Tag: Hendri Satrio

  • Pemerintah Tak Tetapkan Banjir di Sumatera sebagai Bencana Nasional karena Anggaran Tak Cukup?

    Pemerintah Tak Tetapkan Banjir di Sumatera sebagai Bencana Nasional karena Anggaran Tak Cukup?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik Hendri Satrio menerka-nerka. Mengapa pemerintah tak kunjung menetapkan benacana di sejumlah wilayah di Sumatera sebagai bencana nasional.

    “Kenapa pemerintah belum menetapkan bencana alam di Sumatra sebagai bencana nasional, nah, mungkin ya, mungkin, semoga saya salah,” kata Hendri dikutip dari unggahannya di X, Kamis (4/12/2025).

    Dia berspekulasi, alasannya karena pemerintah kurang uang. Bahkan tidak punya.

    “Mungkin salah satu alasannya karena pemerintah a.k.a negara kekurangan uang atau malah gak punya uang,” ujarnya.

    Dia lalu mengungkit kucuran dana Rp200 triliun ke Bank Himbara.

    “Apakah gegara 200T yang sudah terlanjur meluncur ke Bank Himbara?” imbuhnya.

    Hendri meminta pemerintah agar serius menyikapi bencana di Sumatera.

    “Sekali lagi, semoga saya salah. Ayo dong dibantu lebih dari maksimal supaya segera pulih wahai pemerintah a.k.a negara,” ucapnya.

    Meski demikian, dia menekankan, pendapatnya itu, kata dia, bisa saja salah.

    “Bila saya salah, saya mohon maaf, ini semata-mata karena ketidaktahuan saya terhadap kondisi di daerah bencana dan kondisi keuangan negara,” jelasnya.

    “Semoga kondisi daerah terkena dan terdampak bencana segera pulih,” tambahnya.
    (Arya/Fajar)

  • Soal Isu Ijazah Jokowi yang Kian Memanas, Hensa: Apapun Ujungnya, Sejarah telah Mencatat

    Soal Isu Ijazah Jokowi yang Kian Memanas, Hensa: Apapun Ujungnya, Sejarah telah Mencatat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio ikut bicara soal panasnya isu ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.

    Saat ini, pembahasan soal isu ijazah palsu Jokowi ini semakin memanas usai adanya penetapan tersangka.

    Ada tiga nama besar yaitu Roy Suryo, Dokter Tifa dan Rismon Sianipar yan ditetapkan sebagai tersangka.

    Karena penetapan inilah, isu soal ijazah palsu ini semakin memanas dan jadi konsumsi publik.

    Hendri Satrio lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya juga ikut memberikan komentar.

    Menurutnya, apapun yang terjadi ke depannya soal isu ini itu tidak terlalu penting.

    Yang nantinya akan membekas diingatan dan tercatat di sejarah justru seorang petinggi bahkan pemimpin sebuah negara yang dipertanyakan kelulusannya.

    “Apapun ujungnya kelak, sejarah telah mencatat ada petinggi negeri yang kelulusannya dipertanyakan,” tulisnya dikutip Jumat (21/11/2025).

    Menurutnya ini tentunya bukanlah sesuatu yang enak untuk diceritakan, apalagi untuk generasi ke depannya.

    “Bukan sejarah yang enak untuk diceritakan ke generasi penerus,” tuturnya.

    “semoga Negeri ini makin membaik, makmur dan sejahtera rakyatnya,” terangnya.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Marah Amalan Ibadahnya Dipamer ke Medsos

    Marah Amalan Ibadahnya Dipamer ke Medsos

    GELORA.CO – Sisi lain Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa diungkap ke publik.

    Di balik kelakuan dan pernyataannya yang ceplas-ceplos bak koboi, Doktor bidang ekonomi jebolan Purdue University itu ternyata memiliki sikap yang tegas terhadap sejumlah hal.

    Ia menolak keras amalan ibadahnya dipamerkan di media sosial.

    Selain itu, dengan popularitasnya yang tinggi, ternyata Purbaya mengeluh ketika diseret ke dunia politik.

    Ogah Diseret ke Politik

    Menkeu Purbaya yang masuk Kabinet Merah Putih karena kepakarannya di bidang ekonomi, menolak diseret-seret ke politik.

    Ternyata, sejak dilantik dan muncul ke publik 8 September 2025 lalu, dengan percaya dirinya yang tinggi, banyak tawaran politik menarik-nariknya.

    Bukannya mengambil kesempatan itu untuk karir politiknya, Purbaya justru risih.

    Partai Amanat Nasional sudah terang-terangan tertarik meminang Purbaya menjadi kadernya.

    Nama pengganti Sri Mulyani sebagai bendahara negara itu juga sudah masuk radar cawapres di 2029 mendatang versi sejumlah hasil survei.

    Kerisihannya diseret-seret ke ranah politik disampaikan Purbaya ke Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun.

     Misbakhun pun membeberkannya saat bicara di gelar wicara bertajuk ‘DARI SRI MULYANI KE PURBAYA. KEMANA ARAH EKONOMI KITA?’ di Youtube @AkbarFaizalUncensored, tayang perdana Kamis (6/11/2025).

    “Saya beberapa kali sudah ketemu sama Pak Purbaya. Saya sampaikan Pak Purbaya itu berkeluh kesah karena dia ditarik ke terlalu dalam ke politik, dicalonkan ini dicalonkan itu.”

    “Dia ditarik-tarik ke urusan itu. Dia sudah ketemu sama saya ngomong soal itu, dan dia berkuluh kesah soal itu,” kata Misbakhun.

