Tag: Hendri Satrio

  • Kongres III Projo Tanpa Jokowi, End of Era The ‘Jokowisme’?

    Kongres III Projo Tanpa Jokowi, End of Era The ‘Jokowisme’?

    GELORA.CO – Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menilai bahwa absennya Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Kongres III Projo menjadi momen penting bagi relawan pendukungnya.

    Hendri menegaskan, wajar jika para anggota Projo merasa kecewa lantaran sosok yang mereka dukung sejak awal justru tidak hadir dalam agenda besar tersebut.

    “Pasti Projo kecewa ya, Pak Jokowi enggak datang. Itu harus dimengerti, karena ‘kan Projo itu ‘kan Projokowi, masa Jokowinya enggak datang,” katanya saat dikonfirmasi, Minggu 2 November 2025.

    Ia menilai ketidakhadiran Jokowi bisa menjadi sinyal perubahan arah bagi organisasi relawan yang dikenal loyal terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

    “Mungkin ini era yang baru buat Projo ya. Ada saatnya kita memulai, ada saatnya kita mengakhiri,” ujarnya.

    Meski demikian, ia menampik bahwa absennya Jokowi otomatis menandakan keretakan hubungan antara Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi dan Jokowi. 

    Menurutnya, isu mengenai dinamika hubungan keduanya sudah pernah mencuat sebelumnya, namun sempat mereda ketika Budi Arie mendapat posisi penting di pemerintahan.

    “Tapi bukan kali pertama Budi Arie begini gitu, waktu itu kan juga sempat bilang mau membubarkan diri gitu. Terus, dapet jabatan Wakil Menteri Desa, enggak jadi bubar deh,” ujarnya menambahkan.

    Sementara itu, ajudan Jokowi, Kompol Syarif, mengonfirmasi bahwa Jokowi absen bukan karena alasan politik, melainkan pertimbangan kesehatan. 

    Ia menjelaskan, dokter kepresidenan menyarankan Jokowi untuk beristirahat dan tidak melakukan aktivitas di luar ruangan.

    “Karena pertimbangan tim dokter yang menganjurkan Bapak (Jokowi) untuk beristirahat dan tidak beraktivitas di luar ruangan, beliau belum dapat menghadiri Kongres III Projo,” ujar Syarif saat dikonfirmasi.

    Meski tak hadir secara langsung, Jokowi tetap menyapa para relawan melalui tayangan video yang ditampilkan dalam acara tersebut.

    Kehadiran virtual itu menjadi bentuk apresiasi dan komunikasi simbolik terhadap para pendukungnya di tengah kondisi kesehatannya yang perlu dijaga.

  • Kongres III Projo Tanpa Jokowi, End of Era The ‘Jokowisme’?

    Kongres III Projo Tanpa Jokowi, End of Era The ‘Jokowisme’?

    GELORA.CO – Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menilai bahwa absennya Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di Kongres III Projo menjadi momen penting bagi relawan pendukungnya.

    Hendri menegaskan, wajar jika para anggota Projo merasa kecewa lantaran sosok yang mereka dukung sejak awal justru tidak hadir dalam agenda besar tersebut.

    “Pasti Projo kecewa ya, Pak Jokowi enggak datang. Itu harus dimengerti, karena ‘kan Projo itu ‘kan Projokowi, masa Jokowinya enggak datang,” katanya saat dikonfirmasi, Minggu 2 November 2025.

    Ia menilai ketidakhadiran Jokowi bisa menjadi sinyal perubahan arah bagi organisasi relawan yang dikenal loyal terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.

    “Mungkin ini era yang baru buat Projo ya. Ada saatnya kita memulai, ada saatnya kita mengakhiri,” ujarnya.

    Meski demikian, ia menampik bahwa absennya Jokowi otomatis menandakan keretakan hubungan antara Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi dan Jokowi. 

    Menurutnya, isu mengenai dinamika hubungan keduanya sudah pernah mencuat sebelumnya, namun sempat mereda ketika Budi Arie mendapat posisi penting di pemerintahan.

    “Tapi bukan kali pertama Budi Arie begini gitu, waktu itu kan juga sempat bilang mau membubarkan diri gitu. Terus, dapet jabatan Wakil Menteri Desa, enggak jadi bubar deh,” ujarnya menambahkan.

    Sementara itu, ajudan Jokowi, Kompol Syarif, mengonfirmasi bahwa Jokowi absen bukan karena alasan politik, melainkan pertimbangan kesehatan. 

