Tag: Hariyadi Sukamdani

  • Pemerintah Hapus GIPI Dalam UU Kepariwisataan, Ketua Asosiasi Kecewa

    Pemerintah Hapus GIPI Dalam UU Kepariwisataan, Ketua Asosiasi Kecewa

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) dihapus dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan pengganti UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan.

    Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani menjelaskan bahwa UU tersebut disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada 2 Oktober 2025.

    “Kami merasa sangat kecewa sekali dengan proses di DPR, khususnya Komisi VIII ya yang menghilangkan GIPI dari Undang – Undang Pariwisata,” jelasnya dalam Konferensi Pers, Minggu (12/10/2025).

    Pasalnya, tambah Hariyadi, selama proses perumusan Rancangan Undang-Undang (RUU) berlangsung anggota DPR sama sekali tidak menyampaikan adanya niatan untuk menghapus keberadaan GIPI.

    Hariyadi menyebut, dalam mekanisme pembentukan regulasi anyar tersebut, kala itu DPR RI hanya mengungkap rencana untuk mengubah nama GIPI menjadi Gabungan Asosiasi Pariwisata Indonesia.

    “Itu [Selama proses membentuk RUU] enggak ada cerita mau menghilangkan GIPI. Yang ada dulu memang diusulkan namanya diubah jadi Gabungan Asosiasi Pariwisata Indonesia. Yang mana menurut kami ya enggak ada masalah sebanyak substansinya itu sama,” jelasnya.

    Pada saat yang sama, Hariyadi menjelaskan bahwa Asosiasi Pariwisata yang sejak tahun 2012 telah membentuk GIPI sebagai Induk Organisasi sebagai amanah dari UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan dan GIPI sudah banyak berkontribusi terhadap pembangunan dan pengembangan Kepariwisataan Indonesia melalui berbagai kegiatan dan program yang dilakukan bersama-sama pemerintah. 

    Atas hal itu, DPP GIPI berpandangan bahwa penetapan Undang-Undang tentang Kepariwisataan pengganti Undang-Undang No.10/2009 tentang Kepariwisataan pada tanggal 2 Oktober 2025 menimbulkan keprihatinan dan sejarah kelam bagi industri pariwisata Indonesia.

    “Rumah besar asosiasi di sektor pariwisata yang selama ini dimanfaatkan untuk kolaborasi antar pelaku usaha pariwisata secara nasional guna membangun serta mengembangkan pariwisata tiba-tiba hilang dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2025,” tandasnya.

    Untuk diketahui sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan (RUU Pariwisata) menjadi undang-undang dalam rapat paripurna yang berlangsung hari ini, Kamis (2/10/2025). 

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memimpin rapat paripurna ke-6 masa persidangan I tahun sidang 2025-2026 ini, yang salah satu agendanya menentukan keputusan parlemen atas RUU Kepariwisataan.

    “Apakah Rancangan Undang-undang tentang Perubahan Ketiga atas UU No.10/2009 tentang Kepariwisataan dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” kata Dasco dalam rapat paripurna. 

    Anggota Dewan yang hadir menyambut pernyataan tersebut dengan seruan setuju, dilanjutkan oleh satu kali ketokan palu oleh Dasco.

  • Badai PHK Sektor Perhotelan, Apindo Desak Pemerintah Genjot Belanja

    Badai PHK Sektor Perhotelan, Apindo Desak Pemerintah Genjot Belanja

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak pemerintah untuk mempercepat belanja pemerintah guna menggairahkan sektor perhotelan. 

    Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Bob Azam menyampaikan bahwa okupansi hotel yang menurun banyak dipengaruhi oleh pengurangan belanja pemerintah. Hal ini merambat terhadap pengurangan tenaga kerja di sektor perhotelan.

    “Kan Pak Purbaya [Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan] juga bilang salah satu faktor adalah lambat spending-nya. Jadi, orang sudah keburu PHK. Jadi salah satunya agar bagaimana spending dipercepat sehingga hotel juga bisa terisi,” katanya saat ditemui di Kantor Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025).

    Bob melanjutkan, berdasarkan survei Apindo pada tahun lalu, sebanyak 50% pengusaha perhotelan telah mengurangi tenaga kerja, serta berpeluang mengurangi tenaga kerja apabila kondisi tak membaik.

    Untuk mengatasi hal tersebut, dia mendorong pemerintah untuk mempercepat belanja hingga mengguyur stimulus. Menurutnya, stimulus semestinya diberikan tak sekadar untuk membuat masyarakat bertahan, tetapi juga untuk mendorong perputaran ekonomi.

    Bob menyadari bahwa pemerintah telah memperpanjang insentif pajak penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (PPh DTP) bagi pekerja pariwisata khususnya sektor horeka (hotel, restoran, kafe).