    Marah Amalan Ibadah Dipamerkan

    Belakangan, video Menkeu Purbaya sedang mengaji di dalam mobil viral di media sosial.

    Purbaya mengaji menggunakan handphone saat terjebak macet di sebuah jalan di Jakarta.

    Momen Purbaya mengaji itu direkam oleh ajudannya. Purbaya terlihat duduk di bangku penumpang. 

    Lantunan ayat suci Al-Qur’an pun terdengar sayup-sayup dari bangku penumpang.

    Sikap Purbaya mendapat pujian dari warganet hingga menyebut Presiden Prabowo Subianto tidak salah melantik Menteri Keuangan. 

    Momen itu dibagikan akun TikTok @3a_jaya pada Jumat (31/10/2025). 

    Purbaya pun tak mengetahui saat dirinya direkam oleh pria yang diduga anak buahnya. 

    Sementara terlihat jalanan yang dilalui mobil Purbaya lumayan macet.

    Sontak video itu dibanjiri pujian dari warganet yang memang akhir-akhir ini Purbaya sedang menjadi sorotan publik. 

    Netizen mengatakan Purbaya berani menghadapi mafia besar lantaran dibekingi oleh Tuhan. 

    Misbakhun juga mengungkapkan, Purbaya marah setangah mati terhadap ajudan yang merekamnya saat mengaji.

    Purbaya menganggap video dirinya mengaji yang ramai mendapat pujian dari publik itu tak ada gunanya.

    “Saya sudah tahu ceritanya itu,” kata Misbakhun.

    “Dia marahin setengah mati itu ajudannya. ‘Apa perlunya begituan?’” lanjut Misbakhun menirukan Purbaya.

    Misbakhun mendorong sikap profesionalitas Purbaya sebagai ekonom yang menjadi bendahara negara.

    Ia setuju dengan sikap Purbaya yang mengomeli ajudan karena membuatnya viral namun tidak terkait dengan urusan kenegaraan atau keuangan.

    Terlebih, Purbaya yang kini menjadi buah bibir dengan gaya yang ceplas-ceplos mengaku kerap diganggu dan digiring ke arah politik.

    “Saya ketemu berapa kali dan dia sudah menyampaikan. Pak, saya sama ketika berhubungan dengan mitra kerja yang lain. Saya tidak ingin orang yang profesional itu kemudian diganggu oleh gangguan-gangguan politik yang tidak perlu. Kasih kesempatan mereka menunjukkan profesionalismenya, menunjukkan kompetensinya, menunjunjukkan bakat besarnya untuk menyelesaikan masalah,” kata Misbakhun.

    Pengamat Gugat Tim Medsos Purbaya

    Sementara, pengamat politik Hendri Satrio, pada kesempatan yang sama melihat Purbaya tak bisa dilepaskan dari pandangan politis publik.

    Sebab, penampilan dengan gaya koboinya sudah menjadi popularitas, bahkan dibaca survei sebagai elektabilitas.

    Video mengaji Purbaya yang sekalipun tak diinginkan itu, menurut Hendri Satrio, adalah bagian dari magnet politik sosok menteri lulusan Purdue University itu.

    Hendri Satrio menggugat tim medsos Purbaya untuk mengikuti gaya profesional sang menteri.

    “Tim medsosnya bisa gitu enggak? Tim medsosnya bisa kerja di profesionalnya Purbaya enggak? Karena yang ditampilkan tim medsosnya gaya-gaya komunikasi Purbaya yang akhirnya menarik dia ke politik,” kata Hendri Satrio.

    Update Terbaru TikTok Purbaya

    Purbaya memang memiliki akun TikTok @purbayayudhis yang merekam kegiatannya sehari-hari.

    Pada Jumat (7/11/2025), akun TikTok Purbaya mengunggah video dirinya saat hendak salat Jumat.

    Mengenakan celana panjang dan batik, Purbaya tampil sederhana dengan sandal jepit.

    “Tadi siang saya Sholat Jumat di Masjid Salahuddin (Ditjen Pajak).

    Happy weekend ya guys. Masih awal bulan, rencana weekend kalian kemana?” tertulis pada caption unggahan.

    Pada Kamis (13/11/2025), Purbaya mengunggah video saat dirinya rapat dengan delegasi International Monetary Fund (IMF).

    “Kemarin (12/11) saya menerima delegasi dari International Monetary Fund (IMF), membahas perkembangan terkini kondisi perekonomian Indonesia serta kebijakan pemerintah untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan perkenomian nasional,” tertulis pada caption.

  • Jokowi Berharap Bisa Mempertahankan Pengaruh Kekuasaan Melalui Gibran, Justru Berbalik Arah

    Jokowi Berharap Bisa Mempertahankan Pengaruh Kekuasaan Melalui Gibran, Justru Berbalik Arah

    GELORA.CO – Kritik tajam terhadap posisi politik Gibran Rakabuming Raka yang kini dinilainya berada dalam pusaran ketidakpastian kekuasaan.

    Ketua Dewan Direksi GREAT Institute, Syahganda Nainggolan menyebutkan, Joko Widodo (Jokowi) keliru karena memaksakan anaknya untuk masuk ke gelanggang politik nasional sebagai Wakil Presiden.

    “Jokowi memaksakan anaknya, Gibran Rakabuming Raka. Dia masukkan ke dalam sentrum pertarungan, dia pikir bisa bertahan mengontrol anaknya,” ujar Syahganda lewat kanal Youtube Hendri Satrio, Rabu, 12 November 2025.