    Ia menjelaskan, dokter kepresidenan menyarankan Jokowi untuk beristirahat dan tidak melakukan aktivitas di luar ruangan.

    “Karena pertimbangan tim dokter yang menganjurkan Bapak (Jokowi) untuk beristirahat dan tidak beraktivitas di luar ruangan, beliau belum dapat menghadiri Kongres III Projo,” ujar Syarif saat dikonfirmasi.

    Meski tak hadir secara langsung, Jokowi tetap menyapa para relawan melalui tayangan video yang ditampilkan dalam acara tersebut.

    Kehadiran virtual itu menjadi bentuk apresiasi dan komunikasi simbolik terhadap para pendukungnya di tengah kondisi kesehatannya yang perlu dijaga.

  • Lebih Baik IKN Dijadikan Destinasi Konser

    Lebih Baik IKN Dijadikan Destinasi Konser

    GELORA.CO -Analis komunikasi politik Hendri Satrio alias Hensat mengusulkan gagasan unik terkait masa depan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. 

    Menurutnya, jika proyek pemindahan ibu kota sudah tidak memungkinkan untuk dilanjutkan, maka kawasan tersebut sebaiknya diubah menjadi destinasi wisata dan pusat kegiatan seni berskala nasional maupun internasional.

    “Menurut saya dijadiin kayak Prambanan gitu. Prambanan itu kalau mau ada konser-konser itu sering banget di Prambanan, misalnya Prambanan Jazz. Nah itu bisa juga tuh IKN dibikin kayak buat konser-konser gitu seperti di Prambanan,” ujar Hensat lewat kanal Youtube miliknya, Rabu, 29 Oktober 2025.

    Menurutnya, konsep semacam itu bisa menghidupkan ekonomi lokal tanpa membebani anggaran besar negara untuk melanjutkan megaproyek yang belum selesai.

    “Jadi kalau IKN sudah nggak mungkin lagi dilanjutkan, sudah dihentikan saja. Saran saya dijadiin destinasi wisata atau misalnya jadi destinasi konser. Tapi syaratnya harus ada penerbangan langsung ke situ,” jelasnya.

    Hendri menambahkan, secara infrastruktur, kawasan IKN sebenarnya sudah memiliki modal awal seperti bandara dan akses yang bisa dikembangkan untuk mendukung pariwisata.

    “Bandaranya sudah ada, kalau kebanjiran itu tinggal dibagusin. Jadi misalnya ada konser di situ, konser internasional ya jangan di Jakarta terus kan nggak merata juga. Terbangin ke situ, jadi hotel-hotel sudah ada kan jadi laku,” ujarnya.

    Ia menilai, jika dikelola secara kreatif, kawasan tersebut bisa menjadi ekosistem ekonomi baru berbasis hiburan dan pariwisata.

    “Ritelnya di situ bisa berkembang walaupun mungkin nggak setiap hari ada konser, tapi kan minimal kalau misalnya sebulan tiga kali aja udah lumayan tuh hotel bisa hidup,” kata Hensat.

    Lebih lanjut, Hensat juga menyinggung peran artis dan influencer yang dulu sempat mempromosikan IKN agar turut berkontribusi jika proyek itu beralih fungsi.

    “Dulu artis-artis yang ke IKN, selebriti, influencer suruh bikin konser di IKN sana. Maksud saya mereka juga harus bertanggung jawab juga tuh terhadap endorsan mereka,” tegasnya.

    Founder Lembaga Survei Kedai Kopi itu pun mendorong Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif untuk mempertimbangkan wacana tersebut secara serius.

    “Kementerian Pariwisata harus usulin itu. Kalau memang IKN sudah tidak diteruskan, ubah jadi pusat wisata dan konser internasional,” pungkasnya. 

  • Hendri Satrio Lihat 3 ‘Hantu’ Bayangi Pemerintahan Prabowo, Semua Berhubungan dengan Jokowi

    Hendri Satrio Lihat 3 ‘Hantu’ Bayangi Pemerintahan Prabowo, Semua Berhubungan dengan Jokowi

    GELORA.CO –  Analis politik Hendri Satrio melihat adanya “hantu” yang membayangi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    “Hantu” yang dimaksud adalah isu di sekitar Prabowo yang membebani sektor politik, hukum dan ekonomi.

    Dari tiga isu tersebut, seluruhnya berkaitan dengan Presiden ke-7 RI, Jokowi.

    Pertama adalah isu permasalahan ijazah Wapres Gibran Rakabuming Raka, yang merupakan putra Jokowi.

