Tag: Hendardi

  • Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    Trimedya Panjaitan Dorong Pengelolaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Jadi Motor Pemasukan Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengelolaan barang sitaan dan rampasan oleh aparat penegak hukum (APH) dinilai masih belum optimal.

    Hal itu sebagaimana dikayakan Trimedya Panjaitan saat sidang terbuka Doktor Ilmu Hukum Universitas Borobudur.

    Trimedya menyampaikan bahwa barang sitaan negara bisa menjadi salah satu sumber pemasukan besar bagi keuangan negara jika dikelola dengan baik.

    Politisi PDIP itu menegaskan pentingnya perubahan paradigma di kalangan APH—yakni Kejaksaan, Polri, dan KPK dalam menangani barang hasil sitaan tindak pidana.

    “Kalau barang sitaan tidak dirawat dan dikelola, nilainya bisa menyusut drastis. Misalnya, pabrik yang awalnya bernilai Rp500 miliar bisa jatuh ke Rp200–300 miliar. Negara rugi besar,” kata Trimedya, Sabtu (19/4/2025).

    Dia pun mendorong agar koordinasi antar lembaga APH diperkuat tanpa ego sektoral. Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto melalui Perpres Nomor 155 Tahun 2024 telah mengambil langkah maju dengan mengalihkan kewenangan pengelolaan barang sitaan dari Kementerian Hukum dan HAM ke Kejaksaan.

    “Sekarang tugas institusi Kejaksaan untuk mulai membangun sistem pengelolaan yang transparan, terukur, dan memberi nilai tambah bagi negara,” tambahnya.

    Trimedya juga mengapresiasi langkah KPK yang dianggap sudah lebih maju dalam hal penyimpanan barang sitaan. 

    Dia menyebut bahwa aset-aset mewah seperti mobil dan tas branded ditata rapi dan dijaga dengan baik.

    Namun, ia menekankan bahwa keberhasilan tersebut seharusnya tidak hanya terpusat di satu lembaga atau lokasi saja.

    “Sayangnya, sistem penyimpanan yang baik itu hanya terbatas di satu lokasi milik KPK. Ke depan, kita perlu sistem yang terintegrasi secara nasional,” tuturnya. 

    Lebih lanjut, Trimedya mendorong agar Indonesia bisa mencontoh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Belanda dalam membangun sistem manajemen aset hasil tindak pidana.

    Menurutnya, penyelamatan keuangan negara bisa dimulai dari hal-hal konkret seperti optimalisasi aset sitaan.

    “Ini salah satu medium bagi Presiden Prabowo untuk menyelamatkan keuangan negara. Tinggal bagaimana aparat penegak hukum bisa menjalankan perintah ini dengan serius dan kolaboratif,” pungkasnya.

    Dalam sidang terbuka tersebut, Trimedya mendapat hasil memuaskan, predikat Cumlaude dengan IPK 3,96. 

    Trimedya mengangkat disertasi berjudul ‘Pembaruan Hukum Pengelilaan Barang Sitaan dan Rampasan Negara Yang Adil dan Bermanfaat’

    Sederet tokoh nasional hadir dalam sidang promosi terbuka tersebut, mulai dari Jampidum Asep Nana Mulyana (Penguji Eksteenal), Wakil Ketua DPR Adies Kadir (Penguji Eksternal), Ketua Komisi I DPR Utut Adianto, Setara Institute Hendardi, Politikus Senior PDIP Panda Nababan, Anggota Komisi III Nasir Djamil, Benny K Harman, 

    Tampak juga Fungsionaris DPP PDIP, antara lain: Bendum PDIP Olly Dondokambey, Wakil Ketua MPR Bambang Wuryanto (Pacul), Arteria Dahlan, Putra Nababan, hingga Ganjar Pranowo. 

    Tampak juga, Mantan Pimpinan DPR Azis Syamsuddin, Pengamat Politik Henri Satrio, Qodari, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putra Sidin, Anggota KPU Jakarta Timur Carlos Paath.

     

  • DPR Bisa Copot Pejabat Negara Bentuk Intervensi Keliru Sistem Ketatanegaraan

    DPR Bisa Copot Pejabat Negara Bentuk Intervensi Keliru Sistem Ketatanegaraan

    loading…

    DPR bisa mencopot pejabat negara seperti Hakim MK, Hakim MA, Kapolri, Panglima TNI, dan Ketua KPK merupakan bentuk intervensi keliru atas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan. Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – DPR bisa mencopot pejabat negara seperti Hakim MK, Hakim MA, Kapolri, Panglima TNI, dan Ketua KPK merupakan bentuk intervensi keliru atas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan. Aturan tersebut tertuang dalam revisi Tata Tertib (Tatib) DPR.

    Revisi itu pada pokoknya mempertegas fungsi pengawasan DPR terhadap calon-calon penyelenggara negara yang pengangkatannya melalui proses politik di DPR.

    “Memang tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frase pada Pasal 228A Ayat (2) menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat, tentu bisa berujung pada pencopotan jika hasil evaluasi merekomendasikan pencopotan seorang pejabat penyelenggara negara,” ujar Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi, Kamis (6/2/2025).

