Tag: Harun Masiku

  • Ganjar Pranowo Kembali Hadir di Sidang Hasto Kristiyanto

    Ganjar Pranowo Kembali Hadir di Sidang Hasto Kristiyanto

    GELORA.CO -Mantan calon presiden (capres), Ganjar Pranowo kembali hadir di persidangan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

    Pantauan RMOL, Ganjar hadir di ruang persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sekitar pukul 09.28 WIB, Kamis, 12 Juni 2025.

    Selain mantan Gubernur Jawa Tengah itu, hadir juga beberapa tokoh PDIP, seperti Ribka Tjiptaning, Wakil Walikota Surabaya, Armuji, dan lainnya.

    Sidang pada hari ini dimulai pada pukul 09.40 WIB. Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan seorang ahli bahasa dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (UI), Frans Asisi Datang.

    “Baik izin majelis, ahli yang kami undang saat ini sudah hadir majelis, dan siap memberikan keterangan di persidangan. Kepada Bapak Dr Frans Asisi Datang dipersilakan,” kata Jaksa Moch Takdir Suhan di ruang persidangan.

    Selanjutnya, Majelis Hakim membacakan identitas ahli dimaksud, dan dilanjutkan dengan agenda sumpah kepada ahli.

    Sebelumnya pada Kamis, 5 Juni 2025, tim JPU KPK sudah menghadirkan seorang ahli lainnya, yakni ahli pidana dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar.

    Pada Senin, 26 Mei 2025, tim JPU KPK sudah menghadirkan dua orang ahli, yakni Bob Hardian Syahbuddin selaku dosen pada Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI), dan Hafni Ferdian selaku penyelidik pada Direktorat Deteksi dan Analisis Korupsi KPK.

    Dalam perkara ini, Hasto didakwa memberikan uang sejumlah 57.350 Dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan pada rentang waktu 2019-2020. Tindakan ini disebut dilakukan bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, kader PDI-P, Saeful Bahri, dan Harun Masiku.

    Uang ini diduga diberikan dengan tujuan supaya Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui PAW Calon Legislatif Terpilih Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Atas perkara suap itu, Hasto didakwa dengan dakwaan Kedua Pertama Pasal 5 Ayat 1 huruf a UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP atau dakwaan Kedua-Kedua Pasal 13 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP Juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.

    Selain itu, Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun untuk merendam telepon genggam ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap Wahyu Setiawan. 

    Atas perbuatannya, Hasto Kristiyanto didakwa dengan dakwaan Kesatu Pasal 21 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor Juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP. 

  • Jaksa KPK Hadirkan Ahli Bahasa UI dalam Sidang Hasto Hari Ini

    Jaksa KPK Hadirkan Ahli Bahasa UI dalam Sidang Hasto Hari Ini

    Jakarta, Beritasatu.com – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan ahli bahasa dari Universitas Indonesia, Frans Asisi Datang dalam sidang lanjutan kasus suap pengurusan pergantian antara waktu (PAW) DPR periode 2019-2024 dan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku dengan terdakwa Hasto Kristiyanto pada hari ini, Kamis (12/6/2025). Sidang lanjutan kasus Hasto ini berlangsung di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat.

    “Ahli yang akan kami hadirkan Doktor Frans Asisi Datang SS, M Hum, dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,” ujar Jaksa KPK Dwi Novantoro kepada wartawan, Kamis (12/6/2025).

    Dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto ini, jaksa KPK sudah menghadirkan empat ahli termasuk ahli bahasa Frans Asisi Datang. Tiga ahli lain yang sudah hadir dalam sidang Hasto adalah ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin, ahli forensik dari Komisi KPK Hafni Ferdian, serta ahli pidana dari UGM Muhammad Fatahillah Akbar.

    Selain itu, jaksa KPK sudah menghadirkan kurang lebih 15 saksi dari berbagai profesi dan latar belakang. Termasuk, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan saksi kunci eks kader PDIP Saeful Bahri. 