    Namun demikian, di samping mempercepat belanja, dia menilai pemerintah juga harus memantik kedatangan wisatawan ke Tanah Air demi menggerakkan sektor pariwisata.

    “Kalau perhotelan menurut saya government spending-nya yang harus ditingkatkan karena sebenarnya banyak tamunya kan dari government. Selain stimulus dari government, kemudian kedatangan turis juga kan harus dipancing,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkapkan fenomena sejumlah hotel di Tanah Air menutup operasionalnya. Hal ini dipicu tingkat okupansi yang mengalami tren penurunan sepanjang tahun ini.

    Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa fenomena itu salah satunya terjadi di daerah Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penurunan daya beli ditengarai sebagai faktor utama penyebab penurunan tingkat penghunian kamar (TPK) atau okupansi hotel.

    “Tadi pagi saya baru rapat internal untuk menggambarkan, satu contoh aja, Cikarang. Cikarang dekat sekali dengan Jakarta ya, tetapi ngedrop banget okupansinya. Sampai ada beberapa hotel tutup beneran,” kata Hariyadi saat ditemui di Kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

    Tak hanya menghentikan operasional, pengusaha perhotelan di kawasan itu disebutnya bahkan mempertimbangkan untuk menjual bisnis mereka. Menurut Hariyadi, hal ini terbilang mengherankan. Pasalnya, dampak penurunan daya beli menjadi begitu terasa di kawasan industri yang mestinya menjadi penopang bisnis perhotelan.

    Pihaknya lantas memandang pengurangan anggaran pemerintah hingga penyesuaian yang dilakukan oleh industri turut memengaruhi okupansi penginapan di kawasan tersebut.

    “Impak memang ada satu, dari anggaran pemerintah yang dipotong itu ada pengaruh, tapi yang kedua itu industri. Ternyata industri itu juga mengurangi bujet termasuk vendornya, vendornya industri itu juga banyak yang mengurangi kunjungan,” ujarnya.

    Tren Okupansi Hotel Menurun

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat penghunian kamar (TPK) hotel klasifikasi bintang mencapai 50,51% pada Agustus 2025.

    Berdasarkan berita resmi statistik pada Rabu (1/10/2025), BPS mencatat realisasi tersebut menurun 2,28% secara bulanan (month-to-month/mtm) atau minus 4,34% secara tahunan (year-on-year/yoy).

    TPK hotel klasifikasi berbintang tertinggi tercatat di Provinsi Bali sebesar 69,54%, disusul Papua Selatan sebesar 58,17% serta DKI Jakarta sebesar 53,74% pada bulan kedelapan tahun ini.

    Sementara itu, BPS juga mencatat okupansi hotel klasifikasi nonbintang Tanah Air sebesar 25,79% per Agustus 2025.

    TPK hotel nonbintang tertinggi juga dicatatkan Bali, Papua Selatan, serta DKI Jakarta masing-masing sebesar 50,26%, 22,32%, serta 40,06%.

  • Bos PHRI Blak-blakan Banyak Hotel Tutup & Dijual, Ini Biang Keroknya!

    Bos PHRI Blak-blakan Banyak Hotel Tutup & Dijual, Ini Biang Keroknya!

    Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkapkan fenomena sejumlah hotel di Tanah Air menutup operasionalnya. Hal ini dipicu tingkat okupansi yang mengalami tren penurunan sepanjang tahun ini.

    Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani mengatakan bahwa fenomena itu salah satunya terjadi di daerah Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penurunan daya beli ditengarai sebagai faktor utama penyebab penurunan tingkat penghunian kamar (TPK) atau okupansi hotel.

    “Tadi pagi saya baru rapat internal untuk menggambarkan, satu contoh aja, Cikarang. Cikarang dekat sekali dengan Jakarta ya, tetapi nge-drop banget okupansinya. Sampai ada beberapa hotel tutup beneran,” kata Hariyadi saat ditemui di Kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta Pusat, Senin (6/10/2025).

    Tak hanya menghentikan operasional, pengusaha perhotelan di kawasan itu disebutnya bahkan mempertimbangkan untuk menjual bisnis mereka.

    Menurut Hariyadi, hal ini terbilang mengherankan. Pasalnya, dampak penurunan daya beli menjadi begitu terasa di kawasan industri yang mestinya menjadi penopang bisnis perhotelan.

    Pihaknya lantas memandang pengurangan anggaran pemerintah hingga penyesuaian yang dilakukan oleh industri turut mempengaruhi okupansi penginapan di kawasan tersebut.

    “Impact memang ada satu, dari anggaran pemerintah yang dipotong itu ada pengaruh, tapi yang kedua itu industri. Ternyata industri itu juga mengurangi budget termasuk vendornya, vendornya industri itu juga banyak yang mengurangi kunjungan,” ujarnya.

