Tag: Harvey Moeis

  • Dituntut 12 Tahun Penjara, Harvey Moeis Hari Ini Sampaikan Pembelaan dalam Kasus Timah

    Dituntut 12 Tahun Penjara, Harvey Moeis Hari Ini Sampaikan Pembelaan dalam Kasus Timah

    loading…

    Terdakwa Harvey Moeis mengikuti sidang lanjutan kasus dugaan korupsi tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah tahun 2015-2022 di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/10/2024). FOTO/ARIF JULIANTO

    JAKARTA – Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga timah , Harvey Moeis dijadwalkan menyampaikan nota pembelaan atau pleidoi, Senin (16/12/2024) hari ini. Suami artis Sandra Dewi itu sebelumnya dituntut 12 tahun penjara.

    Agenda sidang Harvey Moeis hari ini tercantum di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    “Untuk pleidoi,” bunyi keterangan jadwal sidang Harvey Moeis dalam SIPP Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dilihat, Senin (16/12/2024).

    Disebutkan, sidang akan dimulai pada pukul 10.00 WIB di ruangan Muhammad Hatta Ali.

    Selain Harvey, dua terdakwa yang merupakan petinggi PT Refined Bangka Tin (RBT) juga akan menyampaikan pleidoi. Dua orang yang dimaksud adalah Direktur Utama PT RBT Suparta dan Direktur Pengembangan Usaha PT RBT, Reza Andriansyah.

    Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Harvey Moeis terdakwa kasus dugaan korupsi dan TPPU dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah PT Timah 12 tahun penjara. Tuntutan dibacakan JPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/12/2024).

    Selain itu, Harvey Moeis juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp1 miliar dan membebankan uang pengganti sebesar Rp210 miliar kepada Harvey Moeis.

    “Menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 12 tahun,” kata JPU membacakan surat tuntutan, Senin (9/12/2024).

  • Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    Merasa Dizalimi dalam Kasus Korupsi Timah, Helena Lim: Saya Dijadikan Talenan oleh JPU

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim membantah jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung yang menyebut bahwa QSE adalah alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter.

    “Saya menyatakan penolakan keras,” kata Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, dikutip Antara, Jumat (13/12/2024).

    Transaksi pembelian valuta asing oleh terdakwa Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya, kata dia, bukan transaksi fiktif dan juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana, melainkan transaksi pembelian valuta asing.

    Diungkapkan pula bahwa valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa pun sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Helena menegaskan bahwa keuntungannya kurang lebih sama dengan keuntungan jasa money changer atau penukaran uang lainnya.

    “Tidak ada suatu keuntungan lebih sehingga dapat dianggap sebagai dasar argumentasi bahwa saya dan/atau PT QSE berperan sebagai alat pengumpul dana keuntungan kerja sama smelter,” tegasnya.

    Dalam kesempatan tersebut, Helena mengakui sudah melakukan kelalaian administrasi sebelum mengenal Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya. Meskipun demikian, dia mengaku tidak ada urusan dan tidak mau tahu urusan smelter Harvey dengan PT Timah Tbk.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh jaksa penuntut umum. Hanya karena saya seorang figur publik, dijadikan chopping board, talenan oleh jaksa penuntut umum,” kata Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    Helena Lim Curhat, Julukan Crazy Rich yang Dulu Dibanggakan Kini Menamparnya

    ERA.id – Manajer PT Quantum Skyline Exchange Helena Lim menyampaikan bahwa stigma Crazy Rich PIK dimanfaatkan dalam perkara dugaan korupsi tata niaga timah untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum.

    “Perkara ini memanfaatkan hiperbola dunia showbiz agar muncul kenyinyiran, bahkan kebencian masyarakat terhadap stigma Crazy Rich PIK untuk menormalkan tirani dalam penegakan hukum,” ucap Helena dalam sidang pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis kemarin.

    Helena mengatakan bahwa seorang crazy rich yang menjadi terdakwa korupsi, berikut dengan citra bahwa orang tersebut kaya dari uang rakyat, menjadi drama favorit para warganet.

    Drama tersebut, kata dia, membuat Helena dan keluarganya merasa terluka, dalam perkara dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    Padahal, Helena mengaku sempat bangga dengan jargon Crazy Rich PIK yang disematkan pada dirinya. Menurut dia, pemberian julukan tersebut merupakan apresiasi dari warganet atas hasil kerja kerasnya.

