Tag: Harvey Moeis

  • Alasan Kejagung Ajukan Banding Vonis Harvey Moeis Dkk : Belum Setimpal

    Alasan Kejagung Ajukan Banding Vonis Harvey Moeis Dkk : Belum Setimpal

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan alasan pihaknya mengajukan upaya hukum banding terkait dengan vonis Harvey Moeis dkk pada kasus timah.

    Dalam catatan Bisnis, Kejagung telah mengajukan banding terhadap Harvey Moeis, Suparta, Reza Andriansyah, Suwito Gunawan dan Robert Indarto.

    Kapuspenkum Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan bahwa upaya hukum banding itu dilakukan karena pihaknya menilai vonis yang dijatuhkan terhadap kelima terdakwa itu belum setimpal.

    “Adapun alasan menyatakan banding terhadap 5 Terdakwa karena putusan pengadilan masih belum memenuhi rasa keadilan masyarakat,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12/2024).

    Dia juga menilai, majelis hakim PN tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam putusannya tidak mempertimbangkan dampak dari kasus megakorupsi timah terhadap masyarakat.

    “Majelis Hakim tidak mempertimbangkan dampak yang dirasakan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan akibat perbuatan para Terdakwa serta terjadi kerugian negara yang sangat besar,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, hakim PN tindak pidana korupsi atau Tipikor telah memvonis sejumlah terdakwa dalam kasus timah. 

    Hanya saja, vonis hakim pada kasus yang merugikan negara Rp300 triliun itu dinilai terlalu rendah. Misalnya, Harvey Moeis hanya divonis setengahnya dari tuntutan jaksa penuntut umum 12 tahun.

    Perincian Tuntutan dan Vonis Harvey Moeis dkk :

    1. Perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) Harvey Moeis

    Tuntutan jaksa : pidana penjara 12 tahun, uang pengganti Rp210 miliar subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan.

    Putusan Majelis Hakim: pidana penjara 6 tahun 6 bulan, uang pengganti Rp210 miliar subsidair dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

    2. Direktur Utama PT RBT, Suparta

    Tuntutan jaksa : pidana penjara 14 tahun, uang pengganti Rp4,5 triliun subsidair delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan.

    Putusan hakim : pidana penjara 8 tahun, uang pengganti Rp4,5 triliun subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

    3. Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah

    Tuntutan jaksa : pidana penjara 8 tahun dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan.

    Putusan hakim : pidana penjara 5 tahun dan denda Rp750 juta subsidair 3 bulan kurungan.

    4. Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan

    Tuntutan jaksa : pidana penjara 14 tahun, uang pengganti Rp2,2 triliun subsidair delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan.

    Putusan hakim : pidana penjara 8 tahun, uang pengganti Rp2,2 triliun subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

    5. Direktur Utama PT Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto

    Tuntutan jaksa : pidana penjara 14 tahun, uang pengganti Rp1,9 triliun subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

    Putusan hakim : pidana penjara 8 tahun, uang pengganti Rp1,9 triliun subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan.

  • Kejagung Nyatakan Banding Terkait Vonis Harvey Moeis Dkk

    Kejagung Nyatakan Banding Terkait Vonis Harvey Moeis Dkk

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan mengajukan banding terkait vonis terdakwa Harvey Moeis dkk dalam kasus korupsi timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) 2015-2022.

    Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI, Harli Siregar mengatakan upaya hukum banding itu dilayangkan untuk sejumlah terdakwa.

    Perinciannya, perpanjang tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) Harvey Moeis, Direktur Utama PT RBT, Suparta dan Direktur Pengembangan PT RBT, Reza Andriansyah.

    “Kejagung menyatakan upaya hukum banding terdakwa Harvey Moeis, Suparta dan Reza Andriansyah terkait vonis timah,” ujar Harli dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12/2024).

    Selain ketiga terdakwa smelter PT RBT, Harli juga menyampaikan bahwa pihaknya mengajukan banding terhadap vonis dua bos smelter terkait kasus ini.

    Kedua bos smelter itu adalah Komisaris PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan dan Direktur Utama PT Sariwiguna Binasentosa, Robert Indarto.

    “Kami juga menyatakan banding terhadap putusan terdakwa Suwito Gunawan dan Robert Indarto,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, hakim PN tindak pidana korupsi atau Tipikor telah memvonis sejumlah terdakwa dalam kasus timah. 

    Hanya saja, vonis hakim pada kasus yang merugikan negara Rp300 triliun itu dinilai terlalu rendah. Misalnya, Harvey Moeis hanya divonis setengah atau 6,5 tahun pidana dari tuntutan jaksa penuntut umum 12 tahun.