    Kedua, isu Ketua Umum Relawan Solidaritas Merah Putih (Solmet), Silfester Matutina, yang tak kunjung dieksekusi vonis pidananya. Seperti diketahui,Silfester dikenal sebagai salah satu pentolan relawan pendukung Jokowi.

    “Hantu” terakhir adalah utang Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh. Proyek yang digarap dan diresmikan Jokowi itu kini membebani negara dengan utangnya yang mencapai Rp 116 trilun.

    Hal itu disampaikan Hendri Satrio secara monolog di channel Youtubenya, @hendri.satrio, dikutip Selasa (28/10/2025).

    “Kenapa hantu? Karena ini hal yang enggak jelas tapi bisa mengganggu gitu. Mengganggu kalau tidak segera dibereskan kan kalau kita nonton uka-uka segala macam begitu kan, kalau ada hantu-hantu tuh langsung diberesin kan,” kata Hendri.

    Ijazah Gibran

    Menurut Hendri , isu soal permasalahan ijazah Gibran harus dijawab secara terang benderang langsung oleh Gibran.

    Berbeda dari isu permasalahan ijazah yang juga menerpa ayahnya, Jokowi, Gibran kini masih menjadi pejabat publik.

    Maka, keraguan atas status pendidikan orang nomor dua di Indonesia itu harus dijelaskan.

    Seperti diketahui, saat ini, Gibran digugat secara perdata oleh seorang warga bernama Subhan Palal di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Penggugat empersoalkan keabsahan riwayat pendidikan Gibran, khususnya ijazah SMA/setara, serta menuding adanya perubahan data riwayat pendidikan di situs KPU. Sampai saat ini proses hukumnya masih berlangsung.

    “Tentang ijazah Jokowi itu bisa menunggu nanti selesai polemiknya lewat pengadilan atau apalah gitu. Karena Pak Jokowinya sudah tidak lagi menjabat. Nah, yang menurut saya perlu segera diselesaikan itu justru polemik  ijazahnya Mas Gibran sebagai wakil presiden. Kenapa? Karena dia masih menjabat dan sedang menjabat.”

    “Jadi kalau Mas Gibran menurut saya ada keharusan untuk dia tampil ke publik menjelaskan, oh iya saya selesai di, kita enggak usah ngomong universitas tapi bicara tentang SMA aja. Oh iya saya selesai di SMA sekian sekian sekian, tahun berapa tahun berapa tahun berapa gitu.”

    “Kenapa saya nyebutnya tahun berapa tahun berapa tahun berapa karena kan ada kabarnya dia sekolah di Australia, ada kabarnya dia sekolah di Singapura. Nah, maksud saya diclearkan aja dan dia harus tampil tuh untuk menyelesaikan polemik ini,” papar Hendri.

    Pendiri lembaga survei dan riset opini publik KedaiKOPI itu menilai, isu permasalahan ijazah Gibran tidak serta-merta menyeret Prabowo sebagai sosok yang didampingi dalam Pilpres 2024.

    “Menurut saya sih tentang latar belakang itu tidak ditanggung paketan. Kan latar belakangnya Mas Gibran ya, latar belakangnya dia gitu, bukan tanggung jawabnya Pak Prabowo,” jelasnya.

    Lebih jauh, Hendri menyoroti adanya desakan publik terhadap kinerja Gibran yang dinilai tak banyak melakukan sesuatu sebagai RI 2.

    Hal itu dikorelasikan dengan ongkos negara yang harus membiayai gaji dan operasional Gibran.

    “Bahkan akhir-akhir ini kan banyak sekali suara dari masyarakat itu Wapres mesti dikasih kerjaan yang lebih berat lagi. Jangan sampai kemudian jadi Wapres enggak ada kerjaannya, akhirnya seperti menghabiskan uang negara gitu kan. Itu lebih parah lagi,” ujarnya.

    Silfester

    Menurut Hendri, hantu pemerintahan Prabowo yang kedua adalah Silfester Matutina.

    Seperti diketahui, Silfester, yang dikenal sebagai relawan Jokowi itu, sudah divonis 1,5 tahun penjara pada kasus fitnah terhadap Wapres ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK) pada 2019, namun hingga kini belum ditahan.

    Kasusnya bermula pada 2017, Silfester berorasi menuding JK sebagai pemecah belah bangsa dengan ambisi politiknya. Silfester juga menyebut JK korupsi hingga mengakibatkan masyarakat miskin.