    Menurut aktivis senior itu, Jokowi tidak menyadari bahwa politik Indonesia tidak sesederhana yang ia bayangkan.

    “Dia nggak tahu kalau politik di Indonesia ini bukan hanya dia yang mengerti politik dasamuka—politik dua muka,” sindir Syahganda dikutip melalui rmol.

    Ia menambahkan, bahkan Presiden Prabowo Subianto pun disebut memahami gaya politik seperti itu.

    “Kan Prabowo juga bilang sering belajar dari Jokowi. Artinya Prabowo juga mengerti politik dasamuka, dua muka,” ujarnya.

    Syahganda menilai, strategi Jokowi yang ingin mempertahankan pengaruh kekuasaan melalui anaknya justru berbalik arah.

    “Dia nggak sangka bahwa dia itu kasih saran kontrol terhadap rezim yang dia pikir rezim keberlanjutan, ternyata tidak. Makanya anaknya sekarang jadi pusaran goyangan-goyangan orang,” jelasnya.

    Menurutnya, Gibran kini tengah menghadapi situasi politik yang tidak menentu dan kehilangan pijakan kekuasaan. Ia pun menutup dengan nada sindiran yang tajam.

    “Kemarin Gibran malah memberikan hadiah mancing ikan. Sudah, pokoknya dia bagusan jadi ketua RT aja,” pungkasnya.***

  • Soal Isu Ijazah Jokowi yang Kian Memanas, Hensa: Apapun Ujungnya, Sejarah telah Mencatat

    Budi Arie Bawa Projo Masuk Gerindra, Hendri Satrio Bongkar Kemungkinan Settingan Politik Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik, Hendri Satrio, menanggapi kabar Budi Arie bersama Projo yang dikabarkan akan merapat ke Partai Gerindra dan menjadi relawan untuk Prabowo Subianto.

    Dikatakan Hendri, dinamika ini tidak selalu seperti yang tampak di permukaan dan bisa menyimpan strategi politik terselubung.

    Baginya, publik kelihatan terlalu mudah percaya bahwa Projo benar-benar berseberangan dengan Presiden ke-7, Jokowi.

    “Terlalu biasa kalau kemudian percaya bahwa Projo berseberangan dengan Jokowi,” ujar Hendri di X @satriohendri (7/11/2025).

    Ia menambahkan, dalam dunia politik, hal-hal yang terlalu jelas justru bisa menjadi bagian dari pertunjukan atau drama politik.

    “Dalam politik, segala sesuatu yang terlalu kelihatan itu bisa jadi pertunjukan. Drama-drama,” kata Hendri.

    Hendri bahkan menduga adanya strategi tersembunyi di balik langkah Projo masuk ke Gerindra.

    “Politiknya ada di belakang, gimana kalau ternyata ini semua settingan aja pak Jokowi,” Hendri menuturkan.

    “Memang Projo sengaja dimasukkan ke Gerindra, supaya cita-cita Prabowo-Gibran dua periode terlaksana,” tambahnya.

    Ia menjelaskan bahwa saat ini ada beberapa tokoh yang siap menyaingi Gibran sebagai pendamping Prabowo, termasuk Purbaya dan tokoh-tokoh lainnya.

    “Sekarang kan ada Purbaya, ada tokoh-tokoh yang lain yang siap menyaingi Gibran sebagai pendamping pak Prabowo,” ucap Hendri.

    Hendri menekankan kemampuan Jokowi dalam memainkan strategi politik, sehingga masyarakat perlu berhati-hati menafsirkan langkah politik yang tampak.

  • Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Gelar Pahlawan Nasional Soeharto: Polemik dan Warisannya di Mata Publik

    Bisnis.com, JAKARTA — Setelah melalui tiga rezim pemerintahan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto akhirnya mewujudkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto. 

    Keputusan tersebut akan diumumkan bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, Senin (10/11/2025) yang kabarnya akan dilaksanakan di Istana Kepresidenan, Jakarta.

    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan hal itu usai menghadiri rapat terbatas di kediaman Presiden, Jalan Kertanegara IV, Jakarta, Minggu (9/11/2025) malam.

    “Iya,” ujar Prasetyo saat dikonfirmasi apakah rapat tersebut berkaitan dengan Hari Pahlawan.

    Dia menjelaskan, rapat malam itu membahas proses finalisasi daftar tokoh yang akan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional tahun ini. 

    “Bapak Presiden juga mendapatkan masukan dari Ketua MPR, kemudian juga dari Wakil Ketua DPR. Karena memang cara bekerja beliau, menugaskan beberapa untuk berkomunikasi dengan para tokoh, mendapatkan masukan dari berbagai pihak sehingga diharapkan apa yang nanti diputuskan Presiden, oleh pemerintah, sudah melalui berbagai masukan,” jelasnya.

    Ketika ditanya apakah pengumuman itu akan disampaikan langsung oleh Presiden Prabowo, Prasetyo membenarkan hal tersebut.

    Menurutnya, bahkan ada sekitar sepuluh nama tokoh yang akan mendapatkan gelar Pahlawan Nasional tahun ini.

    Saat ditanya apakah di antara nama-nama tersebut termasuk Soeharto, Prasetyo menegaskan bahwa nama Bapak Pembangunan itu masuk dalam daftar.

    “Ya, masuk, masuk [dari 10 nama yang akan dapat gelar pahlawan],” ucapnya.

    Dia menambahkan, keputusan ini merupakan bentuk penghormatan negara terhadap jasa para pendahulu bangsa. 

    “Itu kan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu, terutama para pemimpin kita, yang apa pun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” tuturnya.