    Oleh karena itu, Hariyadi berharap agar kondisi tersebut tidak berlangsung terlalu lama. Momentum libur Hari Raya Natal dan Tahun Baru (Nataru) diharapkan dapat mengerek okupansi hotel pada pengujung 2025.

    Sebelumnya, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) menyebut bahwa kondisi okupansi hotel yang tercermin dari tingkat penghunian kamar (TPK) mulai membaik secara nasional.

    Menteri Pariwisata (Menpar) Widiyanti Putri Wardhana memaparkan bahwa okupansi hotel yang mengalami tren negatif pada paruh pertama tahun ini dipengaruhi oleh pergeseran pola wisatawan yang cenderung memilih opsi akomodasi lain seperti vila.

    “Ini yang sedang kami rapikan dan tertibkan. Vila-vila itu banyak sekali yang tidak terdaftar dan tidak membayar pajak,” kata Widiyanti saat ditemui Bisnis usai Rapat Paripurna DPR RI di Jakarta, Kamis (2/10/2025).

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat penghunian kamar atau okupansi hotel klasifikasi bintang melanjutkan tren negatif pada Juli 2025. 

    Deputi Bidang Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini menyampaikan bahwa TPK hotel bintang pada Juli 2025 mencapai 52,79% atau mengalami peningkatan secara bulanan (month to month/MtM), tetapi mengalami penurunan secara tahunan sebesar 3,57% poin.

    Menurutnya, penurunan okupansi tersebut memang berlanjut, tetapi tidak sedalam Juni 2025 yang kontraksi sebesar 4,71% year-on-year (YoY). Kondisi serupa juga terjadi pada TPK hotel nonbintang yang mengalami penurunan sebesar 1,42% YoY pada Juli 2025.

  • GIPI Kalkulasi Dampak Konflik Iran-Israel Terhadap Kunjungan Wisatawan ke RI

    GIPI Kalkulasi Dampak Konflik Iran-Israel Terhadap Kunjungan Wisatawan ke RI

    Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (Gipi) menyebut, konflik yang tengah terjadi antara Iran dan Israel tidak memengaruhi sektor pariwisata Indonesia, khususnya dari pasar wisatawan asal Timur Tengah.

    Ketua Umum Gipi Hariyadi Sukamdani menyampaikan, mayoritas wisatawan dari kawasan Timur Tengah yang berkunjung ke Indonesia berasal dari negara-negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi, yang secara geografis tidak terlibat langsung dalam konflik tersebut.

    “Kalau tamu dari Iran mungkin nggak ada atau kecil banget populasinya. Jadi menurut saya sih nggak ada pengaruh [ke pariwisata Indonesia],” kata Hariyadi kepada Bisnis, Kamis (19/6/2025).

    Kendati begitu, Hariyadi justru melihat adanya potensi penurunan jumlah wisatawan dari kawasan Eropa ke Indonesia. Mengingat, sebagian besar penerbangan dari Eropa ke Indonesia melakukan transit di wilayah Timur Tengah, seperti Dubai, Doha, atau Abu Dhabi.

    Adapun, sejumlah bandara di kawasan Timur Tengah, termasuk Bandara Internasional Dubai, dilaporkan mengalami gangguan operasional imbas memanasnya ketegangan di kawasan tersebut. Kondisi ini telah menyebabkan sejumlah maskapai terpaksa mengubah jadwal, termasuk pembatalan, pengalihan rute, dan penundaan penerbangan. 

    “Yang long haul dari Eropa mungkin pada takut, karena mereka transit di kawasan itu. Tapi kalau dari Timur Tengah-nya sendiri, harusnya nggak ada pengaruh,” ujarnya. 

    Long haul flight merupakan penerbangan jarak jauh yang memakan waktu lebih dari 6 jam.

    Di tengah kondisi geopolitik saat ini, Hariyadi mengharapkan agar pemerintah Indonesia tidak membuat kebijakan yang memberatkan sektor usaha, termasuk pariwisata. 

    Dia menyebut, sektor usaha selama ini telah terbebani sejumlah kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, seperti kenaikan pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah daerah (pemda) serta tarif air bersih dari PDAM.

    Hariyadi menilai, seharusnya pemerintah justru memberikan relaksasi atau insentif, alih-alih menambah tekanan bagi pelaku usaha. “Saat ekonomi global sedang berkontraksi, bukan waktunya membuat regulasi yang bikin dunia usaha tambah susah,” pungkasnya.

  • Libur IdulAdha 2025 Ada Stimulus Ekonomi, PHRI Nilai Tak Selesaikan Masalah Pariwisata

    Libur IdulAdha 2025 Ada Stimulus Ekonomi, PHRI Nilai Tak Selesaikan Masalah Pariwisata

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mengumumkan paket kebijakan stimulus ekonomi untuk menyambut libur pergantian tahun ajaran baru sekolah. Stimulus itu mencakup diskon tiket pesawat hingga tarif tol.

