Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P…
Tim Redaksi
NUSA DUA, KOMPAS.com
– Tangis haru dan pekikan “merdeka” menggema di ruang utama Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Sabtu (2/8/2025), ketika
Hasto Kristiyanto
melangkah di tengah ruang kongres ke-6 partai, untuk kembali ke panggung politik partai berlambang banteng.
Suasana yang semula hening berubah menjadi riuh dan penuh emosi di tengah pidato politik Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri
dalam penutup kongres ke-6 partai.
Suara Megawati mendadak terhenti saat dia tengah menyampaikan pesan tentang pentingnya keberanian dan kejernihan dalam menghadapi tantangan bangsa.
“Kita tidak boleh menutup mata, kita harus menghadapi kenyataan ini dengan keberanian, kejernihan pikiran dan hati nurani, serta keteguhan sikap. Tetap berdiri tegak sebagai kesatria,” ujar Megawati.
Namun, kalimat itu belum sempat dirampungkan oleh Megawati.
Teriakan “Merdeka!” dari sejumlah orang memotong suasana.
Spontan, seluruh kader berdiri dari tempat duduk masing-masing, tepuk tangan bergemuruh.
Megawati, yang duduk di bangku di atas panggung, sempat bingung. Pandangannya celingukan.
Ekspresi haru pun mencuat dari wajah Megawati kala matanya menangkap sosok seseorang yang berjalan ke arah panggung.
Saat itulah, Sekjen Demisioner PDI-P Hasto Kristiyanto muncul di tengah-tengah peserta kongres.
Dengan mengenakan kemeja merah khas PDI-P dan kopiah berhias pin wajah Bung Karno, Hasto melangkah mantap menuju panggung utama.
Di tangan kiri, dia menggenggam buku berjudul “Spiritualitas PDI Perjuangan.”
Karya yang ditulis dan dipersembahkan untuk Megawati dari balik jeruji ruang tahanan KPK.
Megawati terdiam dan matanya mulai berkaca-kaca. Tatapannya mengikuti langkah Hasto.
Air mata Megawati pun perlahan jatuh membasahi pipi.
Dia menyeka wajahnya, sebelum akhirnya berdiri menyambut Hasto yang naik ke atas panggung.
Sambil menangis, Megawati pun memeluk erat Hasto.
Di hadapan ribuan kader, Hasto tampak berusaha menenangkan ketua umumnya yang diliputi haru.
Hasto kemudian membungkuk dan mencium tangan Megawati.
Pekikan “Merdeka!” pun kembali menggema.
Para kader yang menyaksikan momen itu dari berbagai penjuru ruangan meneriakkannya sambil bertepuk tangan.
Setelah itu, Hasto langsung berbalik badan, lalu mengepalkan tangan ke udara dan berteriak “Merdeka!” sebelum turun dari panggung.
Pekikan itu serempak diikuti oleh para peserta kongres.
Usai turun panggung, Hasto bersalaman dengan dua tokoh PDI-P yang duduk di barisan depan: Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
Hasto kemudian menempati kursi yang baru saja disiapkan oleh panitia di sisi kanan barisan terdepan.
Sementara itu, Megawati kembali duduk dengan penuh keharuan.
Dia pun tak langsung melanjutkan pidatonya karena masih diselimuti emosi.
Melihat hal itu, para kader berinisiatif menyanyikan yel-yel penyemangat dengan lirik “Megawati siapa yang punya, Megawati siapa yang punya, yang punya kita semua!”.
Yel-yel itu pun memecah keheningan dan menghangatkan suasana.
Perlahan, Megawati kembali mengambil alih suasana.
“Ternyata yang saya katakan, Satyam Eva Jayate. Ternyata kebenaran itu pasti menang. Alhamdulillah, Tuhan memberikan apa yang telah diinginkan oleh beliau,” ucap Megawati, dengan suara bergetar.
Dia mengaku selalu mendoakan Hasto, namun tak pernah menyangka bahwa pria yang menjadi tangan kanannya itu bisa hadir secara langsung dalam forum penting partai, hanya sehari setelah dibebaskan.
Untuk diketahui, Hasto baru saja bebas dari rumah tahanan KPK setelah mendapat amnesti dari
Presiden Prabowo Subianto
, dalam kasus penyuapan terkait perkara korupsi Harun Masiku, Jumat (1/8/2025) kemarin.
“Tadi saya berdoa. Tapi saya tidak terlalu berharap, bahwa yang namanya Pak Hasto berada kembali di keliling kita,” tuturnya disambut tepuk tangan.
Dalam pidatonya, Megawati juga mengungkap bahwa Hasto adalah satu dari sekian nama tokoh dan kader yang kerap ia sebut saat berdzikir.
“Kalau saya sedang berdzikir, saya sebut semua nama, termasuk Pak Hasto,” ucap Megawati.
“Saya minta kepada Yang Di Atas. Bukan karena apa-apa, (tetapi untuk) keadilan yang hakiki pada orang-orang yang dari sisi hukum diperlakukan tidak adil,” lanjut Presiden ke-5 RI itu.
