Tag: Hasbullah Thabrany

  • Komnas Pengendalian Tembakau Kritisi Klaim Menkeu Purbaya soal Tarif Tinggi Cukai Rokok

    Komnas Pengendalian Tembakau Kritisi Klaim Menkeu Purbaya soal Tarif Tinggi Cukai Rokok

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Nasional Pengendalian Tembakau buka suara ihwal sederet pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok di Tanah Air.

    Organisasi koalisi kemasyarakatan yang bergerak dalam bidang penanggulangan masalah konsumsi produk tembakau itu pun menilai pernyataan Menkeu Purbaya yang beredar masif di media itu membahayakan 270 juta rakyat Indonesia. 

    Salah satu pernyataan Menkeu yang menjadi sorotan Komnas Pengendalian Tembakau adalah keterkejutannya tentang pengenaan cukai rokok yang disebutnya sebagai kebijakan “firaun”. 

    “Komnas Pengendalian Tembakau sangat menyayangkan pernyataan ini, yang tidak hanya akan menarik mundur upaya bersama untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, namun juga pada kredibilitas penyelenggara negara dalam memperbaiki situasi terpuruknya ekonomi Indonesia saat ini yang seharusnya menjadi perhatian utama seorang menteri keuangan,” jelas  Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany, dalam rilis, Senin (22/9/2025).

    Dalam catatan Bisnis, pernyataan itu diungkapkan Menkeu Purbaya saat konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jumat (19/9/2025).

    Saat itu, dia bahkan menyoroti tentang anomali kebijakan cukai rokok yang berlaku beberapa tahun belakangan. Dia turut mengomentari tarif rata-rata yang dikenakan untuk produk hasil tembakau mencapai sekitar 57%. 

    “Ada cara mengambil kebijakan yang agak aneh untuk saya. Saya tanya, cukai rokok gimana, sekarang berapa rata-rata? 57%. Wah tinggi amat. Fir’aun lu,” ungkap Menkeu.

    Hasbullah menilai, Menkeu memberi kesan bahwa cukai rokok sebesar 57% saat ini terlalu tinggi dan dianggap “firaun” atau jahat, zalim. Ia juga mempertanyakan mengapa tarif cukai rokok turun, pendapatan malah naik, dan bagaimana dengan langkah mitigasi terhadap pengangguran akibat PHK di industri rokok. 

    Dalam pernyataannya tersebut, Menkeu Purbaya juga seakan baru memahami bahwa cukai bukan hanya untuk income tapi juga untuk menekan konsumsi rokok. 

    Untuk itu, Hasbullah mengingatkan bahwa besaran cukai rokok 57% merupakan ketetapan dalam Undang-Undang No. 39/2007 tentang Cukai dan berlaku hingga saat ini. 

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberikan keterangan resmi/Dok

    Namun, pakar kesehatan publik dan ekonomi kesehatan ini menegaskan bahwa angka 57% itu adalah persentase maksimum. Angka itu pun sangat rendah dibandingkan besaran cukai negara-negara lain seperti Singapura dan Australia sehingga konsumsi rokok di dua negara tersebut sangat terkendali.

    Dia memerinci, prevalensi merokok usia dewasa di negara tersebut masing-masing sebesar 16,5% (WHO, 2024) dan 10,5% (Australian Institute of Health and Welfare, 2024). Sebab, cukai rokok di Singapura telah mencapai 67,5% dan Australia sebesar 72% sehingga harga rata-rata rokok masing-masing sebesar Rp170.000 dan Rp400.000 per bungkus. 

    Di Indonesia, sambungnya, harga eceran per bungkus rokok tertinggi sekitar Rp40.000. Akibatnya, keterjangkauan pada rokok di Indonesia masih tinggi dan prevalensi perokok masih sebesar 27% (Survei Kesehatan Indonesia, 2023). 

    “Ini membuktikan, cukai rokok di Indonesia belum berlaku efektif menjalankan tujuan utamanya sebagai alat pengendali konsumsi. Cukai rokok maksimum sebesar 57%, dengan kenaikan rata-rata 10%–11% per tahun masih belum mampu mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia,” ungkap Hasbullah. 