    “Namun, ternyata, Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal. Mahal sekali. Saya membayarnya dengan harga diri saya,” ucap Helena.

    Pada hari Kamis (5/12), jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam Pengadilan Tipikor Jakarta menuntut Helena untuk dijatuhi pidana selama 8 tahun penjara terkait dengan perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

    JPU menilai Helena melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 56 ke-1 KUHP.

    Selain pidana penjara, JPU turut menuntut agar majelis hakim menghukum Helena dengan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

    Helena juga dituntut pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah dilakukan penyitaan.

    Dalam kasus korupsi timah, Helena didakwa membantu terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin untuk menampung uang hasil korupsi timah sebesar 30 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara dengan Rp420 miliar.

    Uang korupsi itu diduga berasal dari biaya pengamanan alat processing atau pengolahan untuk penglogaman timah sebesar 500 dolar AS hingga 750 dolar AS per ton, yang seolah-olah merupakan dana tanggung jawab sosial dan lingkungan atau corporate social responsibility (CSR) empat smelter swasta dari hasil penambangan ilegal di wilayah IUP PT Timah Tbk.

    Keempat smelter swasta dimaksud, yakni CV Venus Inti Perkasa, PT Sariwiguna Binasentosa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Tinindo Inter Nusa.

    Selain membantu penyimpanan uang korupsi, Helena juga didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) atas keuntungan pengelolaan dana biaya pengamanan sebesar Rp900 juta, dengan membeli 29 tas mewah, mobil, tanah, hingga rumah untuk menyembunyikan asal-usul uang haram tersebut.

    Atas perbuatannya, Helena didakwa merugikan negara senilai total Rp300 triliun dalam kasus dugaan korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah pada tahun 2015–2022.

  • Bacakan Pleidoi di Sidang Timah, Helena Lim Singgung Harga Mahal dari Sebuah Popularitas – Halaman all

    Bacakan Pleidoi di Sidang Timah, Helena Lim Singgung Harga Mahal dari Sebuah Popularitas – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah, Helena Lim menceritakan kisah masa kecil dan keluarganya yang berasal dari kalangan bawah, dalam sidang lanjutan agenda penyampaian nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (12/12/2024).

    Helena bercerita dirinya lahir dari keluarga yang kurang mampu, dan menjadi yatim ketika berusia 12 tahun.

    Ketika ayahnya meninggal, ibundanya harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk bisa makan dan sekolah.

    Bahkan Helena Lim mengaku sejak kecil sudah harus ikut mencari uang dengan membantu ibundanya menjahit sepatu, berjualan nasi hingga keripik di sekolah.

    “Saya adalah anak yatim yang dilahirkan dari keluarga yang kurang mampu. Sejak usia saya 12 tahun sudah ditinggal mati ayah saya, dan mama pun harus bekerja keras membiayai 5 anaknya untuk diberi makan dan sekolah,” kata Helena.

    “Di usia saya yang masih belia saya sudah mencari uang dengan membantu mama menjahit sepatu, berjualan nasi, sampai berjualan keripik di sekolah,” lanjut dia.

    Saat dirinya menginjak usia 17 tahun, Helena mendapat kesempatan bekerja di perusahaan besar.

    Seiring berjalannya waktu, ia mengawali bisnisnya dalam dunia valas hingga menjadi manager PT Quantum Skyline Exchange.

    Setelah usahanya naik dan dipercaya banyak orang, namanya mulai dikenal sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk dan seorang figur publik.

    Tapi kata Helena, label itu punya harga yang mahal. Salah satu di antaranya, label itu membuatnya menjadi target dari kasus dugaan korupsi PT Timah.

    Ia menyatakan kasusnya ini adalah cermin dari mahalnya harga yang harus dibayar dari sebuah popularitas.

    “Saya ingin sedikit bercerita tentang seberapa mahalnya harga sebuah popularitas disebut sebagai Crazy Rich Pantai Indah Kapuk,” kata Helena.

