Tag: Handiwidjaja

  • Pajak ekspor kelapa mampu memitigasi kenaikan harga minyak goreng

    Pajak ekspor kelapa mampu memitigasi kenaikan harga minyak goreng

    HIPKI mengusulkan pajak ekspor kelapa 50 persen,

    Jakarta (ANTARA) – Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) menyatakan dengan diterapkannya pajak ekspor untuk komoditas kelapa bulat dinilai mampu memitigasi kenaikan minyak goreng berbahan baku kelapa dan santan.

    Ketua Harian HIPKI Rudy Handiwidjaja dihubungi di Jakarta, Jumat menyatakan, saat ini industri pengolahan kelapa dalam negeri tengah kekurangan pasokan, karena produksi kelapa bulat dalam negeri lebih banyak untuk ekspor.

    “HIPKI mengusulkan pajak ekspor kelapa 50 persen,” ujar dia.

    Disampaikannya, akibat kelangkaan bahan baku kelapa, berdampak secara langsung terhadap kenaikan produk hasil olahan kelapa, seperti minyak goreng kelapa dan santan.

    Lanjut dia, saat ini untuk harga minyak goreng kelapa dan santan yang ada di pasar domestik naik sekitar 20 hingga 30 persen.

    “Mungkin naik 20 sampai 30 persen,” ujarnya lagi.

    Oleh karena itu pihaknya ingin pemerintah memfokuskan terlebih dahulu kebutuhan suplai industri dalam negeri.

    Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita terus berkoordinasi secara intensif bersama dengan pelaku usaha dan asosiasi untuk mencari solusi suplai permintaan kelapa, dengan tetap mengedepankan kesejahteraan petani.

    Menperin menyatakan bahwa industri pengolahan kelapa mempunyai kepentingan yang sama untuk mengutamakan kesejahteraan petani.

    Hal ini juga mendukung keberlanjutan kegiatan usaha berbasis kelapa dengan menjaga petani kelapa tidak beralih ke komoditas lain karena akan berdampak kepada kegiatan usaha pengolahan menjadi semakin sulit.

    Menurutnya, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa lima besar dunia namun belum memiliki kebijakan tata niaga bahan baku kelapa seperti pelarangan ekspor, pungutan ekspor, serta larangan terbatas (lartas).

    “Sementara negara-negara produsen kelapa lainnya seperti Filipina, India, Thailand dan Sri Lanka telah menerapkan kebijakan larangan ekspor untuk menjaga nilai tambah ekonomi kelapa, lapangan pekerjaan, dan keberlangsungan industri pengolahan kelapa,” katanya.

    Menperin menyampaikan bahwa sejak program hilirisasi kelapa dicanangkan telah berhasil menarik investasi dari berbagai negara, termasuk Malaysia, Thailand, China, dan Sri Lanka.

    Namun saat ini perusahaan-perusahaan tersebut kesulitan beroperasi karena kelangkaan bahan baku kelapa.

    Hal itu karena kelapa Indonesia lebih cenderung diekspor dalam bentuk kelapa bulat karena belum ada regulasi tata niaganya.

    “Eksportir tidak dipungut pajak, sedangkan industri dalam negeri membeli kelapa dari petani dikenakan pajak PPh pasal 22 sehingga playing field antara eksportir dengan industri kelapa dalam negeri tidak sama,” katanya.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

  • RI Krisis Kelapa Bulat, Kemendag Usul Kenakan Pungutan Ekspor hingga Moratorium

    RI Krisis Kelapa Bulat, Kemendag Usul Kenakan Pungutan Ekspor hingga Moratorium

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan mengusulkan kebijakan tarif pungutan ekspor dan moratorium ekspor kelapa bulat seiring dengan terjadinya krisis kelapa bulat di dalam negeri.

    Untuk diketahui, kondisi kelapa bulat di dalam negeri tengah dilanda krisis, ditambah dengan lonjakan ekspor ke China dan produksi yang hanya mencapai 40–50%. Alhasil, harga kelapa bulat melambung di pasar tradisional.

    Menteri Perdagangan Budi Santoso mengatakan, pihaknya akan mulai membahas kebijakan tarif PE kelapa bulat paling lambat pekan ini.

    “Kami minggu ini atau besok rapat, jadi kami usulkan ada PE, pungutan ekspor [kelapa bulat] kita usulkan,” kata Budi dalam acara peluncuran Gerakan Kamis Pakai Lokal di Kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (8/5/2025).