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 287 K/Pid/2019 untuk Silfester dibacakan tanggal 20 Mei 2019 oleh Hakim Ketua H Andi Abu Ayyub Saleh, Hakim Anggota H Eddy Army dan Gazalba Saleh. Dalam Putusan MA ini disebutkan bahwa Silfester dikenakan dakwaan pertama Pasal 311 Ayat 1 KUHP dan dakwaan kedua Pasal 310 Ayat 1 KUHP.

    Pembiaran terhadap Silfester yang tidak kunjung dieksekusi hukumannya, menjadi gambaran buruknya wajah hukum di bawah pemerintahan Prabowo.

    “Karena banyak sekali yang beranggapan bahwa penegakan hukum di era Pak Prabowo ini tidak lebih baik dari pemerintahan sebelumnya karena Silfester,” ujar Hendri.

    Bahkan, Hendri melihat prestasi Kejaksaan yang sukses mengembalikan kerugian negara sebesar sekitar Rp 13,25 triliun dari kasus korupsi Crude Palm Oil (CPO) tertutupi kasus Silfester yang belum dieksekusi.

    “Dengan hadirnya uang triliunan itu harusnya luar biasa dampaknya. Tapi ternyata banyak juga masyarakat yang bertanya, ‘Loh, tapi kenapa kemudian Silverster tidak eh dieksekusi juga?’ Nah, menurut saya ini harus diperjelas Silferster ini. Apakah Bang Silferster memang sudah selesai ya, tidak perlu lagi diungkit-ungkit hukumnya atau memang harus dieksekusi,” papar Hendri.

    Utang Whoosh

    Hantu terakhir yang membayangi pemerintahan Prabowo adalah utang jumbo Whoosh.

    Seperti diketahui, proyek ambisius Whoosh benar-benar digarap pada pemerintahan Jokowi.

    Melalui cap proyek strategis nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 3 Tahun 2016, proyek yang didanai sebagian besar menggunakan utang dari China Developement Bank (CDB) itu dikebut.

    Ayah Wapres Gibran Rakabuming Raka itu juga yang meletakkan batu pertama pada Januari 2016, dan meresmikannya pada 2 Oktober 2023.

    Sampai pertengahan 2025, jumlah penumpang Whoosh sebanyak 16 ribu sampai 18 ribu orang per hari pada hari kerja, dan 18 ribu sampai 22 ribu per hari pada akhir pekan.

    Angka tersebut belum menyentuh target 31 ribu penumpang per hari yang dicanangkan sejak awal.

    Proyek KCIC mengalami pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp19,54 triliun, dari biaya awal yang direncanakan 6,07 miliar dollar AS.

    Sehingga, total investasi proyek Whoosh mencapai 7,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp116 triliun.

    Untuk membiayai investasi 7,2 miliar dollar AS pada proyek ini, 75 persen di antaranya didapat dari pinjaman China Development Bank.

    Sementara sisanya berasal dari setoran modal pemegang saham, yaitu PT KCIC yang merupakan gabungan dari PSBI (60 persen) dan Beijing Yawan HSR Co Ltd (40 persen).

    PSBI sendiri merupakan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia, konsorsium sejumlah BUMN pada proyek KCIC.

    Whoosh, yang notabene merupakan program yang dibangga-banggakan oleh Jokowi jelas memberikan tekanan besar terhadap kinerja keuangan PT KAI (Persero).

    Utang untuk pembiayaan proyek Whoosh membuat PSBI mencatat kerugian senilai Rp1,625 triliun pada semester I-2025.

    Karena menjadi lead konsosrium PSBI, maka PT KAI (Persero) menanggung porsi kerugian paling besar, yakni Rp951,48 miliar per Juni 2025, jika dibanding tiga BUMN anggota konsorsium PSBI lainnya.

    Sehingga, beban yang ditanggung PT KAI (Persero) begitu berat, baik dalam bentuk biaya operasional kereta cepat maupun pengembalian utang. 

    Terbaru, Kementerian Keuangan menolak membayar utang Whoosh menggunakan APBN.

    Danantara, badan pengelola investasi yang kini membawahi BUMN pun harus putar otak membayar utang jumbo tersebut.

    “Akhirnya polemik yang berkepanjangan ini membuat masyarakat bingung juga dan akhirnya kembali berpolemik tentang siapa kemudian yang me-mark up luar biasa besar. Apakah ini ada peran Pak Jokowi Presiden ketujuh atau hanya perannya Pak Luhut,” kata Hendri.

    Menurut Hendri, orang yang bersalah membuat negara terbebani utang jumbo harus ditunjuk hidungnya dan diproses hukum.