    Gara-gara sakit leher, crazy rich Helena Lim tak bisa mengikuti sidang kasus korupsi tata niaga komoditas timah, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Rabu (18/9/2024). (kolase/dok Tribunnews.com)

    Dirinya merasa dizalimi karena Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjadikannya sebagai talenan, di mana hasil jerih payah kerjanya selama 30 tahun kini terancam dirampas negara.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU,” katanya.

    Helena mengaku heran jaksa menyeretnya ke dalam pusaran kasus dugaan korupsi tata niaga timah ini hanya karena usahanya dianggap jadi tempat penampungan dana. Padahal ada banyak money changer lain yang juga bertransaksi dengan terdakwa Harvey Moeis.

    “Ada beberapa money changer lain yang juga dipakai oleh para terdakwa, tetapi tetap yang dijadikan terdakwa hanya saya. Padahal pola transaksi seluruh money changer sama persis,” kata dia.

    Terhadap kasus ini, Helena menyatakan seandainya sejak awal tahu bahwa sumber daya para smelter berasal dari hasil kejahatan, dirinya pasti menolak transaksi tersebut dan tak akan mau memproses penukaran valuta asing dari para terdakwa. 

    Dirinya juga menilai penentuan uang pengganti sebesar Rp210 miliar tidak proporsional. Ia berharap Majelis Hakim PN Tipikor untuk mempertimbangkan vonis yang dijatuhi berdasarkan hati nurani.

    “Mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar tersebut,” ucap Helena.

    Adapun dalam kasus ini Helena Lim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.

    Jaksa meyakini Helena Lim telah melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

  • Pledoi Helena Lim di Kasus Korupsi Timah, Singgung Soal Julukan Crazy Rich PIK

    Pledoi Helena Lim di Kasus Korupsi Timah, Singgung Soal Julukan Crazy Rich PIK

    Bisnis.com, JAKARTA – Helena Lim, terdakwa dalam kasus korupsi komoditas timah, menjelaskan bagaimana julukan “Crazy Rich PIK” yang melekat pada dirinya justru menyeretnya ke dalam perkara hukum ini.

    Dalam nota pembelaannya, Helena mengungkapkan, “Saya Helena Lim, duduk di hadapan Majelis Hakim Yang Mulia sebagai Terdakwa Kasus Korupsi Timah. Saya ingin sedikit bercerita tentang seberapa mahalnya harga sebuah popularitas disebut sebagai ‘Crazy Rich Pantai Indah Kapuk.”

    Helena menjelaskan bahwa julukan tersebut bermula dari kesan publik terhadap seorang perempuan yang hidupnya mapan, tinggal di rumah megah, menggunakan barang mewah, dan memiliki gaya hidup jet set. “Wanita itu adalah saya, Helena Lim, terdakwa yang duduk di hadapan Yang Mulia,” lanjutnya.

    Namun, menurut Helena, popularitas tersebut kini menjadi beban berat baginya, terutama setelah ia dianggap membantu tindak pidana korupsi dan pencucian uang. “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU. Bahwa aset saya yang merupakan hasil kerja keras saya selama 30 tahun terancam dirampas,” ungkapnya.

    Helena menjadi terdakwa setelah Jaksa Penuntut Umum (JPU) menilai bahwa money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE), menjadi tempat penampungan dana terkait kasus korupsi PT Timah Tbk. Transaksi yang dilakukan termasuk dengan terdakwa lain seperti Harvey Moeis.

    Helena membantah tuduhan tersebut. Dia menyatakan bahwa banyak money changer lain yang juga bertransaksi dengan Harvey Moeis, tetapi hanya dirinya yang dijadikan tersangka.

    “Pola transaksi seluruh money changer sama persis, termasuk ketidaklengkapan syarat administratif seperti tidak menyerahkan KTP, tidak melakukan pelaporan, serta ketidaklengkapan syarat administrasi lain,” jelas Helena.

    Helena mengakui adanya kelalaian administratif di PT QSE tetapi menegaskan bahwa tidak ada niat untuk membantu tindak pidana korupsi. Ia juga menekankan bahwa dirinya tidak mengetahui asal dana dari Harvey Moeis dan para terdakwa lainnya.

    “Money Changer juga tidak ada kewajiban untuk mengetahui tujuan transaksi. Penulisan tujuan transaksi di slip setoran bank merupakan inisiatif pihak penyetor tanpa arahan atau instruksi dari PT QSE,” tegasnya.

