Tag: Hasto Kristiyanto

  • Kritik Abolisi Mencuat, Dian Sandi PSI: Kami Hormati Prabowo

    Kritik Abolisi Mencuat, Dian Sandi PSI: Kami Hormati Prabowo

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kader PSI, Dian Sandi Utama, menegaskan, pihaknya telah menetapkan sikap mengenai abolisi dan amnesti yang diberikan Presiden Prabowo kepada Tom Lembong serta Hasto Kristiyanto.

    Hal ini ditekankan Dian setelah, Narliswandi Piliang, yang merupakan mantan wartawan, di grup Tempo, memberikan komentar miring.

    “Melalui Sekjend RJA (Raja Juli Antoni), PSI sangat menghormati keputusan tersebut,” kata Dian di X @DianSandiU (3/8/2025).

    Dikatakan Dian, ketika ada kader maupun simpatisan yang memiliki pendapat berseberangan, tidak bisa juga sepenuhnya disalahkan.

    “Uda Iwan Piliang, apa itu salah?,” cetusnya.

    Sebelumnya, Narliswandi yang akrab disapa Iwan, mengatakan bahwa sudah saatnya maki-memaki terhadap Presiden Prabowo dihentikan.

    Bukan tanpa alasan, Narliswandi mendapatkan kabar bahwa ada gerakan kader PSI yang kecewa dengan keputusan amnesti dan abolisi presiden.

    Akibatnya, para kader yang dimaksud saat ini ramai-ramai menyerang Prabowo

    “Bila tak suka dengan kebijakan, kritisi kebijakan,” ucap Iwan.

    Lanjut dia, jika tidak sependapat dengan kebijakan Prabowo, siapapun boleh memberikan kritikan dengan argumen.

    “Terlebih oknum Partai PSI,” tukasnya.

    Iwan kemudian memberikan contoh melalui dirinya sendiri. Ketika tidak setuju dengan kebijakan Jokowi saat menjadi Presiden, ia tak sungkan memberi kritik.

    “Namun sebagai kawan tetap saya temui, fakta, pada 22 Oktober 2014 lalu di kediaman di Solo untuk kami sebatas tertawa-tawa,” imbuhnya.

    Melihat riak-riak yang terjadi, Iwan bilang bahwa ranah Sosmed tidak mencerminkan membangun peradaban bermutu.

  • Beri Amnesti dan Abolisi, Prabowo Lolos Perangkap Jokowi

    Beri Amnesti dan Abolisi, Prabowo Lolos Perangkap Jokowi

    GELORA.CO –  Keputusan pemberian amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong dianggap langkah yang tepat agar Presiden Prabowo Subianto tidak masuk dalam perangkap Presiden ke-7 Joko Widodo alias Jokowi.

    Begitu yang disampaikan Direktur Eksekutif Studi Demokrasi Rakyat (SDR), Hari Purwanto merespons telah bebasnya Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong setelah menerima amnesti dan abolisi dari Presiden Prabowo pada Jumat, 1 Agustus 2025.

    “Keputusan amnesti dan abolisi yang dilakukan oleh PS (Prabowo Subianto) adalah langkah tepat agar PS tidak masuk dalam perangkap Jokowi,” kata Hari kepada RMOL, Minggu, 3 Agustus 2025.

    Bahkan kata Hari, keputusan Prabowo tersebut juga dapat menghindari agar tidak dijadikan budak catur orang perorang atau kelompok kepentingan.

    “Jokowi sendiri sedangkan melampiaskan dendamnya saat ini dan bisa diandaikan seperti peribahasa jawa ‘Nabok Nyilih Tangan’,” pungkas Hari.

    Dengan pemberian abolisi, maka dakwaan terhadap Tom Lembong ditiadakan. Sementara dengan amnesti terhadap Hasto, semua akibat hukum pidana terhadap Hasto dihapuskan

    Diketahui, DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R43/Pres/30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR atas pemberian abolisi atas nama saudara Tom Lembong.

    Sementara pertimbangan amnesti kepada Hasto tertuang dalam Surpres Nomor 42/Pres/07/2025 tertanggal 30 Juli 2025.

