Tag: Hariyadi Sukamdani

  • Dua Hotel di Bogor Tutup & PHK Massal, Kemnaker Bilang Begini

    Dua Hotel di Bogor Tutup & PHK Massal, Kemnaker Bilang Begini

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menanggapi kabar tutupnya dua hotel di Bogor, Jawa Barat yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) ratusan pekerja. Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah disebut-sebut menjadi salah satu alasan manajemen menghentikan operasional kedua hotel tersebut.

    Menanggapi informasi tersebut, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menyebut bahwa penyebab tutupnya kedua hotel, yang disebut-sebut sebagai akibat dari efisiensi anggaran, perlu dikaji. Pasalnya, pada awal tahun, pemerintah memang belum melakukan belanja.

    “Di awal-awal tahun ini kan biasanya pemerintah juga belum spending. Jadi menurut saya, itu harus dilihat apakah benar itu penyebabnya atau tidak,” kata Yassierli kepada wartawan di Kantor Kemnaker, Kamis (27/3/2025).

    Ditemui terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani mengatakan bahwa kebijakan penghematan anggaran pemerintah memang berdampak terhadap okupansi hotel di Indonesia. Untuk itu, Apindo saat ini terus memonitor bisnis perhotelan di Tanah Air.

    Sejauh ini, Apindo telah berdiskusi dengan pemerintah untuk bersama-sama mencari solusi dari masalah tersebut. 

    “Jadi efisiensi ini berdampak seperti apa? Apa yang dibutuhkan? Kita percuma kalau bilang efisiensi memang kena, tapi apa solusinya untuk bisa membantu para pelaku yang terdampak,” tuturnya.

    Kondisi pariwisata dan perekonomian Indonesia yang tidak menentu serta dihentikannya segmen pasar Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) akibat pemangkasan anggaran oleh pemerintah membuat Sahira Hotels Group terpaksa menutup Hotel Sahira Butik Paledang dan Hotel Sahira Butik Pakuan di Bogor, Jawa Barat.

    Kedua hotel akan berhenti beroperasi pada 29 Maret 2025. Imbas penutupan tersebut, setidaknya 130 pekerja hotel terdampak. Secara terperinci, 87 pekerja dari Hotel Sahira Butik Paledang dan 43 pekerja dari Hotel Sahira Butik Pakuan. Ini belum termasuk daily worker atau pekerja harian.

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani khawatir, kondisi ini terus berlanjut jika pemerintah tidak segera merealisasikan sisa pemangkasan anggaran atau 50% dari anggaran perjalanan dinas.

    “Pemotongan anggaran sudah mulai memakan korban. Kami khawatir bila terus-terusan seperti ini akan lebih banyak korban hotel tutup operasi,” kata Hariyadi kepada Bisnis, Kamis (27/3/2025).

  • Industri Perhotelan Makin Berdarah-darah karena Efisiensi Anggaran

    Industri Perhotelan Makin Berdarah-darah karena Efisiensi Anggaran

    Jakarta, Beritasatu.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) bersama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) mendesak pemerintah untuk segera memberikan relaksasi pajak, bantuan finansial, serta meningkatkan promosi pariwisata untuk menopang industri perhotelan yang terdampak kebijakan efisiensi atau pemotongan anggaran.

    Ketua bidang Litbang dan IT Badan Pimpinan Pusat PHRI Christy Megawati menyampaikan, kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan pemerintah telah berdampak signifikan pada operasional hotel dan meningkatkan risiko kerugian besar pada pelaku industri perhotelan.

    Berdasarkan survei “Sentimen Pasar Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran Pemerintah” yang dilakukan PHRI pada Maret 2025 terhadap 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi, 88% responden memprediksi mereka akan menghadapi keputusan sulit dalam upaya mengurangi beban biaya operasional, seperti melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan upah karyawan.

    Selain itu, sebanyak 58% responden memprediksi gagal bayar pinjaman bank akibat kondisi ekonomi yang semakin sulit. Sementara itu, 75% pelaku industri pariwisata memperkirakan target pajak hotel tidak akan tercapai, dan 71% lainnya khawatir kerugian pendapatan hotel akan mengganggu rantai pasok industri ini.

    Apabila kondisi ini dibiarkan, 83% pelaku industri perhotelan yakin sektor pariwisata akan mengalami penurunan lebih lanjut, yang berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi daerah yang bergantung pada sektor ini.

    Christy Megawati menegaskan, intervensi pemerintah sangat diperlukan guna menstabilkan industri perhotelan yang mengalami penurunan drastis.