    JPU menuntut Helena Lim hukuman 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan, serta membayar uang pengganti Rp210 miliar subsider 4 tahun kurungan. JPU menyebut aliran dana sebesar Rp 420 miliar mengalir ke Helena Lim dan Harvey Moeis.

    Helena membantah jumlah tersebut, menyatakan bahwa angka Rp 420 miliar hanya muncul dari perhitungan sementara yang diminta penyidik selama pemeriksaan. “Tidak mungkin saya bisa mengingat ribuan bahkan jutaan transaksi tanpa melihat data dari rekening koran,” katanya.

    Ia menilai tuntutan uang pengganti Rp210 miliar sangat tidak proporsional dan jauh dari rasa keadilan. Mengingat keuntungan bisnis yang ia jalankan berasal dari selisih kurs yang hanya sekitar Rp 10 hingga Rp 30 per valuta asing.

    Helena lantas memohon kepada hakim agar memberikan vonis yang adil. Dia meminta hakim mempertimbangkan kepantasan tuntutan 8 tahun dan tambahan 4 tahun. Helena juga mengaku tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp210 miliar tersebut.

  • Helena Lim di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Harga Mahal Sebuah Popularitas

    Helena Lim di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Harga Mahal Sebuah Popularitas

    Jakarta

    Terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, Helena Lim, menyinggung soal harga mahal sebuah popularitas. Helena mengatakan julukan crazy rich terhadapnya kini runtuh.

    “Ada perasaan bahagia ketika ruang kosong di kehidupan saya diisi oleh pengakuan di masyarakat. Ketika penghargaan tersebut kemudian semakin meluas, dan mewujud menjadi popularitas seorang Helena Lim, maka seluruh pengorbanan saya sejak saya remaja menjadi terbayarkan. Namun ternyata Yang Mulia, harga sebuah popularitas itu sangat mahal Yang Mulia, sangat mahal sekali,” ujar Helena saat membacakan pleidoi pribadinya di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2024).

    “Saya membayarnya dengan harga diri saya, dengan integritas dan karakter kejujuran yang telah saya pupuk sejak usia kanak-kanak. Nilai kebaikan yang ditanamkan orang tua saya sekarang runtuh, seiring dengan runtuhnya jargon crazy rich yang kemudian dijadikan pondasi bangunan kasus korupsi Timah yang berdiri megah dengan dekorasi Rp 300 triliun,” tambahnya.

    Helena mengutip ayat alkitab dari injil Kolose 2:8-9. Dia mengaku tak pernah berniat mengambil keuntungan dari hasil yang tidak sah.

    “Tidak pernah terbesit sedikitpun dalam pikiran saya untuk beralih atau merambah sumber pemasukan saya dari bisnis tambang, apalagi mengambil keuntungan secara tidak sah,” ujarnya.

    Helena mengatakan dakwaan penyidik merupakan tuduhan berdasarkan asumsi yang tak berdasar. Dia mengatakan tuntutan 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar hingga uang pengganti Rp 210 miliar yang dibebankan jaksa sebagai tuntutan yang keji dan kejam.

    Helena menyebut total transaksi melalui money changer miliknya, PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) dari para smelter swasta senilai Rp 420 miliar merupakan paksaan penyidik. Dia mengatakan nilai itu merupakan hasil perkiraan yang tidak dapat dibuktikan di persidangan.

    “Nilai 30 juta USD atau setara dengan Rp 420 miliar, ini berasal dari paksaan penyidik kepada saya untuk membuat perkiraan, bukan berdasarkan fakta-fakta serta tidak ada satu pun bukti di dalam persidangan yang membuktikan kebenaran materill nilai tersebut,” ujarnya.

    “Transaksi pembelian valuta asing yang dilakukan oleh Saudara Harvey dan para terdakwa kepada money changer PT QSE bukan transaksi fiktif, juga bukan merupakan tindakan bantuan alat pengumpulan dana melainkan murni transaksi pembelian valuta asing,” kata Helena.

    “Valuta asing yang dibeli oleh para terdakwa sudah diterima dengan lengkap dan sudah diakui oleh mereka. Hal ini merupakan fakta persidangan dan para terdakwa semua sudah bersaksi dan mengakui semua transaksi jual beli valuta asing yang jelas jelas pada faktanya terjadi,” tambahnya.

