Tag: Harvey Moeis

  • Netizen Sindir Harvey Moeis dan Sandra Dewi Masih Dapat Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

    Netizen Sindir Harvey Moeis dan Sandra Dewi Masih Dapat Bantuan Iuran BPJS Kesehatan

    Jakarta, Beritasatu.com – Vonis penjara selama 6,5 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar yang dijatuhkan kepada Harvey Moeis, suami dari Sandra Dewi, terkait dengan kasus korupsi dalam pengelolaan tata niaga timah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, memicu penyesalan di kalangan masyarakat. Bahkan, pasangan tersebut kini diketahui mendapatkan bantuan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

    Di tengah kemarahan publik terhadap putusan tersebut, sejumlah netizen mengajak stasiun televisi dan pihak media untuk memboikot Sandra Dewi dari dunia hiburan, dengan alasan moral.

    Yang semakin memperburuk situasi, seorang netizen dengan akun X @irwndfrry mengungkapkan fakta mengejutkan, terkait keikutsertaan Harvey Moeis dan Sandra Dewi dalam program BPJS Kesehatan, di kategori Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. 

    Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah 😭😭 pic.twitter.com/7dt604te5K

    — Ferry Irwandi (@irwndfrry) December 28, 2024

    Fakta tersebut melalui unggahan yang menampilkan dua kartu digital BPJS yang diduga milik mereka.

    “Jangan galak-galak ke mereka gaes, mereka fakir miskin yang ditanggung pemerintah ,” tulis akun @irwndfrry dikutip Beritasatu.com, Minggu (29/12/2024).

    Mendapati informasi tersebut, banyak netizen yang memberikan komentar pedas terkait keterlibatan Harvey Moeis dan Sandra Dewi dalam program BPJS Kesehatan, yang seharusnya memang diperuntukkan bagi masyarakat dengan kondisi ekonomi terbatas.

    “Pantas saja hukumannya ringan. Mungkin hakimnya enggak tega kasih hukuman lama, karena mereka masih hidup di bawah garis kemiskinan,” komentar seorang netizen.

    “Benarkah ini? Saya sampai kesulitan bayar BPJS, bahkan enggak bisa dapat surat miskin karena katanya rumah saya masih bagus. Nasib kelas menengah yang hampir miskin. Gaji nggak cukup buat bayar asuransi kesehatan, tetapi juga enggak miskin cukup untuk dapat bantuan sosial. Kok bisa ya dua orang ini?” tambah netizen lainnya.

    “Saya sampai menangis lihat kenyataan ini. Saya yang kerja keras sebagai buruh pabrik, menghidupi lima orang, berangkat pagi-pulang malam desak-desakan di kereta, tiap bulan dipotong BPJS kelas 1, eh ada orang kaya raya yang nyolong uang BPJS malah dapat bantuan dari negara. Miris,” ungkap netizen lainnya.

    Hingga kini, belum ada klarifikasi lebih lanjut dari pihak BPJS Kesehatan terkait tersebarnya screenshot yang menunjukkan keikutsertaan Harvey Moeis dan Sandra Dewi terdaftar dalam BPJS Kesehatan, yang seharusnya diperuntukkan bagi golongan masyarakat yang tidak mampu.

  • Viral Harvey Moeis dan Sandra Dewi Peserta BPJS Kesehatan Kelas 3, Benarkah? – Page 3

    Viral Harvey Moeis dan Sandra Dewi Peserta BPJS Kesehatan Kelas 3, Benarkah? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Harvey Moeis dan Sandra Dewi, kembali membuat kejutan yang tak terduga. Setelah sebelumnya menjadi sorotan publik karena korupsi dan Harvey Moeis hanya divonis 6,5 tahun penjara, kali ini mereka menarik perhatian dengan pengakuan mengejutkan terkait status kesehatan mereka.

    Ternyata, meskipun sebelumnya dikenal sebagai pasangan kaya dan sukses, mereka tercatat sebagai peserta BPJS Kesehatan kelas 3, sebuah kelas yang umumnya diikuti oleh masyarakat dengan penghasilan menengah ke bawah.

    Bahkan, status BPJS Kesehatan miiknya pun viral di media sosial X. Hal itu bermula dari salah satu akun @Opposite6890 yang mengunggah data pribadi milik Harvey Moeis yang berupa nomor KTP, tanggal lahir, nomor telepon, hingga alamat rumah.

    Kemudian, netizen pun turut mengorek status BPJS Kesehatan Harvey dan Sandra Dewi menggunakan nomor KTP tersebut. Ternyata, terbukti bahwa mereka status BPJS Kesehatannya aktif masuk ke jenis peserta PBI (APBD).

