Tag: Hasyim Asy’ari

  • Gus Fahmi Berziarah ke Makam KH Hasyim Asyari di Tebuireng Jombang, Mengadu soal Gejolak PBNU

    Gus Fahmi Berziarah ke Makam KH Hasyim Asyari di Tebuireng Jombang, Mengadu soal Gejolak PBNU

    Jombang (beritajatim.com) – KH Fahmi Amrullah, yang akrab disapa Gus Fahmi, berziarah ke makam pendiri NU (Nahdlatul Ulama) Hadratus Syaikh KH Hasyim Asyari di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang.

    Gus Fahmi, yang juga Ketua PCNU Jombang dan cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) tersebut, memanjatkan doa dengan khusyuk di hadapan makam sang kakek. Dalam ziarahnya, Gus Fahmi mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kondisi internal PBNU yang tengah bergejolak.

    “Saya sengaja datang ke makam Hadratus Syaikh karena melihat elit PBNU yang bergejolak. Jangan sampai NU itu rusak hanya karena kepentingan pribadi,” ujar Gus Fahmi dengan suara penuh kekhawatiran. Ia menegaskan bahwa ia ingin “mengadu kepada KH Hasyim Asyari” mengenai kondisi jamiyah yang didirikannya itu.

    Gus Fahmi mengungkapkan bahwa meskipun konflik dalam tubuh NU sudah biasa terjadi, gejolak kali ini terasa lebih berat. “Masalah di NU itu sudah biasa, namun kali ini sangat berat karena tidak ada ujung dan pangkalnya,” tambahnya, Senin (1/12/2025).

    Ia berharap agar permasalahan yang tengah berlangsung bisa segera diselesaikan, terutama dengan pendekatan musyawarah yang menjadi tradisi NU.

    Pernyataan Gus Fahmi juga menyentil soal pemimpin NU. Ia berharap agar para pemimpin NU bisa menjadi contoh yang baik, terutama dalam menyelesaikan konflik. “Jangan sampai NU rusak hanya karena kepentingan pribadi, ego pribadi. Kalau ada masalah diselesaikan dengan musyawarah, itu tradisi NU,” tegasnya.

    Terkait apakah sudah ada komunikasi antara dua tokoh penting dalam PBNU, KH Miftahul Ahyar dan KH Yahya Cholil Staquf, Gus Fahmi mengaku tidak mengikuti perkembangan lebih lanjut. Menurutnya, hal tersebut merupakan urusan PBNU, sementara tugas PCNU adalah menenangkan warga di bawah.

    “Tugas kami di PCNU hanya menenangkan yang di bawah. Tapi ketenangan kami yang di bawah ini tergantung yang di atas,” ungkapnya.

    Gus Fahmi berharap agar para petinggi NU mendengarkan keluhannya dan segera menemukan jalan tengah untuk meredakan ketegangan yang terjadi. [suf]

  • Mengenal Istilah Kepengurusan PBNU, Ada Rais Aam, Mustasyar, hingga Tanfidziyah