Menurut Megawati, Hasto hanyalah contoh dari sekian banyak warga yang menjadi korban ketidakadilan hukum.
Dia pun menyerukan agar keadilan ditegakkan setegak-tegaknya.
“Apakah kalian tidak punya anak-anak, tidak punya saudara? Kalau diperlakukan seperti itu lalu bagaimana, di mana kalian akan mencari keadilan yang hakiki?” ucap dia.
Dalam kesempatan yang sama, Megawati juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kondisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini.
Dia menyatakan, lembaga yang dulu turut digagasnya itu kini membuatnya sedih.
“Kalau saya lihat KPK sekarang, sedihnya bukan main. Saya lah yang membuat yang namanya Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Megawati.
“Kalau sekarang modelnya kayak begini, lalu bagaimana? Coba saja pikir. Saya merasa aneh kok,” sambung dia.
Megawati pun menyinggung peran Presiden Prabowo Subianto yang harus turun langsung menangani persoalan KPK.
“Masa urusan begini saja, Presiden harus turun tangan? Coba pikirkan,” kata dia.
Sebagai mantan kepala negara, Megawati menegaskan bahwa dirinya memahami dinamika kekuasaan.
Namun, dia menyayangkan jika penegakan hukum justru makin kehilangan kepercayaan publik.
“Saya kan pernah presiden, jadi saya tahu liku-likunya. Coba kalau kalian, lucu ya. Kenapa sih kok KPK jadi begitu? Itulah,” ujar Megawati.
Megawati menutup pidatonya dengan menyampaikan janji setia kepada Pancasila yang dia layangkan kepada almarhum ayahnya yang juga Presiden Pertama RI, Soekarno.
“Kepada Bung Karno, izinkan kami berjanji, di Kongres-6 ini, kami akan terus setia pada Pancasila, pada Trisakti yang akan kami wujudkan melalui pola pembangunan nasional semesta berencana,” katanya dengan suara bergetar.
Megawati juga berjanji bahwa dia dan partainya akan setia pada ajaran kebenaran yang diberikan oleh ayahnya tersebut.
Baginya, ajaran kebenaran Soekarno perlu diterapkan demi terwujudnya Indonesia yang sejati.
“Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, dengan berakhirnya pidato ini, maka dengan resmi Kongres keenam PDI-P secara resmi saya tutup,” kata Megawati.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Harun Masiku
-
/data/photo/2025/08/02/688dfa20f3ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tangis Megawati dan Pekikan Merdeka Saat Hasto “Pulang” ke PDI-P… Nasional 3 Agustus 2025
-
/data/photo/2025/08/02/688dfa20f3ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti Hasto dan Sikap Politik Megawati… Nasional 3 Agustus 2025
Amnesti Hasto dan Sikap Politik Megawati…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Presiden
Prabowo Subianto
mengeluarkan keputusan untuk memberikan amnesti kepada Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDI-P
), Hasto Kristiyanto, yang terseret kasus Harun Masiku.
Pemberian amnesti tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) yang telah mendapat pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945.
Secara hukum, amnesti adalah tindakan negara yang menghapus seluruh akibat pidana atas suatu perbuatan, termasuk menghentikan proses hukum yang tengah berjalan.
Melalui amnesti ini, status hukum Hasto dinyatakan berakhir secara permanen, termasuk penyidikan dan penuntutan yang sempat dilakukan oleh aparat penegak hukum.
Artinya, negara mengambil sikap bahwa perkara tersebut tidak lagi dianggap sebagai tindakan pidana yang perlu diproses lebih lanjut.
Secara politik, keputusan ini menjadi isyarat penting dari pemerintahan Prabowo, terutama dalam menghadapi dinamika relasi dengan partai-partai di luar koalisi pemerintah.
Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai bentuk rekonsiliasi, amnesti terhadap figur sentral PDI-P jelas menyimpan bobot politis yang tidak kecil.
Langkah ini juga mencerminkan pemanfaatan kewenangan konstitusional Presiden untuk mengintervensi proses hukum demi pertimbangan keadilan dan kepentingan nasional yang lebih luas.
Dalam praktik ketatanegaraan, pemberian amnesti kerap digunakan untuk meredam ketegangan politik atau menyelesaikan perkara yang dianggap sarat kepentingan non-hukum.
Sebelum amnesti disampaikan, Ketua Umum
Megawati Soekarnoputri
memerintahkan para kadernya untuk mendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam acara Bimbingan Teknis atau Bimtek PDI-Perjuangan di Bali.
Perintah Megawati agar kadernya mendukung pemerintahan Prabowo ini diungkapkan oleh Ketua DPP PDI-P Deddy Yevri Sitorus.
“Sembari juga memastikan bahwa kita punya cukup banyak gagasan dalam rangka menjaga dan mendukung pemerintah agar betul-betul ada pada rel yang seharusnya,” kata Deddy, di kawasan Nusa Dua, Badung, Bali, Kamis (31/7/2025) malam.