    Selain itu, dia mengatakan keuntungan yang diperolehnya dari bisnis money changer merupakan nilai yang wajar. Dia menolak tuduhan jaksa yang menyebutnya sebagai koordinator money changer pengumpul dana smelter swasta.

    “Keuntungan yang saya peroleh dari bisnis jual beli valuta asing adalah wajar, bahwa keuntungan yang saya peroleh dari bisnis jual beli valuta asing adalah masih dalam nilai wajar jika dibandingkan dengan patokan kurs BI yang berlaku valid sebagai rujukan. Bahwa keuntungan yang saya peroleh besarannya kurang lebih sama dengan keuntungan money changer yang lain,” kata Helena.

    “Atas tuduhan keji, tidak berdasar tersebut, dengan ini saya menyatakan penolakan keras,” imbuhnya.

    Selain itu, Helena mengakui melakukan kelalaian administrasi dalam menjalankan transaksi di PT QSE. Dia merasa dizalimi oleh jaksa dengan dakwaan terlibat membantu tindak pidana korupsi serta melakukan pencucian uang.

    “Saya merasa sangat tidak adil dan sangat dizalimi oleh JPU hanya karena saya seorang publik figur maka saya dijadikan chopping board, talenan oleh JPU. Bahwa aset saya yang merupakan hasil kerja keras saya selama 30 tahun terancam dirampas,” kata Helena.

    Helena kemudian meminta maaf ke anak dan orang tuanya karena terseret dalam kasus ini. Dia memohon majelis hakim memberikan putusan adil untuknya.

    “Saya mohon keadilan Yang Mulia, saya dituntut 8 tahun dan harus membayar uang pengganti Rp 210 miliar yang didapat dari nilai Rp 420 miliar dibagi dua dengan Saudara Harvey Moeis. Saya telah uraikan di atas bahwa perhitungan nilai Rp 420 miliar bukan berdasarkan fakta dan kebenaran melainkan berdasarkan keterangan saya sendiri yang muncul akibat desakan, paksaan penyidik untuk menghitung nilai perkiraan maksimal dalam proses penyidikan,” ucapnya.

    Helena juga mengaku tak mampu membayar uang pengganti Rp 210 miliar yang dituntut jaksa. Dia mengatakan dirinya tak tahu terkait kerja sama PT Timah dengan para smelter swasta.

    “Bahwa penentuan untuk uang pengganti senilai Rp 210 miliar adalah tidak proporsional, mustahil, dan jauh dari rasa keadilan karena tidak mungkin pendapatan saya yang hanya beberapa ratus juta harus membayar negara sebesar Rp 210 miliar. Saya tidak tahu urusan kerja sama smelter dengan PT Timah, dan saya tidak peduli dengan mereka,” ujarnya.

    “Saya mohon keadilan Yang Mulia, agar berkenan menempatkan diri di posisi saya dan mohon dengan sangat agar Yang Mulia mempertimbangkan dengan hati nurani kepantasan tuntutan 8 tahun ditambah 4 tahun karena dalam posisi sekarang saya sudah pasti tidak mampu membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar tersebut. Tidak pernah ada dalam kepemilikan saya, dengan demikian total hukuman penjara yang ditimpakan kepada sy adalah 12 tahun,” tambahnya.

    Sebelumnya, Helena Lim dituntut 8 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta membayar uang pengganti Rp 210 miliar subsider 4 tahun kurungan.

    Jaksa menyakini Helena Lim melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 56 ke-2 KUHP dan Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 56 ke-1 KUHP.