    Langkah ini menandai pertama kalinya pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, setelah wacana tersebut sempat muncul sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo, tetapi tak pernah terealisasi.

    Dinamika Panjang Menuju Gelar Pahlawan Nasional Soeharto

    Perjalanan untuk menjadikan Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, sebagai Pahlawan Nasional bukanlah proses yang singkat. Wacana ini telah bergulir lebih dari dua dekade, melewati tiga rezim pemerintahan berbeda—Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo (Jokowi), hingga akhirnya terealisasi di era Presiden Prabowo Subianto.

    Setelah lengser pada 1998 di tengah krisis multidimensi dan gelombang reformasi, figur Soeharto kerap menimbulkan perdebatan di ruang publik. Di satu sisi, banyak kalangan menilai Soeharto sebagai tokoh pembangunan yang berhasil membawa Indonesia pada masa stabilitas ekonomi dan pertumbuhan pesat selama tiga dasawarsa kepemimpinannya. Namun di sisi lain, warisan pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman politik, dan praktik korupsi yang melekat pada rezim Orde Baru membuat wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional selalu menjadi isu sensitif.

    Pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah organisasi masyarakat dan tokoh politik pernah mengusulkan agar Soeharto mendapat pengakuan sebagai pahlawan. Namun, pemerintah kala itu memilih bersikap hati-hati, dengan alasan perlu menyeimbangkan pandangan publik dan memastikan proses seleksi tetap sesuai dengan prinsip keadilan sejarah.

    Wacana serupa muncul kembali di masa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Beberapa menteri bahkan sempat mengonfirmasi bahwa nama Soeharto masuk dalam pembahasan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Namun hingga akhir masa jabatan Jokowi, keputusan itu tidak pernah diambil, dengan alasan masih adanya perbedaan pandangan yang tajam di masyarakat.

    Baru di era Presiden Prabowo Subianto—mantan perwira TNI yang dikenal dekat secara personal dan ideologis dengan Soeharto—keputusan itu akhirnya terealisasi. Melalui pendekatan konsultatif dengan berbagai tokoh nasional, lembaga legislatif, dan Dewan Gelar, pemerintah menilai bahwa Soeharto layak mendapat pengakuan atas jasa-jasanya dalam menjaga keutuhan bangsa dan meletakkan dasar pembangunan nasional.

    Misalnya, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh menyatakan sepakat atas usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Ke-2 RI Soeharto, terlepas dari kontroversinya.

    Dia mengatakan bahwa Partai NasDem melihat sisi positif terhadap pemberian gelar pahlawan tersebut. Meskipun ada kekurangan, tetapi dia menilai Soeharto telah memberikan peran dan dan arti terhadap pembangunan negara.

    “Sukar juga kita menghilangkan objektivitas bahwa sosok Soeharto telah memberikan posisi, peran, dan arti, keberadaan beliau sebagai Presiden yang membawa progres pembangunan nasional kita cukup berarti, seperti apa yang kita nikmati hari ini,” kata Surya Paloh usai acara FunWalk HUT Ke-14 NasDem di Jakarta, Minggu (9/11/2025).

    Selama 32 tahun memimpin Indonesia, menurut dia, Soeharto pasti tak lepas dari kekurangan, kesalahan, dan kesilapan. Namun jika ingin membawa gerakan perubahan, dia mengatakan bahwa faktor objektif atas peran Soeharto juga harus dihargai bersama.

    “Saya pikir memang kalau sudah mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk konsekuensi pro dan kontra, polemik yang terjadi, bagi NasDem melihat sisi positifnya saja,” tuturnya.

    Senada, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia menanggapi wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI Soeharto yang menuai perdebatan publik.

    Dia menilai, perbedaan pendapat terkait hal tersebut merupakan hal yang wajar dalam demokrasi, tetapi bangsa Indonesia tetap harus menghargai jasa para tokoh yang telah berkontribusi besar bagi negara.

    “Bagi kami, Pak Harto adalah seorang tokoh, kemudian pemimpin bangsa 32 tahun yang mampu membawa Indonesia dari inflasi yang 100% kemudian inflasinya terjaga, menciptakan lapangan pekerjaan, kemudian juga mampu memberikan kontribusi terbaiknya dalam swasembada pangan, swasembada energi, sampai kemudian bangsa kita menjadi Macan Asia pada saat itu ya, di zaman Orde Baru,” ujarnya.

    Meski begitu, menurut Bahlil, tidak ada manusia yang sempurna, termasuk para pemimpin bangsa. Oleh karena itu, dia mengajak semua pihak untuk menilai jasa para tokoh secara proporsional dan menghargai kontribusi positif yang telah mereka berikan bagi kemajuan Indonesia.

    Bahkan, Bahlil menilai bahwa apabila perlu partainya menyarankan agar seluruh tokoh-tokoh bangsa terkhusus mantan-mantan presiden agar dapat dipertimbangkan untuk meraih gelar pahlawan nasional.

    “Kalau kita mau bicara tentang manusia yang sempurna, kesempurnaan itu cuma Allah Subhanahu wa taala. Semua masih ada plus minus, sudahlah yang yang baik ya kita harus hargai semua para pendiri dan para tokoh bangsa,” imbuhnya.

    Termasuk saat ditanya mengenai usulan agar Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur juga diberi gelar serupa, Bahlil menegaskan bahwa Golkar bersikap terbuka terhadap penghargaan bagi seluruh mantan presiden yang telah wafat.

    Dia juga menilai Gus Dur dan BJ Habibie merupakan tokoh besar yang turut memberikan kontribusi penting bagi perjalanan bangsa.