    “Kami mendesak pemerintah untuk segera memberikan insentif pajak, bantuan finansial, dan peningkatan promosi pariwisata,” ujar Christy, dikutip dari Antara, Senin (24/3/2025).

    Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani turut menyoroti kebijakan pemotongan anggaran perjalanan dinas kementerian dan lembaga sebesar 50%. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak hanya memangkas anggaran, tetapi juga menghentikan pemasukan bagi sektor perhotelan yang bergantung pada pemesanan perjalanan dinas pemerintah.

    Melihat dampak yang besar dari kebijakan efisiensi anggaran terhadap industri perhotelan, pemerintah harus segera merelaksasi atau mengaktifkan kembali anggaran perjalanan dinas. Apabila tidak, dampaknya akan semakin luas, tidak hanya bagi industri perhotelan dan pariwisata, tetapi juga terhadap perekonomian nasional.

  • PHRI Desak Pemerintah Beri Relaksasi Usai Industri Perhotelan Merosot

    PHRI Desak Pemerintah Beri Relaksasi Usai Industri Perhotelan Merosot

    JAKARTA – Pemerintah diminta untuk segera memberikan relaksasi pajak, bantuan finansial, hingga meningkatkan promosi pariwisata. Hal ini diutarakan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI).

    Upaya tersebut untuk membantu sektor pariwisata, utamanya perhotelan, di tengah dampak pemotongan anggaran sektor pariwisata.

    “Kami di sini mendesak pemerintah untuk segera memberikan intervensi ini termasuk insentif pajak, bantuan finansial, dan peningkatan promosi pariwisata,” ujar Ketua bidang Litbang dan  IT Badan Pimpinan Pusat (BPP) PHRI Christy Megawati pada konferensi pers di Jakarta, dilansir dari ANTARA, Sabtu, 22 Maret.

    Intervensi ini, menurut Christy, dianggap penting untuk menstabilkan sektor pariwisata yang mengalami penurunan drastis, sekaligus menjaga prospek jangka panjang industri ini di Indonesia.

    Christy menyebut, kebijakan efisiensi anggaran yang dicanangkan Presiden berdampak pada operasional hotel dan menimbulkan potensi kerugian yang tidak sedikit.

    Menurut hasil survei “Sentimen Pasar Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran Pemerintah” yang dilakukan PHRI pada Maret 2025, dari 726 responden yang merupakan pemain industri perhotelan di 30 provinsi di Indonesia, 88 persen di antaranya memprediksi bahwa mereka akan menghadapi keputusan sulit, seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pengurangan upah karyawan, untuk mengurangi beban biaya operasional.

    Di sektor perhotelan yang memiliki banyak karyawan, hal ini berisiko menyebabkan defisit operasional dan bahkan penutupan hotel. Sebanyak 58 persen responden juga memperkirakan potensi gagal bayar pinjaman kepada bank akibat kondisi yang semakin sulit.

    Dampak pemotongan anggaran ini juga berpengaruh pada penerimaan pajak hotel. Sebanyak 75 persen dari pelaku industri pariwisata memprediksi bahwa target pajak yang ditetapkan tidak akan tercapai.

    Sementara 71 persen lainnya khawatir bahwa kerugian pendapatan hotel akan mengganggu rantai pasok industri ini.

    Jika situasi tidak segera diatasi, 83 persen pelaku industri yakin sektor pariwisata akan mengalami penurunan lebih lanjut, yang akan berdampak buruk bagi ekonomi daerah yang sangat bergantung pada pariwisata.

    Senada dengan Christy, Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani turut menyuarakan tentang relaksasi. Ia juga menyinggung kebijakan yang menginstruksikan Kementerian dan Lembaga untuk memangkas anggaran perjalanan dinas (Perdin) hingga 50 persen.

    Menurut dia, meski kebijakan tersebut memangkas sebanyak 50 persen anggaran, kenyataan di lapangan sama sekali tidak ada pemasukan sektor pariwisata utamanya hotel yang mendapat pesanan terkait perjalanan dinas kementerian dan lembaga.

    “Kami melihat bahwa lebih baik pemerintah segera kalau memang 50 persen itu dijalankan 50 persen. Karena per hari ini yang terjadi adalah 100 persen tidak ada yang jalan,” imbuh Hariyadi.

    “Yang paling penting pemerintah segera merelaksasi atau menjalankan kembali anggarannya, karena kalau semakin lama maka dampaknya nanti akan merembet kemana-mana,” tambahnya.