    Tanggapan BPJS Kesehatan

    Menanggapi hal tersebut, Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah, mengkonfirmasi kebenaran status BPJS Kesehatan Harvey Moeis dan Sandra Dewi.

    “Hasil pengecekan data, nama ybs masuk kedalam segmen PBPU Pemda (nomenklatur lama PBI APBD) Pemprov DKI Jakarta,” kata Rizzky kepada Liputan6.com, Minggu (29/12/2024).

    Rizzy pun menjelaskan bahwa terdapat beberapa segmen iuran yang dibayarkan oleh pemerintah. Pertama, segmen Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI JK), yaitu jaminan kesehatan yang diperuntukkan bagi fakir miskin maupun orang yang tidak mampu dengan hak kelas 3.

    “Segmen ini merupakan segmen peserta yang didaftarkan dan dibiayai oleh pemerintah pusat. Daftar nama-nama peserta pada segmen ini mengacu pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan diperbarui secara berkala,” jelasnya.

    Kedua, ada penduduk yang didaftarkan dan iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah dengan hak kelas rawat 3, atau sering disebut dengan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah yang dibayarkan Pemda/PBPU Pemda.

    Pada segmen ini, persyaratannya tidak harus fakir miskin maupun orang yang tidak mampu, melainkan seluruh penduduk pada suatu daerah yang belum terdaftar sebagai peserta Program JKN dan bersedia diberikan hak kelas 3.

    “Adapun nama-nama yang termasuk dalam segmen PBPU Pemda ini, sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat,” pungkas pejabat BPJS itu.

  • Kejagung Banding Vonis Harvey Moeis Dkk di Kasus Korupsi Timah – Page 3

    Kejagung Banding Vonis Harvey Moeis Dkk di Kasus Korupsi Timah – Page 3

    Terdakwa Suparta divonis pidana penjara 8 tahun, uang pengganti Rp4,5 triliun subsidair enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan. Sementara jaksa menuntut pidana penjara 14 tahun, uang pengganti Rp4,5 triliun subsidair delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair satu tahun kurungan.

    Terdakwa Tamron alias Aon divonis pidana penjara 8 tahun, uang pengganti Rp3.598.990.640.663,67 subsidair lima tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair enam bulan kurungan. Sementara jaksa menuntut pidana penjara penjara selama 14 tahun, uang pengganti sebesar Rp3.660.991.640.663,67; subsidair delapan tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan.

    Terdakwa Kwanyung alias Buyung divonis pidana penjara lima tahun dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan, sementara jaksa menuntut pidana penjara 8 tahun.

    Terdakwa Hasan Tjie divonis pidana penjara lima tahun dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan, sementara jaksa menuntut pidana penjara 8 tahun.

    Terdakwa Achmad Albani divonis pidana penjara lima tahun dan denda Rp750 juta subsidair enam bulan kurungan, sementara jaksa menuntut pidana penjara 8 tahun.

     

  • 2
                    
                        Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
                        Nasional