    Mengenal Istilah Kepengurusan PBNU, Ada Rais Aam, Mustasyar, hingga Tanfidziyah

    Mengenal Istilah Kepengurusan PBNU, Ada Rais Aam, Mustasyar, hingga Tanfidziyah
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Internal pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tengah digoyang isu pemberhentian Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya dari kursi Ketua Umum.
    Permintaan untuk memberhentikan
    Gus Yahya
    dari Ketum
    PBNU
    bermula dari risalah rapat harian Syuriyah PBNU yang ditandatangani oleh
    Rais Aam PBNU
    Miftachul Akhyar Kamis (20/11/2025).
    Intinya, rapat harian Syuriyah PBNU itu mengeluarkan tiga pertimbangan yang meminta
    Gus Yahya diberhentikan
    dari posisi Ketum PBNU.
    Risalah tersebut berlanjut dengan keluarnya surat edaran nomor 4785/PB.02/A.II.10.01/99/11/2025, yang intinya menyebut Gus Yahya sudah tidak lagi berstatus sebagai Ketum PBNU per 26 November 2025.
    Gus Yahya pun menegaskan, pengurus NU dari berbagai tingkatan menolak dirinya diberhentikan dari kursi Ketum PBNU.
    Ia menyebut, pemberhentian siapapun di PBNU harus dilakukan melalui proses muktamar. Ia menegaskan itu saat jumpa pers di Kantor PBNU, Jakarta Pusat, Rabu (26/11/2025).
    “Menolak adanya pemberhentian siapapun, apalagi mandataris sampai dengan muktamar yang akan datang. Itu sudah disampaikan jajaran pengurus di berbagai tingkatan,” ujar Gus Yahya dilihat dari siaran Kompas TV.
    Dari dinamika yang terjadi di internal PBNU itu, terlihat adanya sejumlah istilah kepengurusan yang berbeda dengan organisasi lain.
    Mulai dari Syuriyah hingga Rais Aam yang ada dalam pusaran konflik internal pimpinan PBNU. Berikut rangkuman Kompas.com mengenai pengertian kepengurusan di PBNU:
    Mustasyar merupakan penasihat bagi pengurus organisasi Nahdlatul Ulama. Jabatan itu tersebar di Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Cabang, Pengurus Cabang Istimewa luar negeri, Pengurus Majelis Wakil Cabang, hingga Pengurus Ranting NU.
    Setiap tingkat kepengurusan NU memiliki beberapa orang Mustasyar. Mustasyar berwenang untuk menyelenggarakan rapat internal yang dipandang perlu.
    Selain itu, Mustasyar juga bertugas memberikan nasihat, baik diminta atau tidak, secara perseorangan maupun kolektif kepada pengurus.
    KOMPAS.com/HARYANTI PUSPA SARI Konferensi Pers hasil rapat Alim Ulama PBNU di kantor PBNU, Jakarta, Minggu (23/11/2025) malam.
    Syuriyah merupakan pengarah, pembina dan pengawas pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi NU.
    Sama seperti Mustasyar, jabatan Syuriyah jug tersebar di seluruh tingkatan NU, dari Pengurus Besar hingga Pengurus Ranting.
    Syuriyah dipimpin oleh Rais Aam dan memiliki Wakil Rais Aam, Rais, Katib, hingga A’wan.
    Rais Aam merupakan jabatan tertinggi dalam struktur kepengurusan syuriyah NU. Semasa kepemimpinan Hasyim Asy’ari, jabatan ini bernama Rais Akbar.
    Salah satu kewenangan Rais Aam adalah menentukan kebijakan umum organisasi. Wewenang lainnya yakni menandatangani keputusan-keputusan penting NU, hingga menyelesaikan sengketa internal organisasi.
    Katib Aam merupakan penulis atau juru catat. Dalam NU, istilah ini merujuk pada jabatan sekretaris Syuriyah.
    Katib Aam berwenang untuk merumuskan dan mengatur pengelolaan kekatiban Syuriyah, kemudian bersama Rais Aam, Ketua Umum, dan Sekretaris Jenderal menandatangani keputusan-keputusan pengurus besar.
    A’wan juga merupakan bagian dari Syuriyah yang bertugas membantu Rais. A’wan terdiri dari sejumlah ulama terpandang.
    Kewenangan dan tugas A’wan adalah memberi masukan kepada Syuriyah dan membantu pelaksanaan tugas-tugas Syuriyah.
    Tanfidziyah merupakan pelaksanaan keputusan-keputusan organisasi Nahdlatul Ulama. Sama seperti Mustasyar dan Syuriyah, jabatan Syuriyah juta tersebar di seluruh tingkatan NU, dari Pengurus Besar hingga Pengurus Ranting.
    Struktur pengurus harian Tanfidziyah terdiri dari ketua umum, wakil ketua umum, beberapa ketua, sekretaris jenderal, beberapa sekretaris, bendahara umum, dan beberapa bendahara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Islah Bahrawi Sebut Sebagian Anggota PBNU Hanya Numpang Makan: Gak yang Gus, Gak yang Kiai

    Islah Bahrawi Sebut Sebagian Anggota PBNU Hanya Numpang Makan: Gak yang Gus, Gak yang Kiai

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Islam (JMI) Islah Bahrawi menyebut sebagian anggota Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) hanya numpang makan. Bahkan yang berpredikat Gus atau Kiai.

    “Sebagian dari yang jadi anggota PBNU itu hanya numpang makan saja. Gak yang Gus, gak yang Kyai,” kata Islah dikutip dari unggahannya di X, sabtu (22/11/2025).

    Menurutnya, para pengurus tersebut layaknya pengamen. Menjual nama PBNU kesana kemari.

    Tujuannya, mencari uang. Selain itu mengejar jabatan.

    “Mereka hanya jadi pengamen, jualan PBNU ke sana kemari untuk cari cuan dan jabatan,” terangnya.

    Tidak sampai disitu, Islah bahkan mengatakan anggota PBNU rela memecah belah PBNU itu sendiri.

    “Bahkan rela memecah belah PBNU karena diperintah BOHIR,” ucapnya.

    Islah lalu menyinggung Muhammad Hasyim Asy’ari. Ulama yang menjai pemimpin peratma PBNU.