    Hanya saja, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani meyakini paket kebijakan tersebut dinilai tidak akan menyelesaikan permasalahan utama dari sektor pariwisata Indonesia.

    “Sifatnya [paket stimulus ekonomi] kan sementara, pendek,” ujar Hariyadi kepada Bisnis, dikutip Kamis 5 Juni 2025.

    Sementara itu, sambungnya, permasalahan utama seperti penurunan daya beli masyarakat akan berlanjut usai paket stimulus selesai. Dia mencontohkan penurunan daya beli akan menurunkan pendapatan industri sehingga mengurangi pengeluaran. Akibatnya, ekonomi lesu.

    “Problem utamanya itu kan di ekonominya itu sendiri gitu lho, kita ngungkitnya gimana. Terus hampir semua mengalami situasi tekanan yang besar,” jelas Hariyadi.

    Dia mencontohkan untuk sektor pariwisata terkhusus industri perhotelan yang belakangan terus tertekan. Selain karena penurunan daya beli masyarakat, permintaan dari pemerintah juga turun drastis akibat kebijakan efisien anggaran.

    Adapun Presiden Prabowo Subianto sudah menginstruksikan penghematan anggaran sejak awal 2025. Belakangan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan efisiensi anggaran itu akan berlanjut pada 2026.

    Terbaru melalui Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor 33 Tahun 2025 tentang Standar Biaya Masukan Tahun Anggaran 2026, Sri Mulyani menghapus uang saku harian untuk kegiatan rapat atau pertemuan di luar kantor sehingga akan mengurangi permintaan pemerintah ke sektor perhotelan hingga restoran.

    Hariyadi menjelaskan bahwa selama ini pemerintah berkontribusi sekitar 40 persen pangsa pasar industri perhotelan. Bahkan, sambungnya, di sejumlah daerah seperti Kalimantan Tengah dan Sulawesi Selatan bisa mencapai 70 persen.

    Oleh sebab itu, dia menggarisbawahi akan muncul berbagai permasalahan apabila permintaan pemerintah ke industri perhotelan berkurang drastis.

    “Masalah mulai dari, pasti PHK terjadi. Lalu pembayaran kepada bank, kalau mereka ada utang kepada bank, pasti juga akan bermasalah, pasti mereka minta restructuring dan sebagainya” jelas Hariyadi.

    Tak hanya ke internal industri perhotelan, dia meyakini persoalan akan merembet menjadi permasalahan perekonomian yang lebih luas. Hariyadi menegaskan jika pemasukan industri perhotelan berkurang maka pajak daerah ikut anjlok.

    Selain itu, vendor-vendor yang selama ini bekerja sama dengan industri perhotelan akan turut terdampak seperti UMKM, pertanian, dan sebagainya.

    “Tentunya pemerintah yang punya uang, suka-suka dia lah gitu kan, dia mau motong, mau apa kan, tapi implikasi ini yang perlu dipahami gitu lho,” ujar Hariyadi.

    Berjuang Sendiri

    Kini, pelaku usaha perhotelan harus mencari pengganti pangsa pasar yang ditinggal pemerintah. Masalahnya, Hariyadi menekankan bahwa pencarian pasar baru untuk industri perhotelan tidak mudah terutama di tengah kondisi ketidakpastian ekonomi.

    Dia mencontohkan bahwa di domestik, daya beli masyarakat sedang menurun. Otomatis, industri lain juga mengurangi pengeluarannya.

    Dengan demikian, harapan tinggal di wisatawan mancanegara. Menurut Hariyadi, wisatawan mancanegara setidaknya bisa menutupi sebagian pangsa pasar pemerintah yang hilang.

    “Tetapi ada lagi masalahnya, datangin wisata mancanegara ini juga perlu effort [usaha]. Semua negara itu pemerintahnya turun ikut kampanyekan. Di Asean itu kan kita lihat pemerintah Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Filipina serius gitu untuk mendatangkan wisman. Nah kita boro-boro gitu kan, anggaran enggak ada lah, koordinasi enggak ada,” ucapnya.

    Dia mencontohkan kebijakan pemerintah Thailand yang sudah membebaskan visa untuk lebih dari 80 negara sehingga bisa menstimulus wisatawan mancanegara. Hariyadi tidak melihat upaya serupa di Indonesia karena visa masih dianggap sebagai salah satu pemasukan negara.

    Oleh sebab itu, pelaku industri perhotelan hanya bisa berjuang sendiri. Hariyadi mengungkap industri perhotelan mencoba menggandeng kekuatan industri lain.

    Misalnya melalui Gabungan Industri Pariwisata Indonesia, industri perhotelan melakukan kerja sama dengan industri penerbangan dengan promosi bundling tiket pesawat dan hotel hingga paket tur. Tak sampai situ, mereka akan mengadakan event lokal untuk menarik wisatawan.