    (mib/whn)

  • Baca Pledoi, Helena Lim Menangis Cerita Ibu dan Anak di Depan Hakim

    Baca Pledoi, Helena Lim Menangis Cerita Ibu dan Anak di Depan Hakim

    Baca Pledoi, Helena Lim Menangis Cerita Ibu dan Anak di Depan Hakim
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemilik perusahaan money changer PT Quantum Skyline Exchange (QSE)
    Helena Lim
    menangis saat membacakan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/12/2024).
    Dalam persidangan itu, Helena menanggapi tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta majelis hakim menyatakan dirinya bersalah membantu Harvey Moeis dalam mengelola hasil tindak pidana korupsi.
    Dalam pleidoinya, Helena menyebut fakta terkait substansi perkara dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah yang menjeratnya tertutup.
    “Fakta materi perkara yang tertutup dengan bingkai popularitas negatif kejatuhan seorang crazy rich PIK (Pantai Indah Kapuk) Helena Lim,” ujar Helena di ruang sidang, Kamis (12/12/2024).
    Namun, sebelum membacakan materi pokok nota pembelaannya, Helena meminta izin untuk menyampaikan curahan hatinya terlebih dahulu.
    Pengusaha itu mengatakan, dirinya merupakan sosok seorang ibu sekaligus anak yang ingin melindungi orangtua dan anaknya sendiri. Saat mengatakan hal ini, tangisnya pecah.
    “Saya adalah seorang ibu Yang Mulia, sekaligus seorang anak yang juga ingin melindungi orang tua dan anak-anak saya dari cacian, fitnah, dan tuduhan yang tidak benar,” kata Helena menangis.
    Kepada majelis hakim, Helena berharap dirinya masih diberi kesempatan untuk melindungi orangtua dan anak-anaknya.
    Helena mengaku telah membuat ibunya yang telah mendidik dengan keras dan bersusah payah membesarkannya kecewa.
    Ia kemudian menjelaskan perjalanan hidupnya yang sudah bekerja sejak lulus SMA untuk mencari nafkah dan menggantikan posisi tulang punggung keluarga.
    “Namun, saat ini saya ternyata mengecewakan mama saya dengan duduk di kursi pesakitan ini.  Membuat mama saya harus menanggung malu, membuat mama saya harus menangis, membuat mama saya tidak enak makan dan tidur,” tutur Helena.
    Pengusaha penukaran valuta asing itu juga menyampaikan permintaan maaf kepada anak-anaknya yang masih berusia remaja.
    Karena tersandung kasus korupsi, sebagai orangtua ia tidak bisa menafkahi mereka.
    “Pesan mama untuk kalian, harus bersabar saling rukun, dan menjaga diri. Kalian harus siap menerima kondisi mama seperti sekarang ini,” ujar Helena.
    Dalam perkara ini, Helena dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan serta uang pengganti Rp 210 miliar.
    Jaksa menilai, Helena terbukti bersalah membantu Harvey Moeis dan bos perusahaan smelter swasta.
    Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.
    Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.
    Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).
    Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.
    Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.
    Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
    Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.
    Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

    Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.
    “Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.
    Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dapat Untung Ratusan Miliar dari Hasil Korupsi, Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara

    Dapat Untung Ratusan Miliar dari Hasil Korupsi, Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara

    ERA.id – Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) dituntut pidana penjara selama 12 tahun terkait kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah pada tahun 2015–2022.

    “Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung Ardito Muwardi dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, dikutip Antara, Senin (9/12/2024).

    Selain pidana penjara, Harvey juga dituntut pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun.

    JPU turut menuntut majelis hakim agar menjatuhkan pidana tambahan kepada Harvey berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider pidana penjara selama enam tahun.

    Dengan demikian menurut JPU, Harvey telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.

    Dalam melayangkan tuntutan kepada Harvey, JPU mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan, yakni perbuatan Harvey tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

    Kemudian, perbuatan Harvey dinilai telah mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, yaitu sejumlah Rp300 triliun, telah menguntungkan diri Harvey sebesar Rp210 miliar, serta Harvey berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan.

    “Namun terdapat pula hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya,” ucap JPU menambahkan.

    Selain Harvey, dalam persidangan yang sama terdapat pula Suparta selaku Direktur Utama PT RBT, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT yang mendengarkan pembacaan tuntutan.

    Suparta dituntut untuk dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang sama dengan Harvey, sehingga dituntut dengan pasal yang sama. Dengan begitu, Suparta dituntut pidana penjara selama 14 tahun, pidana denda Rp1 miliar subsider pidana kurungan satu tahun, dan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp4,57 triliun subsider pidana penjara selama delapan tahun.