    “Mbah Hasyim pasti sedih melihat semua ini,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menghebohkan publik. Itu setelah rapat Harian Syuriah PBNU pada 20 November 2025 memutuskan untuk mendesak Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf harus mengundurkan diri dari jabatannya.

    Rapat Harian Syuriah dengan keputusan mendesak Yahya Cholil mundur, digelar pada Kamis (20/11) di Hotel Aston City Jakarta yang diikuti 37 dari 53 orang pengurus harian syuriah PBNU. Risalah rapat ini ditandatangani oleh pimpinan rapat sekaligus Rais Aam PBNU, KH Miftachul Akhyar.

    Dalam keputusan rapat tersebut, Syuriah PBNU meminta Yahya Cholil mengundurkan dari dari jabatannya dalam waktu 3 X 24 jam. Namun jika desakan itu tidak dilakukan, maka dengan sendirinya Yahya Cholil Staquf dinyatakan dipecat sebagai Ketua Umum PBNU.

  • HNW apresiasi keputusan jadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai pahlawan

    HNW apresiasi keputusan jadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai pahlawan

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid atau HNW mengapresiasi keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan gelar pahlawan nasional kepada Rahmah El Yunusiyah.

    Menurut dia, Rahmah El Yunusiyah layak diberikan gelar pahlawan nasional karena memberikan kontribusi besar dalam memajukan bangsa, terutama di bidang pendidikan.

    “Rahmah El Yunusiah adalah tokoh perempuan pejuang di berbagai medan; sosial, kemerdekaan, dan pendidikan. Bahkan sebagai pendiri Sekolah/Pesantren Diniyah Putri Padang Panjang, beliau diapresiasi oleh Rektor Universitas Al Azhar Mesir saat mengunjunginya di Padang Panjang tahun 1955,” kata HNW dalam siaran pers resmi yang diterima ANTARA di Jakarta, Sabtu.

    Kunjungan tersebut, kata HNW, membuat Rektor Al Azhar terinspirasi untuk mendirikan fakultas khusus perempuan di Universitas Al Azhar Mesir.

    HNW mengatakan pihak Universitas Al Azhar juga sempat menganugerahi gelar Syaikhah sehingga Rahmah El Yunusiyah menjadi wanita Muslim pertama di dunia yang mendapat gelar kehormatan Syekhah dari Al Azhar, tahun 1957.

    Sederet penghargaan dari luar negeri ini menjadikan Rahmah El Yunusiyah sebagai wanita Minang pertama yang berpengaruh kepada dunia Islam internasional.

    Status ini membuat dia sejajar dengan beberapa tokoh besar Islam seperti Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi Imam di masjid Haram Mekah dan menjadi Guru bagi KH Ahmad Dahlan dsn KH Hasyim Asyari (pendiri Muhammadiysh dan NU) dan Syaikh Yasin Padang yang terkenal sebagai ulama ahli dalam bidang Hadits.

    “Minang juga dikenal sebagai asal dari banyak pahlawan bangsa seperti Bung Hatta, Yamin, Sutan Sahrir, M Natsir dan Buya Hamka,” ujar HNW.

    HNW berharap pemberian gelar pahlawan kepada Rahmah dapat memicu semangat putra putri terbaik Sumatera Barat untuk menjadi insan yang dapat memajukan bangsa pada masa depan.

    “Mudah-mudahan semangat keulamaan, ketokohan dan kenegarawanan yang membawa nama harum tersebut senantiasa hadir dan bisa dilanjutkan oleh warga Sumatera Barat di tingkat nasional maupun di kancah dunia internasional,” tutur HNW.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PKB Bondowoso Gelar Tasyakuran Pengangkatan Tiga Tokoh Jatim sebagai Pahlawan Nasional, Soroti Warisan Perjuangan

    PKB Bondowoso Gelar Tasyakuran Pengangkatan Tiga Tokoh Jatim sebagai Pahlawan Nasional, Soroti Warisan Perjuangan

    Bondowoso (beritajatim.com) – DPC PKB Bondowoso menggelar tasyakuran atas penetapan tiga tokoh asal Jawa Timur sebagai Pahlawan Nasional, yakni Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Presiden RI keempat, serta Marsinah, aktivis buruh perempuan.

    Acara ini berlangsung di kantor DPC PKB Bondowoso pada Jumat malam (14/11/2025) dengan suasana penuh penghormatan terhadap warisan perjuangan ketiganya.

    Ketua DPC PKB Bondowoso, Ahmad Dhafir, menegaskan bahwa masyarakat Jawa Timur patut bersyukur sekaligus bangga. Menurutnya, penetapan tersebut bukan sekadar penghargaan negara, tetapi juga pengingat kuat atas akar perjuangan ulama, pemimpin bangsa, dan aktivis buruh yang telah memberi pengaruh besar bagi Indonesia.