    “Kita gotong-royong sendiri deh gitu,” ungkap Hariyadi.

  • Apindo Beri Masukan ke Pemerintah soal Pembentukan Satgas PHK

    Apindo Beri Masukan ke Pemerintah soal Pembentukan Satgas PHK

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mewanti-wanti pembentukan satuan tugas (satgas) pemutusan hubungan kerja (PHK) harus seiring dengan pembenahan polemik dasar dunia usaha yang terjadi saat ini.

    Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Apindo, Hariyadi Sukamdani mengatakan keputusan perusahaan untuk melakukan PHK merupakan bagian dari upaya untuk mempertahankan kelangsungan usaha yang tengah tertekan. Artinya, pemerintah perlu melihat juga dari sisi permasalahan yang dihadapi perusahaan.

    “Kalau masalah PHK itu adalah masalah yang sifatnya itu terkait dengan kelangsungan usaha. Kalau mereka [pengusaha] harus melakukan efisiensi dan sebagainya, pemerintah nggak bisa intervensi gitu kan,” kata Hariyadi kepada Bisnis, dikutip Minggu (27/4/2025). 

    Hariyadi yang juga merupakan mantan Ketua Umum Apindo (2014-2023) ini mengatakan peran Satgas PHK bukan mengintervensi atau mengimbau perusahaan agar tidak melakukan PHK, tapi melihat secara gambaran luas alasan di balik efisiensi tersebut. 

    Ada banyak pertimbangan suatu perusahaan melakukan PHK, misalnya di tengah perang dagang yang terjadi saat ini, sulit bagi pelaku usaha untuk mendapatkan pasar ekspor. Sementara, pasar domestik tertekan daya beli yang lemah dan banjir impor ilegal. 

    Tak hanya di sektor industri atau manufaktur, dia menuturkan sektor jasa dan perhotelan juga mengalami kondisi tekanan serupa. Sebagai Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), dia memberikan gambaran kondisi lemahnya tingkat kunjungan hotel saat ini. 

    Penyebab melemahnya okupansi atau tingkat kunjungan hotel saat ini yakni dampak dari pemangkasan anggaran pemerintah yang membuat salah satu sumber pergerakan menurun di sektor tersebut. 

    “Dengan adanya pemotongan anggaran pemerintah, sektor hotel ngedrop okupansinya, kalau ngedrop kan otomatis dia akan melakukan efisiensi, padahal itu jadi efek daripada pemotongan anggaran pemerintah. Tidak hanya pemerintah aja gitu loh, BUMN, swastanya pun ikut pangkas juga,” jelasnya. 

    Dalam kondisi ini, dia pun meminta pemerintah untuk lebih jeli dan melihat penyebab pasti biang kerok PHK yang banyak terjadi di berbagai sektor saat ini. Kehadiran satgas PHK juga diharapkan tak hanya memonitor besaran jumlah pekerja terdampak, melainkan pengentasan tekanan dunia usaha. 

    “Jadi bukan cuma bikin sekedar Satgas, cuma monitor doang, esensinya di sana,” pungkasnya. 

    Sebagai informasi, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia sepanjang 2024 mencapai 77.965 tenaga kerja. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebesar 20,2% dibanding 2023 yang tercatat mencapai 64.855 tenaga kerja. 

    Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengatakan, pemerintah masih mempersiapkan draft pembentukan Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja atau Satgas PHK. 

    Yassierli menyampaikan, Satgas PHK nantinya akan melibatkan pemerintah, perwakilan serikat pekerja, pengusaha, dan akademisi, sesuai dengan arahan Presiden Prabowo Subianto. 

    “Kita masih menyiapkan draft-nya sebenarnya, draft bersama, kira-kira nanti lingkup dari Satgas-nya apa,” kata Yassierli kepada wartawan di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Senin (21/4/2025). 

    Meski belum bisa menjabarkan lebih jauh poin-poin apa saja yang bakal diatur dalam dokumen pembentukan Satgas PHK, Yassierli menyebut bahwa Satgas PHK nantinya tidak hanya terbatas pada mitigasi PHK.

  • RI-AS Negosiasi Tarif Trump, Apindo Ingatkan Hal Ini ke Pemerintah

    RI-AS Negosiasi Tarif Trump, Apindo Ingatkan Hal Ini ke Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Apindo Hariyadi Sukamdani meyakini upaya negosiasi tarif resiprokal yang tengah dilakukan pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) dapat meraih hasil positif.

    Terlebih, Hariyadi melihat hubungan bilateral dan perdagangan Indonesia dan AS selama ini berjalan baik tanpa banyak polemik. Pengusaha juga telah berkontribusi memberi masukkan dan pertimbangan penawaran untuk AS. 