    2 Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana Nasional

    Sengkarut Komunikasi di Seputar Istana
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    KONTROVERSI
    soal pemaafan
    koruptor
    , amnesti untuk koruptor, dan penerapan denda damai untuk koruptor, mempertontonkan salah satunya, ada problem besar komunikasi di seputar Istana, selain problem subtansi.
    Pernyataan Presiden Prabowo Subianto di Kairo yang akan memaafkan koruptor asal mengembalikan kekayaannya menimbulkan kontroversi meluas.
    Menteri Koordinator Hukum Yusril Ihza Mahendra membenarkan bahwa Presiden punya hak konstitusional memberikan amnesti, abolisi, dan grasi untuk terpidana.
    Yusril juga mengatakan, dari 44.000 terpidana yang akan mendapatkan amnesti, jumlah terpidana
    korupsi
    hanya beberapa ribu orang.
    Tidak ada yang membantah bahwa Presiden punya hak konstitusional untuk memberikan amnesti, abolisi, dan grasi.
    Pernyataan Yusril itu menunjukkan ada proses hukum yang mendahului sebelum kemudian dihentikan penuntutannya.
    Namun, pembelaan Yusril itu bisa kurang sinkron ketika Presiden Prabowo sudah berbicara soal mekanisme pengembalian kekayaan secara diam-diam.
    Pernyataan Yusril kemudian disusul pernyatan Menteri Hukum Supratman Andi Atgas yang menawarkan solusi denda damai untuk koruptor.
    Sayangnya, pernyataan politisi Partai Gerindra ini juga kurang tepat karena denda damai yang dimiliki Jaksa Agung hanya untuk tindak pidana ekonomi, seperti kepabeanan atau bea cukai, bukan untuk korupsi.
    Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Harli Siregar juga membantah. “Denda damai tidak untuk koruptor,” kata Harli.
    Soal amnesti untuk koruptor, Supratman juga meluruskan pernyataan Yusril bahwa tidak ada pemberian amnesti untuk terpidana korupsi yang diberikan Presiden Prabowo.
    Sengkarut komunikasi di kalangan pembantu Presiden Prabowo itu bisa merugikan citra Presiden yang pemerintahannya belum berusia 100 hari.
    Sengkarut komunikasi bisa dibaca publik sebagai belum adanya kajian komprehensif soal pemaafan koruptor yang akan diambil Presiden Prabowo. Selayaknya kebijakan didasarkan ada
    evidence based policy.
    Apresiasi harus diberikan kepada Menteri Supratman yang secara cepat meluruskan dan membatalkan gagasan denda damai untuk koruptor.
    Pembatalan gagasan denda damai – yang memang tidak tepat diterapkan untuk tindak pidana korupsi – sedikit meredakan perbedaan pendapat yang tidak produktif di antara pembantu Presiden.
    Publik bertanya-tanya di mana peran Kantor Komunikasi Presiden dengan sejumlah juru bicara presiden?
    Sejumlah juru bicara presiden yang sebelum ini begitu piawai berbicara di televisi memberikan analisa politik, mengapa tidak terdengar kiprahnya mengatasi sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor?
    Selain substansinya yang sangat sensitif, komunikasi publik menjadi penting. Terlebih, meminjam istilah Jakob Oetama, kita berkomunikasi di masyarakat yang tidak tulus sehingga dibutuhkan strategi komunikasi yang
    ngepas
    .
    Pesan komunikasi bukan hanya teks, tapi konteks. Ketika konteks tak diberikan, jangan memaksa pubik harus memahami konteks masalahnya. Dan, jangan terlalu cepat menghakimi publik dengan ungkapan, “tokoh gagal”.
    Isu korupsi adalah masih menjadi isu sensitif. Belum saatnya negara memaafkan koruptor.
    Mengutip esai Aswar Hasan di
    Kompas
    , 27 Desember 2024, “…
    Korupsi
    bukan hanya kejahatan individu, melainkan juga ancaman serius terhadap kedaulatan, keadilan, dan masa depan suatu bangsa. Ketika korupsi dibiarkan atau dianggap remeh, negara kehilangan legitimasi, kepercayaan rakyat, dan koruptor berpotensi untuk berkembang. Negara harus menunjukkan bahwa hukum berlaku tanpa pandang bulu, termasuk kepada pejabat tinggi dan tokoh berpengaruh yang terlibat korupsi. Korupsi telah merampas hak masyarakat atas pendidikan, kesehatan, dan pembangunan yang layak. Negara wajib melindungi rakyat dari dampak buruk tersebut…”
    Psikologi publik dihadapkan pada rasa perasaan ketidakadilan ketika majelis hakim menjatuhkan vonis 6,5 tahun terhadap Harvey Moeis atas kerugian perekonomian negara Rp 300 triliun dalam kasus korupsi timah di Bangka.
    Publik juga gerah ketika kasus mafia peradilan bekas pejabat MA Zarof Ricar ditangani secara biasa-biasa saja. Istana juga tidak bereaksi atas berbagai peristiwa hukum yang melukai perasaan publik.
    Mengambil terobosan atau kebijakan di luar kebiasaan selayaknya mempertimbangkan sentimen dan rasa perasaan publik.
    Pada masa Orde Baru, Istana kerap mengundang secara terbatas sejumlah pemimpin redaksi untuk mendiskusikan kebijakan baru yang diambil pemerintah disertai latar belakangnya.
    Pemimpin redaksi ditempatkan sebagai “devil advocate” untuk men-
    challenge
    —kebijakan yang diambil pemerintah.
    Dari situlah, strategi dan mitigasi komunikasi dipersiapkan sehingga reaksi yang timbul sudah bisa dimitigasi. Fase ini bisa disebut fase “building understanding” antara pemerintah dan media.
    Tahapan ini tidak dilakukan. Pemerintah tampaknya sangat percaya diri dengan dukungan mayoritas partai politik di DPR.
    Partai politik memang seperti mengalami disfungsi menghadapi isu kepublikan, termasuk program pemaafan koruptor.
    Elite partai politik berupaya main aman dengan mengamini semua kebijakan pemerintah. Partai politik yang saat kampanye garang terhadap korupsi, kini
    mlempem.
    Bahkan, anggota DPR menghardik dengan kata-kata kasar, termasuk menyebut gagal terhadap tokoh di luar pemerintahan yang gencar mengkritik dan program pemerintah.
    Bangsa ini masih beruntung masih ada secercah harapan pada minoritas kreatif yang tetap menjaga akal sehat dan nurani publik.
    Di tengah disfungsi partai politik, masih ada suara kritis seperti disuarakan Zaenur Rohman dari Pukat UGM atau pun Mahfud MD yang dinilai “tokoh gagal” oleh Ketua Komisi III Habiburohman.
    Masih ada suara kenabian dari Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo soal dijadikannya korupsi sebagai alat sandera politik.
    Saya bertanya pada Chat GPT soal sengkarut komunikasi seputar pemaafan koruptor. Dan ini jawabannya:
    “…
    Pernyataan pembantu presiden soal pemafaan koruptor memiliki pengaruh langsung terhadap persepsi publik tentang keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Misalnya, jika pola komunikasinya cenderung membela koruptor dengan dalih seperti usia lanjut atau kesehatan, publik bisa menganggap pemerintah tidak berkomitmen terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persepsi negatif ini dapat melemahkan legitimasi pemerintah dan memperkuat narasi bahwa ada pelemahan sistemik terhadap institusi antikorupsi seperti KPK
    …”
    Hati-hati berkomunikasi karena komunikasi membentuk persepsi. Jangan sampai Indeks Persepsi Korupsi Indonesia kian anjlok.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politikus Demokrat Kritik Vonis 6,5 Tahun Bui Harvey Moeis: Menghina Akal Sehat – Halaman all