  • Saat Kesopanan Bikin Koruptor yang Merugikan Negara Rp 300 T Divonis Ringan

    Saat Kesopanan Bikin Koruptor yang Merugikan Negara Rp 300 T Divonis Ringan

    Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat mengamini jika kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang menjerat Harvey Moeis merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Namun Harvey divonis ringan lantaran bersikap sopan selama persidangan.

  • Rugikan Negara 300 T, Adilkah Hukuman Harvey Moeis?

    Rugikan Negara 300 T, Adilkah Hukuman Harvey Moeis?

    JAKARTA – Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga timah tahun 2015-2022 yang merugikan negara hingga Rp300 triliun. Harvey harus membayar denda Rp1 miliar serta uang pengganti Rp210 miliar. Putusan hukuman Harvey menuai kritik dari berbagai pihak karena vonisnya terbilang jauh dari tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun penjara. Pakar hukum sekaligus Mantan Menko Polhukam Mahfud MD menyoroti hukuman yang dijatuhkan kepada suami Sandra Dewi itu. Simak berita selengkapnya berikut ini.

  • Hotman Paris Bandingkan Vonis Penjara Budi Said dengan Harvey Moeis: Kayaknya Ini Ada Pesanan! – Halaman all

    Hotman Paris Bandingkan Vonis Penjara Budi Said dengan Harvey Moeis: Kayaknya Ini Ada Pesanan! – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengacara kondang Hotman Paris membandingkan vonis 15 tahun penjara untuk kliennya Budi Said pada kasus korupsi rekayasa jual beli emas Antam. 

    Dengan vonis 6,5 tahun penjara untuk terdakwa kasus korupsi tata niaga komoditas timah Harvey Moeis.

    “Kok sekarang jadi pelaku tidak pidana atas unsur yang sama? Sedangkan yang (kasus korupsi) Rp 300 triliun cuma 6,5 tahun. Ya itulah. Jadi ini kayaknya ini ada pesanan ini dari oknum siapa, kita taulah siapa di belakang,” ungkap Hotman Paris di Jakarta, Jumat (27/12/2024).

    Hotman Paris yang menjadi Kuasa Hukum Budi Said mengatakan putusan terhadap kliennya semakin menghancurkan citra penegakan hukum di Indonesia.

    “”Putusan vonis ini sangat tidak masuk diakal, menjadi ketawaan termasuk anak SD,” kata Hotman Paris.

    Vonis Budi Said

    Seperti diketahui, pengusaha yang dikenal sebagai crazy rich Surabaya, Budi Said divonis 15 tahun penjara dalam kasus dugaan korupsi manipulasi pembelian emas PT Aneka Tambang (Antam).

    Ketua Majelis Hakim Tony Irfan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024)  mengatakan Budi Said terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi.

    Hal ini sebagaimana diatur diatur Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

    Hakim Tony menyebut perbuatan rasuah itu dilakukan Budi bersama-sama broker emas Surabaya Eksi Anggraeni, mantan General Manager Unit Bisnis Pengolahan dan Pemurnian Logam Mulia (UBPP LM) Pulogadung PT Antam, Abdul Hadi Aviciena, dan sejumlah pegawai PT Antam.

    Selain hukuman bui, majelis hakim juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp 1 miliar subsidair 6 bulan penjara.

    Tidak hanya divonis bersalah melakukan korupsi, Budi Said juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

    Majelis hakim kemudian menjatuhkan hukuman pidana tambahan berupa uang pengganti berupa 58,841 kilogram emas Antam dan denda Rp 35.526.893.372,99 (Rp 35,5 miliar).

    Jika dalam waktu satu bulan setelah terbit putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap Budi tidak membayar, maka harta bendanya akan dirampas untuk dilelang dan menutup uang pengganti.

    “Dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama 8 tahun,” ujar Hakim Tony.

    Vonis terhadap Budi Said setahun lebih ringan dari tuntutan jaksa 16 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan, dan uang pengganti sebanyak 58,135 kilogram emas Antam atau Rp 35.078.291.000.

    Kemudian, 1136 kg emas antam atau setara dengan nilai Rp 1.073.786.839.584 berdasarkan harga pokok produksi emas antam per Desember 2023.

    Dalam perkara ini, Budi Said didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 1.166.044.097.404 atau Rp 1,1 triliun.

    Kasus Harvey Moeis

    Suami artis Sandra Dewi yakni Harvey Moeis divonis 6 tahun dan 6 bulan penjara (6,5 tahun).