    Kenaikan Tarif Cukai Rokok

    Menurut Hasbullah, pernyataan itu juga akan membahayakan seluruh rakyat Indonesia karena berpotensi mendorong Pemerintah RI untuk memutuskan tidak akan menaikkan cukai rokok dan bahkan menurunkannya. Keputusan itu akan mengancam upaya pengendalian konsumsi rokok yang merupakan faktor risiko utama penyakit-penyakit mematikan, yang akhirnya juga turut mengancam kondisi ekonomi makro Indonesia. 

    “Cukai diperlukan agar anak-anak tidak kecanduan. Sebanyak dua ratus ribu lebih rakyat Indonesia meninggal karena rokok setiap tahunnya, sehingga perlu kita tekan dengan cukai yang tinggi. Maka cukai rokok harus dinaikkan lagi, bukan diturunkan. Kebijakan publik bukan kebijakan dagang!” tegas Hasbullah.

    Sementara itu, ihwal pekerja industri rokok, Hasbullah menyebutkan bahwa tidak ada fakta cukai tinggi menyebabkan pekerja menganggur. Sebaliknya, jelas dia, pemutusan hubungan kerja (PHK) pada industri rokok disebabkan oleh mekanisasi atau penggantian pekerja tenaga manusia dengan mesin. 

    “Perbaiki nasib pekerja yang dibayar sangat kecil oleh industri rokok dengan memberikan upah yang pantas, itu dulu yang dibereskan.” 

    Di samping itu, Komnas Pengendalian Tembakau juga meminta Menkeu Purbaya berhati-hati atas informasi dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan tertentu untuk menguntungkan industri. Penurunan tarif cukai yang membuat pendapatan cukai meningkat, misalnya, perlu ditanggapi dengan hati-hati karena peningkatan pendapatan cukai tersebut bisa jadi justru terjadi akibat meningkatnya konsumsi yang disebabkan harga rokok menjadi sangat terjangkau.

  • Pemerintah Didorong Naikkan Iuran Jaminan Pensiun Secara Bertahap Demi Keberlanjutan

    Pemerintah Didorong Naikkan Iuran Jaminan Pensiun Secara Bertahap Demi Keberlanjutan

    Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap guna menjamin keberlanjutan dana pensiun dalam jangka panjang.

    “Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua,” ujar Edy dikutip dari ANTARA.

    Ia menjelaskan bahwa jika iuran tidak disesuaikan dengan kebutuhan manfaat dan perkembangan demografi penduduk lansia, potensi terjadinya defisit tetap terbuka.

    Merujuk pada data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dari BPS, rasio ketergantungan lansia mencapai 17,76 persen. Artinya, dari setiap 100 orang usia produktif, terdapat sekitar 17–18 orang lansia yang mungkin memerlukan dukungan sosial maupun ekonomi.

    Jumlah penduduk lansia pun menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2024, populasi lansia Indonesia telah mencapai 33,67 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total populasi, dan diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.

    Lebih lanjut, Edy menekankan bahwa program JP perlu diselaraskan dengan standar internasional. Salah satunya mengacu pada Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, yang merekomendasikan agar manfaat pensiun paling tidak sebesar 40 persen dari gaji terakhir, bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun.

    “Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan,” kata dia. 
     

    Di samping nilai manfaat, ia juga menyoroti pentingnya perluasan cakupan kepesertaan. Dari total 145,77 juta penduduk yang bekerja, baru sekitar 15 juta yang tercatat sebagai peserta aktif program JP. Ini menunjukkan sebagian besar pekerja, khususnya di sektor informal dan mikro, belum terproteksi dalam skema pensiun nasional.

    “Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi,” ujar Legislator Dapil Jawa Tengah III ini.

    Edy juga mengingatkan pentingnya perlindungan yang layak bagi ahli waris peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total.

    Ia mengusulkan agar manfaat minimum bagi kondisi tersebut setidaknya setara dengan 1,5 kali garis kemiskinan, sebagai bentuk perlindungan dasar yang manusiawi.

    “Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal,” kata dia.

    Pandangan senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ia menilai bahwa jaminan pensiun untuk seluruh warga negara, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, belum sepenuhnya menjadi prioritas nasional.

    Padahal, menurutnya, UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Selama ini, kata dia, manfaat pensiun berupa pendapatan bulanan hingga akhir hayat umumnya hanya dinikmati oleh ASN.

    Ia menggarisbawahi bahwa seluruh penduduk Indonesia berpotensi mengalami masa tua atau sakit yang menyebabkan kehilangan kemampuan bekerja, dan tanpa perlindungan ekonomi, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. 
     