    Politikus Demokrat Kritik Vonis 6,5 Tahun Bui Harvey Moeis: Menghina Akal Sehat – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Politikus Partai Demokrat Yan Harahap menyatakan vonis 6,5 tahun penjara yang dijatuhkan terhadap Harvey Moeis di kasus korupsi timah telah menghina akal sehat. 

    Menurut dia hukuman itu sangat tidak layak dijatuhkan terhadap Harvey mengingat kasus korupsi timah telah menyebabkan kerugian negara hingga Rp300 triliun.

    “Jika ditanya apakah hukuman itu dianggap layak dan tepat, tentu menurut saya sangat tidak layak dan sangat tidak tepat,” kata Yan saat dihubungi wartawan pada Sabtu (28/12/2024).

    “Sungguh amat menghina akal sehat,” imbuhnya. 

    Yan Harahap berpendapat, vonis terhadap Harvey itu memperlihatkan Indonesia pantas disebut surga para koruptor selama ini. .

    Pasalnya, menurut Yan, korupsi sudah sangat jelas dinyatakan sebagai extra ordinary crime alias kejahatan luar biasa yang berdampak luas dan sistematis, serta menimbulkan kerugian negara secara masif. 

    “Tetapi penerapan hukuman bagi koruptor malah sangat common, tidak menunjukkan perbuatannya extra ordinary crime. Apalagi kejahatan yang dilakukan Harvey Moeis dan kawan-kawan itu benar-benar berdampak besar bagi lingkungan dan masa depan kehidupan,” ujarnya.

    Ia pun memaparkan bahwa sejumlah negara sudah menerapkan hukuman yang sangat berat bagi para koruptor, termasuk hukuman mati.

    Yan meragukan korupsi di Indonesia bisa diberantas bila hukuman yang diterapkan pada koruptor sangat ringan. 

    Ia juga mengatakan, pemberantasan korupsi semakin suram bila para pelaku tidak dijatuhkan hukuman yang memiliki efek jera. 

    Bahkan, menurutnya, hukuman ringan bagi para koruptor bisa menjadi inspirasi bagi orang untuk ikut melakukan korupsi.

    “Bayangkan perbuatannya mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp300 Triliun, vonisnya hanya 6,5 tahun. Anggap kurangi remisi dan ‘alasan’ berkelakuan baik jalani sekitar tiga tahun,” kata Yan

    “Belum lagi nanti ‘di dalam’ (penjara) konon bisa menikmati fasilitas layaknya hotel bintang 5. Wajar saja kan kalau ada anggapan negeri ini disebut ‘surganya para koruptor?” ujarnya.

    Diberitakan sebelumnya, terdakwa sekaligus suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis divonis 6,5 tahun penjara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah.

    Dalam putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Harvey terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan primer jaksa penuntut umum.

    Harvey terbukti melanggar Pasal 2 ayat 1 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHAP.

    Selain itu Harvey juga dianggap Hakim Eko terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    “Menjatuhkan terhadap terdakwa Harvey Moeis oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan,” ucap Hakim Eko di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12/2024).

    Selain pidana badan, Harvey Moeis juga divonis pidana denda sebesar Rp 1 miliar dimana apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Tak hanya itu Harvey Moeis juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.

    Namun apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap maka harta benda Harvey dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti.