    “Poinnya itu mereka mau balance [neraca perdagangan] ya kan, dia [AS] mau terima ekspor dari kita tapi mereka juga minta kita terima import dari mereka. Sekarang balance-nya tuh bagaimana? Ini yang perlu dilihat lagi,” kata Hariyadi saat dihubungi Bisnis, Jumat (18/4/2025). 

    Sosok yang juga merupakan Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) itu juga menyoroti pentingnya pemilihan komoditas atau barang yang mutual saling menguntungkan perdagangan Indonesia dan AS. 

    Misalnya, Indonesia menawarkan untuk meningkatkan importasi produk agrikultur maupun pertanian yang selama ini menjadi komoditas unggulan dari AS. Di sisi lain, pemerintah juga berencana untuk mengimpor minyak dan LPG tambahan dari Negri Paman Sam itu. 

    “Hanya memang, ya yang challenge tuh, kalau misalnya mereka memaksakan gitu ya, [meminta] Indonesia mesti beli Boeing misalnya gitu kan. Nah, itu nanti nggak tau tuh nanti gimana, secara Boeing ini kan lagi jadi sorotan ya karena banyak masalah sebelumnya,” tuturnya. 

    Dalam hal ini, dia pun mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam bernegosiasi terkait pertukaran perdagangan. Di sisi lain, dia melihat jika ekspor AS ditingkatkan ke Indonesia, hal tersebut tidak akan mengganggu industri. 

    “Sebetulnya, dengan Amerika kita nggak perlu terlalu khawatir karena harganya dia kan juga belum tentu kompetitif. Harganya kan relatif, belum tentu kompetitif kan, yang paling kompetitif kan barang dari China ya,” tambahnya. 

    Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam lawatannya ke Amerika Serikat menyampaikan bahwa perundingan terkait negosiasi tarif Trump akan diselesaikan dalam 60 hari. 

    Airlangga menjelaskan bahwa dari penawaran konsensi yang telah disampaikan, Indonesia diterima dengan baik dan akan diberikan langkah lanjutan dengan US Trade Representative (USTR) maupun US Secretary of Comerce. 

    Adapun, Airlangga yang didampingi Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dan Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Mari Elka Pangestu, menyampaikan bahwa Indonesia telah menawarkan konsesi kepada AS.

  • Okupansi Hotel Februari 2025 Turun, Imbas Efisiensi Anggaran Prabowo?

    Okupansi Hotel Februari 2025 Turun, Imbas Efisiensi Anggaran Prabowo?

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan tingkat penghunian kamar (TPK) hotel pada Februari 2025 mengalami penurunan, baik klasifikasi bintang maupun nonbintang.

    BPS dalam laporannya mencatat, tingkat penghunian atau okupansi hotel di Indonesia mencapai 37,16% pada Februari 2025 atau turun 1,16% poin dibandingkan Januari 2025 sebanyak 38,32%. Khusus untuk hotel bintang, TPK mencapai 47,21% pada Februari 2025. 

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS, M. Habibullah menyampaikan, TPK hotel klasifikasi bintang pada Februari 2025 mengalami penurunan, baik secara bulanan maupun tahunan.

    “TPK Februari 2025 mencapai 47,21% atau turun baik bulanan maupun tahunan sebesar 1,17% MtM dan 2,24% YoY,” kata Habibullah dalam konferensi pers, dikutip Jumat (11/4/2025).

    Secara spasial, TPK hotel bintang tertinggi tercatat di Daerah Khusus Jakarta sebesar 59,07%, diikuti oleh Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Sementara, TPK hotel bintang terendah tercatat di Papua Barat, Kepulauan Bangka Belitung, dan Sulawesi Barat.

    Secara kumulatif Januari-Februari 2025, TPK hotel bintang mencapai 47,83% atau turun 0,26 poin dibanding periode yang sama tahun lalu. 

    Sementara itu, TPK hotel nonbintang pada Februari 2025 mencapai 23,17%. TPK hotel nonbintang tertinggi terjadi di Daerah Khusus Jakarta yang mencapai 44,51% pada Februari 2025, diikuti Bali 36,35% dan Kepulauan Riau 31.73%. 

    BPS mencatat, TPK hotel nonbintang terendah terjadi di Papua Pegunungan yang hanya mencapai 10,55%.

    Dibandingkan tahun  sebelumnya, TPK hotel nonbintang di Indonesia turun 3,10 poin. Bila dibandingkan Januari 2025, TPK hotel nonbintang juga turun sebesar 1,22 poin dari sebelumnya 24,39%.

    Secara kumulatif, BPS melaporkan bahwa TPK hotel nonbintang mencapai 23,81% atau turun 1,63 poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Adapun, berdasarkan klasifikasi bintang dari Januari ke Februari 2025, seluruh klasifikasi hotel mengalami penurunan TPK.