    “Menurut saya harus diselesaikan ya. Ini polemik Whoosh ini bisa larinya ke mana-mana termasuk akhirnya ke Danantara. Sebuah lembaga yang diimpi-impikan Pak Prabowo yang akan membantu perekonomian Indonesia.”

    “Polemik berkepanjangan ini harus diselesaikan. Kalau memang ada yang salah, ya sudah tunjuk hidung yang bersalah dan dihukum,” pungkasnya.

  • Citra Gibran Bergantung Figur Bapaknya, Gus Umar Sindir Konstitusi Dilabrak Demi Anak

    Citra Gibran Bergantung Figur Bapaknya, Gus Umar Sindir Konstitusi Dilabrak Demi Anak

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Model kepemimpinan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka kembali menjadi perbincangan publik terutama dari pengamat dan tokoh nasional.

    Analis komunikasi politik, Hendri Satrio atau Hensat, menilai Gibran perlu segera membangun kepercayaan publik terhadap kualitas dirinya sebagai wakil presiden di tahun kedua kepemimpinan duet Prabowo-Gibran.

    Ia menilai, citra Gibran selama ini masih dianggap bergantung pada figur sang ayah, Presiden ke-7 RI Joko Widodo.

    “Menurut saya, Gibran harus membuktikan kualitasnya agar masyarakat percaya, bukan hanya menghindari persepsi bahwa perannya hanyalah tidak mengganggu presiden,” ujar Hensat, dikutip Jumat (24/10/2025).

    Hensat menilai, selama menjabat sebagai Wali Kota Solo hingga kini menjadi wakil presiden, Gibran kerap dikaitkan dengan pengaruh Jokowi. Hal ini dinilai membuat publik sulit menilai kontribusi nyata dari Gibran sendiri.

    “Jadi yang harus diperbaiki Gibran itu adalah kepercayaan masyarakat akan kualitas dia, trust level terhadap kualitas dia. Karena selama ini kan citranya dia jadi wali kota dibantu oleh bapaknya, jadi wapres pun dibantu oleh bapaknya,” kata Hensa.

    Ia bahkan membandingkan Gibran dengan sejumlah wakil presiden terdahulu seperti Ma’ruf Amin, Boediono, dan Jusuf Kalla yang dinilai mampu memberi dukungan substansial terhadap presiden tanpa bayang-bayang figur lain.

    Di sisi lain, sentimen publik terhadap isu politik dinasti juga mencuat dari pernyataan tokoh Nahdlatul Ulama, Umar Sahadat Hasibuan, di platform X (Twitter) miliknya @umarrhasibuan_.

  • Berbeda dengan Polemik Ijazah Jokowi, Hendri Satrio Sebut Kasus Ijazah Wapres Gibran Harus Segera Diselesaikan

    Berbeda dengan Polemik Ijazah Jokowi, Hendri Satrio Sebut Kasus Ijazah Wapres Gibran Harus Segera Diselesaikan

    “Kan kita berhak tahu siapa (yang punya ijazah). Nah ini jadi memang harus dibongkar,” ujar Feri dalam videonya yang beredar, dikutip Selasa (21/10/2025).

    Ia menyebut munculnya pertanyaan publik terkait lamanya Gibran menempuh pendidikan di Singapura dan Australia harus dijawab secara terbuka.

    “Nah di titik itu muncullah beberapa hal ya soal informasi berapa tahun untuk sekolah di Singapura, berapa tahun untuk sekolah di Australia ini Wapres,” ucapnya.

    Feri menjelaskan, berdasarkan informasi yang diperolehnya, Gibran disebut sempat menempuh pendidikan di lembaga bahasa bernama Insearch yang berada di bawah University of Technology Sydney (UTS).

    “Teman-teman yang tamatan UTS bilang, Insearch itu underbown-nya UTS, lembaga pendidikan bahasa untuk persiapan masuk kampus karena IELTS tidak cukup,” jelasnya.

    Namun, lanjut Feri, lembaga tersebut hanya memberikan sertifikat kursus bahasa, bukan ijazah setara pendidikan formal di Indonesia.

    “Ini hanya sertifikat bimbel. Disetarakan, iyalah. Tapi nggak bisa disamakan dengan tingkatan pendidikan seperti SMA di Indonesia, karena pembelajarannya berbeda,” tegasnya.

    Oleh karena itu, Feri menilai penting bagi pemerintah dan pihak terkait untuk membuka kejelasan soal dokumen pendidikan tersebut agar tidak terus menimbulkan polemik di tengah masyarakat.

    “Nah inilah yang kemudian menurut saya layak dibuktikan di pengadilan maupun di ruang politik,” Feri menuturkan.