    Dalam kasus ini, Hasto bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah, eks kader PDIP Saeful Bahri, dan Harun Masiku didakwa memberikan uang suap sebesar Rp 600 juta kepada Wahyu Setiawan (komisioner KPU) pada rentang waktu 2019-2020. Suap ini agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan PAW caleg Dapil Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama anggota DPR periode 2019-2024 Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan.  

    Tak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.  

    Hasto pun dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
     

  • KPK Respons Sentilan Febri Diansyah Soal Izin Penyadapan Kasus Hasto

    KPK Respons Sentilan Febri Diansyah Soal Izin Penyadapan Kasus Hasto

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi keberatan tim penasihat hukum Sekjen PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto atas penyadapan yang dilakukan  tanpa izin dari Dewan Pengawas (Dewas) KPK. 

    Hal itu berawal dari pendapat ahli hukum pidana yang dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK pada sidang Hasto, Kamis (5/6/2025). Ahli berpendapat bahwa penyadapan yang dilakukan harus disertai izin Dewas apabila mengacu pada Undang-Undang (UU) No.19/2019 tentang KPK, sebelum diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.70/PUU-XVII/2019 pada 2021 lalu. 

    Menurut Juru Bicara KPK Budi Prasetyo, pendapat ahli dari tim JPU KPK itu merupakan dinamika persidangan. Oleh sebab itu, pihak terdakwa maupun penuntut umum secara subyektif memandang keterangan ahli dari sudut yang berbeda. 

    “Seluruh tindakan penyidikan di antaranya penyadapan dan tindakan lainnya terkhusus dengan upaya paksa yang dilakukan, di antaranya pengggeledahan, penyitaan, dan penahanan, tentunya dilakukan penyidik secara berhati-hati dengan mengedepankan penghormatan atas hak asasi manusia. Pun dalam perjalanannya jika dianggap pelaksanaan kegiatan tersebut dipandang ada kekeliruan dapat diuji melalui gugatan praperadilan,” ujar Budi kepada wartawan, Senin (9/6/2025). 

    Budi menyampaikan, tim JPU KPK dalam menjalankan tugasnya di persidangan dengan beban pembuktian yang berada di pundaknya tentu memiliki cara, pendekatan, serta strategi sendiri dalam rangka menyakinkan Majelis Hakim. 

    “Bahwa peristiwa pidana yang terjadi, dengan menghadirkan alat-alat bukti yang sah, maka dapat disimpulkan bahwa  benar terdakwa lah [Hasto] pelakunya,” lanjutnya.

    Budi mengatakan bahwa perbedaan tafsir terhadap pendapatn ahli akan dituangkan dalam kesimpulan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam persidangan. Hal itu akan dimuat dalam tuntutan JPU maupun nota pembelaan dan pledoi dari terdakwa, serta Majelis Hakim melalui putusan. 

    Pendapat Saksi Ahli

    Sebelumnya, pada sidang dengan agenda keterangan ahli, Kamis (5/6/2025), ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan bahwa hasil penyadapan menjadi tidak sah sebagai alat bukti bila diperoleh penyidik KPK tanpa seizin Dewas. 

    Hal ini disampaikan Fatahillah saat dihadirkan JPU KPK sebagai ahli dalam sidang perkara suap penetapan anggota DPR 2019–2024, serta perintangan penyidikan kasus Harun Masiku, di mana Hasto merupakan terdakwa. 

    Fatahillah mengatakan, tidak sahnya hasil penyadapan berlaku jika diperoleh dalam kurun waktu di bawah periode 2021 atau tepatnya setelah MK membatalkan pasal di revisi UU KPK yang mengatur perihal penyadapan diubah harus seizin Dewas. 

    “Berarti setelah putusan MA, ke depan, engga perlu lagi penyadapan KPK izin Dewas begitu ya?,” tanya penasihat hukum Hasto, Febri Diansyah di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025). 