  • Beda Vonis Hakim untuk 2 Crazy Rich: Harvey Moeis vs Budi Said

    Beda Vonis Hakim untuk 2 Crazy Rich: Harvey Moeis vs Budi Said

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) telah menjatuhkan vonis terhadap dua orang crazy rich yang menjadi terdakwa kasus korupsi, yaitu Harvey Moeis dan Budi Said.

    Dalam catatan Bisnis, Harvey Moeis dijatuhkan hukuman 6,5 pidana di skandal korupsi PT Timah Tbk. (TINS). Selain pidana badan, hakim tipikor juga telah membebankan uang pengganti Rp210 miliar kepada suami artis Sandra Dewi itu. 

    Sementara itu, Budi Said divonis 15 tahun dalam perkara korupsi pembelian 1,1 ton emas PT Antam Tbk. (ANTM). Crazy rich Surabaya dibebankan harus membayar uang pengganti 58,841 kg emas atau setara Rp35,5 miliar.

    Namun demikian, keduannya sama-sama dijatuhi hukuman denda sebesar Rp1 miliar dengan subsidair enam bulan penjara.

    Berkaitan dengan hal ini, Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menyatakan banding terkait dengan vonis baik itu Harvey Moeis maupun Budi Said.

    Beda Hukuman Hakim untuk Harvey Moeis vs Budi Said

    Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menilai tuntutan pidana penjara yang diajukan jaksa penuntut umum selama 12 tahun terhadap terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) terlalu berat.

    Hakim Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta Eko Aryanto menyatakan Harvey tidak berperan besar dalam hubungan kerja sama peleburan timah antara PT Timah Tbk dan PT RBT maupun dengan para pengusaha smelter peleburan timah lainnya yang menjalin kerja sama dengan PT Timah.

    “Jika dibandingkan dengan kesalahan terdakwa sebagaimana kronologis perkara maka majelis hakim berpendapat tuntutan pidana penjara yang diajukan penuntut umum terlalu tinggi dan harus dikurangi,” ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/12/2024) dilansir dari Antara. 

    Maka dari itu, majelis hakim menjatuhkan hukuman 6 tahun dan 6 bulan penjara kepada Harvey, lebih rendah dari tuntutan jaksa penuntut umum.

    Berbeda dengan Harvey, terdakwa Budi Said divonis pidana 15 tahun penjara karena terbukti melakukan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait dengan kasus dugaan korupsi jual beli emas PT Antam Tbk.

    Budi Said juga divonis pidana denda sejumlah Rp1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan dan dibebankan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 58,841 kilogram emas Antam atau Rp35,53 miliar subsider 8 tahun penjara.

    “Menyatakan Budi Said terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi serta TPPU secara bersama-sama dan berlanjut sesuai dengan dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer,” ujar Hakim Ketua Tony Irfan dalam sidang putusan majelis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. 

    Dengan demikian, Budi Said dinyatakan melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

    Dalam menjatuhkan vonis terhadap Budi Said, majelis hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan dan meringankan. Hal memberatkan, yakni perbuatan Budi Said telah menyebabkan kerugian atas keuangan negara serta memperkaya diri sendiri dan orang lain.

    Sementara itu, hal yang meringankan, yakni Budi Said belum pernah dihukum, bersifat sopan di persidangan, dan tidak mempersulit jalannya persidangan serta memiliki tanggung jawab keluarga.

    Adapun vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya, Budi Said dituntut pidana penjara selama 16 tahun, pidana denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar 58,13 kg emas Antam atau senilai Rp35,07 miliar dan 1.136 kilogram emas Antam atau senilai Rp1,07 triliun subsider pidana penjara 8 tahun.

    Dalam kasus dugaan korupsi jual beli logam mulia emas Antam, Crazy Rich Surabaya itu didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp1,07 triliun.

    Perbesar

    Peran Harvey Moeis dan Budi Said di Kasus Korupsi 

    Harvey menjadi terdakwa dalam kasus korupsi timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022. Kasus rasuah yang menjerat Harvey disebut telah merugikan negara sebesar Rp300 triliun.

    Berdasarkan perannya, Harvey yang merupakan perpanjangan tangan perusahaan smelter PT Refined Bangka Tin (RBT) telah mengakomodasi penambangan liar di IUP PT Timah bersama tersangka lainnya. Akomodasi penambangan liar itu dilakukan melalui sewa menyewa alat peleburan timah untuk mendapatkan keuntungan.

    Kemudian, keuntungan yang didapat Harvey diduga difasilitasi terdakwa Helena Lim selaku manager PT Quantum Skyline Exchange dengan modus tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR.

    Adapun, jaksa mendakwa perbuatan itu telah memperkaya Harvey Moeis dan Manager PT Quantum Skyline Exchange, Helena Lim sebesar Rp420 miliar dalam kasus timah.