    “Kalau saya jadi orang politik, saya akan minta ini dibuka supaya keributan publik selesai,” kuncinya. (fajar)

  • Catatan Setahun Gibran jadi Wakil Presiden Dampingi Prabowo

    Catatan Setahun Gibran jadi Wakil Presiden Dampingi Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Tepat satu tahun sejak pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, wacana tentang pembagian peran di dalam pemerintahan kembali menghangat.

    Para pendukung menilai pemerintahan baru bergerak cepat; para pengkritik mempertanyakan efektivitas sejumlah program unggulan. Di tengah pujian dan kritik itu, satu narasi konsisten muncul: Gibran yang datang ke panggung politik nasional dengan label “wajah muda” dan simbol regenerasi tampak lebih minim profil dibandingkan sang presiden yang bertindak sangat aktif dan “take control” dalam berbagai urusan negara.

    Saat kampanye, Gibran memiliki wajah sebagai simbol pembaruan anak muda yang sudah punya pengalaman memimpin kota (Surakarta), praktikal, dan dekat dengan generasi milenial. Setelah resmi dilantik pada 20 Oktober 2024, dia diberi panggung untuk memperkenalkan sejumlah inisiatif dari dorongan pendidikan AI hingga program layanan publik digital seperti “Lapor Mas Wapres” pada awal masa jabatan.

    Namun, selama tahun pertama, Analis Komunikasi Politik sekaligus pendiri Lembaga Survei KedaiKopi, Hendri Satrio memperhatikan bahwa aktivitas-aktivitas publik Gibran cenderung bersifat seremonial atau administratif, bukan inisiatif kebijakan besar yang menggeser arah birokrasi atau diplomasi.

    Dia menyatakan bahwa Gibran tersandera oleh dua narasi yang saling bertabrakan harapan simbolik perubahan anak muda dan bacaan publik soal keberlanjutan dinasti politik keluarga Jokowi kondisi yang, menurutnya, membuat arah politik Gibran menjadi gamang dan sulit menunjukkan gebrakan nyata.

    “Dari awal kita harusnya juga mulai mengeset harapan kepada Gibran, dia jadi wapres kan memang peran bapak besar sekali. Jadi jangan set harapan seperti wapres sebelumnya. Memang minim gebrakan dan bisa diperkirakan kalau akan minim gerakan,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (21/10/2025).

    Hendri menegaskan, tidak ada indikator sejauh ini yang menunjukkan Gibran memainkan peran strategis sebagaimana para pendahulunya. Dia membandingkan Gibran dengan dua wakil presiden era sebelumnya: K.H. Ma’ruf Amin yang aktif dalam pengembangan ekonomi syariah dan sosial, serta Boediono dan Jusuf Kalla yang dikenal teknokrat dan pengambil keputusan penting di bidang ekonomi dan pemerintahan.

    “Kalau Ma’ruf Amin itu punya bidang jelas, dia fokus ke ekonomi syariah dan pemberdayaan sosial. Tapi kalau Gibran, ya fungsinya cuma mendampingi Pak Prabowo. Dia pelengkap aja, syarat aja, bahwa ada wakil presiden,” kata Hendri.

    Meskipun menilai Gibran minim kontribusi substantif, tetapi Hendri menyoroti bahwa pekerjaan rumah terbesar pemerintahan Gibran pada tahun kedua tetap berada di bidang ekonomi.

    Dia menilai, Gibran harus mengenal lebih akrab dengan tantangan ekonomi nasional saat ini tidak hanya terkait perlambatan pertumbuhan, tetapi juga menurunnya daya beli masyarakat dan melemahnya investasi.

    Dalam konteks itu, menurut Hendri, Gibran seharusnya mulai mengambil peran lebih aktif dalam program-program yang berdampak langsung pada masyarakat, khususnya generasi muda dan sektor UMKM.

    “Masih sama sih sama tahun ini yaitu ekonomi. Yang paling berat sekarang itu ekonomi, jadi tahun depan juga pasti itu,” tandas Hendri.

    Kontras: Prabowo sebagai control tower

    Kontras antara gaya kepemimpinan kedua figur ini cukup tajam. Selama 12 bulan pertama, Presiden Prabowo tampak intensif memimpin agenda pemerintahan domestik dan global memimpin sidang kabinet paripurna, aktif melakukan lawatan luar negeri hingga 33 perjalanan ke 25 negara dan memegang peranan sentral dalam menentukan prioritas kebijakan nasional.