    “Tapi perlu memberitahukan,” jawab Fatahillah. 

    Fatahillah lalu menuturkan, apabila hasil penyadapan diperoleh sebelum MK membatalkan undang-undang tersebut, maka, penyidik mesti mengantongi izin. “Ya seharusnya mendapatkan izin ya,” jelasnya. 

    “Kalau tidak ada izin Dewas sah enggak bukti penyadapan itu?,” tanya Febri yang juga mantan Juru Bicara KPK.

    “Mungkin dalam konteks ini kalo tidak menggunakan izin tersebut ya tidak sah,” jawab Fatahillah. 

    Lanjut Fatahillah, penyidik KPK mesti tunduk dengan aturan yang mengatur proses penyadapan. Hal ini diperlukan supaya alat bukti yang diperoleh bisa digunakan secara sah. 

    “Tadi kan disebut KPK berwenang melakukan penyadapan di tahap penyelidikan, penuntutan, dan seterusnya. Kalau penyelidikannya dilakukan sejak tanggal 20 Desember tahun 2019. Sementara Undang-Undang No.19 ini diundangkan pada 17 Oktober 2019, artinya sebelumnya. Wajib tunduk engga proses penyadapan yang dimulai di penyelidikan 20 Desember dengan undang undang ini, undang-undang KPK?,” tany Febri. 

    “Ya kalau dia dimulainya setelah undang-undang KPK, ya tunduk,” jawab Fatahillah.

    Fatahillah kemudian menyampaikan bahwa perolehan alat bukti harus dilihat justifikasi atau alasan atau dasar hukum yang sah dan dapat diterima. Dia menjelaskan, alat bukti tidak bisa digunakan dalam proses persiangan apabila tak memiliki justifikasi.

    “Kalau tidak ya berarti alat buktinya tidak bisa dipakai atau ada hal yang memang tidak bisa digunakan dalam persidangan. Tapi kalau ada justifikasinya dia bisa tetap dilanjutkan dalam proses persidangan,” kata Fatahillah. 

    Untuk diketahui, Hasto didakwa melakukan perintangan penyidikan terhadap kasus suap penetapan anggota DPR 2019–2024, yang melibatkan mantan Caleg PDIP Harun Masiku. Harun kini masih berstatus buron. 

    Hasto juga didakwa ikut memberikan suap kepada di antaranya anggota KPU 2017–2022 Wahyu Setiawan, untuk meloloskan Harun sebagai anggota DPR pergantian antarwaktu (PAW) pada daerah pemilihan (dapil) Sumatera Selatan I, menggantikan Nazarudin Kiemas yang meninggal dunia. 

  • 2
                    
                        Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai
                        Nasional