    Masih merujuk data BPS, hotel bintang 5 mengalami penurunan TPK terdalam yaitu 3,37 poin, diikuti penurunan TPK hotel bintang 2, dan hotel bintang 4 sebesar 1,28 poin. Hotel bintang 3 turun tipis sebesar 0,23 poin.

    Secara kumulatif, TPK hotel Indonesia mencapai 37,77% pada Januari-Februari 2025 atau turun 0,51 poin dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    “Sebagian besar klasifikasi hotel mengalami penurunan, di mana penurunan TPK terdalam tercatat pada hotel nonbintang sebesar 1,63 poin. Sementara itu, hotel bintang 2 mengalami kenaikan tertinggi yaitu naik 0,78 poin,” demikian bunyi laporan Perkembangan Januari-Februari 2025 BPS.

    Dampak Efisiensi

    Sementara itu, dampak dari kebijakan penghematan anggaran pemerintah mulai dirasakan oleh industri perhotelan. Tercatat pada akhir Maret 2025, dua hotel milik Sahira Hotels Group di Bogor, Jawa Barat berhenti beroperasi.

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengaku khawatir kondisi ini terus berlanjut jika pemerintah tidak segera merealisasikan sisa pemangkasan anggaran atau 50% dari anggaran perjalanan dinas.

    “Pemotongan anggaran sudah mulai memakan korban. Kami khawatir bila terus-terusan seperti ini akan lebih banyak korban hotel tutup operasi,” kata Hariyadi kepada Bisnis, Kamis (27/3/2025).

    Penutupan hotel lantaran defisit operasional menjadi salah satu opsi dalam survei yang dilakukan PHRI dan Horwath HTL mengenai dampak kebijakan penghematan anggaran terhadap industri perhotelan.

    Melibatkan 726 pelaku industri perhotelan di 30 provinsi, 88% responden memperkirakan akan membuat keputusan sulit dengan melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK para pekerja demi mengurangi biaya pengupahan.

    Lalu, 58% mengantisipasi potensi gagal bayar pinjaman kepada bank dan 48% memproyeksikan adanya penutupan hotel karena defisit operasional.

    Presiden Prabowo Subianto melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun.

    Secara spesifik, Kepala Negara meminta kementerian/lembaga menghemat belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

    Sementara kepada kepala daerah, Prabowo meminta untuk membatasi kegiatan yang bersifat seremonial, bahkan meminta perjalanan dinas dipotong hingga 50%.

    Sayangnya, Hariyadi menyebut pemerintah hingga saat ini, tidak merealisasikan sisa pemangkasan anggaran atau 50% dari anggaran perjalanan dinas.

    Alih-alih menggunakan 50% sisa anggaran perjalanan dinas, pemerintah justru menahan belanja perjalanan dinas dengan tidak menggelar kegiatan di hotel-hotel.

    Jika kondisi ini terus berlanjut, Hariyadi memperkirakan tidak hanya daily worker yang terdampak tetapi juga pekerja kontrak seperti di bagian food & beverage (F&B) dan resepsionis.

    “Pokoknya kalau ini enggak jalan ya udah otomatis mereka menempuh 88%, kan mereka menjawab pasti mereka akan melakukan pengurangan yang lebih signifikan lagi,” tutur Hariyadi dalam konferensi pers, Minggu (23/3/2025).

  • Okupansi Hotel Menurun saat Lebaran 2025, Komisi VII DPR Harap Pemerintah Beri Promosi dan Insentif – Halaman all

    Okupansi Hotel Menurun saat Lebaran 2025, Komisi VII DPR Harap Pemerintah Beri Promosi dan Insentif – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Penurunan signifikan pada okupansi hotel selama libur Lebaran Idul Fitri 1446 Hijriyah menjadi sorotan utama.

    Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Lamhot Sinaga, menanggapi situasi ini dengan mendesak pemerintah untuk mengambil langkah cepat guna membantu pemulihan sektor pariwisata, khususnya industri perhotelan.

    Lamhot menjelaskan bahwa penurunan okupansi tidak hanya disebabkan oleh faktor internal industri perhotelan, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang masih belum stabil, seperti inflasi dan ketidakpastian pasar.

    Hal ini membuat banyak orang memilih untuk menekan pengeluaran, termasuk untuk biaya perjalanan dan penginapan.

    “Bukan hanya faktor internal industri, tetapi ekonomi yang belum stabil menjadi pemicu utama. Masyarakat lebih memilih untuk mengurangi pengeluaran, termasuk biaya perjalanan dan penginapan,” ujar Lamhot, Sabtu (5/4/2025).

    Selain itu, Lamhot juga menyebutkan persaingan yang semakin ketat dari platform penyewaan rumah seperti Airbnb, serta kurangnya inovasi dan promosi oleh sebagian hotel sebagai faktor lain yang memperburuk situasi.