    Sementara Reza dituntut agar dinyatakan secara sah dan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sehingga melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Untuk itu, JPU menuntut Reza agar dikenakan pidana penjara selama delapan tahun dan pidana denda sebanyak Rp750 juta subsider pidana kurungan selama enam bulan. Dalam kasus korupsi timah, ketiga terdakwa tersebut diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

    Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa kerugian atas aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun berupa kerugian atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

    Dalam kasus itu, Harvey didakwa menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim, sementara Suparta didakwa menerima aliran dana sebesar Rp4,57 triliun.

    Kedua orang tersebut juga didakwa melakukan TPPU dari dana yang diterima. Dengan demikian, Harvey dan Suparta terancam pidana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 atau Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Sementara itu, Reza diduga tidak menerima aliran dana dari kasus dugaan korupsi tersebut. Namun, karena terlibat serta mengetahui dan menyetujui semua perbuatan korupsi itu, Reza didakwakan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • 3 Fakta Terkini Kasus Dugaan Korupsi Timah Harvey Moeis Suami Sandra Dewi, Dituntut 12 Tahun Penjara – Page 3

    3 Fakta Terkini Kasus Dugaan Korupsi Timah Harvey Moeis Suami Sandra Dewi, Dituntut 12 Tahun Penjara – Page 3

    Terdakwa kasus dugaan korupsi timah, Harvey Moeis, selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT), mengaku telah membelikan hadiah untuk sang istri, Sandra Dewi, sebuah mobil mewah bermerek Rolls-Royce senilai Rp15 miliar.

    Ia mengatakan mobil tersebut berwarna hitam dan dibeli secara tunai pada sekitar tahun 2023.

    “Pembayarannya cash sekitar Rp15 miliar,” ungkap Harvey dalam sidang pemeriksaan terdakwa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat 6 Desember 2024, seperti dilansir Antara.

    Selain mobil Rolls-Royce, dia juga pernah membelikan Sandra sebanyak satu unit mobil Mini Cooper Countryman F60 berwarna merah untuk hadiah pada ulang tahun sang istri di 2022.

    Mobil itu, kata dia, dibeli senilai Rp1 miliar dan dibayar secara tunai pula.

    Tak hanya kepada sang istri, Harvey mengatakan pernah juga membelikan satu unit mobil Lexus RX300 untuk sang ibu senilai Rp1,5 miliar pada tahun 2019.

    “Ini saya belikan untuk operasional ibu saya,” tutup Harvey.

     

  • Hervey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp210 M

    Hervey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara, Uang Pengganti Rp210 M

    JABAR EKSPRES – Terdakwa Harvey Moeis dituntut pidana 12 tahun penjara atas kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah pada 2015-2022.

    Tuntutan ini disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung (Kejagung), Agung Ardito Muwardi, dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (9/12/2024).

    “Kami menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa Harvey Moeis terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.

    Selain pidana penjara, Harvey selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) juga dituntut pidana dengan denda Rp1 miliar, subsider kurungan satu tahun.

    BACA JUGA:Suasana Duka Selimuti Kediaman Fathir yang Meninggal Saat Hendak Menonton Persib vs PSS Sleman di Solo

    Kemudian, JPU menuntut majelis hakim agar menjatuhkan pidana tambahan kepada suami Sandra Dewi tersebut, berupa pembayaran uang penggani sebesar Rp210 miliar. Dengan ketentuan apabila tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam tahun.

    Atas tuntutan JPU tersebut, Harvey telah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ke-1 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan kesatu primer.

    Adapun dalam melayangkan tuntutannya, JPU mempertimbangkan sejumlah hal yang memberatkan. Perbuatan Harvey yang tidak mendukung program pemerintah dalam rangka penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

    Kemudian, perbuatan Harvey dinilai turut mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar, hingga Rp300 triliun. Dan Harvey telah menikmati hasil tindak pidana sebesar Rp210 miliar, serta Helena berbelit-belit dalam memberikan keterangan dalam persidangan. Menjadi faktor yang memberatkan tuntutan JPU terhadap Harvey.

    BACA JUGA:Daily Login Bisa Dapat Rp320.000 di Aplikasi Penghasil Uang Ini

    Sementara itu, fakta bahwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya menjadi hal yang dipertimbangkan JPU untuk meringankan tuntutannya. “Namun terdapat pula hal meringankan yang dipertimbangkan, yakni terdakwa Harvey belum pernah dihukum sebelumnya,” ujar JPU.