    Salah satu ukuran visibilitas global adalah frekuensi dan profil kunjungan luar negeri. Dalam tahun pertama, catatan bisnis menempatkan Prabowo jauh lebih sering melakukan lawatan ke luar negeri dibandingkan Gibran sebuah indikator yang menegaskan bahwa representasi diplomatik utama berada di tangan presiden.

    Beberapa liputan mencatat puluhan kunjungan luar negeri yang dilakukan Presiden dalam satu tahun pertama, sementara daftar kunjungan kerja resmi wapres relatif lebih pendek dan sering bersifat melepas kedatangan atau menyambut ketika presiden kembali.

    Secara konstitusional, tugas wapres adalah membantu presiden. Dalam praktiknya, pembagian tugas sangat bergantung pada kesepakatan personal dan politik antar keduanya.

    Menurut Hendri, jika Gibran ingin mengubah narasi “minim gebrakan”, ada beberapa pendekatan praktis yang bisa dipertimbangkan yaitu mengambil mandat sektoral yang jelas dan terukur dengan fokus pada satu atau dua isu besar.

    Hendri melanjutkan orang nomor dua di Indonesia itu juga bisa membangun inisiatif yang bersinggungan langsung dengan publik muda program yang melibatkan partisipasi anak muda, inkubator startup daerah, atau reformasi sistem pendidikan menengah-kejuruan bisa menunaikan janji simbol regenerasi secara substansial.

    “Misalnya transformasi pendidikan vokasi-AI, kewirausahaan digital untuk UMKM dengan target hasil yang dapat diukur dalam 12–24 bulan. Ini mirip peran yang dijalankan Ma’ruf Amin pada ekonomi syariah. Jadi spesifik, terukur, dan memiliki stakeholder jelas,” tandasnya.

    Belum lagi, berdasarkan laporan Evaluasi Kinerja 1 Tahun Pemerintahan Prabowo–Gibran (CELIOS, 2025) tertuang bahwa Gibran mendapat nilai rata-rata 2 dari 10, menjadikannya salah satu pejabat dengan penilaian publik terendah.

    Termasuk 76% responden menilai kinerjanya sangat buruk, 17% buruk, 7% cukup, dan hanya 1% baik. Tidak ada responden yang memberi nilai di atas 8. Skor ini turun dari rata-rata 3 pada survei 100 hari pertama pemerintahannya

    “Kinerja Gibran dinilai tidak menunjukkan peningkatan berarti dalam kepemimpinan, koordinasi, maupun komunikasi kebijakan,” demikian tulis laporan tersebut.

    Dalam perbandingan antara periode 100 hari dan 1 tahun, jumlah penilai “sangat buruk” terhadap Gibran melonjak dari 31% menjadi 61%. Hal ini mencerminkan minimnya peran strategis Wapres Ke-14 RI itu dalam pemerintahan Prabowo, terutama dalam bidang kebijakan dan diplomasi.

  • Setahun Dampingi Prabowo, Gibran Harus Perbaiki Kualitas Diri

    Setahun Dampingi Prabowo, Gibran Harus Perbaiki Kualitas Diri

    GELORA.CO -Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka perlu segera membangun kepercayaan masyarakat terhadap kualitas kepemimpinannya di tahun kedua memimpin Indonesia bersama Presiden Prabowo Subianto.

    Menurut Analis komunikasi politik Hendri Satrio, citra Gibran yang selama ini bergantung pada bantuan ayahnya, Joko Widodo, telah menimbulkan persepsi negatif di kalangan publik. Sehingga, publik tidak melihat kontribusi nyata dari Gibran selama menjabat sebagai wakil presiden.

    “Menurut saya, Gibran harus membuktikan kualitasnya agar masyarakat percaya, bukan hanya menghindari persepsi bahwa perannya hanyalah tidak mengganggu presiden,” ujar Hensat kepada RMOL, Rabu, 22 Oktober 2025.

    Selama masa jabatannya sebagai Wali Kota Solo dan Wakil Presiden, Gibran sering dikaitkan dengan pengaruh Jokowi, yang membuat harapan publik terhadap kontribusinya terbatas.

    Hal ini membuat Gibran secara kualitas berbeda dengan wakil presiden sebelumnya seperti Ma’ruf Amin, Boediono, atau Jusuf Kalla, yang dianggap mampu memberikan dukungan substansial kepada presiden.

    “Jadi yang harus diperbaiki Gibran itu adalah kepercayaan masyarakat akan kualitas dia, trust level terhadap kualitas dia. Karena selama ini kan citranya dia jadi wali kota dibantu oleh bapaknya, jadi wapres pun dibantu oleh bapaknya,” ujarnya.