    Budi menyebut, kebijakan ini diharapkan dapat segera diputuskan pada rapat tersebut. “Minggu ini rapat ya, dirapatkan. Mudah-mudahan langsung bisa diputuskan [ada pungutan ekspor kelapa bulat],” imbuhnya.

    Selain pungutan ekspor, Budi mengungkap Kemendag juga mengusulkan agar diberlakukannya moratorium sementara untuk ekspor kelapa. Hal ini sebagaimana permintaan asosiasi yang menginginkan kebijakan ini.

    Sebelumnya, Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja menilai pemerintah perlu memberikan moratorium ekspor kelapa dengan jangka waktu paling lambat 6 bulan.

    Sebab, menurut dia, jika moratorium ekspor dilakukan dengan jangka waktu terlalu lama maka akan berdampak pada harga kelapa di dalam negeri yang turun sehingga bisa merugikan petani dan pedagang.

    Sayangnya, Rudy mengaku pengajuan moratorium ekspor kelapa yang bergulir sejak September tahun lalu ini belum mendapatkan respons dari pemerintah.

    “Jangankan 6 bulan, kami mengajukan moratorium saja pemerintah ini sampai sekarang belum dengarkan, belum laksanakan. Padahal kami sudah berjuang dari mulai September 2024,” ujar Rudy saat dihubungi Bisnis.

    Selain itu, Hipki juga berharap pemerintah perlu mengenakan PE kelapa di kisaran 100–200% untuk menekan laju ekspor kelapa. Sebab, kata dia, selama ini komoditas kelapa bulat tidak dikenakan tarif pajak.

    Padahal, kelapa bulat tengah dalam krisis dan ditambah dengan ekspor yang melonjak ke China. Kurangnya bahan baku ini bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.

    Berdasarkan data Hipki, harga kelapa di pasar tradisional kini dibanderol di kisaran Rp25.000–Rp30.000 per butir. Di samping harganya yang melonjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%—50%.

    Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Pertama, imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi El Nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.

    “Ditambah lagi karena semua negara-negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” tandasnya. 

  • Omzet Warung Nasi Padang Anjlok-Usulan Moratorium Ekspor

    Omzet Warung Nasi Padang Anjlok-Usulan Moratorium Ekspor

    GELORA.CO – Harga kelapa bulat mengalami lonjakan signifikan di sejumlah pasar wilayah Jabodetabek dan Pulau Jawa. Di Jakarta misalnya, rata-rata harga kelapa bulat pada Sabtu (3/5) mencapai Rp 25.000 per butir, dari sebelumnya Rp 10.000 per butir.

    Penjual Nasi Padang di Jalan Raya Citayam, Kabupaten Bogor, bernama Bahri, mengatakan kelapa sangat dibutuhkan sebagai bahan baku utama bumbu masakan. Menurutnya, kenaikan harga kelapa butir memukul omzetnya.

    “Turun 50 persen pendapatan harian mas, ini kelapa kan mahal, sudah mahal jarang, makin was-was kita,” ucap Bahri ketika ditemui kumparan, Sabtu (3/5).

    Kata Bahri, kenaikan harga kelapa ini berdampak langsung ke menu-menu di warungnya. Warung nasi Padang milik Bahri mendominasi penggunaan kelapa seperti rendang, dan gulai.

    “Kira kurangi rendang, semua yang dasarnya kelapa kita kurangi jumlahnya. Sementara lah,” lanjut dia.

    Biasanya, warung nasi Padang milik Bahri membuat rendang sebanyak 200-250 porsi per hari, sehingga dibutuhkan sekitar 20-25 kg daging sapi dan santan dari 40-75 butir kelapa parut. Sekarang, Bahri hanya mampu membeli 12-30 butir kelapa setiap harinya. 

    “Gulai juga (berkurang), ayam goreng yang pake kelapa juga berkurang, gitu,” sebut Bahri.

    Pengusaha Minta Moratorium Ekspor Kelapa Minimal 6 Bulan

    Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) meminta pemerintah menghentikan izin sementara alias moratorium ekspor kelapa bulat untuk meredam kenaikan harga di pasaran.

    Ketua Harian HIPKI, Rudy Handiwidjaja, membenarkan harga kelapa bulat terus meroket setidaknya sejak pertengahan tahun 2024. Kini harganya sudah menembus Rp 25.000-30.000 per butir, dari kondisi normal Rp 8.000-10.000 per butir.

    Rudy menyinggung ekspor kelapa bulat dari Indonesia masih bisa dilakukan dengan bebas tanpa adanya kuota bahkan pajak ekspor. Hal ini kemudian, menurut Rudy, membuat pasokan kelapa bulat mayoritas lari ke luar negeri.

    “Satu-satunya negara yang masih bisa mengekspor kelapa itu hanya Indonesia setahu saya. Jadi hanya Indonesia saja yang masih mengizinkan regulasinya ekspor bebas untuk kelapa,” jelas Rudy kepada kumparan, Sabtu (3/4).

  • Kemendag dan Kemenko Perekonomian Kaji Usulan Moratorium Ekspor Kelapa 6 Bulan

    Kemendag dan Kemenko Perekonomian Kaji Usulan Moratorium Ekspor Kelapa 6 Bulan

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan (Kemendag) menanggapi permintaan pengusaha kelapa yang meminta agar diberlakukannya moratorium ekspor kelapa selama 6 bulan. Permintaan ini seiring dengan terjadinya krisis bahan baku kelapa yang terjadi di dalam negeri.

    Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag Farid Amir menuturkan pengaturan larangan dan pembatasan untuk ekspor-impor harus disepakati pada rakor yang diselenggarakan di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

    Farid menjelaskan hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan di Bidang Perdagangan (PP 29/2021).

    “Oleh sebab itu, proses usulan moratorium saat ini masih dibahas bersama di Menko Perekonomian,” kata Farid kepada Bisnis, Selasa (29/4/2025).

    Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja sebelumnya memandang pemerintah perlu melakukan moratorium ekspor kelapa lantaran sudah banyak industri yang sudah tidak bisa memproduksi kelapa bulat.

    “Hipki selalu mengusulkan kepada pemerintah untuk kita lakukan moratorium ekspor kelapa, jadi kita larang ekspor kelapa selama 6 bulan,” kata Rudy saat dihubungi Bisnis, Jumat (25/4/2025).

    Adapun, alasan di balik perlunya moratorium ekspor kelapa paling lama 6 bulan ini agar tidak berdampak buruk pada penurunan harga kelapa di dalam negeri yang bisa merugikan petani dan pedagang.

    Namun, Rudy menyebut pengajuan moratorium ekspor kelapa ini sudah bergulir sejak September tahun lalu dan belum mendapatkan sinyal dari pemerintah.

    “Jangankan 6 bulan, kita mengajukan moratorium aja pemerintah ini sampai sekarang belum dengarkan, belum laksanakan. Padahal kami sudah berjuang dari mulai September 2024,” ungkapnya.

    Kondisi Dalam Negeri

    Lebih lanjut, Rudy menyampaikan kondisi kelapa bulat dalam negeri tengah dalam krisis, ditambah pula dengan ekspor yang melonjak ke China. Kurangnya bahan baku ini bukan hanya terjadi di konsumsi rumah tangga alias pasar tradisional, melainkan juga untuk industri.

    Alhasil, Rudy menyampaikan harga kelapa di pasar tradisional kini dibanderol di kisaran Rp25.000–Rp30.000 per butir. Di samping harganya yang menanjak, komoditas ini juga sulit ditemukan lantaran produksi kelapa di industri yang hanya mencapai 40%—50% lantaran cuaca hingga pohon kelapa yang sudah menua.

    “Bahkan ada industri kita, anggota dari Hipki itu yang sudah tidak jalan sama sekali. Sudah tidak jalan sama sekali karena memang kekurangan bahan baku,” ungkapnya.

    Rudy menjelaskan, kondisi ini terjadi lantaran dipengaruhi dua faktor. Pertama, imbas cuaca tahun lalu, di mana terjadi El Nino yang menyebabkan produksi kelapa di tingkat petani hanya mencapai 40%.

    “Ditambah lagi karena semua negara-negara itu kekurangan kelapa dan sudah tidak boleh ekspor, hanya Indonesia yang boleh ekspor, sehingga negara-negara dari luar itu membeli kelapa dari Indonesia,” tandasnya.

  • Industri Kelapa Menjerit Kekurangan Bahan Baku, Usul Moratorium Ekspor 6 Bulan

    Industri Kelapa Menjerit Kekurangan Bahan Baku, Usul Moratorium Ekspor 6 Bulan

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha meminta agar pemerintah memberikan moratorium ekspor kelapa alias penangguhan sementara selama 6 bulan seiring dengan krisis bahan baku yang terjadi di dalam negeri.

    Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (Hipki) Rudy Handiwidjaja memandang moratorium ekspor kelapa perlu dilakukan lantaran banyak industri yang sudah tidak bisa memproduksi kelapa bulat.

    “Hipki selalu mengusulkan kepada pemerintah untuk kita lakukan moratorium ekspor kelapa, jadi kita larang ekspor kelapa selama 6 bulan,” kata Rudy saat dihubungi Bisnis, Jumat (25/4/2025).

    Rudy menyampaikan pemerintah perlu memberikan moratorium ekspor kelapa dengan jangka waktu paling lama 6 bulan.

    “Kenapa 6 bulan karena kita industri juga tidak mau egois juga. Dalam arti, kita tetap membuka keran untuk ekspor juga,” imbuhnya.

    Pasalnya, jika moratorium ekspor dilakukan dengan jangka waktu terlalu lama maka akan berdampak pada harga kelapa di dalam negeri yang turun, sehingga bisa merugikan petani dan pedagang.

    Sayangnya, pengajuan moratorium ekspor kelapa yang bergulir sejak September tahun lalu itu belum mendapatkan sinyal dari pemerintah.

    “Jangankan 6 bulan, kita mengajukan moratorium aja pemerintah ini sampai sekarang belum dengarkan, belum laksanakan. Padahal kami sudah berjuang dari mulai September 2024,” ungkapnya.

    Selain moratorium ekspor, lanjut dia, pemerintah juga perlu mengenakan pungutan ekspor (PE) kelapa, sebab selama ini tidak dikenakan pajak.

    “Kita ini banyak industri-industri yang sudah tidak bisa produksi [kelapa]. Jadi kami butuh itu [moratorium], kami butuh ketersediaan bahan baku,” tuturnya.

    Namun, jika pemerintah tidak bisa memberikan moratorium ekspor kelapa bulat, dia tetap berharap pemerintah bisa memberikan kebijakan terkait pungutan ekspor kelapa di kisaran 100–200%.

    “Pajak ekspor mungkin ekspornya 100%—200% supaya bisa menghambat laju ekspor kelapa,” jelasnya.

    Lebih lanjut, dia mengungkap China hingga Malaysia menjadi negara yang paling sering mengimpor kelapa dari Indonesia. Di China, misalnya, Negeri Tirai Bambu itu menjadikan kelapa sebagai gaya hidup, yakni mengganti susu hewani menjadi nabati dari santan kelapa.

    Sebelumnya, Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Farid Amir mengatakan moratorium ekspor kelapa yang diusulkan sektor industri pengelolaan kelapa telah menjadi pertimbangan pemerintah.

    Pasalnya, Farid menyampaikan bahwa kebijakan tersebut bisa berdampak pada menurunnya harga kelapa.

    “Namun, kebijakan ini harus ditelaah sebaiknya mungkin agar tidak merugikan petani dikarenakan dampaknya dapat menurunkan harga kelapa,” kata Farid kepada Bisnis, Kamis (24/4/2025).

    Meski begitu, Farid menerangkan kebijakan pemerintah yang sudah disepakati dalam rangka membatasi ekspor kelapa adalah dengan menerapkan pajak ekspor terhadap kelapa bulat dan produk turunannya.

    “Selama ini ekspor kelapa tidak pernah diatur atau dibatasi karena dari sisi pasokan dan permintaan selalu terkendali,” terangnya.

    Namun, lanjutnya, akibat El Nino produksi kelapa di Indonesia turun, sedangkan pada waktu yang sama dari sisi permintaan (demand) justru melonjak di pasar internasional.

    “… yang mengakibatkan pasokan bahan baku pada pengelolaan kelapa menjadi langka,” pungkasnya.

  • Imbas Harga Mahal dan Stok di Dalam Negeri Langka, Pemerintah Bakal Atur Kebijakan Ekspor Kelapa – Halaman all

    Imbas Harga Mahal dan Stok di Dalam Negeri Langka, Pemerintah Bakal Atur Kebijakan Ekspor Kelapa – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah disebut akan mengatur kebijakan ekspor kelapa. Langkah ini diambil menyusul kenaikan harga kelapa yang terus terjadi dan makin langkanya stok di pasar dalam negeri.