    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta sebelumnya menyatakan Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi dari kebijakan importasi gula di Kementerian Perdagangan tahun 2015-2016.

    Namun, Tom tetap dinyatakan bersalah dengan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider enam bulan kurungan.

    Sementara Hasto dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan suap dengan menyediakan Rp400 juta dari total Rp1,25 miliar untuk operasional suap mantan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan dalam rangka pergantian anggota DPR periode 2019-2024.

  • Ini kata pengamat jika Hasto kembali jabat Sekjen PDIP

    Ini kata pengamat jika Hasto kembali jabat Sekjen PDIP

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ini kata pengamat jika Hasto kembali jabat Sekjen PDIP
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Minggu, 03 Agustus 2025 – 18:35 WIB

    Elshinta.com – Kongres ke-6 PDIP di Bali sudah selesai, jajaran pengurus DPP yang baru juga sudah diumumkan. Nama Hasto Kristiyanto tidak lagi mendapat posisi Sekjen, Jabatan Sekjen kini dirangkap oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

    Pengamat politik Trubus Rahadiansyah menilai keputusan itu sudah tepat, lantaran bila dipaksakan maka PDIP berpotensi akan tersandera usai mendapatkan amnesti Presiden Prabowo Subianto. 

    “PDIP sudah seharusnya melepas Hasto. Dan PDIP berpotensi akan tersandera,” kata Trubus saat dihubungi, Minggu (3/8/2025).

    Lebih jauh Trubus mengungkapkan citra PDIP akan terguncang bila tetap mempertahankan Hasto menjadi Sekjen PDIP. Sebab amnesti hanya memberikan ampunan kepada terpidana, namun tidak mengugurkan status pidananya. 

    Hal itu sesuai, ucap dia, pernyataan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang mengatakan amnesti yang diterima Hasto tidak menghilangkan perbuatan korupsi yang pernah dilakukan Sekjen PDIP tersebut. Tanak menegaskan status Hasto yang telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan tidak luntur meski adanya pemberian amnesti.

    “Amnesti tidak menggugurkan pidana. Jadi menurut saya sudah layak diganti (Hasto), karena menjadi beban,” tandas Trubus. 

    Diketahui, pada Kamis (31/7) malam DPR RI dan pemerintah menggelar rapat konsultasi membahas pertimbangan presiden terkait pemberian amnesti hingga abolisi. Di antaranya abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto.

    Sumber : Elshinta.Com

  • Pengamat Pastikan Hasto Kristiyanto Didukung Banyak Kader Jadi Sekjen PDIP

    Pengamat Pastikan Hasto Kristiyanto Didukung Banyak Kader Jadi Sekjen PDIP

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Nama Hasto Kristiyanto kembali mencuat dan menjadi perbincangan. Itu setelah Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti atas kasus yang menjeratnya.

    Kali ini, perbincangan terhadap Hasto tidak lagi terkait seputar kasus suap PAW Harun Masiku, namun lebih kepada peluangnya untuk menduduki kembali jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

    Sejumlah pengamat menilai bahwa sosok Hasto Kristiyanto masih sangat berpeluang besar ditunjuk kembali sebagai Sekjen PDIP. Beberapa analis politik telah mengungkapkan peluang tersebut seperti pengamat Jamiluddin Ritongan, peneliti sekaligus Direkatur Eksekutif PT IPI, Suwadi Idris Amir, dan sejumlah pihak lainnya.

    Pandangan sampai disampaikan Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Strategic Actions (CISA), Herry Mendrofa. Dia melihat, Hasto Kristiyanto sangat berpeluang besar menjadi sekretaris jenderal (Sekjen) PDIP. “Masih sangat terbuka lebar,” tandas Herry Mendrofa.

    Dia beralasan, Hasto merupakan kader PDIP yang memiliki loyalitas dan ideologis yang kuat. Hal itu terlihat pada sosoknya dalam dua dekade kepengurusan PDIP belakangan.

    Dia menambahkan, loyalitas dan konsistensi Hasto dalam mengawal garis politik Bung Karno melalui PDIP patut diapresiasi.

    Karena berbagai alasan tersebut, dia memiliki pandangan bahwa akan banyak kader PDIP yang mendukung Hasto Kristiyanto kembali ditetapkan sebagai sekjen.