    Tanpa tindakan cepat, Hariyadi mengungkap dampak buruk diperkirakan akan meluas, tidak hanya pada sektor pariwisata, tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan.

    Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN Tahun Anggaran 2025 melakukan pemangkasan anggaran perjalanan dinas pemerintah daerah (Pemda) sebanyak 50 persen.

    Dalam Inpres itu, dijelaskan jumlah efisiensi Rp306,6 triliun anggaran belanja negara, terdiri atas anggaran belanja kementerian/lembaga tahun 2025 sebesar Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah Rp50,5 triliun.

  • Industri Perhotelan Indonesia Terpukul, Pariwisata ASEAN Makin Unggul

    Industri Perhotelan Indonesia Terpukul, Pariwisata ASEAN Makin Unggul

    Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menilai industri perhotelan di Indonesia masih menghadapi tantangan dalam meningkatkan permintaan, terutama dari wisatawan mancanegara. Sayangnya, kebijakan pemerintah, seperti melalui efisiensi anggaran, justru melemahkan potensi pariwisata Indonesia.

    “Negara-negara ASEAN, seperti Thailand, Malaysia, Singapura, dan Vietnam telah lebih maju dalam menarik wisatawan asing. Sebagai perbandingan, Vietnam yang pada 2017 masih di bawah Indonesia, kini telah mampu menarik 17 juta wisatawan mancanegara per tahun, sementara Thailand mencapai 35,5 juta pada 2024,” ungkap Hariyadi dalam program “Corporate Insight” yang disiarkan Beritasatu beberapa waktu lalu.

    Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada 2024 sebesar 13,9 juta. Padahal, menurut Hariyadi, jumlah kamar hotel di Indonesia melebihi Thailand, yang seharusnya menjadi keunggulan kompetitif.

    “Kami berharap pemerintah segera memberikan prioritas lebih besar untuk mendukung pertumbuhan pariwisata nasional,” ungkapnya.

    Hariyadi juga menyoroti dari segi perpajakan, sektor industri perhotelan di Indonesia telah berkontribusi besar melalui pajak daerah. Namun, dana tersebut sering kali tidak dikembalikan dalam bentuk promosi atau perbaikan destinasi wisata. Hal ini membuat sektor pariwisata sulit berkembang.

    “Selain itu, kebijakan visa juga menjadi penghambat. Thailand telah memberikan bebas visa bagi 85 negara, sementara Indonesia masih terbatas pada negara ASEAN,” ungkapnya.

    “Pemerintah lebih fokus pada penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari visa, padahal manfaat ekonomi dari peningkatan jumlah wisatawan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan dari visa itu sendiri,” tambah Hariyadi.

    Ia mencontohkan Turki yang memberikan berbagai insentif bagi wisatawan. Negara tersebut tidak mengandalkan pajak dari sektor pariwisata, melainkan menggunakannya untuk mendorong promosi dan infrastruktur pariwisata. Hasilnya, jumlah wisatawan ke Turki telah mencapai 55 juta orang pada 2024.

    Berdasarkan data BPS, tingkat okupansi hotel berbintang di Indonesia mencapai 52,57%, sedangkan hotel non-bintang hanya 26,59%. Meskipun jumlah unit hotel non-bintang lebih banyak, jumlah kamar di kedua kategori tersebut hampir seimbang, masing-masing sekitar 400.000 kamar.

    “Masyarakat lebih memilih hotel berbintang karena kenyamanan dan kebersihannya yang lebih terjamin. Namun, hotel non-bintang tetap memiliki potensi besar, terutama di desa wisata yang menawarkan pengalaman unik bagi wisatawan,” kata Hariyadi.

    Sebagai ketua umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi mendorong pengembangan desa wisata sebagai keunggulan kompetitif Indonesia. Dengan jumlah desa wisata yang melimpah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menarik lebih banyak wisatawan, sekaligus mengembangkan ekonomi daerah, termasuk dari industri perhotelan.

  • Hotel Rugi Miliaran, Kebijakan Efisiensi Anggaran Harus Bertahap

    Hotel Rugi Miliaran, Kebijakan Efisiensi Anggaran Harus Bertahap

    Jakarta, Beritasatu.com – Indonesian Hotel General Manager Association (IHGMA) menilai kebijakan efisiensi anggaran pemerintah mulai berdampak signifikan terhadap industri perhotelan. Selain menurunkan tingkat okupansi hotel, sektor MICE (meeting, incentive, convention, and exhibition) juga mengalami kemerosotan tajam.