Menurut dia, dukungan yang diberikan itu bagi upaya-upaya positif yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga negara, bangsa, dan rakyat agar mampu melalui kondisi yang belum baik saat ini.
Dia mengatakan, upaya-upaya yang perlu didukung di antaranya untuk mengatasi kondisi fiskal yang sangat tidak stabil, pemasukan negara yang berkurang, tantangan pembayaran utang luar negeri, hingga tantangan geopolitik dan ekonomi global.
Secara umum, dia mengatakan bahwa Megawati ingin supaya partai berlambang kepala banteng itu tetap solid secara organisasi dengan memiliki frekuensi yang sama.
Untuk itu, menurut dia, Megawati meminta kepada para kadernya untuk turun ke masyarakat agar mengetahui persoalan-persoalan murni yang dialami masyarakat.
Menurut dia, Megawati selalu berpesan bahwa partai politik adalah tiang utama dari pemerintahan.
Dengan landasan undang-undang yang ada, dia mengatakan bahwa partai politik harus solid untuk bisa berperan dengan baik.
“Sudah tentu kita sebagai partai, terutama anggota legislatif kita, sebagai bagian dari negara ini, tentu harus berpikir menyatukan frekuensi. Selain itu, kita juga menggunakan kesempatan itu untuk menemukan inovasi-inovasi baru,” kata Anggota Komisi II DPR RI itu.
Meski tidak menjadi oposisi, partai berlambang banteng moncong putih itu menegaskan tetap berada di luar pemerintahan.
Politikus PDI-P Yasonna Laoly menuturkan, dukungan yang dilakukan PDI-P adalah sebagai penyeimbang atau menjalankan fungsi kontrol terhadap pemerintah.
“Kan kalau PDI-P kemarin di bimtek, ibu sudah mengatakan. Kita dukung pemerintahan Pak Prabowo, walaupun kita berada di luar kabinet. Kita tetap mendukung sebagai penyeimbang,” ujar Yasonna, di sela-sela rangkaian Kongres ini.
Presiden Prabowo Subianto menyatakan, Partai Gerindra yang ia pimpin dan PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri merupakan kakak dan adik.
Meski hubungan kedua partai bagaikan saudara kandung, Prabowo menyebutkan bahwa PDI-P dan Gerindra tidak boleh berada dalam koalisi bila merujuk praktik demokrasi di negara barat.
“Ini sebenarnya PDI-P sama Gerindra ini kakak-adik. Tapi, benar kita ini karena apa ya, demokrasi kita kan diajarkan oleh negara barat, jadi enggak boleh koalisi satu,” kata Prabowo, dalam peluncuran Koperasi Desa Merah Putih di Klaten, Jawa Tengah, Senin (21/7/2025).
Prabowo menuturkan, sebagai negara demokrasi, harus ada pihak yang mengoreksi kebijakan pemerintah.
PDI-P dalam hal ini tidak menjadi bagian dari koalisi bersama Gerindra.
Perwakilan PDI-P juga tidak ada dalam Kabinet Merah Putih dan lebih banyak menduduki kursi di parlemen.
“Itu memang benar, harus ada yang di luar (koalisi), koreksi kita gitu, ngoreksi. Tapi, ya sedulur, ya kan?” ucap Prabowo.
“Kalau bahasanya itu jaksa Agung, hopeng (hao pengyou—teman baik). Bahasanya Pak Utut hopeng, karena suhunya sama dia ini,” imbuh dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2015/05/25/1008166010-fot0160780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum Nasional 3 Agustus 2025
Amnesti, Abolisi, dan Tebang Pilih Hukum
Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
DALAM
panggung sejarah kekuasaan, keputusan politik kerap menjadi penentu arah nasib individu, bahkan bangsa.
Ketika Presiden Prabowo Subianto memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong, publik terbelah antara lega dan gusar, antara optimisme dan skeptisisme.
Di satu sisi, tindakan ini dibaca sebagai bentuk keberanian politik untuk memutus lingkaran balas dendam kekuasaan. Di sisi lain, keputusan ini diselubungi tanda tanya: mengapa mereka yang terkena hukuman? Mengapa bukan yang lain?
Amnesti dan abolisi bukan sekadar tindakan administratif, melainkan simbol kebijakan negara dalam memaknai keadilan.
Dalam pengertian hukum positif, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada individu atau kelompok atas tindakan pidana tertentu, biasanya bermuatan politik, yang menghapuskan segala akibat hukum.
Abolisi, sebaliknya, adalah penghapusan proses hukum terhadap seseorang dan diberikan atas dasar pertimbangan politik tertentu.
Keduanya diatur dalam Pasal 14 UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan Rehabilitasi.
Dalam kasus Hasto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan yang terjerat tuduhan
obstruction of justice
dan suap dalam perkara Harun Masiku dengan vonis 3,5 tahun penjara; amnesti menjadi pilihan untuk memulihkan martabat seorang politikus yang dianggap menjadi korban kriminalisasi.