    Sementara itu, Budi dalam kasusnya telah melakukan kerja sama dengan sejumlah pihak untuk melakukan kongkalikong dalam transaksi pembelian emas dengan dibawah harga jual resmi Antam.

    Pembelian itu dilakukan di butik emas logam mulia (BELM) Surabaya 01 PT Antam Tbk. (ANTM). Atas perbuatannya, Budi dkk telah merugikan keuangan negara emas Antam sebesar 58,841 kg. Jumlah itu, merupakan kelebihan emas yang diterima Budi Said.

    Terkait dengan transaksi emas Antam 1,1 ton yang dituntut jaksa penuntut umum. Hakim PN Tipikor menilai bahwa belum ada bukti terkait dengan transaksi pembelian emas tersebut.

    Dengan demikian, PT Antam dinyatakan tidak wajib menyerahkan emas 1,1 ton atau setara dengan Rp1,07 triliun kepada Budi.

  • Vonis Rendah Gerombolan Harvey Moeis Cermin Kebobrokan Penegakan Hukum di Indonesia

    Vonis Rendah Gerombolan Harvey Moeis Cermin Kebobrokan Penegakan Hukum di Indonesia

    JAKARTA – Vonis 6,5 tahun yang dijatuhkan hakim kepada Harvey Moeis dan gerombolannya dalam perkara korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) mendapat sorotan. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebut rendahnya vonis untuk suami Sandra Dewi ini menjadi pertanda bahwa majelis hakim tidak memiliki rasa sensitif dalam mewujudkan keadilan hukum.

    Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) divonis pidana penjara selama 6 tahun dan 6 bulan terkait kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk. pada tahun 2015–2022.

    Selain pidana penjara, Harvey juga dikenakan pidana denda Rp1 miliar dengan ketentuan jika denda tersebut tidak dibayar, diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama enam bulan. Majelis Hakim turut menjatuhkan pidana tambahan kepada Harvey berupa pembayaran uang pengganti sebesar Rp210 miliar subsider dua tahun penjara.

    Putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Eko Aryanto ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung. Sebelumnya, JPU meminta Harvey dikurung 12 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan.

    Mengurangi Rasa Hormat pada Pemerintah

    Namun putusan hakim yang hanya menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan kepada Harvey Moeis langsung menyita perhatian masyarakat. Penjara hanya selama enam tahun dinilai terlalu ringan untuk kasus besar seperti yang dihadapi suami dari aktris Sandra Dewi tersebut.

    Apalagi jika mendengar alasan hakim memvonis Harvey Moeis lebih ringan dari JPU hanya karena terdakwa “berperilaku sopan, ada tanggungan keluarga, dan tidak pernah dihukum”. Deretan alasan yang membuat media sosial dipenuhi pernyataan warganet terkait kesediaan mereka dipenjara seandainya diberi uang Rp300 triliun. Ini bisa dikatakan bentuk sindiran kepada penegak hukum yang hanya memberikan vonis ringan, padahal korupsi yang ia lakukan bisa menyejahterakan masyarakat. 

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahkan sampai terheran-heran dengan vonis 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis, padahal kasusnya merugikan negara sampai ratusan triliun.

    “Ini tidak logis, menyentak rasa keadilan. Harvey Moeis didakwa melakukan korupsi dan TPPU Rp300 T. Oleh jaksa hanya dituntut 12 tahun penjara dengan denda 1 M dan uang pengganti hanya Rp210 M, vonis hakim hanya 6,5 tahun plus denda dan pengganti dengan total Rp212 M,” kata Mahfud MD.

    Sidang pembacaan putusan majelis hakim terkait dengan kasus dugaan korupsi timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (23/12/2024). (ANTARA/Agatha Olivia Victoria)

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Nagara Institute, Akbar Faizal juga melontarkan kekecewaannya atas putusan hakim yang hanya menjatuhkan vonis ringan untuk Harvey Moeis. Apalagi jika menyoroti alasan hakim memberi hukuman lebih rendah dari tuntutan jaksa karena perilaku sopan dan punya keluarga menurut Akbar malah menghina logika dan rasa kedilan bangsa.

    “Ini bukan yang pertama. Anda pasti paham berapa masa depan anak dan keluarga yang bisa diselematkan dengan Rp271 T yang dicuri orang ini dan jaringannya?” tulis Akbar di akun X-nya.

    “Sadarkah Anda putusan seperti ini membuat kami makin tak hormat kepada kalian? Atau memang kalian tak lagi peduli,” lanjutnya, sambil menandai akun Presiden Prabowo Subianto @prabowo.

    Dampak Korupsi sangat Merugikan

    Tak hanya di kalangan tokoh-tokoh penting Tanah Air, vonis rendah Harvey setelah merugikan negara hingga ratusan triliun juga disayangkan masyarakat. Mereka juga membandingkan penegakam hukum di Indonesia dengan luar negeri dalam menghadapi kasus korupsi.