    Wakil Ketua Umum IHGMA Garna Sobhara Swara mengungkapkan, kerugian yang dirasakan hotel juga sangat besar mulai dari ratusan juta hingga miliaran rupiah per bulan.

    “Penurunan pendapatan yang berkepanjangan ini bisa berdampak pada pengeluaran arus kas. Kami tak bisa membayar tagihan listrik, energi, payroll (gaji karyawan), itu yang akan terjadi,” kata Garna Sobhara dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (4/3/2025).

    Untuk itu, IHGMA memberikan empat usulan ke pemerintah agar industri hotel bisa bertahan. Pertama, adanya insentif pajak atau pengurangan pajak hotel. Kedua, pemberlakuan efisiensi anggaran dilakukan secara bertahap agar dapat dievaluasi.

    Ketiga, program subsidi bantuan keuangan langsung untuk menopang industri. Keempat, relaksasi kebijakan terkait operasional hotel.

    Sebelumnya, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani juga menyoroti pemangkasan anggaran perjalanan dinas hingga mencapai 50% yang akan berdampak pada ekonomi daerah. Pengurangan perjalanan dinas menurutnya akan menurunkan pendapatan daerah, terutama dari pajak hotel dan restoran.

    Hariyadi juga menyampaikan, 40% pendapatan hotel secara nasional berasal dari agenda pemerintah. Bahkan di beberapa daerah bisa mencapai lebih dari 70%.

    “Apabila ingin memberikan stimulus ekonomi, sektor akomodasi harus diperhatikan karena pangsa pasarnya besar,” ujar Hariyadi terkait dampak efisiensi anggaran pada industri hotel. 

  • Sahid Destination Table Top, Jurus Sahid Antisipasi Efek Efisiensi Anggaran Prabowo

    Sahid Destination Table Top, Jurus Sahid Antisipasi Efek Efisiensi Anggaran Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Sahid Hotels & Resorts tengah melakukan serangkaian upaya guna mengantisipasi dampak negatif efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Salah satunya, dengan menggelar Sahid Destination Table Top 2025.

    Corp Dir. of Development & Marketing Sahid Hotels & Resorts Vivi Herlambang menyampaikan, kondisi ini membuat pihaknya harus lebih kreatif untuk mencari market baru, mengingat pemerintah mengurangi perjalanan dinas serta pertemuan-pertemuan di hotel.

    “Kami mencari market lain, harus kreatif. Misalnya, dengan mengadakan acara ini [Sahid Destination Table Top] salah satunya,” kata Vivi kepada Bisnis, di sela-sela acara Sahid Destination Table Top 2025 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Selasa (25/2/2025).

    Sahid Destination Table Top merupakan agenda tahunan yang digelar oleh Sahid Hotels & Resorts. Agenda ini menjadi sarana Sahid Hotels & Resorts untuk memperkenalkan lini bisnisnya sehingga diharapkan dapat menarik lebih banyak pengunjung.

    Pada awal tahun ini, Sahid Destination Table Top digelar selama 2 hari yakni pada 25-26 Februari 2025 dengan mengundang tamu dari sektor pemerintahan, korporasi, travel agent, serta wedding/event organizer.

    Selain itu, Vivi juga mengungkap bahwa pihaknya juga akan memperkuat promosi melalui platform-platform digital dan mencari market-market yang selama ini mungkin belum secara intens dijamah seperti sekolah dan lainnya.

    Sejauh ini, Vivi mengakui bahwa Sahid Hotels & Resorts belum merasakan dampak dari kebijakan efisiensi anggaran. Sejak sebulan Presiden Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, Vivi menyebut pihaknya masih menerima cukup banyak tamu, termasuk dari pemerintah.

    Kendati begitu, menurutnya, dampak dari efisiensi anggaran ini kemungkinan baru akan terasa pada bulan berikutnya.

    “Belum terasa, tamu-tamunya masih cukup banyak. Dari government juga masih ada yang menginap di kita,” ujarnya.

    Industri perhotelan nasional disebut berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp24,5 triliun imbas kebijakan efisiensi belanja pemerintah untuk tahun anggaran 2025. 

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyampaikan, rata-rata pangsa pasar pemerintah untuk hotel bintang 3 hingga bintang 5 sekitar 40%. 

    Dengan adanya kebijakan efisiensi, maka industri perhotelan diramal kehilangan pendapatan sekitar Rp24,5 triliun. 