    2 Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai Nasional

    Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menilai, barang bukti yang didapatkan dengan melanggar hukum acara pidana dan tidak bisa dijustifikasi, tidak bisa digunakan untuk menjerat terdakwa.
    Hal ini Fatah sampaikan saat dicecar pengacara Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah dalam sidang lanjutan dugaan suap dan perintangan penyidikan
    Harun Masiku
    yang menjerat kliennya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (5/6/2025).
    Febri awalnya membuat simulasi terkait suatu penanganan perkara yang banyak pelanggaran
    due process of law
    (keadilan pada proses pidana). Contohnya, penyidik buru-buru melimpahkan perkara ke penuntut umum, meski sebelumnya telah diminta untuk memeriksa ahli.
    “Menurut saudara ini sebelum kita bicara konsekuensinya apakah itu melanggar prinsip
    due process of law
    ?” tanya Febri di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
    Menjawab pertanyaan itu, Fatah menilai, persoalan tersebut sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 116 Ayat (4) KUHAP yang menjadi pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65 Tahun 2010.
    Ia pun mengakui bahwa penyidik wajib mengakomodir hak tersangka namun mereka juga dihadapkan pada prinsip
    crime control
    , yakni pengendalian penanganan kasus kejahatan yang cenderung efisien dan cepat untuk mencegah tindak kejahatan.
    Sementara, di pengadilan proses yang bergulir lebih bersifat
    due process of law
    . Baik jaksa maupun terdakwa memiliki hak yang sama di depan hakim.
    “Jadi nanti biar majelis hakim untuk menilai apakah saksi-saksi yang tadi dipanggil itu cukup dihadirkan di persidangan atau dalam proses penyidikan,” terang Fatah.
    Mendengar ini, Febri lantas mengajukan contoh kasus dengan berbagai pelanggaran prinsip
    due process of law
    lainnya.
    Di antaranya meliputi, penyadapan yang dimulai sebelum proses penyelidikan, bukti penyadapan tanpa izin Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK), alat bukti
    call detail record
    (CDR) yang rawan disadap.
    Kemudian, CDR yang tidak melalui pemeriksaan digital forensik sebelum menjadi alat bukti, penyelidik dan penyidik menjadi saksi fakta di persidangan, perekaman diam-diam hingga penggeledahan yang tidak dilakukan terhadap terdakwa.
    Fatah lantas berpendapat, bahwa sah atau tidaknya alat bukti tersebut bergantung pada ada atau tidaknya justifikasi (alasan pembenar). Hal ini nantinya akan dipertimbangkan majelis hakim.
    Tanpa justifikasi, maka alat bukti yang dihadirkan jaksa dalam persidangan tidak sah.
    “Menurut pendapat saudara ahli, kan tadi sudah jelas kalau itu terbukti tidak bisa terjustifikasi dan melanggar hukum acara, maka menurut pendapat ahli nanti kan pasti diserahkan ke majelis. Itu harusnya digunakan atau tidak digunakan?” tanya Febri lagi.
    “Kalau betul-betul tidak ada justifikasinya sesuai pendapat saya tadi tidak bisa digunakan. Makanya dalam hukum acara kita kan ada nilai
    crime control
    justifikasinya terkadang ada yang prinsipal dan tidak,” ujar Fatah.
    Sebagai informasi, dalam penanganan perkara ini kubu Hasto menuding terdapat banyak kecacatan prosedur yang dilakukan penyelidik dan penyidik KPK.
    Di antaranya meliputi barang bukti yang diperoleh di proses penyelidikan, penyidikan, hingga penyelidik dan penyidik yang menjadi saksi fakta.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Hasto, Ahli UGM: Penyidik Boleh Jadi Saksi tetapi Ada Batasan

    Sidang Hasto, Ahli UGM: Penyidik Boleh Jadi Saksi tetapi Ada Batasan

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menyatakan seorang penyidik, termasuk dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diperbolehkan menjadi saksi dalam persidangan, asalkan hanya menyampaikan kesaksian atas peristiwa yang secara langsung dialami, dilihat, atau didengar sendiri.

    Pernyataan ini disampaikan saat Akbar hadir sebagai ahli dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR 2019–2024 serta dugaan perintangan penyidikan dalam kasus Harun Masiku, dengan terdakwa Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    Dalam persidangan, kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, menanyakan legalitas seorang penyidik menjadi saksi yang menyampaikan rangkaian keterangan hasil pemeriksaan saksi lain di persidangan. Ia memberikan ilustrasi terkait penyidik yang menjelaskan hasil pemeriksaan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

    “Di dalam persidangan dia menceritakan hasil pemeriksaan tersebut. Apakah secara hukum itu diperbolehkan?” tanya Ronny.

    Akbar menegaskan, penyidik hanya dapat memberikan kesaksian atas hal yang ia alami sendiri.

    “Kalau dia hanya menerangkan hal yang dialami sendiri—yang dilihat dan didengar langsung—itu diperbolehkan. Tapi kalau hanya menyampaikan ulang hasil pemeriksaan, cukup saksi yang bersangkutan yang memberikan keterangannya sendiri,” jawab Akbar.