    Diketahui, PDI Perjuangan merupakan partai memiliki tradisi kaderisasi berbasis loyalitas, rekam jejak, dan pengabdian.

  • Karakter Kritis, Alasan Bu Mega Bakal Tunjuk Hasto Jadi Sekjen PDIP

    Karakter Kritis, Alasan Bu Mega Bakal Tunjuk Hasto Jadi Sekjen PDIP

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Jabatan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuanga (PDIP) saat ini dirangkap Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.

    Rangkap jabatan itu sebelum struktur kepengurusan baru DPP PDIP dibentuk pasca Kongres VI PDIP di Bali awal Agustus ini. Sejumlah tokoh PDIP dinilai layak mengisi salah satu posisi strategis tersebut.

    Beberapa nama yang mengemuka untuk mengisi jabatan Sekjen PDIP seperti mantan Gubernur Jawa Tengah (Jateng), Ganjar Pranowo, Ahmad Basarah, Djator Saiful Hidayat, hingga putra Mega sendiri, Prananda Prabowo.

    Meski nama-nama tersebut mengemuka saat Kongres VI PDIP lalu, namun nama Hasto Kristiyanto dinilai tetap masih menjadi figur paling kuat dan paling layak mengisi kembali jabatan sekjen tersebut.

    Peneliti Indeks Politica Indonesia (IPI), Suwadi Idris Amir mengatakan bahwa Hasto Kristiyanto yang menduduki jabatan sekjen pada kepengurusan sebelumnya, masih sangat berpeluang besar untuk ditunjuk sebagai Sekjen PDIP oleh Megawati Soekarnoputri.

    Dia menyebut, PDIP membutuhkan karakter atau figur seperti Hasto Kristiyanto. Karakter yang dimiliki Hasto dimaksud yakni memiliki suara kitis dan vokal terhadap pemerintah bahkan terhadap mantan Presiden, Joko Widodo.

    “Hasto dibutuhkan PDIP karena karakter kritisnya terhadap kubu Jokowi dan pemerintah. Dimana vokalnya dibutuhkan merawat kritisme PDIP ke kubu pemerintah dan kubu Jokowi,” jelas Suwadi, Minggu (3/8).

    Dia bahkan menyebut, di dalam kepengurusan PDIP baik pusat maupun daerah-daerah, nama Hasto Kristiyanto masih sangat kuat. Suwadi menilai, Hasto memiliki jaringan kuat hingga kader-kader PDIP di daerah. “Dan hasto masih diinginkan kader-kader inti PDIP,” tambah Suwadi.

  • Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 Agustus 2025

    Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi Nasional 3 Agustus 2025

    Prabowo Juga Beri Amnesti ke Ongen yang Terjerat UU ITE karena Hina Jokowi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Presiden RI
    Prabowo Subianto
    memberikan amnesti kepada
    Yulianus Paonganan
    atau
    Ongen
    yang terjerat dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (
    UU ITE
    ) terkait penghinaan terhadap Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (
    Jokowi
    ).
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, sebanyak 1.178 narapidana memenuhi syarat menerima amnesti, termasuk Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP
    Hasto Kristiyanto
    yang terjerat kasus suap dan perintangan penyidikan, serta Yulianus Paonganan terkait kasus pelanggaran UU ITE yang berkaitan dengan penghinaan terhadap Presiden Jokowi.
    “Kalau amnesti itu jumlahnya 1.178, karena ada ketambahan salah satunya adalah Pak Hasto (Sekjen PDIP) dan yang kedua ada atas nama Yulianus Paonganan atas kasus ITE terkait penghinaan terhadap kepala negara,” kata Supratman dalam konferensi pers Jumat (1/8/2025).
    Supratman mengatakan, 99 persen data penerima amnesti berasal dari Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan (Imipas).
    Narapidana yang menerima amnesti terdiri dari kasus penggunaan narkotika, pelaku makar tanpa senjata di Papua, orang dengan gangguan jiwa, penderita paliatif, disabilitas dari sisi intelektual, dan faktor usia.
    “Kemudian tadi yang saya sebutkan Dr. Yulianus Paonganan dan Pak Hasto Kristiyanto,” ujarnya.
    Pada 18 Desember 2025, Badan Reserse Kriminal Polri menetapkan Yulianus Paonganan selaku pemilik akun @ypaonganan, sebagai tersangka kasus penyebaran konten pornografi.
    Yulianus melalui akun Facebook dan juga Twitter miliknya menyebarkan sebuah foto Presiden Joko Widodo yang duduk bersama artis Nikita Mirzani.
    Di dalam foto itu terdapat tulisan #papadoyanl*e. Kalimat yang menjadi tagar itu kemudian dituliskan Yulianus sebanyak 200 kali.
    Kalimat itulah yang dianggap polisi mengandung unsur pornografi.
    Yulianus, atau yang biasa dipanggil Ongen, pun dijerat dengan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
    Dia juga dijerat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
    Atas perbuatannya itu, Yulianus diancam hukuman penjara minimal enam tahun atau maksimal 12 tahun serta denda minimal Rp 250 juta atau Rp 6 miliar.
    Sejumlah media massa mengabarkan bahwa Yulianus adalah seorang dosen Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun, IPB langsung membantahnya.
    Berdasarkan penelusuran
    Kompas.com
    , di laman Pangkalan Data Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi terdapat nama Yulianus Paonganan.
    Pria ini tercatat sebagai dosen tetap di Universitas Nusa Cendana, Kupang, Nusa Tenggara Timur, dengan program studi Biologi.
    Di dalam riwayat pendidikan yang tercantum dalam situs itu, Yulianus meraih gelar sarjana di Universitas Hasanuddin pada tahun 1997.
    Dia kemudian meraih gelar master di IPB pada tahun 2000.
    Di Universitas Nusa Cendana, Yulianus diketahui mengajar pada tahun 2006-2009 dengan sejumlah mata kuliah, seperti Biologi Laut, Ekologi Hewan, Limnologi, Planktonologi, dan Biostatistik.
    Dia juga sempat menjadi anggota staf Menteri Perhubungan pada periode 2009-2010.
    Selain aktif mengajar, Yulianus juga diketahui menciptakan pesawat tanpa awak (drone).
    Di laman Facebook miliknya terdapat sejumlah foto kegiatan Yulianus ketika tengah merakit drone.
    Ada pula foto pria kelahiran Batusitanduk, Kabupaten Luwu, Provinsi Sulawesi Selatan, 10 Juli 1970, itu saat bersama perwira-perwira TNI Angkatan Laut dengan drone.
    Selain menciptakan drone, Yulianus dalam media sosialnya juga mencantumkan bahwa dirinya seorang pimpinan redaksi di Maritime Media Group.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Hasto Kristiyanto Punya Kans Kuat Jabat Sekjen PDIP, Ini Analisis Jamiluddin Ritonga

    Hasto Kristiyanto Punya Kans Kuat Jabat Sekjen PDIP, Ini Analisis Jamiluddin Ritonga

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum lama ini menggelar Kongres VI yang berlangsung di Bali pada 1-2 Agustus 2025.

    Usai kongres yang menetapkan kembali Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDIP periode 2025-2030, kini publik tertuju pada posisi strategis di tubuh partai berlambang Banteng Moncong Putih itu.

    Posisi-posisi strategis yang menyita perhatian seperti Bendahara Umum, Sekretaris Jenderal (Sekjen) hingga beberapa jabatan penting lainnya.

    Untuk posisi sekjen misalnya, setidaknya ada empat nama yang sempat mengemuka di arena kongres. Di antara nama itu, Hasto Kristiyanto yang menjabat sekjen pada kepengurusan sebelumnya tidak masuk bursa.

    Kendati begitu, peluang Hasto Kristiyanto menempati jabatan sekjen pada periode mendatang dinilai masih sangat besar. Apalagi, setelah dirinya kini bebas dari kasus dugaan suap dan perintangan yang sempat menjeratnya.

    Asumsi tersebut disampaikan Pengamat komunikasi politik, Jamiluddin Ritonga. Dia menilai, Hasto Kristiyanto masih sangat kuat sebagai kandidat sekjen pada periode lima tahun ke depan.