    “Itu adalah kebutuhan paling mendasar bagi semua orang baik muda maupun tua. Para lansia orang tua, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup,” katanya.

    Sayangnya, jumlah peserta Jaminan Pensiun saat ini baru mencapai sekitar 38 juta orang, masih sangat kecil dibandingkan total pekerja informal yang mencapai 130 juta.

    Hasbullah mendorong adanya perbaikan mendasar dalam skema iuran dan pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, seluruh pekerja yang memiliki penghasilan seharusnya dapat terdaftar sebagai peserta JP, dengan iuran yang dibagi antara pekerja dan pemberi kerja.

    Ia juga mengkritisi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan kapan saja, karena justru melemahkan esensi perlindungan jangka panjang.

    “Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran jaminan pensiun 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun,” kata Hasbullah.

    Menurutnya, banyak pekerja masih memiliki pola pikir jangka pendek. Saat terkena PHK, sebagian besar langsung mencairkan dana JHT untuk konsumsi atau usaha tanpa persiapan matang.

    “Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis, dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa,” katanya.

    Hasbullah juga menyoroti tertinggalnya Indonesia dalam pengumpulan dana pensiun publik oleh BPJS Ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.

    “Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita,” ujarnya.

    Sementara itu, Malaysia dan Singapura bahkan sudah masuk dalam 50 besar dunia dalam hal pengelolaan dana pensiun, meski jumlah penduduknya lebih kecil. Belanda, lanjutnya, bahkan memiliki dana pensiun setara dua kali PDB-nya.

    “Sementara kita baru 8 persen dari PDB,” kata dia.

    Ia mengajak seluruh pihak, baik pemerintah maupun pekerja dari berbagai sektor, untuk memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan sosial di usia senja.

    “Semua kita akan menjadi lansia, atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu,” katanya.

    Jakarta: Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto mendorong pemerintah untuk menaikkan iuran Jaminan Pensiun (JP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan secara bertahap guna menjamin keberlanjutan dana pensiun dalam jangka panjang.
     
    “Jaminan pensiun tidak boleh hanya jadi program administratif. Program ini harus benar-benar menjamin kehidupan di usia tua,” ujar Edy dikutip dari ANTARA.
     
    Ia menjelaskan bahwa jika iuran tidak disesuaikan dengan kebutuhan manfaat dan perkembangan demografi penduduk lansia, potensi terjadinya defisit tetap terbuka.

    Merujuk pada data Statistik Penduduk Lanjut Usia 2024 dari BPS, rasio ketergantungan lansia mencapai 17,76 persen. Artinya, dari setiap 100 orang usia produktif, terdapat sekitar 17–18 orang lansia yang mungkin memerlukan dukungan sosial maupun ekonomi.
     
    Jumlah penduduk lansia pun menunjukkan tren peningkatan signifikan. Pada 2024, populasi lansia Indonesia telah mencapai 33,67 juta jiwa, atau sekitar 12 persen dari total populasi, dan diperkirakan akan terus bertambah di tahun-tahun mendatang.
     
    Lebih lanjut, Edy menekankan bahwa program JP perlu diselaraskan dengan standar internasional. Salah satunya mengacu pada Konvensi ILO No. 102 Tahun 1952, yang merekomendasikan agar manfaat pensiun paling tidak sebesar 40 persen dari gaji terakhir, bagi pekerja dengan masa iur 30 tahun.
     
    “Untuk bisa mencapai angka tersebut, pemerintah perlu segera menaikkan koefisien perhitungan manfaat dari yang saat ini berlaku menjadi 1,33 persen. Tanpa itu, manfaat yang diterima akan terus berada di bawah standar kelayakan,” kata dia. 
     

     
    Di samping nilai manfaat, ia juga menyoroti pentingnya perluasan cakupan kepesertaan. Dari total 145,77 juta penduduk yang bekerja, baru sekitar 15 juta yang tercatat sebagai peserta aktif program JP. Ini menunjukkan sebagian besar pekerja, khususnya di sektor informal dan mikro, belum terproteksi dalam skema pensiun nasional.
     
    “Ini adalah masalah serius. Artinya, sebagian besar pekerja akan memasuki masa tua tanpa perlindungan ekonomi,” ujar Legislator Dapil Jawa Tengah III ini.
     
    Edy juga mengingatkan pentingnya perlindungan yang layak bagi ahli waris peserta yang meninggal dunia atau mengalami cacat total.
     