    “Kita sebagai warga Jawa Timur bangga ada tiga tokoh yang sekaligus diangkat sebagai pahlawan nasional. Satu-satunya dari kakek, anak, dan cucu semuanya dijadikan sebagai pahlawan nasional. Gus Dur simbol panutan kami, pelopor pluralisme,” ujar Dhafir.

    Ia menambahkan bahwa tasyakuran yang digelar juga menjadi komitmen PKB Bondowoso untuk mengupgrade kader agar terus melanjutkan nilai-nilai perjuangan yang diwariskan para ulama dan tokoh bangsa.

    “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Pengakuan terhadap jasa beliau-beliau tetap menjadi kebanggaan bangsa,” tambahnya.

    Dhafir juga menyoroti penetapan Syaikhona Kholil Bangkalan sebagai Pahlawan Nasional sebagai bukti kuat bahwa pesantren sejak masa perjuangan menjadi benteng penting bagi kemerdekaan bangsa. “Mulai dari KH Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, sampai Abdurrahman Wahid. Pesantren tidak pernah absen dari sejarah bangsa,” ujarnya.

    Selain ulama dan pemimpin bangsa, negara juga menetapkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional. Ia dikenal sebagai buruh pabrik di Sidoarjo pada awal 1990-an yang gigih memperjuangkan hak-hak rekan kerjanya hingga berakhir tragis.

    “Marsinah memperjuangkan hak sahabat-sahabatnya. Dia membuka rahasia yang ada di pabrik waktu itu, sehingga berujung pada pembunuhannya. Dia berani, gigih, dan membela yang benar. Wajar kalau kemudian ditetapkan sebagai pahlawan nasional,” ucap Dhafir.

    Acara tasyakuran tersebut sekaligus menjadi ruang refleksi bagi para kader untuk menjaga nilai keberanian, kejujuran, serta perjuangan tanpa pamrih yang diwariskan oleh ketiga tokoh tersebut.

    “Semangat ini diharapkan menjadi energi baru bagi PKB Bondowoso untuk melanjutkan kerja-kerja kebangsaan di masa mendatang,” pungkasnya. [awi/ian]

  • Gus Dur Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Pemkab Jombang Gelar Tasyakuran

    Gus Dur Resmi Jadi Pahlawan Nasional, Pemkab Jombang Gelar Tasyakuran

    Jombang (beritajatim.com) – Suasana khidmat menyelimuti Pendopo Kabupaten Jombang saat acara tasyakuran digelar untuk merayakan penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Kamis malam (13/11/2025).

    Penganugerahan gelar ini, yang berlangsung pada 10 November 2025 di Istana Negara Jakarta, merupakan penghargaan negara atas perjuangan luar biasa Gus Dur dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, dan pendidikan Islam.

    Acara tasyakuran dihadiri oleh berbagai tokoh penting, mulai dari Bupati Jombang Warsubi, Forkopimda, jajaran Kepala OPD, alim ulama, tokoh agama, hingga pimpinan pondok pesantren.

    Dalam sambutannya, Bupati Warsubi mengungkapkan rasa syukur yang mendalam atas pengakuan negara terhadap jasa-jasa Gus Dur. “Syukur alhamdulillah kita panjatkan kehadirat Allah SWT,” ujar Warsubi.

    Lebih lanjut, Warsubi menekankan bahwa gelar Pahlawan Nasional ini bukan hanya kebahagiaan bagi keluarga besar Gus Dur dan para Gusdurian, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Jombang, Jawa Timur, dan bangsa Indonesia.

    “Kita semua patut bersyukur dan berbangga, karena Kabupaten Jombang memiliki tokoh penting seperti beliau, yang telah berkontribusi besar bagi bangsa dan negara ini,” ungkapnya.

    Sebagai tokoh utama dalam memperjuangkan keterbukaan pemahaman keagamaan umat Islam dan sebagai pelopor pluralisme, Gus Dur diakui secara luas sebagai pemimpin yang tak hanya memberikan dampak besar di dalam negeri, tetapi juga di dunia internasional.

    Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional ini menambah daftar panjang pengakuan atas perjuangannya yang tak kenal lelah.

    Acara tasyakuran tersebut juga dihadiri oleh sepupu Gus Dur, KH Fahmi Amrullah Hadziq atau Gus Fahmi, Ketua PCNU Jombang, yang dalam sambutannya mengenang sosok Gus Dur yang ikhlas dan penuh manfaat.