    Menurutnya, hotel-hotel yang tidak memperbarui fasilitas dan layanan atau tidak efektif dalam pemasaran akan kehilangan daya tarik bagi wisatawan dan pelancong bisnis.

     

     

    Sebagai solusi, Lamhot meminta pemerintah untuk meluncurkan kampanye promosi yang lebih agresif guna menonjolkan potensi wisata daerah-daerah tertentu, baik untuk wisatawan domestik maupun internasional. 

    Promosi ini, katanya, dapat memberikan dampak positif pada okupansi hotel.

    “Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta sangat penting. Pembuatan paket wisata menarik, diskon, atau promosi khusus dapat meningkatkan minat pengunjung dan langsung berdampak pada peningkatan okupansi hotel,” tambahnya.

     

     

    Lebih lanjut, Lamhot menyoroti pentingnya peningkatan infrastruktur, terutama dalam hal transportasi dan konektivitas digital, untuk mempermudah akses ke destinasi wisata dan hotel-hotel yang ada.

    Ia juga mendorong pemerintah untuk memberikan insentif pajak atau subsidi kepada hotel-hotel yang terdampak, untuk mendukung kelangsungan sektor pariwisata yang berkelanjutan.

    Sementara itu, Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Hariyadi Sukamdani, juga mengungkapkan kekecewaannya terkait penurunan okupansi hotel pada Lebaran 2025 yang diperkirakan turun sekitar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Penurunan ini terjadi di sejumlah destinasi wisata populer seperti Yogyakarta, Bali, dan Solo.

    “Okupansi di daerah seperti Solo, Jogja, dan Bali memang menurun. Banyak hotel yang hanya penuh sampai H-2 Lebaran, lalu pengunjung langsung check-out lebih cepat,” ungkap Hariyadi, yang mencatatkan penurunan waktu menginap yang lebih singkat dibandingkan tahun lalu.

     

    Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani ketika ditemui di hotel The Langham Jakarta, Rabu (31/1/2024). (Endrapta Pramudhiaz)

     

    Daya beli masyarakat yang melemah dan waktu tinggal yang lebih pendek menjadi faktor utama penyebab menurunnya okupansi.

     

     

    Hariyadi berharap agar pemerintah segera mengoptimalkan anggaran untuk sektor pariwisata, karena kontribusi pasar pemerintah terhadap industri perhotelan masih cukup besar, mencapai 40 persen.

     

    “Peranan pemerintah sangat krusial. Tanpa dukungan pemerintah, banyak hotel yang terpaksa tutup dan mempengaruhi PHK massal di sektor ini,” jelas Hariyadi.

     

     

     

     

  • PHRI Ungkap Penyebab Okupansi Hotel Turun Selama Libur Lebaran 2025

    PHRI Ungkap Penyebab Okupansi Hotel Turun Selama Libur Lebaran 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Okupansi hotel di Indonesia selama libur Lebaran 2025 mengalami penurunan sebesar 20% jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

    Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, penurunan ini terjadi di sejumlah daerah, seperti Solo, Yogyakarta dan Bali.

    “Lebih rendah dari tahun lalu. Tadi saya sempat telepon beberapa daerah. Solo, Yogya, Bali. Turun rata-rata sekitar 20% dari tahun lalu,” katanya seusai menghadiri open house di rumah dinas Rosan Roeslani, kawasan Widya Chandra, Jakarta, Selasa (1/4/2025).

    Ia menyebutkan bahwa penurunan okupansi hotel selama libur Lebaran 2025 dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat.

    Hal ini tercermin dari proses reservasi atau pemesanan hotel yang lebih lambat dibandingkan tahun sebelumnya.

    Selain itu, Hariyadi menambahkan bahwa lama menginap di hotel juga lebih singkat dan tidak berlanjut hingga akhir libur Lebaran pada Senin (7/4/2025) mendatang.

    “Enggak sampai tanggal 7. Kayak di Solo, tanggal 4, tanggal 5 langsung sudah check out. Di Jogja tanggal 6, Bali menurun juga. Bali itu enggak full sampai tanggal 7,” ungkapnya.

    Ia berharap pemerintah dapat mengevaluasi kembali anggaran belanja guna meningkatkan tingkat okupansi hotel di Indonesia saat ini.

    Sebab, sektor pemerintahan masih menjadi pasar yang signifikan bagi industri perhotelan, dengan kontribusi mencapai 40%.

    “Kalau pemerintah tidak melakukan eksekusi untuk spending-nya, pasti akan banyak (hotel) yang tutup lagi,” tuturnya.

    Hariyadi mengungkapkan bahwa sebelum libur Lebaran 2025, dua hotel di Bogor terpaksa tutup.

    Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya dukungan dari pemerintah untuk membantu memulihkan tingkat okupansi hotel di Indonesia.