    Salah satu alasannya karena posisi sekjen saat ini dirangkap oleh Megawati Soekarnoputri. Dengan fakta itu, Jamiluddin menilai sangat mungkin Hasto akan kembali menduduki jabatan Sekjen PDIP ke depan.

    “Memang nama Hasto tidak ada dalam stuktur Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP hasil kongres partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu di Bali pada 1-2 Agustus 2025,” kata Jamiluddin Ritongan, Minggu (3/8).

    Dia menyebut, posisi Sekjen PDIP tidak bakalan lama dirangkap oleh putri Proklamator RI Bung Karno itu. Apalagi, ketua umum tidak bisa merangkap sekjen.

  • Muzani sebut pemberian abolisi-amnesti telah lewat pertimbangan matang

    Muzani sebut pemberian abolisi-amnesti telah lewat pertimbangan matang

    Jakarta (ANTARA) – Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengatakan keputusan pemberian abolisi kepada terpidana kasus importasi gula Tom Lembong dan pemberian amnesti kepada terpidana kasus suap Hasto Kristiyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto, telah melalui pertimbangan matang.

    “Saya kira Presiden telah melalui pertimbangan yang matang tentang hal itu,” kata dia saat ditemui di Gedung MPR RI, Jakarta, Minggu.

    Muzani mengatakan, pemberian abolisi dan amnesti merupakan hak prerogatif Presiden Prabowo sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945.

    Dirinya pun menyambut baik adanya keputusan pemberian abolisi dan amnesti sebagai upaya untuk menjaga kerukunan dan persatuan.

    “Saya kira kita sambut baik sebagai bagian dari upaya untuk meneguhkan persatuan, kebersamaan, dan kegotongroyongan,” ucapnya.

    Sebelumnya, Kamis (31/7), DPR RI memberikan persetujuan permohonan pemberian abolisi terhadap mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong dalam kasus dugaan korupsi importasi gula di Kementerian Perdagangan pada tahun 2015–2016.

    DPR RI juga memberikan persetujuan permohonan pemberian amnesti terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto sebagai terpidana kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan.

    Tom Lembong divonis empat tahun dan enam bulan penjara dalam kasus korupsi importasi gula, sedangkan Hasto Kristiyanto divonis tiga tahun dan enam bulan karena terbukti terlibat dalam pemberian suap terkait dengan penggantian antar-waktu Harun Masiku.

    Pada Jumat (1/8) malam, Tom Lembong resmi dibebaskan dari Rutan Cipinang, Jakarta Timur. Sementara itu, Hasto Kristiyanto resmi dibebaskan dari Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ini Alasan Megawati Tak Masukkan Hasto Kristianto di Kepengurusan PDIP 2025–2030 Meski Sudah Bebas

    Ini Alasan Megawati Tak Masukkan Hasto Kristianto di Kepengurusan PDIP 2025–2030 Meski Sudah Bebas

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri resmi melantik jajaran pengurus DPP PDIP periode 2025–2030 dalam Kongres VI yang digelar di Nusa Dua Convention Center, Bali, Sabtu (2/8/2025). Namun, dalam struktur baru tersebut, tak tampak nama Hasto Kristiyanto yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal partai.

    Megawati sendiri menetapkan dirinya kembali sebagai Sekretaris Jenderal PDIP. Selain itu, ia juga melantik langsung 37 nama lain yang masuk dalam kepengurusan partai, mulai dari ketua bidang hingga bendahara. Hasto, yang baru menghirup udara bebas pada Jumat (1/8) malam usai mendapatkan amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, tidak tampak hadir dalam pelantikan tersebut.

    Sebelumnya, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR yang menyeret nama Harun Masiku. Namanya sempat ramai diperbincangkan publik setelah mendapat pengampunan bersama lebih dari seribu terpidana lainnya melalui keputusan politik hukum yang diambil oleh Presiden Prabowo.

    Megawati memimpin langsung jalannya pelantikan di hadapan kader partai. Dalam pengambilan sumpah, ia mengatakan, “Atas nama Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, saya melantik DPP PDI Perjuangan untuk membantu kerja-kerja partai. Apakah Saudara bersedia untuk dilantik?”