    Ia mengusulkan agar manfaat minimum bagi kondisi tersebut setidaknya setara dengan 1,5 kali garis kemiskinan, sebagai bentuk perlindungan dasar yang manusiawi.
     
    “Jika kita ingin mewujudkan perlindungan sosial yang adil dan inklusif, maka manfaat JP harus naik dan pesertanya harus diperluas. Tidak bisa lagi hanya menjangkau kelompok formal,” kata dia.
     
    Pandangan senada juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Ekonomi Kesehatan Indonesia, Hasbullah Thabrany. Ia menilai bahwa jaminan pensiun untuk seluruh warga negara, sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, belum sepenuhnya menjadi prioritas nasional.
     
    Padahal, menurutnya, UUD 1945 Pasal 34 ayat 2 dengan jelas menyebutkan bahwa negara wajib mengembangkan sistem jaminan sosial untuk seluruh rakyat. Selama ini, kata dia, manfaat pensiun berupa pendapatan bulanan hingga akhir hayat umumnya hanya dinikmati oleh ASN.
     
    Ia menggarisbawahi bahwa seluruh penduduk Indonesia berpotensi mengalami masa tua atau sakit yang menyebabkan kehilangan kemampuan bekerja, dan tanpa perlindungan ekonomi, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. 
     

     
    “Itu adalah kebutuhan paling mendasar bagi semua orang baik muda maupun tua. Para lansia orang tua, pekerja mandiri, entah itu petani, nelayan, pedagang, ketika tua belum tentu mendapatkan pendapatan yang cukup. Tidak mungkin mengandalkan anak-anak, karena tidak selalu mendapatkan penghasilan yang cukup,” katanya.
     
    Sayangnya, jumlah peserta Jaminan Pensiun saat ini baru mencapai sekitar 38 juta orang, masih sangat kecil dibandingkan total pekerja informal yang mencapai 130 juta.
     
    Hasbullah mendorong adanya perbaikan mendasar dalam skema iuran dan pengelolaan dana pensiun. Menurutnya, seluruh pekerja yang memiliki penghasilan seharusnya dapat terdaftar sebagai peserta JP, dengan iuran yang dibagi antara pekerja dan pemberi kerja.
     
    Ia juga mengkritisi program Jaminan Hari Tua (JHT) yang dapat dicairkan kapan saja, karena justru melemahkan esensi perlindungan jangka panjang.
     
    “Harusnya diakumulasi saja. Iuran JHT sebesar 5,7 persen antara pekerja dan pemberi kerja, ditambah iuran jaminan pensiun 3 persen. Total 8,7 persen itu seharusnya sudah cukup baik untuk masa pensiun,” kata Hasbullah.
     
    Menurutnya, banyak pekerja masih memiliki pola pikir jangka pendek. Saat terkena PHK, sebagian besar langsung mencairkan dana JHT untuk konsumsi atau usaha tanpa persiapan matang.
     
    “Padahal mereka tidak memiliki kompetensi untuk berbisnis. Uangnya habis, dan ketika tua atau sakit, tidak ada tabungan pensiun yang tersisa,” katanya.
     
    Hasbullah juga menyoroti tertinggalnya Indonesia dalam pengumpulan dana pensiun publik oleh BPJS Ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
     
    “Vietnam, yang baru merdeka 30 tahun setelah Indonesia dan jumlah penduduknya hanya setengahnya, dana pensiunnya bisa lebih besar dari kita,” ujarnya.
     
    Sementara itu, Malaysia dan Singapura bahkan sudah masuk dalam 50 besar dunia dalam hal pengelolaan dana pensiun, meski jumlah penduduknya lebih kecil. Belanda, lanjutnya, bahkan memiliki dana pensiun setara dua kali PDB-nya.
     
    “Sementara kita baru 8 persen dari PDB,” kata dia.
     
    Ia mengajak seluruh pihak, baik pemerintah maupun pekerja dari berbagai sektor, untuk memiliki kesadaran kolektif akan pentingnya perlindungan sosial di usia senja.
     
    “Semua kita akan menjadi lansia, atau bisa saja menderita cacat karena sakit. Maka kita punya hak untuk memenuhi kebutuhan dasar: makan, pakaian, tempat tinggal. Negara harus hadir dan pekerja juga harus punya kesadaran itu,” katanya.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (PRI)