Toh kejadian-kejadian di lapangan begitu banyak kecurangan dan pelanggaran,” kata Henri dikutip dari unggahannya di X, Senin (2/12/2024).

    Ia memberi contoh, salah satu kecurangan yang diungkap di Komisi 2 DPR RI. Saat para kepala desa du Jawa Tengah mendeklrasikan Ahmad Lutfi.

    “Di forum terhormat DPR RI Komisi 2 saja ada bukti kecurangan yang sampai diputar untuk disaksikan, apalagi di daerah-daerah yang pengawasannya lemah,” ucapnya.

    Ia menulai, politik di Indonesia seperti menormalisasi kecurangan. Bahkan sudah menjadi kebiasaan.

    “Dalam berpolitik di negeri ini, pelanggaran dan kecurangan seolah sudah menjadi kebiasaan atau bahkan keharusan bagi mereka yang ingin kemenangan dengan dukungan kekuatan pusat pemerintahan,” ujarnya.

    “Pelanggaran dan kecurangan yang melibatkan aparat itu malah sepertinya banyak dibiarkan, menjadi tradisi yang ujung ujungnya sekedar jadi catatan. Kalau ada yang protes, mereka hanya dipandang sebagai kelompok yang tidak bisa menerima kekalahan,” tambahnya.

    Kecenderungannya, pelanggaran itu gampang dilupakan. Mereka yang curang tetap dilantik.

    “Lama-lama juga akan dilupakan. Pelaku kecurangan tetap dimenangkan dan dilantik sebagai para pejabat negara yang telah memenangkan pemilihan,” bebernya.

    Hal tersebut dinilainya berdampak pada kualitas pemimpin.

    “Hasilnya yang menjadi pemimpin negeri ini adalah orang orang yang seolah negarawan padahal aslinya tak lebih dari mereka yang tidak punya malu dan tidak merasa bersalah sebagai pihak yang melakukan kecurangan dan pelanggaran,” jelasnya.

  • Kotak Kosong Lawan Paslon di Pilkada, Minoritas yang Termarginalkan

    Kotak Kosong Lawan Paslon di Pilkada, Minoritas yang Termarginalkan

    Catur juga melihat kotak kosong ibarat kaum minoritas yang termarginalkan. Karena intimidasi dan tidak adanya dukungan finansial, para pendukung kotak kosong akhirnya memilih beraktivitas di media sosial (medsos).

    Media sosial pun akhirnya menjadi semacam “area perang” bagi pendukung maupun yang berlawanan dengan kehadiran kotak kosong.

    Dosen Universitas Brawijaya itu mengungkapkan, pasangan calon memang masih mempertimbangkan kampanye lewat media mainstream.

    ”Secara umum, media arus utama sangat struggling, terutama dalam hal perebutan iklan,” imbuhnya.

    Anang menjelaskan, biaya ”belanja” tertinggi masih dikucurkan untuk TV, disusul medsos. ”Pertimbangannya, gen Z dan milenial sekarang jarang mengakses TV. Akhirnya, user-generated content terkait calon akhirnya masif,” ujar guru besar FISIP Universitas Brawijaya itu.

    Fenomena menjadikan medsos sebagai ”senjata” juga dipaparkan Guru Besar FISIP Universitas Airlangga Henri Subiakto.

    Menurut Henri, internet adalah ajang perang komunikasi. Kelebihannya, para calon bisa bebas menciptakan framing maupun citra lewat beragam kemasan konten. Kelemahannya, medsos akhirnya digunakan sebagai alat disinformasi lewat buzzer dan cyber army.

    Sementara itu, Kacung Marijan menilai, kotak kosong salah satunya muncul karena budaya pengelompokan kekuatan menjadi suatu kekuatan terpusat sehingga kompetisi berkurang.

    ”Hal ini juga didorong personalisasi dan sosok kuat calon tunggal yang akhirnya memunculkan pemikiran ’siapa yang lawan ya akan kalah’,” ujarnya.

  • Cuitan Fufufafa yang Menyebut Prabowo Jago Pidato di Kandang Diungkit, Henri Subiakto: Kok Benar

    3 Hakim PN Surabaya Resmi Tersangka, Prof. Henri: Keadilan Kini Penuh Muslihat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Guru Besar Universitas Airlangga dan pengamat politik, Prof. Henri Subiakto, turut angkat bicara mengenai ditetapkannya tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap.

    Dikatakan Prof. Henri, kasus tersebut menggambarkan potret miris tentang hilangnya integritas dalam lembaga peradilan.

    “Ketika pengadilan sudah bisa dibeli oleh mereka yang kaya, maka keputusan hukum adalah hasil proses semu yang penuh muslihat dan ketidakjujuran,” ujar Prof. Henri dalam keterangannya di aplikasi X @henrysubiakto (29/10/2024).

    Ia menilai bahwa keputusan hukum, yang seharusnya mencerminkan keadilan, justru menjadi transaksi yang busuk namun tersamarkan dalam bentuk fakta keadilan yang tampak sakral.

    “Legitimasi hukum bisa berupa hasil transaksi yang busuk tapi seolah sakral karena menjadi fakta keadilan,” cetusnya.

    Lebih lanjut, Prof. Henri menyebutkan bahwa kasus-kasus semacam ini hanya membuat putusan hukum semakin menjauh dari kebenaran yang hakiki.

    “Itulah potret kebenaran hukum yg banyak terjadi hingga putusan hukum makin jauh dari kebenaran yang hakiki,” Prof. Henri menuturkan.

    Prof. Henri mengungkapkan kekhawatiran dirinya atas rusaknya citra lembaga peradilan di mata masyarakat.

    “Maka bersabarlah saudaraku saat melihat kepalsuan yang seolah sudah menjadi kebenaran yang harus diterima oleh kita semua,” imbuhnya.

    Prof. Henri bilang, publik mesti bersabar dalam menghadapi situasi yang penuh ironi ini, seraya berupaya memperbaiki moralitas dan kejujuran di sekitar dengan cara-cara rasional.