Sementara itu, Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan (2015-2016) terdakwa kasus impor gula dengan vonis hukuman 4,5 tahun penjara, mendapat abolisi yang menghapus semua proses dan putusan hukum.
Kedua tindakan ini, secara hukum sah, tapi secara moral dan politik memanggil renungan lebih dalam.
Apresiasi atas amnesti dan abolisi tak boleh membutakan kita dari ketimpangan hukum yang telah lama menjadi borok tak tersembuhkan dalam demokrasi Indonesia.
Ketika keputusan hakim tampak seperti salinan naskah kekuasaan, dan ketika tuntutan jaksa mencerminkan atmosfer politik ketimbang asas legalitas, maka kita sedang menyaksikan bagaimana keadilan kehilangan sakralitasnya.
Mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diam pada kasus-kasus korupsi yang nilainya jauh lebih besar, bahkan seukuran gajah?
Mengapa kejaksaan lamban dalam mengusut skandal-skandal besar yang menguapkan triliunan rupiah uang rakyat?
Di saat yang sama, aparat penegak hukum tampak sangat aktif ketika berhadapan dengan figur-figur yang berada di luar lingkar kekuasaan.
Pola ini mengulangi siklus gelap dalam sejarah penegakan hukum di negeri ini: selektif, transaksional, dan sarat kepentingan.
Buku Daniel S. Lev berjudul “Legal Evolution and Political Authority in Indonesia” (Equinox Publishing, 2000) menjadi titik awal refleksi penting.
Lev menunjukkan bahwa hukum di Indonesia tidak pernah menjadi entitas otonom, melainkan selalu dibentuk dan dibelokkan oleh agenda kekuasaan.
Hal ini masih relevan hingga hari ini. Ketika figur seperti Hasto dan Tom Lembong dijerat atau dibebaskan berdasarkan kalkulasi politik, bukan semata prosedur hukum, maka jelas bahwa supremasi hukum masih menjadi ideal yang jauh dari kenyataan.
Penegakan hukum di Indonesia semakin diragukan setelah KPK dilemahkan melalui revisi Undang-Undang No. 19 Tahun 2019. KPK yang dahulu independen dan progresif, kini berada di bawah kendali dewan pengawas yang berafiliasi dengan pemerintah.
Hukum menjadi sunyi ketika pelakunya adalah kroni atau bagian dari sistem kekuasaan. Padahal, dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jelas bahwa setiap penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi atau kelompok wajib dihukum berat.
Namun, teks hukum kehilangan makna jika aparatnya tunduk pada perintah kekuasaan.
Hal ini dipertegas oleh Satjipto Rahardjo dalam bukunya “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan” (Kompas, 2008), bahwa hukum di Indonesia terlalu kaku pada prosedur tetapi gagal pada substansi keadilan.
Ia menyerukan agar aparat hukum lebih berpihak kepada nilai keadilan sosial daripada sekadar teks hukum.
Dalam konteks Prabowo, pemberian amnesti dan abolisi bisa dibaca sebagai upaya koreksi terhadap praktik hukum yang telah kehilangan arah moral.
Sebastian Pompe (2012) juga mencatat bahwa hukum di Indonesia sangat rentan digunakan sebagai alat politik.
Dari Mahkamah Konstitusi hingga Mahkamah Agung, Pompe menunjukkan bahwa tekanan kekuasaan menjadi bagian inheren dalam pengambilan keputusan.
Dengan itu, maka yang dibutuhkan bukan hanya pemimpin yang berani memberikan pengampunan, tetapi sistem hukum yang berani berdiri sendiri.
Apa arti keadilan dalam sistem hukum yang telah dibajak oleh logika kekuasaan? Ketika hukum tidak memberi perlindungan kepada yang lemah, dan justru menjadi senjata untuk menundukkan lawan politik, maka legitimasi hukum pun runtuh.
Rakyat melihat bahwa keadilan hanyalah milik mereka yang dekat dengan kekuasaan, dan hukum adalah panggung sandiwara tanpa penonton yang percaya.
Keputusan Presiden Prabowo memberikan amnesti dan abolisi dapat dipandang sebagai gestur moral yang melampaui prosedur teknis hukum.
Namun, hal ini tak cukup jika tidak diikuti reformasi institusional. KPK harus dikembalikan kepada independensinya.
Jaksa Agung harus benar-benar bebas dari kendali partai politik. Hakim harus memperoleh jaminan keamanan politik dan kesejahteraan agar tidak mudah dibeli atau ditekan. Dan yang terpenting, semua proses hukum harus terbuka untuk diawasi rakyat.
Konstitusi memberikan ruang untuk koreksi politik terhadap kesewenang-wenangan hukum, sebagaimana Pasal 14 UUD 1945 yang menjadi dasar pemberian amnesti dan abolisi.
Namun, koreksi itu tidak boleh menjadi pengganti dari sistem hukum yang rusak. Ia hanya boleh menjadi intervensi moral ketika hukum telah dibajak oleh tirani prosedural.