    “Pak Gus Dur juga mempunyai kontribusi yang terbaik untuk negara ini. Ya, kami menyarankan juga harus dipertimbangkan agar bisa menjadi pahlawan nasional. Pak Habibie juga, semuanyalah ya,” pungkas Bahlil

    Pro dan Kontra di Lapangan

    Ketua Dewan Setara Institute Hendardi menilai rencana pemberian gelar pahlawan untuk Presiden ke-2 Soeharto melanggar hukum. Menurutnya, Soeharto lekat dengan masalah pelanggaran HAM, korupsi, dan penyalahgunaan kewenangan.

    Hendardi mengatakan, upaya mengharumkan mertua Prabowo Subianto itu sudah berjalan sistematis. Sebab, katanya, tepat sebulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) secara resmi mencabut nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

    Menurutnya, pencabutan TAP MPR itu mengabaikan fakta historis bahwa 32 tahun masa kepemimpinannya penuh dengan pelanggaran HAM, korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah dinilai seolah ingin melepaskan nama Soeharto dari masalah-masalah yang pernah dibuatnya.

    “Selain itu jika nantinya Soeharto ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional, hal itu merupakan tindakan melawan hukum, terutama UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan,” kata Hendardi dalam keterangan tertulis, Senin (27/10/2025).

    Dia menuturkan bahwa dalam aturan tersebut, untuk memperoleh gelar tanda jasa harus memenuhi beberapa syarat sebagaimana diatur di Pasal 24, yakni WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; memiliki integritas moral dan keteladanan, berjasa terhadap bangsa dan negara; berkelakuan baik; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan tidak pernah dipidana, minimal 5 (lima) tahun penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

    “Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. Dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang pernah terjadi pada masa pemerintahannya yang otoriter dan militeristik tidak dapat disangkal, meskipun juga tidak pernah diuji melalui proses peradilan,” ujar Ketua Dewan Setara Institute Hendardi.

    Hendardi juga menyinggung putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2005 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar uang sebesar US$315.002.183 dan Rp 139.438.536.678,56 kepada Pemerintah RI, atau sekitar Rp4,4 triliun dengan kurs saat itu.

    Selain itu, Soeharto turut didakwa karena mengeluarkan sejumlah peraturan dan keputusan Presiden yang menguntungkan setidaknya tujuh yayasan yang dipimpin Soeharto dan kemudian dialirkan ke 13 perusahaan afiliasi keluarga serta pihak-pihak terdekat Cendana

    “Jika hal itu tetap dilakukan oleh Presiden sebagai Kepala Negara, maka tidak salah anggapan bahwa Presiden Prabowo menerapkan absolutisme kekuasaan,” tegasnya.

    Berbeda pandangan, Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebut bahwa mayoritas responden setuju pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Kesimpulan itu diungkapkan KedaiKOPI ketika merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Presiden RI ke-2, Soeharto, dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional.

    Survei dilaksanakan dengan metode CASI (Computer Assisted Self Interviewing) pada 5-7 November 2025 dengan melibatkan 1.213 responden.

    Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menyebut 80,7% publik setuju Presiden ke-2 Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, 15,7% tidak mendukung, dan 3,6% tidak tahu.

    Dia menjelaskan alasan publik mendukung Soeharto adalah karena keberhasilannya dalam program swasembada pangan 78% dan Pembangunan Indonesia 77,9%.

    Selain itu, memori akan sekolah dan sembako murah 63,2% serta stabilitas politik yang baik 59,1% juga menjadi pertimbangan penting bagi responden yang mendukung.

    “Yang terbanyak karena berhasil membawa Indonesia swasembada pangan, kemudian berhasil melakukan pembangunan di Indonesia, karena sekolah murah dan sembako murah, karena stabilitas politik yang baik, lainnya macam-macam ada perjuangan kemerdekaan dan militer,” kata Hensa, dalam keterangan, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Kemudian, bagi responden yang tidak mendukung, 88% beralasan bahwa Soeharto lekat dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), 82,7% terkait isu pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers, dan isu pelanggaran HAM mendapatkan respon 79,6%.

    Menurutnya, alasan ini tidak bisa dihilangkan dari ingatan masyarakat sehingga pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.

    “Ini adalah poin krusial. Dukungan pada Soeharto didasarkan pada aspek pembangunan dan kesejahteraan ekonomi, namun penolakan didominasi oleh isu KKN, pelanggaran HAM, dan kebebasan sipil. Ini adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Gelar,” jelas Hendri.

  • Wacana Budi Arie Masuk Gerindra Disebut Drama Settingan Jokowi, Enteng Dimentahkan Dasco

    Wacana Budi Arie Masuk Gerindra Disebut Drama Settingan Jokowi, Enteng Dimentahkan Dasco

    GELORA.CO –  Wacana Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi mau masuk Gerindra dinilai hanya drama rekaan alias settingan Presiden ke-7 RI, Jokowi.

    Narasi perpecahan antara Budi Arie dan Jokowi seolah terbangun dengan tiga poin utama yang berkutat pada momen Kongres III Projo di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Sabtu (1/11/2025) lalu.

    Poin pertama, ketidakhadiran Jokowi pada acara penting kelompok relawannya itu.

    Kedua, rencana pergantian logo Projo yang bergambar siluet kepala Jokowi dan ketiga adalah pemaknaan nama Projo yang bukan lagi Pro Jokowi.

    Dengan skema itu, Projo di bawah Budi Arie seolah berpindah haluan menjadi pro Prabowo Subianto, Presiden RI yang juga Ketua Umum Gerindra.