    “Bersedia!” jawab para pengurus secara serempak, sebelum mereka mengucapkan sumpah jabatan bersama Megawati.

    Ketiadaan Hasto dalam struktur DPP baru menandai perubahan signifikan dalam tubuh partai berlambang banteng tersebut. Meskipun belum ada penjelasan langsung dari Megawati soal absennya Hasto, sumber internal menyebutkan bahwa PDIP sedang melakukan penataan organisasi secara menyeluruh pasca-Pemilu 2024. Selain itu, status hukum Hasto yang baru saja memperoleh amnesti juga diduga menjadi pertimbangan utama.

  • Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, Jumat (1/8/2025), bebas dari proses hukum yang sedang ia jalani setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar/pri.

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 03 Agustus 2025 – 13:40 WIB

    Elshinta.com – Pada 30 Juli 2025, muncul sebuah berita yang cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025.

    Selanjutnya DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R-43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.

    Keputusan DPR juga menyetujui pemberian amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 tanggal 30 Juli 2025.

    Pendapat pro dan kontra juga mengemuka. Pemberlakuan hak prerogatif Presiden ini dinilai sarat dengan kepentingan politik dan menciderai sistem penegakan hukum. Ada juga pendapat yang justru menyanjung Presiden karena telah berjiwa besar dan mendengarkan aspirasi masyarakat luas.

    Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki sejumlah kewenangan konstitusional, salah satunya adalah hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

    Dua bentuk pengampunan hukum ini seringkali menjadi perbincangan publik karena menyentuh ranah penegakan hukum dan keadilan. Namun, hak tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan tunduk pada prinsip-prinsip hukum, syarat formil, dan kontrol konstitusional melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Lalu seperti apa format hukum yang berlaku dalam peristiwa ini. Menarik tentunya untuk dapat kita kaji atau analisis tentang bagaimana framework yuridis terhadap penggunaan kewenangan atau hak tersebut.

     

    Abolisi dan Amnesti dalam UUD 1945

    Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden berhak memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, serta amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

    Abolisi dan amnesti berbeda dari grasi. Amnesti dan abolisi bersifat kolektif dapat bernuansa politik, sehingga pertimbangan DPR bersifat wajib sebagai bentuk kontrol demokratis terhadap kekuasaan eksekutif.

    Amnesti dapat diartikan sebagai penghapusan akibat hukum pidana terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kaitannya dengan kepentingan politik, yang biasanya diberikan untuk memulihkan hubungan negara dengan warga negara atau kelompok tertentu.

    Sedangkan abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang atas perbuatan yang bersifat pidana, bahkan sebelum ada putusan pengadilan. Keduanya bersifat kolektif dan berimplikasi pada penghentian proses hukum atau penghapusan hukuman.

    Selain Konstitusi, UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan KUHAP turut mengatur teknis pemasyarakatan, namun tidak secara eksplisit merinci mekanisme amnesti dan abolisi.

    Dalam Putusan MK No 7/PUU-IV/2006, MK menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukanlah tindakan administratif semata, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional yang wajib memperhatikan prinsip checks and balances.

    Secara yuridis, hak prerogatif Presiden atas amnesti dan abolisi adalah bentuk pengejawantahan fungsi Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Hak ini dapat menjadi alat korektif dalam sistem peradilan pidana, khususnya bila terdapat ketimpangan hukum atau pertimbangan kemanusiaan.

    Namun, dalam praktiknya, pemberian amnesti dan abolisi tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, pertimbangan dari DPR menjadi instrumen penting dalam menjaga akuntabilitas Presiden.

    Pemberian amnesti dan abolisi bukan hal baru di Indonesia. Pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan amnesti umum untuk 1.200 orang dan abolisi untuk kelompok yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka sebagai bagian dari kesepakatan damai Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. Langkah ini diapresiasi sebagai wujud politik hukum restoratif dan transisional.

    Pada 2019, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, seorang korban pelecehan yang justru dijatuhi hukuman berdasarkan UU ITE. Ini merupakan preseden penting yang menunjukkan bahwa amnesti dapat diberikan pada kasus individual yang sarat kepentingan keadilan substantif.