Di sinilah refleksi penting kita: bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak gagal karena kekurangan undang-undang, melainkan karena lemahnya komitmen politik dan keberanian moral para penyelenggara negara.
Hukum dipakai bukan untuk membangun keadilan, tetapi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan jejaring ekonomi politik para elite. Inilah yang melahirkan krisis sistem penegakan hukum kita.
Apresiasi terhadap keputusan Presiden Prabowo mesti diikuti oleh dorongan publik untuk terus memperjuangkan sistem hukum yang rasional, independen, dan berpihak kepada rakyat.
Jika tidak, maka amnesti dan abolisi hanya akan dipahami sebagai strategi kompromi politik, bukan jalan menuju keadilan sejati.
Dan selama hukum masih berpihak pada mereka yang kuat, bukan pada kebenaran, maka keadilan akan tetap menjadi angan yang dituliskan dalam pasal-pasal undang-undang, tetapi tak pernah benar-benar hidup dalam kenyataan.
Hal ini tentu bertentangan dengan sifat dasar Indonesia yang merupakan negara hukum, bukan negara kekuasaan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pemesan Kasus Hasto dan Tom Lembong Tak Nyenyak Tidur
GELORA.CO -Siapa pun yang mengorder kasus mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto agar masuk perangkap hukum tidak akan tenang hidupnya saat ini.
Hal ini menyusul keptusan Presiden Prabowo Subianto yang membebaskan Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto dari penjara usai memperoleh abolisi dan amnesti.
“”Pengorder” kasus Hasto dan Tom Lembong pasti tidak nyenyak tidur. Mungkin berandai-andai tentang nasibnya ke depan,” kata Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia (JMI) Islah Bahrawi dikutip dari akun X pribadinya, Minggu 3 Juli 2025.
Bukan cuma itu, Islah juga menyoroti aparat penegak hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan juga para hakim yang memutus perkara Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto.
“Bagaimana perasaanmu setelah sempat dibuat “dungu” oleh pusaran politik seperti ini?” tanya Islah.
Pekan lalu, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus suap terkait perkara korupsi Harun Masiku.
Sementara itu, Tom Lembong divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus impor gula kristal mentah pada 18 Juli silam.
Presiden Prabowo kemudian melalui Surat Presiden Nomor R43/Pres/072025 tertanggal 30 Juli 2025 meminta pertimbangan DPR untuk pemberian amnesti dan abolisi terhadap 1.178 narapidana. Dalam dokumen itu terdapat nama Tom dan Hasto
-

Abolisi-amnesti Presiden bukan bentuk intervensi hukum
Konferensi pers DPP Partai Hanura terkait keputusan Presiden tentang abolisi dan amnesti di Jakarta, Sabtu (2/8/2025). (ANTARA/Fath Putra Mulya)
Partai Hanura: Abolisi-amnesti Presiden bukan bentuk intervensi hukum
Dalam Negeri
Editor: Widodo
Sabtu, 02 Agustus 2025 – 17:47 WIBElshinta.com – Partai Hanura mengatakan abolisi dan amnesti yang diberikan Presiden Prabowo Subianto pada Jumat (1/8) bukan bentuk intervensi terhadap penegakan hukum, melainkan upaya mengoreksi hukuman dengan cara yang konstitusional.
Sekretaris Jenderal Partai Hanura Benny Rhamdani saat konferensi pers di Jakarta, Sabtu, mengatakan abolisi dan amnesti merupakan perangkat hukum luar biasa yang dapat digunakan dalam situasi ketika hukum dibajak untuk tujuan kekuasaan.
“Partai Hanura sangat percaya bahwa keputusan Presiden tersebut bukan bentuk intervensi terhadap kekuasaan kehakiman, melainkan mekanisme korektif konstitusional yang sah dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945,” ucap Benny.
Oleh karena itu, Partai Hanura menyatakan mendukung penuh abolisi dan amnesti yang diberikan Presiden. Partai menilai keputusan tersebut merupakan cerminan sikap kenegarawanan kepala negara.
“Keputusan ini adalah sikap kenegarawanan seorang Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari restorasi konstitusional untuk mengembalikan muruah hukum kepada tujuan sejatinya untuk melindungi hak warga negara dari penyalahgunaan kekuasaan dan kriminalisasi politik,” tuturnya.
Partai Hanura berharap keputusan untuk memberikan pengampunan ini menjadi momentum penting bagi Presiden untuk menyelesaikan perbaikan sistem penegakan hukum nasional, sekaligus menciptakan stabilitas politik, rekonsiliasi, dan persatuan nasional.
Negara, imbuh Benny, tidak boleh membiarkan hukum digunakan sebagai alat represi terhadap kebebasan berpendapat, perbedaan politik, dan kelompok-kelompok pembela terhadap demokrasi.
Di samping itu, Partai Hanura menyerukan kepada seluruh komponen bangsa, khususnya aparat penegak hukum, untuk menjadikan langkah Presiden ini sebagai momentum kebangkitan era penegakan hukum yang bebas dari represi.