    KH Fahmi Amrullah Hadziq, sepupu Gus Dur, saat sambutan

    Gus Fahmi mengungkapkan bahwa meskipun Gus Dur telah wafat, perjuangannya tetap memberi dampak positif. “Ketika beliau masih hidup, beliau memberikan manfaat kepada bangsa dan negara, bahkan setelah beliau wafat pun masih bisa memberikan manfaat dan menghidupi banyak orang, yaitu warga di sekitar makam,” tuturnya.

    Doa bersama ditutup dengan harapan agar seluruh amal jariyah Gus Dur terus mengalir, dan ditempatkan di tempat yang mulia oleh Allah SWT. Gus Fahmi juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada Presiden yang telah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur, serta kepada Bupati Jombang dan seluruh jajaran pemerintahan yang turut mendukung pengakuan ini.

    Dengan penganugerahan ini, masyarakat Jombang kembali mengingat dan menghargai perjuangan Gus Dur sebagai pahlawan yang menginspirasi. Tasyakuran yang penuh haru ini menandai sebuah babak baru dalam pengakuan terhadap jasa-jasa besar Gus Dur, yang akan terus dikenang oleh generasi mendatang.

    Dengan penganugerahan Gus Dur sebagai Pahlawan Nasional, berarti ada empat Pahlawan Nasional asal Kota Santri. Karena sudah ada tiga Pahlawan Nasional. Mereka adalah pendiri NU (Nahdlatul Ulama) KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah, serta KH Abdul Wahid Hasyim. [suf]

  • Taufiq MS: Penganugerahan Pahlawan Nasional Harus Jadi Refleksi, Ada Ironi Marsinah dan Soeharto

    Taufiq MS: Penganugerahan Pahlawan Nasional Harus Jadi Refleksi, Ada Ironi Marsinah dan Soeharto

    Surabaya (beritajatim.com) – Politisi muda Surabaya, Taufiq MS, mengajak publik menjadikan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional tahun ini sebagai bahan refleksi sejarah. Menurutnya, ada ironi ketika nama Marsinah, aktivis buruh yang gugur karena melawan represi, bersanding dengan Soeharto, yang berkuasa pada masa ketika penindasan itu terjadi.

    “Ada ironi sejarah di sana. Di satu sisi, kita memuliakan korban perjuangan buruh; di sisi lain, kita juga memuliakan penguasa pada masa ketika suara buruh dibungkam,” ujar Taufiq, yang juga Ketua IKA FISIP UINSA, Selasa (11/11/2025).

    Ia menilai publik pasti menangkap kontras tersebut sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa. Situasi itu, kata Taufiq, perlu menjadi renungan bersama agar penghargaan pahlawan tidak berhenti pada seremoni semata. “Ini paradoks yang perlu menjadi bahan refleksi bersama,” tambahnya.

    Meski demikian, Taufiq menyampaikan apresiasi terhadap penganugerahan gelar pahlawan kepada seorang kiai asal Madura yang dikenal sebagai guru KH Hasyim Asy’ari. Ia menyebut keputusan itu menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan tidak hanya terjadi di medan pertempuran.

    “Pemerintah telah menunjukkan sikap berkeadilan sejarah. Bahwa pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang di medan tempur, tetapi juga para kiai dan guru bangsa yang menanamkan nilai keislaman, kebangsaan, dan kemerdekaan,” kata politisi muda dari Partai NasDem tersebut.

    Taufiq juga memberi penghormatan terhadap penganugerahan gelar pahlawan untuk Marsinah, aktivis buruh perempuan yang gugur karena perjuangannya. Ia menyebut figur Marsinah sebagai simbol keberanian perempuan dan keteguhan kelas pekerja melawan ketidakadilan.

    “Marsinah adalah simbol perjuangan kelas pekerja dan keberanian perempuan melawan ketidakadilan. Dia pantas mendapatkan gelar itu, bahkan mungkin sudah lama layak,” ujarnya.

    Taufiq menegaskan, penghormatan kepada para pahlawan harus diwujudkan melalui kebijakan dan keberpihakan nyata kepada rakyat. Menurutnya, semangat keadilan sosial adalah fondasi yang tidak boleh dilepaskan dari makna kepahlawanan.

    “Semangat para kiai dan aktivis seperti Marsinah adalah napas bangsa ini. Jangan sampai penghargaan itu berhenti sebagai simbol dan mengaburkan makna perjuangan,” pungkasnya. [asg/kun]

  • Jadi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Syaikhona Kholil Berjasa Besar pada Keagamaan dan Kemanusian

    Jadi Pahlawan Nasional, Gus Dur dan Syaikhona Kholil Berjasa Besar pada Keagamaan dan Kemanusian

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI, Jazilul Fawaid menyampaikan apresiasi dan rasa syukur atas keputusan pemerintah yang memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-IV RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan KH Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan.