    Padahal, masuknya Budi Arie ke Gerindra membawa misi terselubung terkait visi Prabowo-Gibran Rakabuming Raka dua periode yang dicanangkan Jokowi.

    Analisis di atas disampaikan pengamat politik yang juga pendiri lembaga riset Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI), Hendri Satrio, di channel Youtube ‎⁨@hendri.satrio, tayang perdana Minggu (9/11/2025).

    “Kalau dalam politik semuanya terlalu gampang dilihat berada di permukaan, artinya sangat mungkin itu cuma pertunjukan. Drama-drama politik aslinya tuh ada di belakang,” kata Hendri.

    Rangkaian Peristiwa

    Hensa, sapaan karib analis bergelar doktor dari Unoversitas Bina Nusantara itu memaknai rangkaian peristiwa sebelum dan saat Kongres III Projo di Jakarta.

    Menurutnya, dari mulai kunjungan Budi Arie dan jajaran Projo ke kediaman Jokowi di Solo hingga rencana perubahan logo dan deklarasi keinginan berpartai Gerindra adalah kesinambungan untuk membentuk kesan tertentu.

    Marilah kita kupas drama-drama ini. Satu, Projo datang ke tempat Pak Jokowi. Katanya ditunjukin ijazah Jokowi. Terus tiba-tiba kemudian Jokowi last minute enggak datang ke kongres ketiga Projo. Terus kemudian seolah-olah Budi Arie ngambek kayak waktu ngancam bubarin Projo, terus kemudian dikasih Wamen Desa.

    “Kan ngambek nih, udah kalau gitu kita ganti logo bukan lagi Jokowi, bukan lagi wajahnya Pak Jokowi, tapi yang lain. Saya dengar katanya mau ganti jadi semut hitam. Wah, jadi seolah-olah dia berlawanan dengan PSI gitu, berantem.

    “Terus dia bilang dia masuk ke Prabowo masuk di Gerindra,” papar Hensa.

    Munculkan Kesan Perpecahan

    Hensa pun mengemukakan sejumlah kesan yang dibacanya berusaha dimunculkan dari rangkaian cerita Jokowi dan Kongres III Projo itu.

    Menurutnya, ada narasi yang berusaha dimunculkan Projo seakan pecah kongsi dengan Jokowi yang semakin lengket dengan PSI, partai dengan Ketua Umum Kaesang Pangarep.

    “Ini kan seolah-olah kan kita dianggapnya terjebak dalam situasi Budi Arie memang akan melawan PSI. Projo akan lawan PSI, Projo akan meninggalkan Jokowi, Projo akan masuk ke Gerindra.”

    “Hati-hati dalam politik yang begitu-begitu itu perlu dicermati,” jelasnya.

    Tujuan Settingan Jokowi

    Hensa bulat menerka rangkaian peristiwa hingga wacana Budi Arie masuk Gerindra adalah settingan Jokowi.

    Tujuannya di balik settingan itu adalah bagaimana Gibran, putra sulung Jokowi bisa tetap menjadi pendamping Prabowo di Pilpres 2029 mendatang, alias Prabowo-Gibran dua periode.

    Sebelumnya, instruksi Jokowi ke relawan agar menggaungkan Prabowo-Gibran dua periode memang disampaikan secara eksplisit.

    Menurut Hensa, Jokowi sampai harus bermanuver demi memperkuat Gibran terus menjadi Wapres pendamping Prabowo karena belakangan muncul nama potensial lain, seperti Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

    Purbaya dan Dedi merupakan dua sosok yang tengah menjadi media darling. Di sejumlah survei, popularitasnya tinggi.

    “Bisa jadi semuanya settingan Pak Jokowi tentang Projo masuk ke Gerindra atau Budi Arie masuk ke Gerindra. Supaya apa? Supaya satu cita-cita Prabowo Gibran dua periode bisa terlaksana.”

    “Kenapa ini perlu diperhatikan baik-baik? Karena ternyata banyak tokoh-tokoh yang muncul sebagai calon-calon kuat pendamping Pak Prabowo, ada Purubaya, ada KDM (Kang Dedi Mulyadi),” paparnya.

    Misi Budi Arie

    Dengan tujuan tersebut, Budi Arie yang berharap masuk Gerindra, menurut Hensa, bisa menjadi spionase atau mata-mata Jokowi langsung di dapur politik Prabowo, Gerindra.

    “Jadi hati-hati juga tuh masuk ke Gerindra bisa jadi untuk jadi dewan pengawas strategi. ‘Wah strateginya apa nih kira-kira Gerindra?’ Jadi menurut saya sih ini settingan biasa lah dari Pak Jokowi,” ujar Hensa.

    Dimentahkan Dasco

    Di sisi lain, Hensa membaca kepiawaian Ketua Harian Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dalam menanggapi manuver Budi Arie dan Jokowi.

    Dasco yang hadir pada Kongres III Projo itu enteng saja mementahkan pernyataan Budi Arie soal masuk Gerindra.

    Secara tidak langsung, orang dekat Presiden Prabowo itu menunjukkan sikap tak terjebak strategi Budi Arie dan Jokowi.

    “Tapi yang keren kan Abang Dasco. Abang Dasco bilang, ‘Wah, saya enggak dengar langsung tuh langsung,’ ngicep tuh. Gitu langsung digituin sama Dasco,” kata Hensa.

    Budi Arie Mau Masuk Gerindra

    Sebelumnya, pada Kongres III Projo di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta, Sabtu (1/11/2025), Budi Arie, selaku Ketua Umum Projo, meminta izin kepada kader Projo untuk berpartai Gerindra.