    Namun Ronny belum puas dan kembali mendesak Akbar memberikan jawaban konkret terkait penyidik sebagai saksi fakta. Ia bertanya apakah penyidik bisa menjadi saksi yang menjelaskan isi BAP yang dibuatnya.

    “Tidak bisa,” tegas Akbar.

    Akbar menambahkan, nilai pembuktian kesaksian seorang penyidik yang hadir di pengadilan tetap bergantung pada pertimbangan majelis hakim.

    Dalam perkara Hasto Kristiyanto, jaksa KPK telah menghadirkan sekitar 15 saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan mantan kader PDIP, Saeful Bahri, yang disebut sebagai saksi kunci. Mereka memberikan keterangan terkait dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus PAW Harun Masiku.

    Selain itu, jaksa juga menghadirkan tiga ahli, yaitu Bob Hardian Syahbuddin (ahli teknologi informasi dari Universitas Indonesia), Hafni Ferdian (ahli forensik KPK), dan Muhammad Fatahillah Akbar (ahli hukum pidana UGM).

    Dalam dakwaan, Hasto bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku disebut memberikan suap sebesar SG$ 57.350 (sekitar Rp 600 juta) kepada Komisioner KPU Wahyu Setiawan antara 2019–2020. Uang itu diduga untuk memuluskan PAW Caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Hasto juga didakwa menghalangi penyidikan dengan memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam ponsel ke dalam air pasca operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel sebagai antisipasi penyitaan oleh penyidik KPK.

    Atas perbuatannya, Hasto didakwa melanggar Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1), Pasal 55 ayat (1) ke-1, dan Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Sidang Hasto, Ahli UGM: Suap Tak Perlu Timbulkan Akibat untuk Dipidana

    Sidang Hasto, Ahli UGM: Suap Tak Perlu Timbulkan Akibat untuk Dipidana

    Jakarta, Beritasatu.com – Ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menegaskan pembuktian dalam kasus suap tidak memerlukan akibat nyata dari perbuatan tersebut. Menurutnya, tindak pidana suap merupakan delik formal sehingga tidak perlu dibuktikan adanya hubungan kausal antara pemberi dan penerima suap.

    “Delik formil berarti tindak pidana telah dianggap selesai ketika seseorang melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang, seperti dalam hal suap,” ujar Akbar dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan terkait PAW Anggota DPR 2019–2024 yang menjerat Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    Akbar menjelaskan dalam konteks suap, unsur niat jahat atau mens rea sudah cukup untuk memenuhi unsur tindak pidana, tanpa perlu menunggu akibat atau hasil dari perbuatan tersebut (actus reus).

    “Sebagai contoh Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor, menyatakan adanya maksud agar pegawai negeri atau penyelenggara negara melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya, sudah cukup untuk dikenakan pidana,” tambahnya.

    Dalam perkara ini, jaksa telah menghadirkan sekitar 15 orang saksi dari berbagai latar belakang, termasuk penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan eks kader PDIP Saeful Bahri yang menjadi saksi kunci. Keterangan para saksi ini berkaitan dengan dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam kasus PAW Harun Masiku.

    Selain itu, jaksa KPK juga sudah menghadirkan tiga ahli, yakni ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin, ahli forensik Hafni Ferdian, serta ahli pidana Muhammad Fatahillah Akbar.

    Hasto Kristiyanto didakwa bersama advokat Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku telah memberikan uang sebesar SG$ 57.350  atau sekitar Rp 600 juta kepada Komisioner KPU saat itu, Wahyu Setiawan, dalam rentang waktu 2019–2020. Tujuannya adalah agar KPU menyetujui permohonan PAW caleg Dapil Sumatera Selatan I dari Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.

    Selain itu, Hasto juga didakwa melakukan perintangan penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui Nur Hasan (penjaga Rumah Aspirasi), untuk merendam ponsel milik Harun ke dalam air seusai OTT KPK terhadap Wahyu Setiawan. Ia juga disebut menyuruh ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan ponsel guna menghindari penyitaan oleh penyidik.