    “Kami menyampaikan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pemerintah atas penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur dan Syaikhona Kholil,” kata Gus Jazil, sapaan akrab Jazilul Fawaid, Senin (10/11/2025).

    Menurut Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu, kedua tokoh tersebut merupakan sosok besar yang memiliki jasa luar biasa bagi bangsa dan negara, khususnya dalam bidang keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

    Gus Jazil menilai, momentum pemberian gelar pahlawan ini menjadi pengingat penting bagi generasi muda untuk meneladani perjuangan dan nilai-nilai yang diwariskan oleh dua tokoh besar tersebut.

    “Semoga semangat perjuangan Gus Dur dan Syaikhona Kholil terus menginspirasi generasi penerus dalam menjaga keutuhan NKRI dan menegakkan nilai-nilai kebangsaan,” katanya.

    Wakil Ketua Umum PKB itu menjelaskan, KH Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan merupakan ulama besar dan guru para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), termasuk KH Hasyim Asy’ari. Pemikiran dan perjuangan Syaikhona Kholil telah melahirkan generasi ulama dan santri yang berperan penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.

    Sementara itu, Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralisme, demokrasi, dan kemanusiaan yang tak hanya membela umat Islam, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia tanpa memandang latar belakang agama, suku, maupun golongan.

    “Gus Dur adalah simbol keberanian moral dan teladan dalam memperjuangkan kemanusiaan serta demokrasi. Beliau bukan hanya milik warga Nahdlatul Ulama, tetapi milik seluruh bangsa Indonesia,” lanjut mantan Wakil Ketua MPR RI tersebut.

    Seperti diberitakan, Presiden Prabowo menganugerahkan gelar pahlawan nasional terhadap 10 tokoh. Selain Syaikhona Kholil dan Gus Dur, ada juga Presiden RI kedua Soeharto, Marsinah, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, dan Rahmah El Yunusiyyah.

    Kemudian Jenderal TNI (Purn) Sarwo Edhie Wibowo, Sultan Muhammad Salahuddin, Tuan Rondahaim Saragih, dan Zainal Abidin Syah dari Provinsi Maluku Utara. [hen/ian]

  • Hari Pahlawan 2025: Jejak Sejarah di Balik Penetapannya

    Hari Pahlawan 2025: Jejak Sejarah di Balik Penetapannya

    Penetapan Hari Pahlawan Nasional tidak lepas dari peristiwa paling heroik dalam sejarah perjuangan Indonesia, yakni Pertempuran Surabaya pada tahun 1945. Pertempuran itu terjadi setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

    Kala itu, pasukan sekutu, terdiri dari tentara Inggris dan Belanda (NICA), ke Kota Surabaya pada 25 Oktober 1945. Kedatangan sekutu awalnya bertujuan untuk mengamankan para tawanan perang dan melucuti senjata tentara Jepang. Pada 27 Oktober 1945, NICA yang dipimpin Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sother Mallaby memasuki wilayah Surabaya dan langsung mendirikan pos pertahanan. Pasukan Sekutu yang didominasi tentara Inggris menyerbu penjara dan membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh pihak Indonesia.

    Mereka juga memerintahkan masyarakat Indonesia untuk menyerahkan senjata. Namun, perintah tersebut ditolak tegas oleh rakyat Indonesia. Pada 28 Oktober 1945, pasukan Indonesia yang dipimpin Bung Tomo melancarkan serangan ke pos-pos pertahanan Sekutu, dan berhasil merebut sejumlah bagian titik penting Surabaya.

    Meskipun gencatan senjata telah disepakati pada 29 Oktober, bentrokan bersenjata tetap terjadi antara warga Surabaya dan pasukan Inggris. Puncak pertempuran ini ditandai dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby pada 30 Oktober 1945, yang memicu kemarahan pihak Inggris.

    Pada pagi 10 November, tentara Inggris melancarkan serangan besar. Pasukan dan milisi Indonesia memberikan perlawanan sengit, sehingga Inggris merespons dengan mengeluarkan ultimatum. Ultimatum tersebut disampaikan oleh Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, yang menggantikan posisi Mallaby.

    Jenderal Eric Carden menuntut Indonesia untuk menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan terhadap pasukan Inggris. Jika tuntutan tersebut tidak dipatuhi, tentara AFNEI dan administrasi NICA mengancam akan menggempur Kota Surabaya dari darat, laut, dan udara.