    Ia menafsirkan selorohan Prabowo saat hadir di Kongres PSI sebagai perintah masuk Gerindra.

    “Jadi mohon izin jika suatu saat saya berpartai, teman-teman Projo bisa memahaminya. Enggak usah ditanya lagi partainya apa. Karena apa? Saya mungkin satu-satunya orang yang diminta oleh Presiden langsung di sebuah forum,” kata Budi Arie.

    Mantan Menteri Koperasi itu mengaku ingin mendukung agenda politik Prabowo ke depannya.

    “Betul. Iya lah, pasti Gerindra. Nanti kita tunggu dinamika di Kongres ketiga ini. Yang pasti begini, satu, kita akan memperkuat dan mendukung agenda-agenda politik Presiden Prabowo,” ujar Budi Arie.

    Kata Dasco

    Ketua Harian Gerindra yang juga Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad menanggapi enteng pernyataan Budi Arie yang ingin masuk Gerindra.

    Dengan sedikit tersenyum di depan Budi Arie, Dasco mengaku belum dengar langsung permintaan itu, dan belum mau menanggapinya.

    “Saya belum dengar langsung. Nanti kalau sudah dengar langsung, saya tanggepin,” ujar Dasco kepada awak media usai hadiri Kongres III Projo, dikutip dari Kompas.com.

    Namun, Dasco memastikan Gerindra siap menerima gelombang besar bergabungnya relawan dari manapun. Partai yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto tersebut akan mempertimbangkan agar masukan para calon kader diakomodir.

    “Kalau Gerindra siap, gelombang besar dari manapun. Ya kita namanya aspirasi, tentu kita akan pertimbangkan untuk diakomodir,” jelas Dasco.

  • Survei KedaiKOPI: 80,7% Publik Setuju Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional

    Survei KedaiKOPI: 80,7% Publik Setuju Soeharto Dapat Gelar Pahlawan Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA –  Lembaga Survei KedaiKOPI (Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia) menyebut bahwa mayoritas responden setuju pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional.

    Kesimpulan itu diungkapkan KedaiKOPI ketika merilis hasil survei terbarunya mengenai persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Presiden RI ke-2, Soeharto, dan Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sebagai Pahlawan Nasional.

    Survei dilaksanakan dengan metode CASI (Computer Assisted Self Interviewing) pada 5-7 November 2025 dengan melibatkan 1.213 responden.

    Founder Lembaga Survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menyebut 80,7% publik setuju Presiden ke-2 Soeharto mendapatkan gelar pahlawan, 15,7% tidak mendukung, dan 3,6% tidak tahu.

    Dia menjelaskan alasan publik mendukung Soeharto adalah karena keberhasilannya dalam program swasembada pangan 78% dan Pembangunan Indonesia 77,9%.

    Selain itu, memori akan sekolah dan sembako murah 63,2% serta stabilitas politik yang baik 59,1% juga menjadi pertimbangan penting bagi responden yang mendukung.

    “Yang terbanyak karena berhasil membawa Indonesia swasembada pangan, kemudian berhasil melakukan pembangunan di Indonesia, karena sekolah murah dan sembako murah, karena stabilitas politik yang baik, lainnya macam-macam ada perjuangan kemerdekaan dan militer,” kata Hensa, dalam keterangan, dikutip Minggu (9/11/2025).

    Kemudian, bagi responden yang tidak mendukung, 88% beralasan bahwa Soeharto lekat dengan kasus korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), 82,7% terkait isu pembungkaman kebebasan berpendapat dan pers, dan isu pelanggaran HAM mendapatkan respon 79,6%.

    “Ini adalah poin krusial. Dukungan pada Soeharto didasarkan pada aspek pembangunan dan kesejahteraan ekonomi, namun penolakan didominasi oleh isu KKN, pelanggaran HAM, dan kebebasan sipil. Ini adalah hal yang harus dipertimbangkan oleh Dewan Gelar,” jelasnya.

    Menurutnya, alasan ini tidak bisa dihilangkan dari ingatan masyarakat sehingga pemerintah diminta mempertimbangkan kembali pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto.

    Dia menambahkan persepsi publik terhadap rencana Presiden ke-4 Gus Dur diberikan gelar pahlawan mendapat dukungan 78%.

    Alasan utama karena berhasil mengawal toleransi dan demokrasi Indonesia 89,1%, dianggap sebagai presiden sederhana 57,1%, diplomasi Gus Dur 38,2% dan kinerjanya saat menjadi presiden dirayakan.

    Adapun 13,7% responden tidak mendukung, dan 8,3% menjawab tidak tahu, serta 54,8% publik merasa belum merasakan kinerja Gus Dur yang maksimal.

    Lalu, 47,8% beralasan karena belum waktunya masih ada tokoh lain yang seharusnya lebih dahulu menjadi pahlawan nasional, dan hanya mewakili atau representasi kelompok tertentu 39,2%.

    “Yang mendukung Gus Dur ini memang datang dari kelompok milenial dan gen-X yang memang merasakan sepak terjang Gus Dur sebagai Presiden maupun sebagai aktivis ataupun sebagai tokoh agama,” ujar Hendri.

    Hendri menegaskan tujuan survei ini bukan hanya sekedar mengetahui besaran angka persepsi publik terhadap wacana pengangkatan Soeharto dan Gus Dur sebagai pahlawan nasional, namun juga mendapatkan gambaran publik terhadap alasan dibaliknya.