“Bangsa ini membutuhkan penegak hukum yang jujur, hukum yang bersih dan berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan hukum yang digunakan sebagai alat politik kekuasaan dan alat balas dendam,” ucap Benny.
“Hukum harus tunduk pada kebenaran dan keadilan, juga dijaga dari segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan,” imbuh dia.
Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto resmi meneken keputusan presiden (keppres) terkait abolisi dan amnesti pada Jumat (1/8).
Amnesti diberikan kepada sebanyak 1.178 orang, termasuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, sedangkan abolisi diberikan kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong.
Hasto divonis tiga tahun dan enam bulan penjara dalam kasus dugaan suap pengganti antarwaktu calon anggota legislatif Harun Masiku, sementara Tom divonis empat tahun dan enam bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Usai menerima keppres amnesti dan abolisi, Hasto dan Tom Lembong langsung bebas dari tahanan pada Jumat (1/8) malam.
Sumber : Antara
-
/data/photo/2025/08/02/688dfa20f3ef2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Tak Lagi Sekjen PDIP, Megawati Rangkap Jabatan
Hasto Tak Lagi Sekjen PDIP, Megawati Rangkap Jabatan
Tim Redaksi
NUSA DUA, KOMPAS.com
–
Hasto Kristiyanto
, tidak masuk dalam jajaran pengurus DPP PDIP periode jabatan 2025–2030. Diketahui, Hasto merupakan Sekjen PDIP periode 2015–2025.
Dalam struktur kepengurusan baru yang telah diumumkan oleh
Megawati Soekarnoputri
di Kongres ke-6
PDI-P
, Sabtu (2/8/2025), posisi sekjen dirangkap oleh Megawati sendiri.
Ketua Steering Committee Kongres PDI-P, Komarudin Watubun, mengatakan bahwa keputusan Megawati merangkap jabatan sekjen saat ini merupakan hasil pertimbangan pribadi sang ketua umum.
“Sekretaris jenderal belum diputuskan oleh Ibu. Jadi Ibu masih merangkap,” ujar Komarudin saat konferensi pers di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu.
Komarudin pun belum dapat memastikan apakah Megawati akan terus merangkap jabatan itu selama lima tahun ke depan.
Menurut dia, keputusan soal posisi Sekjen PDI-P itu sepenuhnya berada di tangan Megawati.
“Saya kira Ibu akan punya pertimbangan waktu di mana dia akan memutuskan,” ujarnya.
Ketika ditanya soal kemungkinan Hasto kembali ke dalam kepengurusan partai pasca mendapat
amnesti
dan bebas dari proses hukum, Komarudin enggan berspekulasi.
“Itu hanya Ibu yang tahu. Saya kan enggak mungkin tahu pertimbangan Ibu ya. Kita lihat saja ke depan seperti apa, karena hanya Ibu yang tahu,” kata dia.
Seperti diketahui, DPR RI telah menyetujui amnesti untuk Hasto Kristiyanto, yang sebelumnya divonis 3 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dalam kasus suap pengurusan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR Fraksi PDI-P.
“Pemberian persetujuan dan pertimbangan atas Surat Presiden… termasuk saudara Hasto Kristiyanto,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dalam sidang paripurna, Kamis (31/7/2025).
Hasto dinyatakan terbukti menyuap Komisioner KPU Wahyu Setiawan dengan uang sebesar Rp 400 juta. Ia juga dijatuhi denda Rp 250 juta subsider tiga bulan kurungan.
Vonis itu lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yang menuntut 7 tahun penjara. Hasto juga dinyatakan tidak terbukti menghalangi penyidikan dalam kasus Harun Masiku.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Tangis Megawati Pecah Kala Hasto Tiba-tiba Datang ke Kongres VI PDIP
Bisnis.com, JAKARTA — Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto secara mengejutkan datang menghadiri Kongres VI PDIP di Bali Nusa Dua Convention Center, Badung, Bali pada Sabtu (2/8/2025) siang.
Kedatangannya ini membuat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menitikkan air mata kala Hasto naik ke panggung untuk mencium tangan dan memeluk Megawati.
Adapun, momen tersebut terjadi saat Megawati tengah berpidato politik dalam rangkaian acara penutupan Kongres VI. Hasto secara tiba-tiba memasuki ballroom dan naik ke panggung.
Beberapa saat kemudian, Hasto turun dari panggung sembari meneriakkan “Merdeka!” dan seruannya ini dibalas secara kompak oleh para kader yang berada di dalam ballroom.
Setelah itu, salah seorang peserta kongres menyanyikan lagu yang diadaptasi dari lagu anak-anak berjudul “Nona Manis Siapa yang Punya” dengan lirik diubah menjadi nama Megawati.
“Megawati siapa yang punya, Megawati siapa yang punya, Megawati siapa yang punya. Yang punya kita semua,” nyanyi mereka.