    Abolisi untuk Thomas Lembong

    Dalam hukum pidana, abolisi adalah penghapusan hak negara untuk menuntut seseorang secara pidana, meskipun ada dugaan tindak pidana. Berbeda dari grasi (pasca-putusan), abolisi dapat diberikan sebelum proses peradilan dimulai atau saat masih berjalan. Abolisi bersifat prospektif dan menghentikan proses penegakan hukum, sehingga secara praktis dapat diartikan sebagai intervensi politik terhadap penuntutan pidana.

    Tom Lembong sebelumnya terseret kasus impor gula dengan kerugian Rp578 miliar. Jaksa mengungkap keterlibatan Tom telah terjadi sejak 12 Agustus 2015. Saat itu, Tom masih menjadi Menteri Perdagangan dan menyetujui impor gula kristal mentah yang akan diolah jadi kristal putih. Ia menyetujui tanpa melakukan rapat koordinasi dengan kementerian terkait.

    Jaksa menyalahkan Tom karena tidak menunjuk BUMN untuk menstabilkan harga gula di Indonesia. Ia malah menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI Polri. Tom didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 18 Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara.

    Selanjutnya dalam pertimbangan Presiden untuk memberikan abolisi, Menteri Hukum menjelaskan bahwa pertimbangan pemberian abolisi itu didasari pula oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif, salah satunya kontribusi Tom Lembong terhadap negara.

    Walaupun begitu tidak sedikit pihak yang menyarankan kepada Tom Lembong untuk menolak abolisi dan terus berjuang hingga putusan. Bahkan terdapat informasi bahwa Kejaksaan juga masih dalam proses mempelajari putusan hakim untuk pengajuan banding.

    Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 31/PUU-VIII/2010, MK menyatakan bahwa penggunaan kewenangan prerogatif presiden tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif. Artinya pemberian abolisi kepada individu tertentu tanpa kriteria obyektif dan tidak berlaku umum berpotensi melanggar asas kepastian hukum dan keadilan.

    Abolisi harus proporsional dan tidak dapat digunakan sebagai alat perlindungan terhadap elit politik.

    Amnesti untuk Hasto Kristiyanto

    Amnesti adalah penghapusan akibat hukum pidana terhadap sekelompok orang atau individu yang melakukan tindak pidana tertentu.

    Dalam doktrin klasik, amnesti berlaku untuk delik politik, seperti pemberontakan, penghasutan terhadap negara, atau pelanggaran terhadap ketertiban umum yang bermotif ideologis. Selain itu amnesti juga diberikan dalam rangka rekonsiliasi nasional pasca-konflik, pemberontakan, atau peralihan rezim.

    Adapun dalam kasus Hasto, ia sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku.

    Dalam Putusan Hakim, Hasto dinilai telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

    Menkumham menyebut bahwa pada mulanya pemerintah menargetkan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Hasto bersama 1116 terpidana lainnya akhirnya diberikan amnesti.

    Hal ini menjadi jawaban atas perjuangan Hasto dan seluruh pendukungnya yang selama ini menyerukan ketidakadilan dan kriminalisasi berdasar politik. Dengan amnesti tersebut maka seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima amnesti dihapuskan. Dengan demikian status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya.

    Dalam kasus pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan, serta keduanya harus dilepaskan atau dibebaskan.

    Banyak pihak kemudian mulai mencoba untuk mengkaji apakah abolisi dan amnesti tersebut memang dapat atau layak diberikan. Apakah pemberian tersebut berafiliasi dengan kepentingan politis.

    Untuk mengkaji hal ini, pertama kita harus mendalami dahulu makna dari amnesti dan abolisi.

    Amnesti dan abolisi memang dapat bernuansa politik, namun untuk memberikan keseimbangan dan obyektivitasnya, keputusan ini harus mendapat pertimbangan DPR. Oleh sebab itu, Presiden harus dapat menjelaskan alasan dari pemberian amnesti dan abolisi.

    Melihat dari alasan yuridisnya, maka Presiden memiliki hak prerogatif yang dijamin dalam Konstitusi untuk mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR demi kepentingan negara, termasuk dalam menciptakan stabilitas politik.