    Atas perbuatannya, Hasto dijerat dengan Pasal 21 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 65 ayat (1) dan Pasal 55 ayat (1) Ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

  • Kubu Hasto Kritik Keterangan Ahli dari JPU KPK

    Kubu Hasto Kritik Keterangan Ahli dari JPU KPK

    Jakarta, Beritasatu.com – Kubu terdakwa Sekretaris Jenderal )Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengkritik keterangan ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Muhammad Fatahillah Akbar. Terutama terkait pelaporan terhadap penyidik oleh pihak Hasto ke sejumlah lembaga, termasuk Dewan Pengawas (Dewas) KPK dan Bareskrim Polri, serta pelaksanaan konferensi pers (konpres), yang dianggap sebagai perintangan penyidikan.

    Hal ini disampaikan oleh Kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy dalam sidang lanjutan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).

    “Saya ingin menyampaikan ada hal yang menurut saya sesuatu yang aneh dan ganjil dalam BAP dari saudara ahli yang bernama Muhammad Fatahillah Akbar,” ujar Ronny.

    Ronny menyinggung salah satu pertanyaan dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang menyinggung soal pelaporan terhadap penyidik oleh pihak Hasto ke sejumlah lembaga, termasuk Dewas KPK dan Bareskrim Polri, serta pelaksanaan konferensi pers. 

    Menurut Ronny, jika penggunaan hak hukum tersebut dianggap sebagai bentuk perintangan penyidikan, maka itu merupakan bentuk penyimpangan yang membahayakan sistem peradilan.

    “Kalau kita dalam hal ini menggunakan hak hukum kita untuk melaporkan penyidik yang menurut kami bekerja tidak profesional, kepada Dewas KPK, Bareskrim, kemudian melakukan upaya hukum, melakukan konferensi pers, dianggap ini merintangi penyidikan, menurut saya ini sudah keterlaluan,” jelas Ronny.

    Ronny mengingatkan, laporan pihaknya telah diterima dan saat ini Dewas KPK masih memeriksa dugaan pelanggaran etik oleh salah satu penyidik KPK Rossa Purbo Bekti.

    “Artinya apa teman-teman? Kalau hukum kita pergunakan seperti ini, kita jalankan seperti ini, kita tidak berhasil sebagai negara hukum,” tegas dia.

    Dalam kasus Hasto Kristiyanto ini, jaksa sudah menghadirkan kurang lebih 15 saksi dari berbagai profesi dan latar belakang. Termasuk, penyidik KPK Rossa Purbo Bekti dan saksi kunci eks kader PDIP Saeful Bahri. Para saksi ini diminta keterangannya terkait peristiwa yang berkaitan dengan dugaan suap dan perintangan penyidikan kasus PAW Harun Masiku yang menjerat Hasto Kristiyanto.

    Selain itu, jaksa KPK juga sudah menghadirkan tiga ahli, yakni ahli teknologi informasi dari Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (UI) Bob Hardian Syahbuddin; ahli forensik dari Komisi KPK)l, Hafni Ferdian serta ahli pidana Muhammad Fatahillah Akbar.

  • 2
                    
                        Dicecar Febri Diansyah, Ahli Hukum UGM Sebut Barang Bukti Tanpa Justifikasi Tak Bisa Dipakai
                        Nasional