    Menurut dia, substansi norma sebagaimana Pasal 228A ini keliru secara formil di mana peraturan internal sebuah lembaga negara seharusnya hanya mengatur urusan internal kelembagaan dan/atau mengatur pihak-pihak yang berhubungan dengan lembaga dimaksud.

    Sementara secara substantif, norma di atas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.

    Menurut UUD, frase ini untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur UUD, memastikan pengawasan dan keseimbangan antar masing-masing cabang kekuasaan, serta tidak boleh ada pengaturan lain yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan UUD maupun UU lainnya.

    “Norma Pasal 228A juga melampaui puluhan UU sektoral lain yang justru memberikan jaminan independensi pada MA, MK, BI, KPK, KY, dan lainnya yang berpotensi dibonsai oleh DPR dengan kewenangan evaluasi yang absurd,” ungkap Hendardi.

    Dia menilai DPR gagal memahami makna frase pengawasan yang merupakan salah satu fungsi DPR sebagaimana Pasal 20A (1) UUD 1945. Fungsi pengawasan yang melekat pada DPR adalah mengawasi organ pemerintahan lain dalam menjalankan undang-undang.

    Artinya, yang diawasi DPR adalah pelaksanaan UU bukan kinerja personal apalagi kasus-kasus yang seringkali menimbulkan konflik kepentingan berlapis.

    “Dalam sistem presidensial, jika pun DPR diberi kewenangan menyetujui pencalonan, memilih, atau menetapkan, itu semata-mata ditujukan memastikan adanya pengawasan dan keseimbangan antar lembaga negara dan memastikan pembatasan bagi presiden agar tidak secara bebas memutuskan (discretionary decision) pengisian pejabat penyelenggara kedaulatan rakyat, sehingga desain independensi lembaga-lembaga negara tetap terjaga,” ujarnya.

    Hendardi kembali menegaskan supremasi parlemen yang melampaui prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana Pasal 1 (2) UUD tidak boleh dibiarkan. Sebaiknya DPR berfokus pada tugas utama pembentukan UU, pengawasan atas berjalannya UU yang dibentuknya dan fungsi budgeting secara lebih berkualitas, bukan merancang ranjau-ranjau politik dan kekuasaan yang ditujukan bukan untuk kepentingan rakyat tetapi memaksa kepatuhan buta pada parlemen dan selalu membuka ruang-ruang transaksi dan negosiasi.

    “Peraturan DPR yang cacat formil dan materiil ini sebaiknya tidak perlu diundangkan dan jika sudah terlanjur diundangkan dapat diperkarakan ke Mahkamah Agung agar segera dibatalkan,” kata Hendardi.

    (jon)

  • SETARA Institute: Polri di bawah Presiden adalah perintah konstitusi

    SETARA Institute: Polri di bawah Presiden adalah perintah konstitusi

    Menjaga independensi Polri adalah perintah konstitusi.

    Jakarta (ANTARA) – Lembaga SETARA Institute menyatakan bahwa Polri di bawah langsung Presiden merupakan perintah konstitusi dan ketika ada aspirasi mengubah posisi Polri di bawah TNI atau Kemendagri adalah gagasan yang keliru.

    “Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI Tahun 1945,” kata Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Minggu.

    Menurut dia, ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.

    Hendardi menjelaskan bahwa hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.

    “Dengan demikian, tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional dilakukan kepada Presiden,” tuturnya.

    Perlu diingat, kata dia, pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga.

    Pewarta: Khaerul Izan
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • Hendardi: Kritik PDIP Harus Dimaknai sebagai Alarm Keras bagi Kualitas Demokrasi dan Integritas Pilkada Serentak 2024

    Hendardi: Kritik PDIP Harus Dimaknai sebagai Alarm Keras bagi Kualitas Demokrasi dan Integritas Pilkada Serentak 2024

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA –Pilkada serentak 2024 yang telah berlangsung beberapa waktu lalu menyisakan perdebatan. Terutama terkait dugaan keterlibatan polri dalam mendukung kontestan tertentu.

    Tidak heran, PDIP dengan tegas mengkritik tajam dugaan keterlibatan polri tersebut. Pasalnya, kondisi itu bisa semakin memperburuk demokrasi di tengah sorotan yang tajam belakangan ini.

    Merespons hal itu, Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi menyatakan evaluasi pelaksanaan Pilkada oleh PDI Perjuangan dapat dimaklumi sebagai aspirasi politik.

    Salah satu evaluasi dari PDIP ialah dugaan keterlibatan Polri dalam pemenangan kontestan tertentu di beberapa daerah dan berujung pada usulan pencopotan Kapolri hingga perubahan posisi kelembagaan Polri.

    Dia menjelaskan diakui atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil dalam sengketa pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah Konstitusi.

    “Kritik PDI Perjuangan harus dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas Pilkada serentak 2024, sekaligus juga menjadi dasar akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang dianggap memperburuk kualitas demokrasi,” kata Hendardi dalam keterangannya, dilansir jpnn, Minggu (1/12).

    Dia menjelaskan baik secara langsung maupun tidak, publik menangkap pesan bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri, selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada.