Tag: Haris Azhar

  • Kronologi Lengkap dan Tuduhan Pasal terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        3 September 2025

    Kronologi Lengkap dan Tuduhan Pasal terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Megapolitan 3 September 2025

    Kronologi Lengkap dan Tuduhan Pasal terhadap Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, oleh Polda Metro Jaya menuai sorotan publik.
    Dugaan pelanggaran prosedur sejak awal penangkapan hingga penggeledahan kantor mencuat ke permukaan.
    Informasi tersebut disampaikan Founder Lokataru Foundation, Haris Azhar, pada Rabu (3/9/2025).
    Penangkapan Delpedro terjadi pada Senin (1/9/2025) malam sekitar pukul 22.45 WIB.
    Sebanyak 7–8 anggota Subdit II Keamanan Negara Polda Metro Jaya mendatangi kantor Lokataru Foundation di Jalan Kunci Nomor 16, Kayu Putih, Pulo Gadung, Jakarta Timur.
    Delpedro yang saat itu berada di ruang kerjanya diminta berganti pakaian sebelum dibawa ke Polda Metro Jaya.
    Ia sempat mempertanyakan legalitas dokumen yang ditunjukkan aparat serta meminta pendampingan kuasa hukum, tetapi tidak dikabulkan.
    “Terjadi pembatasan hak konstitusional. Bahkan Delpedro tidak diberi kesempatan menghubungi keluarga atau penasihat hukum,” tulis Haris Azhar.
    Lokataru juga menuding polisi melakukan penggeledahan tanpa surat resmi dan merusak CCTV di lantai dua. Hal ini dinilai sebagai bentuk intimidasi sekaligus pelanggaran hak asasi.
    Selain Delpedro, staf Lokataru, Muzaffar Salim, ikut diamankan pada Selasa (2/9/2025) dini hari sekitar pukul 01.58 WIB di kantin belakang Polda Metro Jaya.
    Penangkapan berlangsung mendadak dan Muzaffar langsung dijadikan tersangka dengan pasal serupa.
    Polda Metro Jaya menjerat Delpedro dan Muzaffar dengan sejumlah pasal, di antaranya:
    Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan, penyidik memiliki bukti cukup untuk menetapkan keduanya sebagai tersangka.
    “Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut, menyebarkan informasi bohong yang menimbulkan kerusuhan, dan memperalat anak,” ujar Ade Ary, Selasa (2/9/2025).
    LBH Jakarta menilai penangkapan tersebut tidak sah karena dilakukan sebelum status tersangka diumumkan.
    “Kalau seseorang belum ditetapkan sebagai tersangka, tidak boleh dilakukan penangkapan. Kami menilai ada tindakan sewenang-wenang,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan.
    Menurut LBH, aparat hanya menunjukkan selembar kertas kuning yang disebut sebagai surat penangkapan, tanpa penjelasan isi.
    Proses penangkapan disebut berlangsung sangat cepat, dengan pengawalan enam mobil.
    “Tidak ada kekerasan, tapi sangat janggal karena terburu-buru,” tambah Fadhil.
    Hingga Selasa siang, Delpedro masih diperiksa di Unit II Keamanan Negara Polda Metro Jaya.
    Sementara itu, polisi belum memberikan penjelasan resmi terkait penangkapan Muzaffar.
    Kompas.com
    sudah mencoba menghubungi pihak kepolisian untuk mengonfirmasi kronologi lengkap penangkapan dan pasal-pasal yang menjerat Delpedro, namun hingga berita ini diturunkan belum ada tanggapan resmi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Haris Azhar Heran Delpedro Ditangkap karena Menghasut Demo: Itu Ekspresi, Bukan Hasutan!

    Haris Azhar Heran Delpedro Ditangkap karena Menghasut Demo: Itu Ekspresi, Bukan Hasutan!

    GELORA.CO –  Aktivis HAM sekaligus Pendiri Lokataru Foundation, Haris Azhar, heran dengan alasan polisi menangkap Delpedro Marhaen atas tudingan menghasut demo yang anarkis. 

    Sebagaimana diketahui, Direktur Eksekutif Lokataru Delpedro Marhaen (DRM) ditangkap oleh Polda Metro Jaya pada Senin, 1 September 2025 malam.

    Polisi beralasan, Delpedro ditangkap dan dijadikan tersangka atas dugaan menghasut untuk melakukan aksi anarkis dalam demonstrasi hingga melibatkan pelajar atau anak di bawah umur.

    Haris mengaku terkejut dan heran karena sikap polisi dinilai berlebihan.

    “Ya Aneh, kok dituduhkan begitu. Padahal kemarin kan Delpedro itu yang bantu pelajar saat ditangkap Polda. Dia advokasi, kok dibilang menghasut?,” kata Haris kepada Disway.id, Selasa, 2 September 2025. 

    Haris menilai ada hal yang janggal atas penangkapan Direktur Eksekutif Lokataru tersebut. Haris amat menyayangkan sikap kepolisian yang tanpa dasar langsung menuding Delpedro menghasut melalui media sosial. 

    “Itu kan ekspresi, tidak ada yang bentuknya hasutan nggak ada. Dan itu dia tidak terkoneksi dengan, saya masih mikir di mana koneksinya? Postingan itu dengan ribuan postingan lain, dengan anak-anak di bawah umur,” kata Haris.

    Minta Polisi Proporsional

    Atas penangkapan rekannya, Haris meminta agar polisi melihat hal itu secara adil dam proporsional. Sebab, Delpedro selama ini mendampingi dan mengadvokasj pada anak-anak yang tertangkap saat aksi demo itu.

    “Justru Lokataru ini bantuin anak-anak di bawah umur Ketika ditangkap, kok fakta itu nggak diungkap? ya kan? teman-teman ini kan justru bantuin anak-anak di bawah umur ketika mereka ditangkap,” kata Haris.

    Haris setuju, jika mereka yang bertindak anarkis harus ditangkap dan diungkap segala perilakunya. Tapi, tidak dengan Lokataru dan aktivitasnya.

    “Tapi kok nyasarnya ke teman-teman yang kerja-kerja campaign dan advokasi? Jadi saya pikir ini praktik pengkambinghitaman aja,” kata Haris.

    Atas dugaan hasutan ini, Polda Metro Jaya menjerat Delpedro Marhaen dengan Pasal 160 KUHP dan atau Pasal 45 a Ayat 3 juncto Pasal 28 Ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan atau Pasal 76 h juncto Pasal 15 juncto Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

    Sebelumnya, Polda Metro Jaya membenarkan menangkap Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, pada Senin, 1 September 2025, atas dugaan menghasut demo di DPR. 

    Penangkapan ini dilakukan oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Metro Jaya menangkap seorang pria berinisial DMR yang diduga menghasut dan mengajak sejumlah pihak untuk melakukan aksi anarkis. 

    Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi mengatakan DMR diduga turut melibatkan pelajar, termasuk anak-anak di bawah usia 18 tahun.

    Diungkapkannya, dirinya membenarkan penangkapan tersebut. 

    “Benar, penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya telah melakukan penangkapan terhadap saudara DMR atas dugaan ajakan dan hasutan provokatif untuk melakukan aksi anarkis dengan melibatkan pelajar,” katanya kepada awak media, Selasa 2 September 2025.

    Dijelaskannya, DMR disangkakan melanggar sejumlah pasal, mulai dari Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 45A ayat (3) jo Pasal 28 ayat (3) UU ITE terkait penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan, hingga Pasal 76H jo UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

    “Yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana menghasut, menyebarkan informasi elektronik yang membuat keresahan, serta merekrut atau membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa,” jelasnya.

    Menurut penyidik, dugaan tindak pidana tersebut berlangsung sejak 25 Agustus 2025 di sekitar Gedung DPR/MPR, Gelora Tanah Abang, serta beberapa wilayah lain di DKI Jakarta.

    Hingga kini, proses pemeriksaan masih berjalan. 

    “Penyidik masih terus melakukan pendalaman terkait kegiatan maupun upaya penangkapan terhadap yang bersangkutan,” ujarnya.

  • Direktur Lokataru Delpedro Diduga Dijemput Paksa 7-10 Anggota, Ini Kronologinya

    Direktur Lokataru Delpedro Diduga Dijemput Paksa 7-10 Anggota, Ini Kronologinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Tim advokasi mengungkap Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen diduga dijemput paksa oleh 7-10 anggota Polda Metro Jaya.

    Tim Advokasi sekaligus Asisten Peneliti Lokataru, Fian Alaydrus mengatakan Delpedro dijemput paksa sekitar 22.45 WIB di kantor Lokataru yang berlokasi di Pulo Mas, Jakarta Timur.

    “Ada 7 sampai 10 orang langsung masuk ke belakang,” ujar Fian di Polda Metro Jaya, Selasa (2/9/2025).

    Dia menambahkan, kala itu Delpedro tengah bersantai setelah pulang dari pekerjaannya. Kemudian, salah satu petugas menanyakan sosok Delpedro di kantor Lokataru.

    Delpedro, kata Fian, dengan lantang mengakui identitasnya. Singkatnya, Delpedro dijemput paksa oleh kepolisian atas tudingan yang dinilai kubu Lokataru tidak jelas.

    “Saya kira masih perlu ditelusuri tuh, setahu saya Pedro merasa tidak cukup keterangan [penjemputan] atas dasar apa, suratnya mana,” imbuhnya.

    Adapun, Fian mengemukakan bahwa Delpedro juga tidak diberikan kesempatan untuk menunjuk kuasa hukumnya dalam dugaan penjemputan paksa.

    “Langsung disitu Pedro sempat meminta tunggu kuasa hukum saya bang Haris Azhar, terus [kata petugas] ‘sudah tidak usah langsung di Polda’ udah langsung ganti baju,” pungkasnya.

    Diberitakan sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary mengatakan Delpredro telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan penghasutan provokatif terhadap pelajar untuk demo.

    Delpedro diduga kepolisian telah menghasut anak dibawah umur melakukan tindakan anarkis serta menyebarkan informasi bohong melalui media sosial.

    “Saudara DMR diduga melakukan tindak pidana menghasut untuk melakukan pidana dan atau menyebarkan informasi elektronik yang diketahuinya membuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan dan keresahan,” ujar Ade Ary di Jakarta, Selasa (2/9/2025).

    Atas perbuatannya, Delpedro dipersangkakan pasal berlapis mulai dari Pasal 160 KUHP, Pasal 45A Ayat 3 Juncto Pasal 28 Ayat 3 UU No.1/2024 tentang ITE, hingga Pasal 76H Jo Pasal 15 Jo Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

  • Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Disebut Dijemput Paksa Polisi, Ini Kronologinya – Page 3

    Direktur Eksekutif Lokataru Foundation Disebut Dijemput Paksa Polisi, Ini Kronologinya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Founder Lokataru Foundation, Haris Azhar membenarkan, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen ditangkap polisi.

    Dia menjelaskan, kronologi diduga dijemput paksa terhadap yang bersangkutan dilakukan Senin, tanggal 1 September 2025, pukul 22.45 WIB.

    “Delpedro Marhaen, selaku Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, telah dijemput secara paksa oleh aparat Kepolisian Daerah Metro Jaya (PMJ) di kantor Lokataru Foundation yang mengindikasikan adanya tindakan penjemputan paksa di luar jam kerja normal dan di tempat kediaman/perkantoran,” kata Haris seperti dikutip dari siaran pers, Selasa (2/9/2025).

    Dia mencatat, penjemputan dilakukan oleh kurang lebih 7-8 anggota Polda Metro Jaya, dipimpin oleh dari Subdit II Keamanan Negara (Kamneg) sebagaimana tercatat dalam pelaksanaan tugas di lapangan.

    “Bahwa pada saat penjemputan, pihak kepolisian menyatakan telah menyiapkan sejumlah dokumen administrasi termasuk surat penangkapan, namun Delpedro Marhaen menanyakan legalitas dokumen tersebut serta pasal-pasal yang dituduhkan, menunjukkan adanya ketidakjelasan atau minimnya informasi awal terkait prosedur hukum yang berlaku,” tutur Haris.

    Haris menyatakan, Delpedro Marhaen meminta untuk didampingi kuasa hukum mengingat pasal-pasal yang dituduhkan belum dipahami sepenuhnya. Hal ini sebagai bentuk upaya pembelaan diri dan perlindungan terhadap martabat kemanusiaannya (human dignity). 

    “Pihak kepolisian menyatakan bahwa surat tugas yang dibawa telah menginstruksikan untuk melakukan penangkapan dan penggeledahan badan serta barang,” tutur Haris.

     

  • Prabowo Digugat ke PTUN karena Tak Pecat Yandri Susanto, Pakar Hukum Ingatkan Ada Hak Prerogatif – Halaman all

    Prabowo Digugat ke PTUN karena Tak Pecat Yandri Susanto, Pakar Hukum Ingatkan Ada Hak Prerogatif – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Prabowo Subianto dilaporkan oleh Lokataru Foundation ke PTUN karena tak mencopot Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) Yandri Susanto. 

    Salah satu nama pelapornya adalah Haris Azhar, pendiri lembaga tersebut. 

    Pakar hukum tata negara Shanti Dewi Mulyaraharjani menilai pelaporan Prabowo ke PTUN karena alasan tak mencopot Yandri Susanto tidak memiliki dasar kuat.

    Pasalnya, kata dia, tidak ada penjelasan mengenai bentuk kerugian nyata, baik materiel maupun imateriel, yang dialami oleh pelapor akibat Presiden tak memberhentikan Yandri.

    “Lokataru merupakan badan hukum yang tidak memiliki legal standing dalam perkara ini,” kata Shanti kepada wartawan, Jumat (18/4/2025).

    Ia merujuk Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang mengatur bahwa hanya pihak yang mengalami kerugian langsung akibat suatu keputusan tata usaha negara yang berhak mengajukan gugatan.

    Shanti juga menjelaskan bahwa pengangkatan dan pemberhentian menteri sepenuhnya merupakan bagian dari hak prerogatif Presiden sesuai Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945. Hak ini bersifat konstitusional dan berada di luar ranah uji materi atau gugatan administrasi.

    “Presiden memiliki kewenangan konstitusional untuk mengangkat dan memberhentikan menteri. Ini adalah hak prerogatif yang bersifat mandiri dan tidak dapat diganggu gugat oleh lembaga negara lain,” ujarnya.

    Ia kemudian mengutip pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 22/PUU-XIII/2015 yang menyatakan, hak prerogatif Presiden merupakan bagian dari kewenangan yang bersifat mutlak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan tidak termasuk objek sengketa yang dapat ditangani PTUN.

    Prabowo digugat

    Sebelumnya, Prabowo digugat ke PTUN karena tak kunjung memecat Yandri Susanto. 

    Hal itu buntut tindakan Yandri yang terbukti cawe-cawe dalam Pilkada Kabupaten Serang 2024, yang diikuti oleh istrinya, Ratu Rachmatu Zakiyah.

    Keterlibatan Yandri diketahui berdasarkan putusan MK Nomor 70/PHPU.BUP-XXIII/2025 yang dibacakan pada 25 Februari 2025. Dalam putusannya, MK menganulir kemenangan Ratu Rachmatu. 

    Dalam gugatan ke PTUN, Direktur Eksekutif Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, mengatakan pihaknya meminta agar Presiden Prabowo dinyatakan melanggar hukum karena tak memberhentikan Yandri Susanto sebagai menteri. 

    “Dalam gugatannya, Lokataru Foundation memohon Majelis Hakim PTUN Jakarta untuk menyatakan Presiden telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena tidak memberhentikan Yandri Susanto,” ujar Delpedro, Kamis (17/4/2025).

  • Mengupas Miskonsepsi dan Fakta di Balik Kasus Pertamina

    Mengupas Miskonsepsi dan Fakta di Balik Kasus Pertamina

    Mengupas Miskonsepsi dan Fakta di Balik Kasus Pertamina
    Tim Redaksi
     
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dugaan korupsi di PT
    Pertamina
    (Persero) dan anak perusahaannya mengguncang publik. Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tujuh tersangka dalam kasus yang diduga merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun tersebut.
    Isu yang mencuat terkait Pertamina tidak hanya soal korupsi, tetapi juga mengenai istilah “oplosan” bahan bakar yang memicu kebingungan masyarakat.
    Dalam
    talkshow
    “Industrial Summit 2025: Kasus Pertamina vs Kepercayaan Publik” yang disiarkan langsung oleh
    Kompas TV
    , Rabu (5/3/2025), lima narasumber memberikan pandangan mengenai kasus itu dari berbagai sudut.
    Mereka adalah Pakar Konversi Institut Teknologi Bandung (ITB) Tri Yuswidjajanto Zaenuri, Pendiri Lokataru Haris Azhar, Anggota Komisi XII DPR RI Eddy Soeparno, Chief Executive Officer (CEO) & Co-Founder Katadata Metta Dharmasaputra, dan Anggota Dewan
    Energi
    Nasional (DEN) Eri Purnomohadi.
    Di tengah berbagai spekulasi berkembang, Tri berupaya memberikan pemahaman lebih jernih mengenai proses
    blending
    dalam produksi
    bahan bakar minyak
    (
    BBM
    ).
    Menurutnya,
    blending
    adalah praktik umum dan sah di seluruh dunia. Tujuannya, mencapai spesifikasi tertentu pada BBM. Proses ini tidak sekadar mencampur BBM dengan Ron yang berbeda, tetapi juga mempertimbangkan berbagai parameter penting, seperti massa jenis, viskositas, dan kadar sulfur. 
    “Kalau misalnya RON 92 dicampur dengan RON 90, hasilnya adalah RON 91. Jika ini dijual sebagai Pertalite, konsumen diuntungkan karena kinerja kendaraannya membaik,” jelas Tri. 
    Tri menegaskan,
    blending
    tidak hanya dilakukan di kilang minyak, tetapi juga di terminal bahan bakar minyak (TBBM). Misalnya, dalam pembuatan solar B40. Pencampuran biodiesel dan solar dilakukan di TBBM, bukan di kilang. 
    Hal tersebut menunjukkan, pencampuran bahan bakar di luar kilang adalah hal lazim dan diatur dalam regulasi. 
    Lebih lanjut, Tri juga menyoroti peran aditif deterjen dalam Pertamax yang tidak ada pada Pertalite. Aditif ini berfungsi menjaga kebersihan katup mesin, mencegah pemborosan bahan bakar, dan mengurangi emisi gas buang. 
    Jika benar terjadi pengoplosan Pertalite dengan Pertamax, seharusnya ada perubahan kinerja mesin yang terasa oleh konsumen. Tri mencontohkan, tarikan kendaraan yang lebih berat dan konsumsi bahan bakar lebih boros. 
    Selain itu, pewarnaan bahan bakar juga memiliki fungsi penting sebagai penanda visual dan tidak memengaruhi kualitas BBM. Warna juga berfungsi sebagai kontrol di SPBU untuk memastikan konsumen mendapatkan produk sesuai dengan dispenser. Proses ini diawasi dengan ketat dan harus melalui tahapan sertifikasi sesuai dengan regulasi yang berlaku. 
    Pernyataan itu sekaligus meredakan kekhawatiran publik mengenai tuduhan “oplosan” yang berkembang di media sosial. Tri memastikan bahwa proses
    blending
    yang benar tidak akan merugikan konsumen, justru bisa meningkatkan performa kendaraan.
    “Jika benar terjadi pengoplosan dalam skala besar, publik pasti akan merasakan dampaknya dan hal ini sangat mungkin akan menjadi viral, seperti kejadian-kejadian sebelumnya yang cepat terungkap melalui laporan masyarakat,” tuturnya. 
    Keresahan juga disampaikan Metta. Ia menyoroti pentingnya penggunaan istilah tepat dalam pemberitaan kasus tersebut. 
    Menurutnya, penggunaan kata “oplosan” dalam konteks BBM sangat berpotensi memicu keresahan publik. Pasalnya, istilah tersebut biasanya dikaitkan dengan tindakan ilegal atau curang. 

    Blending
    itu sah dan diatur dalam regulasi. Kita tidak pernah menyebut
    cappuccino
    sebagai ‘
    oplosan
    kopi’. Sama halnya dengan
    blending
    BBM. Sebaiknya, kita menggunakan istilah yang lebih tepat, seperti ‘pencampuran’ atau ‘
    blending
    ‘,” tekan Metta.
    Metta juga mengingatkan bahwa penggunaan istilah yang salah bisa memicu distorsi opini publik. Ia khawatir jika narasi negatif ini terus berkembang, masyarakat bisa terprovokasi dan melakukan tindakan di luar kendali, seperti yang pernah terjadi pada kasus pajak Gayus Tambunan di masa lalu. 
    Saat itu, seluruh pegawai pajak terkena stigma negatif. Padahal tidak semua terlibat dalam kasus tersebut. 
    Lebih lanjut, Metta menekankan peran penting media dalam menjaga narasi tetap seimbang dan berbasis data. Ia mendorong agar media tidak sekadar mengikuti arus opini di media sosial, tetapi memberikan edukasi kepada publik mengenai perbedaan
    blending
    dan oplosan sesuai konteks teknis dan regulasi yang ada. 
    Namun, tidak hanya sekadar narasi yang tepat, pengawasan dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi elemen penting untuk memastikan
    transparansi
    dan mencegah penyimpangan. 
    Selain masalah teknis mengenai
    blending
    , isu transparansi dalam pengadaan dan distribusi BBM juga menjadi perhatian utama para narasumber. Berbagai aspek pengawasan disoroti, mulai dari proses impor, mekanisme kompensasi, hingga keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri. 
    Haris mengungkapkan adanya indikasi manipulasi dalam proses impor BBM oleh Pertamina. Ia menyebut data Kementerian ESDM yang menunjukkan impor RON 90 dari Singapura. Padahal, negara tersebut hanya memproduksi BBM dengan RON 92, 95, dan 97. 
    Hal itu memicu dugaan adanya manipulasi administrasi dan penggelembungan harga yang berpotensi memberikan keuntungan besar kepada pihak tertentu melalui selisih kompensasi yang dibayarkan pemerintah. 
    Lebih jauh, Haris juga mengusulkan agar para tersangka dalam kasus tersebut bisa menjadi
    whistleblower
    atau
    justice collaborator
    . Langkah ini penting untuk membantu membuka praktik-praktik mafia migas di Indonesia yang, menurutnya, bukan isu baru. 
    Dengan adanya
    whistleblower
    , proses hukum dapat lebih terarah dan berpotensi mengungkap aktor utama di balik kasus ini. 
    Isu transparansi juga mencuat dalam mekanisme kompensasi pengadaan BBM. Eddy menjelaskan, mekanisme kompensasi pengadaan BBM melibatkan Kementerian Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam proses verifikasi sebelum kompensasi dibayarkan kepada Pertamina.
    Meski pengawasan cukup ketat, Eddy menyoroti masih ada celah yang bisa dimanfaatkan oknum tertentu. Ia pun mendorong agar pengawasan internal di Pertamina diperkuat, khususnya melalui peran komisaris yang harus lebih proaktif dan tidak sekadar menjadi “penonton” dalam pengawasan operasional perusahaan. 
    Eddy juga menekankan pentingnya audit menyeluruh terhadap produksi dan kapasitas kilang Pertamina agar tidak ada celah dalam pengadaan BBM. 
    Sementara itu, Eri menyoroti keterbatasan kapasitas kilang dalam negeri sebagai alasan utama mengapa Indonesia masih mengimpor BBM. Kilang dalam negeri hanya mampu memproses sekitar 600.000 barel per hari, sedangkan kebutuhan nasional mencapai hampir dua kali lipatnya.
    Eri menilai, selama kapasitas kilang belum memadai, impor BBM tak terhindarkan. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah kurangnya transparansi dalam proses impornya. 
    “Impor BBM memang tidak bisa dihindari karena keterbatasan kilang dalam negeri. Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketidaktransparanan dalam proses impornya,” tegasnya. 
    Sebagai solusi, Eri mengusulkan pembangunan kilang baru dengan kapasitas 500.000 barel per hari untuk meningkatkan kemandirian
    energi
    dan mengurangi ketergantungan pada impor BBM. 
    Selain itu, pembentukan cadangan penyangga energi nasional juga diperlukan untuk menjaga stabilitas pasokan energi di masa depan.
    Kelima narasumber sepakat bahwa kasus itu perlu segera dibawa ke persidangan terbuka. Selain untuk memastikan transparansi, persidangan terbuka juga akan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai tata kelola energi yang baik. 
    Dengan langkah konkret berupa sidang terbuka dan reformasi struktural, diharapkan pula kepercayaan publik terhadap Pertamina dan BUMN lainnya dapat kembali pulih. 
    “Jangan sampai kasus ini hanya ganti pemain, tetapi sistemnya tetap sama. Kita butuh reformasi struktural, baik di Pertamina maupun dalam regulasi pengawasan impor BBM,” ucap Haris. 
    Hal senada turut disampaikan Metta. Ia mendukung ide diadakannya sidang terbuka. Menurutnya, transparansi adalah kunci untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Pertamina dan BUMN pada umumnya. 
    Selain itu, ia berharap, proses hukum tidak dicampuradukkan dengan kepentingan politik agar hasilnya benar-benar obyektif dan dapat dipercaya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sukatani Buka Suara, Ungkap Intimidasi dan Tekanan dari Polisi Tidak Hanya Sekali

    Sukatani Buka Suara, Ungkap Intimidasi dan Tekanan dari Polisi Tidak Hanya Sekali

    TRIBUNJATENG.COM – Band Punk asal Purbalingga Sukatani akhirnya buka suara terkait itimidasi pihak kepolisian.

    Mereka mengungkap hal itu melalui media sosial instagram sukatani.band

    Dalam unggahan Sukatani menyebut kejadian bertubi mereka hadapi sejak Jul 2024 lalu.

    “Tekanan dan intimidasi dari kepolisian terus kami dapatkan, hingga akhirnya video klarifikasi atas lagu yang berjudul ‘Bayar Bayar Bayar’ kami unggah melalui media sosial,” tulis Sukatani.

    PUKAU PENONTON- Band Sukatani asal Purbalingga yang tengah viral manggung di Gedung Korpri Slawi, Kabupaten Tegal, Minggu (23/2/2025). Dalam konser tersebut mereka tidak menyanyikan lagu Bayar Bayar Bayar. (Tribun Jateng/ Fajar Bahruddin Achmad) (Tribunjateng/Fajar Baharuddin Ahmad)

    Dalam unggahan itu mereka juga dengan tegas menolak tawaran menjadi duta kepolisian yang ditawarkan Kapolri.

    Keputusan tersebut diumumkan Band Sukatani melalui unggahan di akun Instagram resmi mereka.

    “Bahkan khusus kepada Sukatani, tawaran menjadi Duta Polisi dari Kapolri, dengan itu kami menolak dengan tegas tawaran menjadi Duta Kepolisian,” tulis Sukatani dikutip Sabtu (1/3/2025).

    Sukatani akui ada tekanan dan intimidasi yang mereka alami dari pihak kepolisian sejak Juli 2024.

    Band Sukatani mengatakan, tekanan tersebut membuat mereka akhirnya merilis video klarifikasi dan permintaan maaf terkait lagu Bayar Bayar Bayar.

    “Kejadian tersebut membuat kami mengalami berbagai kerugian, baik secara materiil maupun nonmateriil,” lanjut mereka.

    Nama Band Sukatani mulai mencuat setelah mereka merilis video permintaan maaf atas lagu Bayar Bayar Bayar.

     Di video tersebut, para personel Sukatani menampilkan wajah asli mereka, berbeda dari biasanya ketika tampil di atas panggung dengan menggunakan topeng.

    Sukatani menjelaskan, lagu tersebut dibuat sebagai bentuk kritik terhadap oknum kepolisian yang dianggap melanggar aturan.

    Dalam video permintaan maaf itu, mereka juga mengumumkan penarikan lagu Bayar Bayar Bayar dari semua platform digital dan meminta pihak lain untuk turut menghapusnya.

    Saat itu di akhir video, Sukatani menegaskan membuat pernyataan tersebut tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

    Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Kombes Artanto mengakui anggota Direktorat Reserse Siber sempat menemui personel Sukatani.

    Kala itu polisi menyebutkan hanya meminta penjelasan mengenai maksud dan tujuan dari lagu Bayar Bayar Bayar, khususnya pada bagian lirik ‘bayar polisi’.

    Namun, polisi membantah bahwa mereka melakukan intimidasi terhadap Sukatani.

    Dipecat Setelah Sekolah Didatangi Polisi

    VOKALIS SUKATANI DIPECAT – Sekolah gelagapan diminta tunjukan bukti vokalis Sukatani buka aurat, diduga yayasan pakai kacamata tembus pandang ((Youtube iNews/Instagram Sukatani))

    Terungkap bahwa sebelum Novi vokalis Sukatani dipecat pihak sekolah, ada polisi yang datang ke lembaga pendidikan tersebut yang menanyakan soal sang vokalis.

    Hal itu diungkap Ketua Yayasan Al Madani Banjarnegara Khairul Mudakir.

    Beginilah respons sekolah ditagih bukti Novi Sukatani buka aurat.

    Pihak sekolah mengaku didatangi polisi namun membantah ada intimidasi.

    Hingga saat ini pemecatan Novi masih menjadi sorotan publik meski pemecatan itu batal dilakukan.

    Pasalnya alasan pemecatan vokalis band Sukatani Novi Citra Indiyati dinilai tak masuk akal.

    Novi dipecat sebagai guru dari SD IT Mutiara Hati dengan alasan karena membuka aurat.

    Sedangkan dari semua dokumentasi Sukatani, Novi justru menutup auratnya.

    Bahkan dua personel Sukatani ini memakai topeng sebagai aksi panggungnya.

    Ketua Yayasan Al Madani Banjarnegara Khairul Mudakir mengatakan Novi diberhentikan sebagai guru pada tanggal 6 Februari 2025.

    “Pelanggaran terhadap SOP dan kode etik. Bukan buka aurat tetapi ada pelanggaran kode etik terkait dengan pergaulan kemudian penggunaan busana. Iya pada saat konser,” katanya seperti dikutip dari iNews.

    Khairul berkukuh berulangkali menerangkan bahwa Novi dipecat sebagai guru karena melanggar SOP dan kode etik.

    Sampai akhirnya ia mengaku bahwa sehari sebelumnya pihak yayasan didatangi anggota polisi.

    “Hanya sekadar konfirmasi saja, tanggal 5 Februari. Karena SOP dan kode etik di yayasan mengikat seluruh guru dan karyawan bukan hanya saat di sekolah,” katanya.

    Ia mengaku keputusan memecat vokali band Sukatani sama sekali bukan karena ada ancaman dari polisi.

    “Tidak ada (pengaruh polisi). Kami baru tahu bahwa ada SOP dan kode etik yang dilanggar mba Novi. Dari polsek dia hanya menanyakan data saja apa mba Novi ada di SD atau tidak, hanya sebatas itu tidak menyinggung konser,” katanya.

    Pendiri Lokataru Haris Azhar justru merasa janggal dengan alasan sekolah memecat vokalis band Sukatani sebagai guru.

    Haris berkata dalam Islam juga diajarkan untuk tidak memfitnah manusia.

    Pasalnya kata Haris, selama penampilannya, Novi selalu menyembunyikan wajahnya dengan menggunakan topeng.

    Ia juga selalu mengenakan lengan panjang dan bawahan tertutup.

    “Saya mau bilang bapak ini hati-hati bicara, buka aurat saya khawatir, Sukatani justru semakin tertutup.”

    “Karena si Novi jaga aurat maka dia munculnya dengan topeng seperti itu. Kalau sekolah ini bilang dia (Novi) buka aurat jangan-jangan ada yang pakai kacamata tembus pandang,” kata Haris Azhar.

    Beda dari pernyataan sebelumnya, Khairul Mudakir kini justru mengatakan bukti pelanggaran aurat itu didapatkan di luar panggung penampilan Sukatani.

    “Kita melihat bukan hanya pada saat konser. Saya menemukan beberapa kasus menjelang konser dan di luar konser,” katanya.

    Haris Azhar kembali mencecar dugaan bahwa pihak sekolah juga mendapat intimidasi hingga langsung memecat Novi sebagai guru.

    “Jujur aja pak bapak diintimidasi polisi atau gak ? Bapak ini pendidik tunjukan bapak jujur biar bangsa ini jadi maju, kalau bapak bicara ditutupin percuma ditutupin karena polisi yang mengintimidasi sedang diperiksa Propam Polda Jateng, jangan sampai bapak diperiksa juga sama Propam atau diperiksa kantornya pak Nowel.”

    “Sukatani sudah ada lawyernya dalam waktu dekat akan kirim laporan juga, nah bapak akan diminta,” kata Haris.

    Haris Azhar merasa janggal dengan alasan sekolah memecat Novi sebagai guru.

    Sebab Novi dipecat beberapa jam setelah dipanggil untuk memberi klarifikasi kepada sekolah.

    “Aneh pelanggaran berat tapi hanya dalam hitungan jam dipecat, fakta yang mana gak ada gambarnya Sukatani itu buka-buka.”

    “Justru dia makin ditutup lebih rapat dari orang yang pakai burka. Jadi jujur aja bapak bicara, bapak dapat intimidasi dari oknum itu ?”

    “Atau ada yang telepon minta yayasan ini dibargaining kalau anda tidak pecat yayasan ini akan ditutup. Atau bapak lalai dalam menjalankan mekanisme, pelanggaran kok dalam beberapa jam dihukum,” kata Haris Azhar. (*)

    (*)

     

  • Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

    Era Jokowi Meninggalkan Warisan Utang dan Persoalan Hukum

    MASA kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode meninggalkan permasalahan yang signifikan dalam berbagai aspek, terutama dalam bidang ekonomi dan hukum. Warisan kebijakan yang ditinggalkan tidak hanya membawa dampak positif tetapi juga menyisakan sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan berikutnya. 

    Dua isu yang paling banyak disoroti adalah meningkatnya utang negara dan berbagai persoalan hukum yang muncul selama maupun setelah kepemimpinannya.

    Salah satu kebijakan utama Jokowi adalah pembangunan infrastruktur yang masif, yang dilakukan dengan mengandalkan pinjaman dalam dan luar negeri. Total utang pemerintah meningkat secara signifikan selama pemerintahannya. 

    Pada awal kepemimpinan Jokowi di tahun 2014, total utang pemerintah berada di kisaran Rp 2.600 triliun, sementara pada akhir masa jabatannya di tahun 2024, angka tersebut mendekati Rp 8.444,87 triliun.

    Tahun / Utang dalam bentuk triliun 

    2014 / 2.608,78

    2015 / 3.165,13

    2016 / 3.515,02

    2017 / 3.938,70

    2018 / 4.418,30

    2019 / 4.779,28

    2020 / 6.074,56

    2021 / 6.908,87

    2022 / 7.733,99

    2023 / 8.000,00

    2024 / 8.444,87

    Data Kementerian Keuangan 

    Pemerintahan Jokowi mengklaim bahwa peningkatan utang ini digunakan untuk investasi jangka panjang yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti jalan tol, bandara, dan proyek kereta cepat. 

    Namun, kritik bermunculan mengenai efektivitas investasi ini. Beberapa proyek infrastruktur menghadapi kesulitan dalam memberikan return on investment yang diharapkan, sehingga memunculkan kekhawatiran terkait keberlanjutan fiskal negara.

    Selain itu, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mengalami peningkatan. Walaupun masih dalam batas aman menurut standar internasional, namun tekanan terhadap anggaran negara semakin besar karena meningkatnya pembayaran bunga utang. 

    Untuk menutupi utang, Pemerintah Jokowi  berupaya meningkatkan rasio pajak terhadap PDB dengan memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan menerapkan berbagai insentif serta sanksi bagi pelanggar pajak.

    Selama era Jokowi, rasio pajak (perbandingan antara penerimaan pajak) mengalami fluktuasi sebagai berikut:

    2015: 10,76%

    2016: 10,36%

    2017: 9,89%

    2018: 10,24%

    2019: 9,76%

    2020: 8,33% (terendah, dipengaruhi oleh pandemi Covid-19)

    Meskipun terdapat upaya untuk meningkatkan rasio pajak, capaian tersebut belum mencapai target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, yaitu 10,7%-12,3%.

    Untuk menggenjot penerimaan pajak, pemerintah Jokowi pada April 2022 menaikkan Tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%.

    Pemerintah Prabowo sebagai penerus Rezim Jokowi harus menghadapi tantangan untuk menjaga keseimbangan antara membayar kewajiban utang dan menjaga belanja publik tetap optimal. Ini menjadi beban yang cukup berat dari rezim sebelumnya.

    Di bidang hukum, pemerintahan Jokowi juga meninggalkan sejumlah permasalahan yang menjadi sorotan. Beberapa di antaranya adalah terkait dengan kebijakan hukum yang kontroversial serta dugaan korupsi di berbagai proyek strategis nasional.

    Pertama, revisi Undang-Undang KPK. Salah satu kebijakan yang paling kontroversial adalah revisi Undang-Undang KPK pada 2019, yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Revisi ini mengubah struktur kelembagaan KPK dan mengurangi independensinya. 

    Akibatnya, kinerja pemberantasan korupsi di era Jokowi dianggap menurun, dengan beberapa kasus besar yang tidak terselesaikan atau proses hukumnya berjalan lambat.

    Kedua, kasus dugaan korupsi proyek strategis nasional. Sejumlah proyek infrastruktur yang digagas Jokowi juga menjadi sorotan karena adanya dugaan korupsi. Misalnya Proyek Irigasi Lembudud di Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara. Proyek ini, yang dimulai pada tahun 2018 dengan anggaran sekitar Rp 19,9 miliar, bertujuan untuk mendukung pertanian padi organik di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. 

    Namun, pada tahun 2023, Kejaksaan Negeri Nunukan menemukan indikasi kerugian negara sekitar Rp 11 miliar akibat proyek yang tidak selesai dan tidak dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Tiga orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini, termasuk pejabat pembuat komitmen, konsultan pengawas, dan pelaksana kontrak

    Di era Jokowi proyek pengadaan bansos Covid-19 yang menyeret beberapa pejabat tinggi, serta berbagai kasus di sektor energi dan pangan. Berbagai pihak menilai kurangnya transparansi dalam pengelolaan dana proyek-proyek besar tersebut.

    Kasus yang cukup ramai sekarang ini PSN PIK 2 di Banten, ada dugaan keterlibatan Jokowi di dalam proyek yang penuh kontroversi itu. Majalah Tempo menuliskan ada dugaan Sugianto Kusuma (Aguan) pemilik Agung Sedayu Group mendapatkan PSN PIK setelah membantu IKN.

    Dugaan keterlibatan korupsi mantan Wali Kota Solo itu menyebabkan Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) memasukkan nama Jokowi, mantan Presiden Indonesia, sebagai salah satu finalis untuk “Person of the Year” dalam kategori korupsi.

    Ketiga, kriminalisasi aktivis dan oposisi. Selama pemerintahan Jokowi, berbagai aktivis dan tokoh oposisi melaporkan adanya peningkatan kriminalisasi terhadap mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah. Beberapa undang-undang seperti UU ITE sering digunakan untuk membungkam kritik. Kasus-kasus ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintahan Jokowi terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.

    Kasus kriminalisasi terhadap aktivis:

    -Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti: Keduanya menghadapi proses hukum setelah mengkritik kebijakan pemerintah terkait isu HAM dan lingkungan. 

    -Ravio Patra: Aktivis ini ditangkap dengan tuduhan menyebarkan pesan provokatif, meskipun ia mengklaim bahwa akun WhatsApp-nya diretas.

    -Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan: Keduanya ditangkap dengan tuduhan menyebarkan informasi yang menimbulkan keonaran terkait penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja

    Data Kriminalisasi:

    2020: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mencatat 132 kasus pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan 157 korban, termasuk dugaan kriminalisasi terhadap aktivis. 

    2019: YLBHI melaporkan 47 kasus dugaan kriminalisasi masyarakat sipil dengan 1.019 korban. 

    2024: SAFEnet mencatat 30 kasus kriminalisasi terhadap kebebasan berekspresi di ranah digital selama Januari-Maret, dengan 52 orang terjerat kasus tersebut. 

    Mantan Presiden Jokowi meninggalkan warisan yang kompleks bagi pemerintahan Prabowo. Di satu sisi, investasi besar dalam infrastruktur diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian. 

    Namun, di sisi lain, beban utang yang besar menuntut kebijakan fiskal yang hati-hati agar tidak menimbulkan krisis ekonomi di masa depan.

    Presiden Prabowo pun melakukan efisiensi dengan memangkas anggaran di berbagai lembaga negara.rmol news logo article

    *Penulis adalah Aktivis 98

  • Jalur Gaza Bakal Dipindahkan, Kelakuan Donald Trump Mirip Preman

    Jalur Gaza Bakal Dipindahkan, Kelakuan Donald Trump Mirip Preman

    PIKIRAN RAKYAT – Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Mardani Ali Sera, menilai rencana Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, untuk mengambil alih Jalur Gaza dan memindahkan warga Palestina sebagai bentuk premanisme. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), premanisme merujuk pada perilaku preman yang sering kali melibatkan kekerasan.

    Pernyataan ini disampaikan dalam forum Indonesia Leaders Talk: Kemana Gaza Setelah Gencatan Senjata pada Jumat, 7 Februari 2025. Dalam acara tersebut, Mardani Ali didampingi oleh Dosen Hubungan Internasional Universitas Pertamina, Ian Montratama, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar, serta pengamat politik, Rocky Gerung.

    Warga Palestina kembali ke rumah mereka di Gaza utara.

    Gaza Berdaulat, Tidak Bisa Diambil Alih

    Mardani Ali menegaskan bahwa Gaza adalah wilayah berdaulat, sehingga hanya masyarakat Gaza yang berhak menentukan masa depannya.

    “Gaza adalah wilayah yang berdaulat. Tidak boleh satu pun memutuskan apa masa depan Gaza, kecuali sesuai dengan keinginan masyarakat Gaza. Harus masing-masing punya kemampuan untuk memutuskan diri sendiri,” ujarnya dalam pembukaan.

    Ia juga menolak campur tangan Trump dalam menentukan nasib Gaza. “Jangan pernah Donald Trump kah (atau) yang lain buat keputusan untuk masyarakat Gaza. Tidak punya hak. Bahkan, dalam tanda kutip, sebetulnya itu merupakan bentuk premanisme yang harus dilawan,” lanjutnya.

    Seruan Dukungan untuk Palestina

    Mardani Ali menyoroti sulitnya mencapai gencatan senjata di Gaza karena Israel masih mengedepankan solusi perang antarnegara (war-state solution). Dalam situasi ini, ia menyerukan dukungan berkelanjutan bagi warga Palestina, baik dari sisi kemanusiaan, teknokratis, politik, maupun diplomatik.

    Ia juga menilai kondisi ini sebagai moment of truth bagi masyarakat internasional dalam menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.

    “Bagaimana masyarakat internasional menerapkan prinsip-prinsip keadilan, prinsip-prinsip kemanusiaan, prinsip-prinsip hak asasi, prinsip-prinsip self-determinasi. Tidak boleh ada satu kekuatan apapun yang mencoba untuk mengambil alih Gaza, apalagi melakukan repatriasi dan lain-lain. Harus ditolak dengan tegas dan jelas,” tegasnya.

    Ia kemudian menutup pernyataannya dengan seruan, “Bela Gaza, Bela Palestina, Bela Kemanusiaan.”

    Desakan terhadap Pemerintah Indonesia

    Sebelumnya, Mardani Ali juga mendesak pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas menolak rencana Trump. Ia berharap dukungan internasional bagi Palestina dapat diperkuat.

    Menurutnya, menjalin kerja sama dengan negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) guna mendukung keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bisa menjadi langkah diplomatik yang tepat.

    “Pelaku genosida dapat dikenai sanksi berupa hukuman penjara, denda, dan penyitaan oleh Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang memang memiliki kewenangan hukum untuk mendakwa pelaku genosida,” ujarnya. (Talitha Azalia Nakhwah/UNPAD)***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Revisi UU Kejaksaan Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Wewenang

    Revisi UU Kejaksaan Berpotensi Timbulkan Tumpang Tindih Wewenang

    Jakarta, Beritasatu.com – Revisi Undang-Undang Kejaksaan menjadi sorotan karena dianggap berpotensi melemahkan hukum di Indonesia. Beberapa pasal dalam revisi tersebut dinilai memperluas kewenangan Kejaksaan, yang dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan di antara aparat penegak hukum lainnya.

    Aktivis HAM sekaligus Pendiri Lokataru Haris Azhar menilai Indonesia perlu memiliki paradigma hukum yang universal dan menyeluruh, agar tidak terjadi benturan kewenangan antarlembaga hukum.

    “Ketidakkonsistenan dalam konsep hukum membuat Kejaksaan, yang saat ini sedang naik daun karena prestasinya, berupaya mengubah undang-undang untuk memperbesar wewenangnya,” ujar Haris dalam diskusi publik yang diselenggarakan IPRI Law Institute, Jumat (7/2/2025).

    Haris juga menyoroti beberapa pasal dalam revisi UU Kejaksaan, terutama Pasal 30A, 30B, dan 30C, yang dianggap berpotensi menciptakan impunitas dalam penegakan hukum di Indonesia.

    “Paradigma hukum pidana di Indonesia hingga saat ini belum jelas. Kajian akademis memang ada, tetapi belum diterapkan secara komprehensif,” tambahnya terkait revisi UU Kejaksaan.

    Di sisi lain, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Al Fitrah juga menilai revisi UU Kejaksaan memberikan kekuasaan yang terlalu besar kepada Kejaksaan Agung, yang berisiko menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

    “Jika kewenangan ini terlalu luas, bukan tidak mungkin terjadi impunitas dan penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum,” tegas Syarif.

    Revisi UU Kejaksaan yang baru diusulkan memuat berbagai perubahan, yang beberapa di antaranya berpotensi memperbesar kewenangan Kejaksaan Agung, yang bisa menimbulkan konflik dengan lembaga hukum lain, menciptakan impunitas, terutama terkait pasal 30A, 30B, dan 30C, dan melemahkan sistem hukum yang ada, jika kewenangan yang diberikan tidak diimbangi dengan mekanisme pengawasan yang ketat.

    Seiring dengan terus bergulirnya pembahasan revisi UU Kejaksaan, para pakar hukum dan aktivis HAM mendesak agar revisi ini dikaji lebih mendalam, guna menghindari potensi tumpang tindih wewenang dan penyalahgunaan kekuasaan.