    4 Ahli UGM di Sidang Hasto: Orang yang Namanya Dijual untuk Tindak Pidana Tak Dibebani Tanggung Jawab Nasional

    Ahli UGM di Sidang Hasto: Orang yang Namanya Dijual untuk Tindak Pidana Tak Dibebani Tanggung Jawab
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ahli pidana Universitas Gadjah Mada (UGM)
    Muhammad Fatahillah Akbar
    menyebut, seseorang yang namanya dijual untuk melakukan tindak pidana tidak dibebani tanggung jawab atas suatu kesalahan.
    Keterangan ini disampaikan Fatah saat dihadirkan sebagai ahli dalam sidang dugaan
    suap Harun Masiku
    dan perontangan penyidikan yang menjerat Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto.
    Pada persidangan tersebut, pengacara Hasto, Patra M. Zen, menggali pandangan Fatah terkait beban kesalahan dan tanggung jawab seseorang yang namanya dijual untuk melakukan suap.
    “Kesalahan itu adalah yang wajib ada untuk memberikan
    responsibility
    atau pertanggungjawabannya,” kata Fatah di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025).
    Menurut Fatah, tanggung jawab harus dibebankan ketika terdapat kesalahan.
    Mendengar ini, Patra kemudian bertanya apakah dalam kasus orang yang namanya dijual untuk melakukan tindak pidana juga dibebani tanggung jawab.
    Adapun Hasto dan kuasa hukumnya dalam banyak kesempatan menyatakan namanya dijual oleh eks kader PDI-P, Saeful Bahri, agar Harun Masiku lolos menjadi anggota DPR RI 2019-2024.
    Akademisi itu kemudian menjelaskan, pihak yang namanya dijual atau dikutip untuk melakukan tindak pidana tidak dibebani tanggung jawab.
    Meski demikian, ia menekankan bahwa dalil bahwa nama seseorang itu dijual harus dibuktikan.
    “Ya harus dibuktikan kalau hanya membawa nama saja,” ujar Fatah.
    “Memang kalau dalam konteks itu harus dibuktikan, maka saya tekankan berkali-kali harus ada pengetahuan yang dibuktikan,” tambahnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Pidana Sebut Tak Ada Beban Kesalahan Jika Nama Dicatut – Page 3

    Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Pidana Sebut Tak Ada Beban Kesalahan Jika Nama Dicatut – Page 3

    Fatahillah mengatakan, pihak yang namanya dicatut tentu tidak dapat dibebankan atas kesalahan yang terjadi. Hanya saja, tetap mesti melalui mekanisme pembuktian.

    “Ya harus dibuktikan, kalau hanya membawa nama saja tidak,” ujar dia.

    “Memang kalau dalam kontes itu harus dibuktikan, maka saya tekankan berkali-kali harus ada pengetahuan yang dibuktikan,” Fatahillah menandaskan.

    Dalam kasus tersebut, Hasto Kristiyanto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024.

    Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.

     

  • Sidang Hasto Kristiyanto, Jaksa KPK Hadirkan Ahli Pidana Hari Ini – Page 3

    Sidang Hasto Kristiyanto, Jaksa KPK Hadirkan Ahli Pidana Hari Ini – Page 3

    Dalam kasus tersebut, Hasto didakwa menghalangi atau merintangi penyidikan perkara korupsi yang menyeret Harun Masiku sebagai tersangka dalam rentang waktu 2019-2024.

    Sekjen DPP PDI Perjuangan itu diduga menghalangi penyidikan dengan cara memerintahkan Harun, melalui penjaga Rumah Aspirasi, Nur Hasan, untuk merendam telepon genggam milik Harun ke dalam air setelah kejadian tangkap tangan oleh KPK terhadap anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan.

    Tidak hanya ponsel milik Harun Masiku, Hasto juga disebutkan memerintahkan ajudannya, Kusnadi, untuk menenggelamkan telepon genggam sebagai antisipasi upaya paksa oleh penyidik KPK.

    Selain menghalangi penyidikan, Hasto juga didakwa bersama-sama dengan advokat Donny Tri Istiqomah; mantan terpidana kasus Harun Masiku, Saeful Bahri; dan Harun Masiku memberikan uang sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu dalam rentang waktu 2019-2020.

    Uang diduga diberikan dengan tujuan agar Wahyu mengupayakan KPU untuk menyetujui permohonan pergantian antarwaktu (PAW) calon anggota legislatif terpilih dari Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan (Sumsel) I atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.