    Ultimatum tersebut tidak digubris oleh para pemimpin perjuangan, arek-arek Surabaya, dan seluruh rakyat, sehingga Inggris melancarkan serangan besar-besaran ke Kota Surabaya dari berbagai arah. Mereka menggunakan kekuatan darat, laut, dan udara, yang memicu pecahnya pertempuran terbesar di Surabaya pada 10 November 1945.

    Salah satu tokoh yang memiliki peran besar dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat Surabaya dalam pertempuran ini adalah Bung Tomo. Dia menginspirasi melalui siaran Radio Pemberontakan milik Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI).

    Selain Bung Tomo, terdapat juga tokoh-tokoh berpengaruh lainnya yang turut menggerakkan rakyat Surabaya pada masa itu, beberapa di antaranya berasal dari kalangan agama, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, dan kyai-kyai pesantren lainnya. Mereka juga mengerahkan santri-santri dan masyarakat sipil untuk bergabung dalam milisi perlawanan.

    Banyak pejuang yang gugur dan banyak pula warga yang menjadi korban dalam pertempuran tersebut. Kondisi ini menyebabkan Kota Surabaya dikenang sebagai Kota Pahlawan, sebagai penghormatan atas perjuangan dan pengorbanan besar yang terjadi di sana.

    Untuk mengenang keberanian dan pengorbanan para pejuang dalam pertempuran tersebut, pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959, menetapkan 10 November sebagai Hari Pahlawan Nasional.

  • Peristiwa 10 November, Mengenang Hari Pahlawan dan Pertempuran Surabaya yang Melegenda

    Peristiwa 10 November, Mengenang Hari Pahlawan dan Pertempuran Surabaya yang Melegenda

    Jakarta: Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Peringatan ini merupakan momen krusial untuk mengenang kembali sejarah kelam namun heroik di Surabaya pada tahun 1945.

    Peristiwa yang terjadi di ‘Kota Pahlawan’ ini menunjukkan betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan. Rakyat Indonesia, yang baru saja merdeka dua bulan sebelumnya, harus menghadapi pasukan Sekutu (termasuk tentara Inggris) yang ingin menegakkan kembali kekuasaan kolonial.

    Peristiwa ini menjadi simbol perlawanan dan semangat patriotisme yang tak pernah padam.
    Asal Usul Peringatan 10 November
    Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda ingin kembali berkuasa. Pasukan Sekutu, yang dipimpin oleh Inggris (AFNEI), mendarat di Surabaya dengan dalih melucuti tentara Jepang. Namun, ternyata ada juga tentara Belanda (NICA) yang ikut serta dan memicu konflik dengan pihak Indonesia.

    Ketegangan di Surabaya memuncak setelah insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Situasi semakin memanas pasca penandatanganan gencatan senjata pada 29 Oktober 1945 yang gagal sepenuhnya meredakan bentrokan.

    ​Puncaknya, pada 30 Oktober 1945, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, pimpinan pasukan Inggris untuk Jawa Timur, tewas dalam baku tembak. Kematian Mallaby memicu kemarahan Inggris. Penggantinya, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, lantas mengeluarkan ultimatum yang sangat keras.

    ​Ultimatum tersebut meminta seluruh rakyat Surabaya menyerahkan senjata dan datang melapor dengan tangan diangkat ke pos-pos Inggris selambat-lambatnya pukul 06.00 pagi, 10 November 1945. Jika menolak, Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara.

    ​Para pemimpin dan rakyat Surabaya menolak ultimatum itu mentah-mentah. Penolakan inilah yang menjadi awal pertempuran dahsyat 10 November 1945.
     

     

    Kobaran Semangat “Jihad fi Sabilillah” Bung Tomo

    ​Penolakan terhadap ultimatum Inggris tidak lepas dari peran para tokoh agama dan pejuang. Salah satu motor penggerak utama adalah Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo.

    ​Melalui siaran Radio Pemberontakan, Bung Tomo membakar semangat juang rakyat jelata, pemuda, santri, dan laskar-laskar rakyat. Pidato Bung Tomo yang menggelegar dan berapi-api berhasil menyatukan rakyat dari berbagai latar belakang untuk mengangkat senjata.

    ​Dukungan moral juga datang dari kalangan ulama. Jauh sebelum 10 November, pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa ini menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban bagi setiap Muslim (Fardhu Ain) dan mereka yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah ditetapkan sebagai syahid. Fatwa inilah yang menjadi landasan spiritual perlawanan rakyat Surabaya.

    Baca juga: 
    Simbol Persatuan Total Rakyat Semesta

    ​Pertempuran 10 November berlangsung sengit selama kurang lebih tiga minggu. Meskipun pada akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, pertempuran ini dikenang sebagai konfrontasi pertama antara pasukan Indonesia melawan kekuatan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan.