    Dalam perkara korupsi ini tata niaga PT Timah ini, negara dianggap mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

    Harvey Moeis didakwa telah melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari penerimaan uang Rp 420 miliar dari hasil tindak pidana korupsi.

    Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menilai Harvey terbukti bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dengan eks Direktur Utama PT Timah Tbk Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan kawan-kawan.

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Harvey Moeis dengan pidana penjara selama 6 tahun  dan 6 bulan dikurangi lamanya terdakwa dalam tahanan dengan perintah tetap ditahan di rutan ,” kata Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Eko Aryanto di ruang sidang, Senin (23/12/2024).

    Harvey juga dihukum membayar denda Rp 1 Miliar yang akan diganti menjadi pidana badan 6 bulan jika tidak dibayar.

    Vonis penjara 6,5 tahun ini lebih ringan dari tuntutan jaksa 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.

    Penulis: Rahmat W Nugraha, Has

     

  • Kejagung Banding Vonis Harvey Moeis, Petimbangkan Rasa Keadilan Masyarakat

    Kejagung Banding Vonis Harvey Moeis, Petimbangkan Rasa Keadilan Masyarakat

    GELORA.CO  – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan banding atas vonis 6,5 tahun penjara Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa yakni 12 tahun penjara.

    Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menuturkan, jaksa penuntut umum (JPU) menilai putusan itu terlalu ringan.

    “Jaksa penuntut umum melihat ada range yang terlalu jauh antara tuntutan dan putusan,” ujar Harli, Jumat (27/12/2024).

    Selain itu, kata dia, JPU juga mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat yang dianggap belum dipertimbangkan secara utuh di pengadilan.

    “Terkait dengan unsur kerugian keuangan negara kita tahu bahwa di sana ada kerugian lingkungan, sehingga kerugian keuangan negara yang masih sangat besar Rp300 triliun lebih,” tutur Harli.

    Sebelumnya, Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Suami Sandra Dewi ini terbukti bersalah menerima uang Rp420 miliar dalam kasus korupsi timah.

    “Menyatakan terdakwa Harvey Moeis telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah secara bersama-sama melakukan korupsi dan pencucian uang,” kata Hakim dalam sidang vonis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Harvey menerima uang Rp420 miliar bersama Manajer PT Quantum Skyline Exchange (QSE) Helena Lim dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) antara lain dengan membeli barang-barang mewah seperti mobil dan rumah.

    Atas perbuatannya dengan para terdakwa lain, Harvey diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp300 triliun.

    Kerugian tersebut meliputi sebanyak Rp2,28 triliun berupa aktivitas kerja sama sewa-menyewa alat peralatan processing (pengolahan) penglogaman dengan smelter swasta, Rp26,65 triliun atas pembayaran biji timah kepada mitra tambang PT Timah, serta Rp271,07 triliun berupa kerugian lingkungan.

    Harvey Moeis melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ke-1 KUHP

  • Divonis 8 Tahun Penjara, Bos Timah Tamron Juga Dihukum Bayar Uang Pengganti Rp 3,5 Triliun

    Divonis 8 Tahun Penjara, Bos Timah Tamron Juga Dihukum Bayar Uang Pengganti Rp 3,5 Triliun

    Divonis 8 Tahun Penjara, Bos Timah Tamron Juga Dihukum Bayar Uang Pengganti Rp 3,5 Triliun
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Pemilik smelter timah swasta
    CV Venus Inti Perkasa
    , Tamron alias Aon, dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 3.538.932.640.663,67 (Rp 3,5 triliun) dalam kasus dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah di Bangka Belitung (Babel).
    Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Tony Irfan, mengatakan bahwa uang pengganti tersebut merupakan pidana tambahan yang harus dibayar oleh bos timah Koba, Bangka Belitung, sebagai pengganti kerugian negara.
    Nilai ini sesuai dengan aliran dana dari PT Timah Tbk ke CV Venus Inti Perkasa dan perusahaan yang terafiliasi, baik dalam kerja sama pengolahan maupun pembelian bijih timah.
    “Membebankan pidana tambahan kepada Tamron untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3.538.932.640.663,67,” kata Hakim Tony Irfan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (27/12/2024).
    Hakim Tony Irfan juga mengatakan bahwa Tamron harus membayar uang pengganti tersebut maksimal satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap terbit.
    Jika dalam waktu yang ditentukan tersebut Tamron belum membayar, maka harta bendanya akan dirampas untuk negara guna menutupi uang pengganti.
    “Dan dalam hal terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka diganti dengan pidana penjara selama 5 tahun,” ujar Hakim Tony.
    Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyebut bahwa uang pengganti yang dituntut jaksa dijatuhkan kepada Tamron, yakni Rp 3,66 triliun, dikurangi jumlah uang yang ditransfer Tamron kepada Harvey Moeis sebesar Rp 122 miliar.
    Adapun pidana pokoknya, majelis hakim menghukum Tamron dengan penjara selama 8 tahun dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.
    Majelis hakim menilai, Tamron terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan eks Direktur PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, dan para bos perusahaan smelter swasta.
    Tamron juga dinilai terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.
    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Tamron alias Aon dengan pidana penjara selama 8 tahun,” ujar Hakim Eko.
    Sebelumnya, jaksa penuntut umum meminta Tamron dihukum 14 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan, dan uang pengganti Rp 3,66 triliun.
    Jaksa menilai Tamron terbukti melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
    Ia juga dinilai terbukti melakukan TPPU sebagaimana dakwaan kedua primair.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Harvey Moeis Divonis Ringan, KY Janji Dalami Putusan Majelis Hakim