    “Survei ini tidak hanya mengungkapkan berapa persen publik setuju atau tidak setuju, namun juga kami ingin menyampaikan alasan publik dibalik itu semua sehingga bisa juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk pengangkatan kedua tokoh itu sebagai pahlawan nasional,” pungkasnya.

  • 80,7 Persen Masyarakat Dukung Soeharto jadi Pahlawan Nasional

    80,7 Persen Masyarakat Dukung Soeharto jadi Pahlawan Nasional

    GELORA.CO -Sebanyak 80,7 persen masyarakat setuju jika Presiden ke-2 RI Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional.

    Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif KedaiKOPI Hendri Satrio atau Hensat berdasarkan hasil surveinya terkait persepsi publik tentang wacana pengangkatan Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi pahlawan nasional.

    “Sebanyak 80,7 persen mendukung Soeharto menjadi pahlawan nasional, sementara yang tidak mendukung 15,7 persen dan yang tidak tahu 3,6 persen,” kata Hensat dalam keterangan yang diterima redaksi di Jakarta, Sabtu, 8 November 2025.

    Ia mengurai berdasarkan survei tersebut, masyarakat setuju dengan pengusungan Soeharto jadi pahlawan nasional karena beberapa hal.

    Tercatat ada 78 persen orang mendukung dengan alasan dianggap berhasil membawa Indonesia mencapai swasembada pangan.

    Selain itu, 77,9 persen mendukung dengan alasan Soeharto dinilai berhasil melakukan pembangunan untuk bangsa.

    Selanjutnya, 63,2 persen masyarakat mendukung dengan alasan Soeharto dinilai berhasil menghadirkan sekolah dan sembako murah dan 59,1 persen dengan alasan stabilitas politik yang baik.

    Sedangkan, barisan yang tidak mendukung Soeharto terbagi menjadi beberapa kelompok.

    Sebanyak 88 persen responden tidak mendukung Soeharto karena maraknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme selama masa jabatannya.

    Kemudian 82,7 persen responden tidak mendukung karena Soeharto dianggap membungkam kebebasan berpendapat dan kebebasan pers. 

    Lalu, ada 79,6 persen menolak karena Soeharto merupakan pelanggar HAM dan 61,3 persen beralasan Soeharto terlibat dalam kasus intimidasi beberapa pihak dalam peristiwa kontroversi.

    Hensat menambahkan, temuan data tersebut seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam memutuskan gelar pahlawan untuk Soeharto.

    Ia berharap seluruh pandangan masyarakat ini dapat diperhitungkan sehingga keputusan yang diambil pemerintah nantinya merupakan jalan tengah yang tepat.

    “Ini adalah alasan alasan yang sangat krusial bagi sejarah Indonesia. Jadi dan ini harusnya bisa menjadi pertimbangan dari pemerintah dalam memutuskan nantinya. Jadi jangan hanya dilihat banyak yang setuju, tapi dilihat juga yang tidak setuju,” jelas Hensat.

    Survei yang dilakukan Kedai Kopi dilakukan mulai 5 November 2025 hingga 7 November 2025.

    Survei menggunakan metode Computerized Assited Self Interview (CASI) dengan responden 1.231 di seluruh Indonesia. Responden dalam survei ini mulai dari usia 17 sampai 60 tahun.

    Soeharto dan Gus Dur telah diusulkan masuk dalam daftar 49 nama pahlawan nasional. Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon menyatakan Soeharto telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar Pahlawan. 

  • Hendri Satrio Bongkar Dugaan Agenda Terselubung Jokowi di Balik Ngototnya Budi Arie Gabung Gerindra

    Hendri Satrio Bongkar Dugaan Agenda Terselubung Jokowi di Balik Ngototnya Budi Arie Gabung Gerindra

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat politik, Hendri Satrio mengakui kelihaian Joko Widodo (Jokowi) dalam mengatur strategi politik. Terbukti Jokowi belum pernah kalah di semua kontestasi politik yang diikutinya. Mulai dari Solo hingga tingkat Presiden semua disapu bersih olehnya.

    Termasuk pasca Jokowi purna tugas dari jabatan presiden yang didudukinya selama 10 tahun.

    Peran relawan fanatik menjadi salah satu unsur pemenangan paling berpengaruh bagi Jokowi. Tak terkecuali Projo yang digawangi Budi Arie Setiadi yang telah mengawal Jokowi sejak Pilpres 2014.

    Kini Budi Arie bersama gerbong Projo-nya terang-terangan akan merapat ke Gerindra, partai yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto.

    Melihat manuver tersebut, Hendri Satrio meragukan Budi Arie dan Projo benar-benar berpaling dan meninggalkan Jokowi begitu saja.

    “Terlalu biasa kalau kemudian percaya bahwa Projo berseberangan dengan Jokowi,” ujar Hendri di X @satriohendri, dikutip pada Jumat (7/11/2025).

    Dikatakan Hendri, dinamika ini tidak selalu seperti yang tampak di permukaan dan bisa menyimpan strategi politik terselubung.

    Baginya, publik kelihatan terlalu mudah percaya bahwa Projo benar-benar berseberangan dengan Presiden ke-7, Jokowi.

    Ia menambahkan, dalam dunia politik, hal-hal yang terlalu jelas justru bisa menjadi bagian dari pertunjukan atau drama politik.

    “Dalam politik, segala sesuatu yang terlalu kelihatan itu bisa jadi pertunjukan. Drama-drama,” ujarnya.

    Hendri bahkan menduga adanya strategi tersembunyi di balik langkah Projo ngotot mau gabung ke Gerindra.