    Belum lama ini pemerintah China yang telah mengeksekusi Li Jianping, mantan sekretaris Partai Komunis, di Kota Hohhot, Mongolia Dalam pada 17 Desember lalu. Ia dijatuhi hukuman mati pada September 2022 karena dinyatakan bersalah atas korupsi, penyuapan, penyelewengan dana publik, dan kolusi dengan sindikat kriminal. Ia disebut melakukan korupsi senilai 3 miliar yuan atau sekitar Rp6,7 triliun.

    Ini sekaligus menjadi kasus korupsi terbesar dalam sejarah China yang dilakukan oleh seorang individu.

    Li Jianping, pejabat China yang dieksekusi mati. (X/PDChina)

    Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyebut majelis hakim tidak memiliki rasa sensivitas dalam mewujudkan keadilan hukum di mata publik. Padahal, menurut Boyamin dampak korupsi sangat merugikan masyarakat.

    “Misalnya terdakwa Harvey Moeis yang pada korupsi timah di Bangka Belitung, kerugian lingkungannya saya sudah mencapai Rp270 T,” kata Boyamin.

    Ia menambahkan, majelis hakim seharusnya memberikan vonis seumur hidup untuk terdakwa Harvey Moeis.

    “Vonis 6,5 tahun dianggap sangat ringan karena hari ini kasus Tipikor Budi Said yang kerugiannya 35 miliar saja dihukum 15 tahun. Ini jauh dari asa keadilan karena tuntutan jaksa yang kurang maksimal,” katanya.

    Menurut Boyamin, vonis ringan pada kasus tipikor sering dipicu karena tuntutan dari JPU rendah. Jika sejak awal tuntutan jaksa diterapkan maksimal, Boyamin yakin vonis akan mengikuti. Untuk kasus korupsi tambang dan ada pencucian uang, seharusnya diganjar hukuman tinggi yaitu seumur hidup.

    Ahli-alih menuntut seumur hidup, Boyamin sangat kecewa dan menyayangkan Jaksa yang hanya menuntut 12 tahun pidana, hal itu pun berdampak pada rendahnya vonis Harvey Moeis dan gerombolannya yang hanya setengah dari tuntutan.

  • Netizen Minta Seluruh TV Boikot Sandra Dewi setelah Harvey Moeis Hanya Divonis 6,5 Tahun Penjara

    Netizen Minta Seluruh TV Boikot Sandra Dewi setelah Harvey Moeis Hanya Divonis 6,5 Tahun Penjara

    Jakarta, Beritasatu.com – Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis hanya mendapat vonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga timah. Putusan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta ini menuai reaksi luas dari masyarakat hingga ancaman boikot Sandra Dewi.

    Salah satu netizen menyuarakan pendapat agar seluruh stasiun televisi memboikot Sandra Dewi, istri Harvey Moeis, dari segala aktivitas di dunia hiburan.

    “Kepada seluruh stasiun TV swasta, kepada seluruh platform di TikTok dan YouTube, saya minta tolong untuk tidak bekerja sama dengan seorang wanita yang suaminya korupsi Rp 300 triliun tetapi hanya dihukum 6,5 tahun penjara dan didenda Rp 1 miliar,” tulis akun @Pembasmi.Kehaluan.Reall, Sabtu (28/12/2024).

    Alasan utama permintaan boikot Sandra Dewi tersebut adalah moralitas. Netizen tersebut menilai bahwa membiarkan Sandra Dewi tetap aktif di dunia hiburan dapat memberikan dampak buruk pada masyarakat, terutama generasi muda.

    “Ini adalah contoh konkret bahwa moralitas kita dalam bertanggung jawab terhadap kejahatan seperti ini sangat rendah. Kalau kita biarkan dia tetap beredar di mana-mana, anak-anak kita bisa berpikir bahwa korupsi Rp 300 triliun hanya dihukum 6,5 tahun penjara dan didenda Rp 1 miliar saja,” tambahnya.

    Netizen itu juga menyebut vonis tersebut sebagai bentuk kemunduran dalam penegakan hukum di Indonesia.

    “Buat apa selama ini gembar-gembor menangkap kasus korupsi besar-besaran kalau akhirnya hukumannya seringan ini? Bahkan setelah keluar dari pengadilan, masih terlihat ganteng, cantik, dan tetap bisa tampil dengan makeup. Moralitasnya di mana? Astagfirullah,” tandasnya.

    Sebelumnya, Harvey Moeis dihukum 6,5 tahun penjara dan dihukum membayar denda Rp 1 miliar subsider enam bulan kurungan. Dia juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar. Vonis yang ringan membuat netizen serukan aksi boikot Sandra Dewi.