    Harvey Moeis Divonis Ringan, KY Janji Dalami Putusan Majelis Hakim

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Vonis majelis hakim majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat terhadap Harvey Moeis, dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan karena terbukti bersalah melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU), terus menuai kontroversi.

    Pasalnya, vonis ini dinilai tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang dikorupsi dalam kasus tersebut. Dimana kerugian negara disebut mencapai Rp300 triliun.

    Merespons kontroversi itu, Komisi Yudisial (KY) berjanji akan mendalami putusan majelis hakim terhadap Harvey Moeis, terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada 2015-2022.

    Anggota sekaligus Juru Bicara KY, Mukti Fajar Nur Dewata mengatakan pendalaman tersebut dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang terjadi dalam putusan itu.

    “KY tidak akan masuk ke ranah substansi putusan. Adapun, forum yang tepat untuk menguatkan atau mengubah putusan, yakni melalui upaya hukum banding,” kata Mukti Fajar dilansir jpnn, Jumat (27/12).

    KY, imbuh Mukti, menyadari vonis Harvey Moeis akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Oleh karena itu, sejak persidangan berlangsung, KY berinisiatif menurunkan tim untuk memantau persidangan.

    Dia menjelaskan pemantauan persidangan dilakukan pada saat sidang menghadirkan ahli, saksi, dan saksi meringankan (a de charge). Hal itu sebagai upaya memastikan hakim menjaga imparsialitas dan independensi dalam memutus perkara. Lebih lanjut, KY mempersilakan masyarakat untuk melapor apabila menemukan dugaan pelanggaran kode etik hakim dalam perkara tersebut.

  • Vonis Harvey Moies Terlalu Ringan, Jaksa Kejagung Ajukan Banding

    Vonis Harvey Moies Terlalu Ringan, Jaksa Kejagung Ajukan Banding

    JAKARTA – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada pada Kejaksaan Agung (Kejagung) memutuskan untuk mengajukan banding terkait vonis hakim terhadap Harvey Moeis di kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk periode 2015-2022.

    Direktur Penuntutan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Sutikno menyebut salah satu alasan di balik keputusan mengajukan banding karena vonis terlalu ringan.

    “Mungkin putusannya terlalu ringan, khusus untuk pidana badannya,” ujar Sutikno kepada wartawan, Jumat, 27 Desember.

    Tak hanya Harvey Moeis, jaksa juga akan mengajukan banding atas vonis yang dibetikan hakim terhadap terdakwa Suwito Gunawan, Robert Indiarto, Reza Andriansyah, dan Suparta.

    Kembali mengenai alasan banding, kata Sutikno, JPU juga berpandangan majelis hakim hakim hanya mempetimbangkan peran para terdakwa. Sehingga, menjatuhkan putusan yang ringan.

    Padahal, kata Sutikno, majelis hakim lebih baik juga melihat atau mempertimbangkan mengenai dampak yang diakibatkan para terdakwa terhadap masyarakat dan lingkungan.

    Karenanya, perihal tersebut nantinya akan mejadi salah satu fokus yang akan dinarasikan dalam memori banding.

    “Hakim nampaknya belum mempertimbangkan atau tidak mempetimbangkan dampak yang diakibatkan oleh mereka terhadap masyarakat Bangka Belitung,” kata Sutiko.