    “Itu kami sudah hitung kurang lebihnya potensi hilangnya itu adalah Rp24,5 triliun untuk seluruhnya, bintang 3, 4, 5, ya,” kata Hariyadi dalam konferensi pers Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI Tahun 2025, Selasa (11/2/2025).

  • Video: Putar Otak Pengusaha Hotel Hadapi Pemangkasan Anggaran Prabowo

    Video: Putar Otak Pengusaha Hotel Hadapi Pemangkasan Anggaran Prabowo

    Jakarta, CNBC Indonesia- Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani menyebutkan bisnis hotel dan restoran dituntut untuk melakukan terobosan dalam mencari sumber pendapatan baru seiring dengan hilangnya potensi 40% pendapatan dari penghematan anggaran kementerian/lembaga tahun 2025.

    Hariyadi menyebutkan pelaku industri perhotelan terus mendorong peningkatan aktivitas perhotelan dan restoran dengan menarik wisatawan domestik utamanya dikawasan pariwisata.

    lalu bagaimana dampak pemangkasan anggaran K/L kepada industri pariwisata? dan bagaimana strategi industri menghadapi efeknya? Selengkapnya simak dialog Bramudya Prabowo dengan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani dalam Profit, CNBC Indonesia (Rabu, 12/02/2025)

  • Industri Hotel Terancam Rugi Rp24,5 Triliun Imbas Efisiensi Anggaran

    Industri Hotel Terancam Rugi Rp24,5 Triliun Imbas Efisiensi Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA – Industri perhotelan nasional berpotensi kehilangan pendapatan hingga Rp24,5 triliun imbas kebijakan efisiensi belanja pemerintah untuk tahun anggaran 2025.

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani menyampaikan, rata-rata pangsa pasar pemerintah untuk hotel bintang 3 hingga bintang 5 sekitar 40%. Dengan adanya kebijakan efisiensi, maka industri perhotelan diramal kehilangan pendapatan sekitar Rp24,5 triliun.

    “Itu kami sudah hitung kurang lebihnya potensi hilangnya itu adalah Rp24,5 triliun untuk seluruhnya, bintang 3, 4, 5, ya,” kata Hariyadi dalam konferensi pers Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI Tahun 2025, Selasa (11/2/2025).

    Hariyadi yang juga merupakan Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) itu mengungkapkan, dampak kebijakan pemangkasan anggaran pemerintah terhadap industri perhotelan sudah mulai terasa.

    Hingga saat ini, Hariyadi menyebut bahwa tidak ada pemesanan yang masuk dari kalangan pemerintah, baik untuk meeting maupun kegiatan lainnya.

    “Order-nya pun belum ada sampai hari ini karena memang semuanya sudah ditahan untuk tidak ada pergerakan yang terkait dengan meeting, perjalanan dinas, dan juga kegiatan-kegiatan sosialisasi,” ungkapnya.

    Sementara itu, Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) Rizki Handayani Mustafa mengungkap bahwa pemangkasan anggaran terjadi di sejumlah kementerian/lembaga termasuk Kemenpar.

    “Ibu Menteri [Widiyanti Putri Wardhana] memang sedang mencoba meyakinkan bagaimana dampaknya pemotongan anggaran ini terhadap di industri,” ungkap Kiki dalam diskusi panel.

    Menteri Pariwisata (Menpar), lanjut dia, juga tengah membuat program yang dapat memberikan keyakinan bahwa sektor pariwisata memberikan dampak besar terhadap lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

    Kemenpar turut meminta dukungan informasi dan data dari asosiasi pariwisata mengenai kerugian yang dialami imbas adanya kebijakan efisiensi anggaran.

    “Mudah-mudahan perjuangan kita bersama semua, kami minta dukungan dari industri juga untuk bisa memperlihatkan bagaimana kontribusi pariwisata dalam perekonomian,” pungkasnya.

  • Industri Perhotelan Indonesia Terpukul, Pariwisata ASEAN Makin Unggul

    Pemangkasan Anggaran Ganggu Upaya Stimulus Pertumbuhan Ekonomi

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemangkasan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun dalam APBN dan APBD 2025 untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto berpotensi menghambat stimulus pertumbuhan ekonomi dan menekan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh hilangnya kontribusi sektor akomodasi yang mencapai 40% hingga 70%, terutama dari anggaran perjalanan dinas pemerintah.