  • Vonis Harvey Moeis Lebih Ringan, Komisi Yudisial Tindaklanjuti Dugaan Pelanggaran Etik

    Vonis Harvey Moeis Lebih Ringan, Komisi Yudisial Tindaklanjuti Dugaan Pelanggaran Etik

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi Yudisial (KY) menyoroti vonis majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap terdakwa Harvey Moeis. Vonis tersebut lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).

    Harvey Moeis dijatuhi hukuman 6 tahun 6 bulan penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan, serta kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar subsider 2 tahun penjara. Sebelumnya, JPU menuntut Harvey dengan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 1 miliar, dan uang pengganti Rp 210 miliar.

    Juru Bicara Komisi Yudisial, Mukti Fajar Nur Dewata, menyatakan KY menyadari putusan ini dapat memicu polemik di tengah masyarakat. Untuk memastikan proses persidangan berlangsung adil, KY telah mengirimkan tim pemantau selama proses hukum berjalan.

    “Beberapa sidang yang dipantau meliputi pemeriksaan ahli, saksi a de charge, dan saksi lainnya. Langkah ini dilakukan agar hakim dapat menjaga imparsialitas dan independensi sehingga memutus perkara secara adil,” ungkap Mukti Fajar dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (28/12/2024).

    KY akan mendalami putusan ini untuk menilai apakah terdapat indikasi pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Namun, KY menegaskan tidak akan mencampuri substansi putusan.

    “Forum yang tepat untuk mengubah atau menguatkan putusan adalah melalui upaya hukum banding,” ujar Mukti.

    KY juga membuka pintu bagi masyarakat yang memiliki dugaan pelanggaran etik hakim terkait kasus ini untuk melapor. KY meminta agar laporan yang diajukan dilengkapi dengan bukti-bukti pendukung guna mempermudah proses tindak lanjut.

  • Profil dan Rincian Harta Kekayaan Hakim Eko Aryanto yang Vonis Ringan Harvey Moeis – Page 3

    Profil dan Rincian Harta Kekayaan Hakim Eko Aryanto yang Vonis Ringan Harvey Moeis – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Hakim Eko Aryanto yang memvonis ringan Harvey Moeis selama 6,5 tahun penjara rupanya memiliki harta kekayaan lebih dari Rp 2 miliar. Hal ini terlihat dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN). 

    Eko melaporkan harta kekayaan terkahir pada 29 Januari 2024 untuk periode laporan 2023 dan tercatat memiliki harta kekayaan dengan total Rp2.820.981.000.

    Berikut rincian harta kekayaan hakim tersebut:

    1. Tanah dan bangunan seluas 200 m2/100 m2 di Malang: Rp1.350.000.000

    2. Alat transportasi dengan total Rp910.000.000

    – Mobil Honda Civic Sedan 2013: Rp300.000.000

    – Mobil Honda CR-V Minibus 2013: Rp300.000.000

    – Mobil Toyota Innova Reborn G 2.0 AT 2016: Rp240.000.000.

    – Motor Kawasaki Ninya 2013: Rp50.000.000

    – Motor Kawasaki KLV 2013: Rp20.000.000

    3. Harta bergerak lainnya: Rp395.000.000

    4. Kas dan setara kas: Rp165.981.000.

    Apabila dibandingkan dengan pelaporan tahun 2022 lalu, ia memiliki harta kekayaan sejumlah Rp2.783.981.000. Jumlah ini naik sebesar Rp 37 juta pada 2023.

     

    Eko Aryanto merupakan pria kelahiran Malang, Jawa Timur pada 25 Mei 1968. Ia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan golongan IV/d.

    Eko meraih gelar sarjana Hukum Pidana pada 1987 dari Universitas Brawijaya. Dia lulus S2 Ilmu Hukum dari IBLAM School of Law pada 2002.

    Lalu, Hakim usia 56 tahun ini meraih gelar S3 Ilmu Hukum yang didapatnya dari Universitas 17 Agustus 1945 pada 2015 silam.

    Kemudian, setelah menjadi CPNS pada 1988, Eko Aryanto berkarier di sejumlah Pengadilan Negeri seperti di Jawa Barat, Aceh, Jawa Timur, serta Jawa Tengah.

    Selama berkarier, Eko pernah menjadi ketua pengadilan negeri di Pandeglang pada 2009, Blitar pada 2015, Mataram pada 206, dan Tulungagung pada 2017.

    Dalam mengemban amanah, Eko kerap mengadili sejumlah tindak pidana kriminal seperti kasus kelompok kriminal John Kei, Bukon Koko, dan Yeremias Farfarhukubun terkait kasus kematian Yustis Corwing (Erwin).