    Pada kasus dugaan korupsi timah, Harvey Moeis divonis pidana penjara selam 6 tahun 6 bulan. Sementara tertdakwa Suwito Gunawan, Suparta, dan Robert Indiarto divonis 8 tahun penjara. Sedangkan, Reza Andriansyah dijatuhi sanksi pidana 5 tahun penjara.

  • Barang Bukti Kasus Korupsi Timah Harusnya Dikembalikan ke PT Timah

    Barang Bukti Kasus Korupsi Timah Harusnya Dikembalikan ke PT Timah

    Jakarta

    Perkara korupsi tata niaga timah di PT Timah Tbk 2019-2022 masih bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Beberapa tersangka telah menerima vonis hukuman dalam kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara senilai Rp300 Triliun.

    Vonis hakim bagi para tersangka dinilai mencederai keadilan. Pasalnya, para tersangka divonis hukum lebih ringan daripada tuntutan Jaksa. Seperti yang terjadi pada Harvey Moeis yang hanya menerima hukuman 6,6 tahun dari tuntutan jaksa 12 tahun.

    Putusan ini, alih-alih memberikan efek jera dan mencerminkan keadilan, justru menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat, terutama bagi pihak yang dirugikan, seperti PT Timah sebagai BUMN yang menjadi representasi kepentingan negara dan rakyat.

    Pakar Hukum Tata Kelola Pertambangan Timah, Firdaus Dewilmar, menjelaskan putusan ini sangat jauh dari tuntutan jaksa. Hal ini mencederai keadilan masyarakat.

    “Putusan ini sangat mencederai rasa keadilan masyarakat. Pengadilan seharusnya memberikan hukuman sebanding dengan kerugian, hal ini penting agar memberikan efek jera, bahwa tidak ada tempat bagi tindakan korupsi dalam sistem yang seharusnya melindungi kepentingan publik,” kata Firdaus, di Jakarta, Jumat (27/12/2024).

    Firdaus menambahkan, korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang merugikan negara secara langsung dan berdampak luas pada perekonomian serta kesejahteraan masyarakat.

    Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengamanatkan hukuman maksimal bagi koruptor, apalagi jika kerugian negara besar.

    “Hukuman ringan yang dijatuhkan menunjukkan lemahnya penegakan hukum dalam kasus ini. Hal ini berpotensi menciptakan preseden buruk dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi,” sambungnya.

    Ia juga menyoroti barang bukti yang dirampas untuk negara. Menurutnya, seyogyanya barang bukti dikembalikan ke negara dalam hal ini PT Timah. Hal ini merupakan upaya untuk memulihkan kerugian negara.

    Dalam perkara ini, barang bukti yang diperoleh dari tindak pidana, seharusnya dikembalikan ke PT Timah. Karena PT Timah, sebagai BUMN, memiliki peran strategis dalam pengelolaan sumber daya negara. Kerugian yang dialami PT Timah adalah kerugian negara secara langsung.

    Ia menjelaskan, jika barang bukti tidak dikembalikan kepada PT Timah, ini sama saja dengan mengabaikan prinsip pemulihan kerugian negara. Sebagai entitas yang menjadi korban dalam kasus ini, PT Timah berhak mendapatkan pengembalian aset untuk memastikan bahwa kerugian yang diderita dapat diminimalisir.

    “Barang bukti seyogyanya dikembalikan ke PT Timah sebagai representatksi negara setidaknya untuk biji timah atau balok timahnya. Karena kalau dirampas untuk negara berarti nanti dilelang. Masak PT Timah beli barang yang memang milik PT Timah,” sebutnya.

    Firdaus menyebutkan, keadilan tidak hanya tentang menghukum pelaku, tetapi juga memulihkan kerugian yang ditimbulkan. Dalam kasus ini, putusan hakim yang dirasa ringan dan tidak mempertimbangkan pengembalian kerugian negara justru mencederai rasa keadilan masyarakat.

    Selain itu, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu mengevaluasi putusan ini untuk memastikan bahwa prinsip keadilan dan kepastian hukum benar-benar ditegakkan.

    “Kami minta secara tegas kepada Jaksa Penuntut Umum untuk segara Banding atas putusan pengadilan tersebut,” tegasnya.

    Hal lain yang harus jadi perhatian diantaranya dampak kerusakan lingkungan yang terjadi secara sistematik.

    “Dampak lingkungan jangan sampai diababikan siapa yang bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Tentu setidak-tidaknya ada peran dari mereka sebagai pelaku kejahatan dan harus bertanggung jawab untuk memulihkannya,” pesannya.

    (rrd/rrd)