Seusai itu, Megawati merespons kedatangan Hasto dengan mengatakan bahwa dirinya setiap hari selalu berdoa untuk Hasto.
“Saya tadinya berdoa tetapi saya tidak terlalu berharap bahwa yang namanya Pak Hasto, berada kembali dikelilingi kita semua,” kata Megawati.
Megawati berpandangan bahwa kehadiran Hasto ini adalah bukti bahwa kebenaran akan menang. Merespons hal itu seluruh kader yang datang kompak bertepuk tangan.
“Maka ingatlah apa yang tadi saya katakan, harus teguh, harus setia, karena itulah anugerah yang diberikan kepada manusia oleh Allah Subhana Wa Ta’ala,” tutur Presiden ke-5 RI tersebut.
Adapun, Hasto akhirnya dibebaskan dari rumah tahanan (rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) usai diberikan amnesti oleh Presiden Prabowo Subianto. Hasto resmi keluar dari rutan KPK, Jumat (1/8/2025).
Hasto sebelumnya dijatuhkan pidana penjara selama 3,5 tahun serta denda Rp250 juta subsidair 3 bulan kurungan, lantaran terbukti memberikan suap kepada anggota KPU 2017-2022, Wahyu Setiawan, terkait dengan pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 untuk Harun Masiku.
Putusan Hakim lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK yakni 7 tahun penjara dan denda Rp600 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Sebelum Hasto dibebaskan, pemerintah telah menyerahkan Keputusan Presiden (Keppres) terkait dengan pemberian amnesti tersebut ke KPK. Dengan diserahkannya Keppres yang diteken Presiden Prabowo Subianto, Hasto resmi dibebaskan.
-

Hasto Muncul di Kongres PDIP, Suasana Haru Menyelimuti, Megawati Tak Kuasa Menahan Tangis
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Setelah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto, Sekretaris Jenderal (Sekjen) demisioner PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto tiba di arena acara Kongres VI PDIP di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Badung, Bali, Sabtu (2/8).
Hasto muncul sekitar pukul 15.42 WITA. Kedatangannya pun disambut antusias oleh ribuan kader PDIP yang hadir dalam acara tersebut. Hasto terlihat mengenakan seragam PDIP saat menghadiri acara Kongres.
Pada kesempatan itu, Hasto langsung menghampiri Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang tengah menyampaikan pidato politik di atas panggung. Dalam kesempatan itu, Hasto langsung mencium tangan Megawati.
Suasana haru tampak di ruang kongres saat kedatangan Hasto. Megawati bahkan tak kuasa menahan tangis.
“Ternyata yang saya katakan, Satyam Eva Jayate. Ternyata kebenaran itu pasti menang. Alhamdulillah, Tuhan memberikan apa yang telah diinginkan oleh beliau,” kata Megawati usai kedatangan Hasto.
Ia pun mengamini dirinya selalu berharap bahwa Hasto akan kembali bergabung dengan PDIP.
“Tadi saya berdoa. Tapi saya tidak terlalu berharap, bahwa yang namanya Pak Hasto berada kembali di keliling kita,” sambung Megawati sambil menangis.
Sebelumnya, Hasto keluar dari rumah tahanan (rutan) KPK, Jakarta, pada Jumat (1/8) malam.
Pemberian amnesti itu merupakan pengampunan dari Presiden Prabowo setelah Hasto divonis 3 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus suap pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI 2019-2024 dan perintangan penyidikan Harun Masiku. (jpg)
-
/data/photo/2025/08/02/688dc6c8e27c1.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Megawati Menangis Saat Janji Kepada Bung Karno untuk Setia pada Pancasila Nasional 2 Agustus 2025
Megawati Menangis Saat Janji Kepada Bung Karno untuk Setia pada Pancasila
Tim Redaksi
NUSA DUA, KOMPAS.com
– Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDI-P
)
Megawati
Soekarnoputri menangis untuk ketiga kalinya dalam acara Kongres ke-6 PDI-P di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali, Sabtu (2/8/2025).
Megawati menangis ketika mengucapkan janji setia kepada
Pancasila
yang dia layangkan kepada almarhum ayahnya yang juga Presiden Pertama RI, Soekarno.
“Kepada
Bung Karno
, izinkan kami berjanji, di Kongres-6 ini, kami akan terus setia pada Pancasila, pada Trisakti yang akan kami wujudkan melalui pola pembangunan nasional semesta berencana,” katanya dengan suara bergetar.
Presiden ke-5 RI ini juga berjanji setia pada ajaran kebenaran yang diberikan oleh ayahnya tersebut.
Megawati mengatakan, ajaran kebenaran Soekarno perlu diterapkan demi terwujudnya Indonesia yang sejati.
“Dengan mengucap syukur kehadirat Allah SWT, dengan berakhirnya pidato ini, maka dengan resmi Kongres keenam PDI-P secara resmi saya tutup,” kata Megawati.
Sebelum menangis karena mengucapkan janji setia kepada Pancasila, Megawati sudah dua kali menangis.