    Terkait dengan cara meningkatkan kualitasnya, Hensat berpendapat bahwa Gibran saat ini perlu fokus ke isu-isu krusial yang masih menggantung di mata masyarakat, contohnya adalah ijazah.

    “Tunjukkan saja ijazahnya bahwa memang dia punya ijazah, jangan seperti bapaknya yang gantung-gantung sekarang,” pungkas Hensat. 

  • Ada yang Mulai Buang Badan

    Ada yang Mulai Buang Badan

    GELORA.CO – Pernyataan blak-blakan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan soal proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) memantik reaksi tajam dari mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu.

    Lewat akun media sosial pribadinya, Said Didu menyindir keras pernyataan Luhut yang mengaku proyek kereta cepat “sudah busuk sejak awal”.

    “Hahaha, ada yang mulai buang badan,” tulisnya singkat seperti dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Minggu, 19 Oktober 2025.

    Sebelumnya, Luhut dalam sebuah forum di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025, secara terbuka menyebut proyek KCJB sudah bermasalah jauh sebelum dirinya menangani. Ia bahkan menyebut proyek itu harus “diselamatkan” dengan audit menyeluruh.

    “Saya yang dari awal mengerjakan itu, karena saya nerima sudah busuk itu barang. Lalu kita coba perbaiki, kita audit, BPKP ikut, kemudian kita berunding dengan China,” kata Luhut.

    Pernyataan tersebut memunculkan gelombang respons di publik. Pengamat komunikasi politik Hendri Satrio menilai, ucapan Luhut justru membuka tabir lama soal pengelolaan proyek strategis nasional di masa pemerintahan sebelumnya.

    “Pernyataan Luhut justru membuka tabir ‘busuk’ pemerintahan sebelumnya,” tulis Hensat di akun X.

    Proyek KCJB yang kini dikenal dengan nama Whoosh itu sejak awal menuai kritik tajam. Mulai dari pembengkakan biaya, skema pinjaman luar negeri, hingga jaminan pemerintah yang dinilai membebani keuangan negara.

    Proyek sepanjang 142 kilometer itu melintasi sejumlah wilayah di Jawa Barat, termasuk Purwakarta, Bandung Barat, dan Kota Bandung. Warga sekitar berharap proyek bernilai ratusan triliun ini benar-benar memberi manfaat ekonomi, bukan sekadar menjadi simbol politik yang sarat masalah. 

  • Luhut Mulai Buang Badan Akui Proyek Kereta Cepat ‘Busuk’ Sejak Awal

    Luhut Mulai Buang Badan Akui Proyek Kereta Cepat ‘Busuk’ Sejak Awal

    GELORA.CO -Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan secara blak-blakan mengakui bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh sudah bermasalah sejak awal pelaksanaannya.

    Dalam pernyataannya yang disampaikan di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Kamis, 16 Oktober 2025, Luhut menggambarkan kondisi proyek yang ia warisi itu sebagai sesuatu yang sudah “busuk” dan harus segera diselamatkan melalui audit menyeluruh.

    “Saya yang dari awal mengerjakan itu, karena saya nerima sudah busuk itu barang. Lalu kita coba perbaiki, kita audit, BPKP ikut, kemudian kita berunding dengan China,” ujar Luhut.

    Pernyataan jujur namun tajam itu sontak memancing berbagai reaksi publik. Salah satunya datang dari mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu, yang menanggapinya dengan sindiran tajam.

    “Hahaha, ada yang mulai buang badan,” tulis Said Didu lewat akun media sosial pribadinya, menanggapi pernyataan Luhut.

    Di sisi lain, analis komunikasi politik Hendri Satrio menilai pernyataan Luhut justru membuka tabir lama tentang bagaimana proyek strategis nasional itu dikelola di masa pemerintahan sebelumnya.

    “Pernyataan Luhut justru membuka tabir ‘busuk’ pemerintahan sebelumnya,” kata Hensat di akun X.

    Proyek kereta cepat Whoosh sejak awal memang menuai sorotan tajam, mulai dari pembengkakan biaya, skema pinjaman luar negeri, hingga jaminan pemerintah yang sempat memicu perdebatan publik.

    Kini, dengan pengakuan Luhut tersebut, publik menanti langkah konkret pemerintah dalam menuntaskan audit dan memastikan proyek bernilai ratusan triliun itu benar-benar memberikan manfaat bagi rakyat, bukan sekadar menjadi monumen politik yang sarat masalah.