    Kita ketahui bersama bahwa gelombang protes terhadap proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sangat besar dan cukup menurunkan citra penegakan hukum.

    Hal kedua adalah pentingnya kita memahami bahwa hukum sangat berhubungan dengan politik. Roscoe Pound misalnya mengemukakan bahwa hukum adalah hasil dari kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Karl Marx menyatakan perspektif hukum yang dipandang sebagai alat kekuasaan dan tujuan politik.

    Niklas Luhmann mengemukakan terkait dengan teori interdependesi hukum yang menyatakan bahwa hukum dan politik sangat berinteraksi dan saling mempengaruhi. Aliran Realisme seperti Jerome Frank dan Karl Llewellyn juga melihat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan kekuasaan politik.

    Seluruh teori tersebut menegaskan bahwa politik, pemerintahan, dan hukum saling berinteraksi. Amnesti dan Abolisi menjadi salah satu hal yang konkrit yang menjelaskan interaksi antara politik dan kekuasaan dengan hukum.

    Hal ketiga adalah apakah pemberian tersebut kemudian menegasikan penegakan hukum?

    Sejumlah akademisi hukum berpendapat bahwa Amnesti dan abolisi harus digunakan secara selektif dan proporsional demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Pertimbangan HAM dan keadilan restoratif menjadi landasan moral dalam penggunaannya.

    Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol oleh DPR bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari prinsip konstitusionalisme.

    Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hak prerogatif presiden tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances, dan harus ditujukan untuk kepentingan keadilan dan kemanusiaan. Abolisi dan Amnesti dalam hal ini tidak dapat dihubungkan dengan ketidakpercayaan pada sistem hukum atau absolutisme.

    Menakar Amnesti dan Abolisi

    Amnesti dan abolisi mencerminkan wajah manusiawi dari hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, keduanya bukanlah bentuk impunitas, tetapi saluran korektif atas sistem peradilan yang bisa saja tidak sempurna.

    Oleh karenanya, penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan etika publik. Politik kekuasaan dan hukum saling berinteraksi, namun kedewasaan dan pemikiran yang realis dan logis perlu untuk dikedepankan.

     

    Dalam hal ini, kita boleh berpendapat pula bahwa Presiden, walaupun memiliki hak prerogatif yang diatur dalam konstitusi, tidak serta merta memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan semacam intervensi terhadap sistem peradilan dan penegak hukum.

    Prinsip check and balances dan saling menghormati antar-lembaga tetap ada dan diatur secara jelas. Presiden tetap membutuhkan pertimbangan DPR atau bahkan MA dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi.

    Dengan begitu, aturan yang ada tentang pemberian abolisi dan amnesti ini telah menegasikan kesewenangan atau intervensi penuh dari Pemerintah terhadap sistem penegakan hukum.

    Dengan adanya mekanisme pertimbangan tersebut, Presiden justru menghormati proses hukum dan mendukung penuh program penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. Presiden dan DPR kemudian hanya menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.

    Pemberian abolisi dan amnesti ini dapat pula dibaca sebagai jalan untuk memberi koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum.

    Ketika terjadi sebuah kekeliruan atau kekosongan hukum dan di mana sistem peradilan dan penegakan hukum tidak mampu untuk mengimplementasi sebuah keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan.

    Hal ini memperlihatkan semangat bahwa sistem hukum harus dapat menyeimbangkan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Selain itu semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme  atau tindakan hukum yang luar biasa.

    Kita boleh saja melihat bahwa dunia hukum dan demokrasi kita belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan sempurna. Namun kini kita setidaknya telah teruji dengan kedewasaan politik dan kekuasaan, responsivitas terhadap keinginan masyarakat, dan instrumen hukum yang demokratis dan restoratif.

    Sehingga ini menjadi pilar fundamental bangsa Indonesia yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan bergotong royong, berkeadilan sosial, dan mampu untuk menjadi dewasa secara politik yang mengakui segala kelemahan dan kekurangan untuk maju bersama.

    Semoga Indonesia makin jaya dan berdikari. Merdeka!

     

    *) Dr I Wayan Sudirta, Anggota Komisi III DPR RI

    Sumber : Antara