Pertama, dia sempat menangis saat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P demisioner, Hasto Kristiyanto tiba di lokasi acara.
Megawati mengatakan, kedatangan Hasto sebagai wujud kata-kata Bung Karno “Satyam Eva Jayate” yang artinya kebenaran pasti menang.
“Ternyata yang saya katakan “Satyam Eva Jayate,” kebenaran itu pasti menang, Alhamdulillah Tuhan memberikan apa yang diinginkan oleh beliau (Bung Karno),” ujar Megawati.
Kedua, dia menangis ketika menyebut bahwa proses hukum di Indonesia masih jauh dari kata ideal.
Menurut Megawati, kasus Hasto sebagai salah satu contoh dari sekian banyak kasus hukum yang tidak diproses secara adil.
Hasto diketahui baru saja bebas setelah mendapat amnesti dari Presiden Prabowo Subianto pada Jumat, 1 Agustus 2025.
Politikus PDI-P tersebut resmi dibebaskan dari Rumah Tahanan (Rutan) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih, sekitar pukul 19.20 WIB.
Didampingi kuasa hukumnya, Febridiansyah, Hasto terlihat mengenakan kaos berwarna merah dibalut jas hitam.
Sebelumnya, Hasto dijatuhi vonis 3,5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam kasus suap Harun Masiku.
Sementara itu, Kongres ke-6 PDI-P yang digelar sejak Jumat, 1 Agustus 2025, telah mengukuhkan kembali
Megawati Soekarnoputri
sebagai Ketua Umum untuk periode 2025–2030. Pengukuhan dilakukan secara aklamasi bahkan sebelum sidang-sidang komisi dimulai.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Hasto Cetak Sejarah, Penerima Amnesti Pertama Kasus Korupsi di KPK
Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto disehut sebagai terdakwa kasus koupsi pertama yang memperole amnesti pertama dari Presiden Republik Indonesia.
Plt. Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, amnesti yang diberikan kepada Hasto adalah yang pertama didapatkan oleh tersangka, terdakwa maupun terpidana kasus yang ditangani oleh lembaga antirasuah.
“Kalau untuk KPK sendiri, sejauh yang saya dinas di sini, ini adalah yang pertama, amnesti ini,” kata Asep kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/8/2025).
Namun demikian, Asep menjelaskan bahwa pemberian amnesti, abolisi maupun grasi adalah hak prerogatif yang dimiliki oleh Presiden dan diatur di dalam pasal 14 UUD 1945.
“Karena itu adalah merupakan hak prerogatif, ya kita harus melaksanakan. Dari keppres ini, keppres ini harus kita laksanakan,” tuturnya.
Namun demikian, bebasnya Hasto berkat amnesti tidak berarti memengaruhi pencarian buron Harun Masiku yang sudah dalam pelarian sejak 2020.
Asep menegaskan, keppres yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto itu hanya ditujukan kepada Hasto.
“Sejauh ini yang kami terima [keppres] amnesti itu untuk Pak Hasto Kristiyanto. Yang lainnya tidak ada, khusus untuk Pak Hasto Kristiyanto,” terang Asep.
Saat ini masih ada dua tersangka yang belum ditahan oleh KPK yakni mantan caleg PDIP, Harun Masiku, serta advokat sekaligus kader PDIP, Donny Tri Istiqomah. Donny ditetapkan tersangka pada akhir 2023 berbarengan dengan Hasto.
Namun demikian, Harun Masiku saat ini masih berstatus buron. Dia awalnya sudah ditetapkan tersangka sejak OTT awal 2020 silam, bersamaan dengan anggota KPU 2017-2022 Wahyu Setiawan, mantan anggota Bawaslu Agustina Tio Fridelina serta mantan kader PDIP Saeful Bahri.
Bedanya, hanya Wahyu, Agustina dan Saeful yang sudah dibawa ke proses hukum hingga menjalani pidana penjara dengan putusan berkekuatan hukum tetap.
Bahkan, setelah ketiganya selesai menjalani kurungan penjara, dan Hasto dibebaskan berkat amnesti, Harun masih belum kunjung ditemukan oleh KPK.
Menurut Asep, pihaknya masih akan mempelajari dampak hukum amnesti Hasto pada penanganan perkara. Akan tetapi, pencarian Harun masih tetap dilakukan kendati ada pengampunan dari Presiden kepada Hasto yang sebelumnya terbukti memberikan suap bersama Harun untuk pengurusan pergantian antarwaktu DPR 2019-2024.
“Pengejaran Harun Masiku sedang kita lakukan. Kalau dampak secara hukum sedang kita dalami, kalau yang lainnya tidak ada. Kita tetap akan untuk Harun Masiku, kita akan cari, kita akan bawa ke persidangan yang lain,” tegas Asep.
Sebelumnya, Hasto dijatuhi pidana penjara 3,5 tahun dan denda Rp250 juta subsidair tiga bulan kurungan lantaran terbukti memberikan suap terkait dengan pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) DPR 2019-2024 untuk Harun Masiku.