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, menjelaskan 40% pendapatan hotel secara nasional berasal dari agenda pemerintah, sedangkan di beberapa daerah, kontribusinya bahkan mencapai lebih dari 70%.

    “Jika ingin memberikan stimulus ekonomi, sektor akomodasi harus diperhatikan karena pangsa pasarnya besar. Di tingkat nasional mencapai 40%, sementara di daerah bahkan lebih dari 70% pendapatannya berasal dari pemerintah,” ujar Hariyadi kepada Beritasatu.com, beberapa waktu lalu.

    Hariyadi juga menyoroti pemangkasan anggaran perjalanan dinas hingga 50%, yang akan berdampak signifikan pada ekonomi daerah. Pengurangan perjalanan dinas ini akan menurunkan pendapatan daerah, terutama dari pajak hotel dan restoran, yang menjadi salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD).

    Permintaan PHRI kepada Pemerintah
    Hariyadi meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan ini, terutama untuk program-program yang terbukti memberikan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

    “Jangan hanya melihat sektor ini sebagai biaya, tetapi pahami ini juga merupakan stimulus bagi ekonomi daerah. Jika pasar hotel dan restoran yang 70% bergantung pada pemerintah hilang, maka hotel, pemasok, vendor, serta PAD pemda juga akan terdampak,” tegasnya.

    Meski memahami pentingnya pengelolaan anggaran yang lebih cermat dan bijaksana, PHRI menilai bahwa pemotongan anggaran tidak boleh mengorbankan sektor-sektor yang berkontribusi besar pada ekonomi daerah. Jika suatu program tidak memberikan dampak nyata terhadap pertumbuhan ekonomi, maka sebaiknya tidak dibiayai dan perlu dievaluasi lebih lanjut

  • Pemangkasan Anggaran Rp 306 Triliun Ancam Bisnis Pariwisata dan Hotel

    Pemangkasan Anggaran Rp 306 Triliun Ancam Bisnis Pariwisata dan Hotel

    Jakarta, Beritasatu.com – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai pemangkasan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun dalam APBN 2025 dan APBD untuk mendanai program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berpotensi memberikan dampak besar terhadap sektor pariwisata, perhotelan, dan restoran.

    Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani, menjelaskan sekitar 40% pendapatan hotel berasal dari agenda dan kegiatan pemerintah, seperti perjalanan dinas serta rapat di hotel. Dengan adanya pemangkasan anggaran, sumber pendapatan tersebut akan hilang karena pemerintah meniadakan anggaran untuk meeting dan perjalanan dinas.

    “Pemotongan anggaran ini akan berdampak luas pada sektor usaha terkait, seperti pasokan makanan dan minuman dari UMKM serta pendapatan asli daerah (PAD) yang diprediksi mengalami penurunan drastis,” kata Hariyadi kepada Beritasatu.com, beberapa waktu lalu.

    Di banyak daerah di Indonesia, sektor hotel dan restoran masuk dalam lima besar penyumbang pajak dan PAD, bahkan di beberapa wilayah menempati tiga besar. Oleh karena itu, dampak pemotongan anggaran ini diperkirakan cukup besar terhadap perekonomian daerah.

    Selain itu, pemangkasan anggaran juga akan mengurangi kapasitas pemerintah dalam mengembangkan program untuk memajukan sektor pariwisata. Salah satu dampak utamanya adalah hilangnya pendanaan untuk promosi pariwisata dan pemberian insentif wisatawan mancanegara.

    “Jika tidak ada program promosi, posisi Indonesia dalam persaingan pariwisata regional akan semakin tertinggal. Saat ini, Thailand menjadi negara terdepan di ASEAN dalam mendatangkan wisatawan mancanegara, diikuti Malaysia. Bahkan, Vietnam kini sudah melampaui Indonesia dengan jumlah wisatawan lebih dari 14 juta orang,” ungkap Hariyadi.

    Selain sektor pariwisata, berbagai acara yang biasanya diadakan oleh pemerintah, seperti buka puasa bersama dan sosialisasi program, juga dipastikan akan ditiadakan akibat efisiensi anggaran ini.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025. Menindaklanjuti Inpres tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengeluarkan surat nomor S-37/MK.02/2025 terkait efisiensi belanja kementerian/lembaga dalam APBN 2025.

    Berdasarkan kebijakan tersebut, pemerintah menargetkan penghematan anggaran sebesar Rp 306,69 triliun, dengan perincian pemangkasan belanja kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp 256,1 triliun, dan pemotongan dana transfer ke daerah sebesar Rp 50,59 triliun.