    ​Yang paling penting, peristiwa ini menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya urusan para elite politik atau tentara, tetapi melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti guru, pedagang, petani, buruh, hingga pemuda dan ulama, semuanya bersatu melawan musuh dengan semangat kebersamaan yang tak tergoyahkan.

    ​Peringatan Hari Pahlawan adalah refleksi agar semangat keberanian, persatuan, dan pengorbanan para pahlawan di Surabaya terus menginspirasi kita untuk berjuang demi kemajuan bangsa di masa kini.

    (Sheva Asyraful Fali)

    Jakarta: Setiap tanggal 10 November, bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Peringatan ini merupakan momen krusial untuk mengenang kembali sejarah kelam namun heroik di Surabaya pada tahun 1945.
     
    Peristiwa yang terjadi di ‘Kota Pahlawan’ ini menunjukkan betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan. Rakyat Indonesia, yang baru saja merdeka dua bulan sebelumnya, harus menghadapi pasukan Sekutu (termasuk tentara Inggris) yang ingin menegakkan kembali kekuasaan kolonial.
     
    Peristiwa ini menjadi simbol perlawanan dan semangat patriotisme yang tak pernah padam.
    Asal Usul Peringatan 10 November
    Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Belanda ingin kembali berkuasa. Pasukan Sekutu, yang dipimpin oleh Inggris (AFNEI), mendarat di Surabaya dengan dalih melucuti tentara Jepang. Namun, ternyata ada juga tentara Belanda (NICA) yang ikut serta dan memicu konflik dengan pihak Indonesia.

    Ketegangan di Surabaya memuncak setelah insiden perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Situasi semakin memanas pasca penandatanganan gencatan senjata pada 29 Oktober 1945 yang gagal sepenuhnya meredakan bentrokan.
     
    ​Puncaknya, pada 30 Oktober 1945, Brigadir Jenderal AWS Mallaby, pimpinan pasukan Inggris untuk Jawa Timur, tewas dalam baku tembak. Kematian Mallaby memicu kemarahan Inggris. Penggantinya, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, lantas mengeluarkan ultimatum yang sangat keras.
     
    ​Ultimatum tersebut meminta seluruh rakyat Surabaya menyerahkan senjata dan datang melapor dengan tangan diangkat ke pos-pos Inggris selambat-lambatnya pukul 06.00 pagi, 10 November 1945. Jika menolak, Surabaya akan digempur dari darat, laut, dan udara.
     
    ​Para pemimpin dan rakyat Surabaya menolak ultimatum itu mentah-mentah. Penolakan inilah yang menjadi awal pertempuran dahsyat 10 November 1945.
     

     

    Kobaran Semangat “Jihad fi Sabilillah” Bung Tomo

    ​Penolakan terhadap ultimatum Inggris tidak lepas dari peran para tokoh agama dan pejuang. Salah satu motor penggerak utama adalah Sutomo atau yang akrab disapa Bung Tomo.
     
    ​Melalui siaran Radio Pemberontakan, Bung Tomo membakar semangat juang rakyat jelata, pemuda, santri, dan laskar-laskar rakyat. Pidato Bung Tomo yang menggelegar dan berapi-api berhasil menyatukan rakyat dari berbagai latar belakang untuk mengangkat senjata.
     
    ​Dukungan moral juga datang dari kalangan ulama. Jauh sebelum 10 November, pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa yang dikenal sebagai “Resolusi Jihad”. Fatwa ini menyatakan bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban bagi setiap Muslim (Fardhu Ain) dan mereka yang gugur dalam pertempuran melawan penjajah ditetapkan sebagai syahid. Fatwa inilah yang menjadi landasan spiritual perlawanan rakyat Surabaya.
     
    Baca juga: 
    Simbol Persatuan Total Rakyat Semesta

    ​Pertempuran 10 November berlangsung sengit selama kurang lebih tiga minggu. Meskipun pada akhirnya Surabaya jatuh ke tangan Sekutu, pertempuran ini dikenang sebagai konfrontasi pertama antara pasukan Indonesia melawan kekuatan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan.
     
    ​Yang paling penting, peristiwa ini menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan bukan hanya urusan para elite politik atau tentara, tetapi melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti guru, pedagang, petani, buruh, hingga pemuda dan ulama, semuanya bersatu melawan musuh dengan semangat kebersamaan yang tak tergoyahkan.
     
    ​Peringatan Hari Pahlawan adalah refleksi agar semangat keberanian, persatuan, dan pengorbanan para pahlawan di Surabaya terus menginspirasi kita untuk berjuang demi kemajuan bangsa di masa kini.
     
    (Sheva Asyraful Fali)
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (RUL)