    Kondisi ini dipicu oleh meningkatnya permintaan global, yang membuat banyak pengusaha lebih memilih mengekspor kelapa ke luar negeri daripada menjualnya di dalam negeri.

    Akibatnya, pasokan kelapa dalam negeri menipis dan harga melonjak tajam.

    Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman menyampaikan bahwa hasil rapat antara pemerintah dan para pemangku kepentingan memutuskan perlunya pengaturan ekspor kelapa.

    Rapat tersebut dihadiri oleh kementerian terkait seperti Kemenko Perekonomian, Kemenko Pangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian.

    “Pemerintah akan mengatur kebijakan untuk ekspor kelapa. Apakah itu melalui pembatasan, apakah itu melalui tarif dan sebagainya, ini yang diatur oleh pemerintah,” kata Adhi kepada Tribunnews, dikutip Rabu (23/4/2025).

    Adhi menjelaskan bahwa lonjakan harga kelapa telah menyulitkan pelaku industri. Beberapa bahkan terpaksa menghentikan operasional karena tidak bisa mendapatkan bahan baku.

    Bukan hanya industri, kata Adhi, tetapi konsumen juga terdampak. Di pasar, berdasarkan informasi yang ia terima, harga kelapa sudah tembus Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per butir.

    Ia mengatakan, saat ini pemerintah masih menunggu usulan dari asosiasi petani kelapa untuk menyusun kebijakan yang diperlukan.

    Salah satu opsi yang sedang dibahas adalah penetapan pembelian kelapa dari petani dengan harga wajar dan bahkan di atas rata-rata harga normal sebelumnya.

    “Jadi sudah usulkan juga harga pembelian di sekitar Rp 5 ribu dan petani harusnya sudah cukup bagus juga karena sudah jauh di atas harga yang normal atau yang dulu,” ucap Adhi.

    “Sehingga, pengusaha melihat bahwa ini menaikkan nilai jual hasil pertanian, tapi kami juga tidak terlalu berat dalam menghasilkan produk yang berdaya saing dan terjangkau oleh masyarakat,” katanya.

    Sebelumnya, Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) meminta pemerintah memberlakukan moratorium atau penghentian sementara ekspor kelapa selama enam bulan.

    Permintaan ini diajukan menyusul lonjakan harga dan kelangkaan kelapa di pasar dalam negeri.

    Ketua Harian HIPKI Rudy Handiwidjaja menjelaskan bahwa tingginya permintaan global menjadi penyebab utama meningkatnya ekspor kelapa dari Indonesia.

    Hal itu berdampak pada pasokan dalam negeri yang semakin menipis, sekaligus mendorong harga kelapa melonjak tajam.

    “Demand terhadap produk olahan kelapa itu memang lagi trendnya positif. Jadi banyak kelapa yang memang diekspor. Demand produk olahan kelapa meningkat di seluruh dunia. Jadi diekspor kelapa ke China dan Malaysia,” kata Rudy kepada Tribunnews, Senin (21/4/2025).

    Selain faktor ekspor, ia juga mengungkap bahwa menurunnya produksi kelapa akibat kemarau panjang akhir tahun lalu turut memperburuk kondisi.

    Produksi kelapa, kata Rudy, turun hingga 60 persen, yang menyebabkan harga di pasar tradisional kini mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per butir.

    Rudy pun mengusulkan moratorium ekspor kelapa selama enam bulan ke depan kepada pemerintah. Ia yakin ini bisa memulihkan produksi dan mengembalikan ketersediaan stok di dalam negeri.

    “Dalam 6 bulan itu kami perkirakan kelapa sudah berbunga lagi. Sekarang yang dipanen itu kelapanya belum benar-benar matang, sudah dipetik untuk mereka ekspor,” ucap Rudy.

    “Jadi kami mengharapkan 6 bulan, harapannya pohon kelapa mulai berbunga agar bisa menjadi buah,” jelasnya.

    Moratorium ini juga dinilai bisa membantu industri pengolahan kelapa di dalam negeri yang kini kesulitan mendapatkan bahan baku.

    Menurut Rudy, perkirakan produksi bisa mulai membaik lagi pada akhir tahun, sekitar September hingga Desember.

    “Perkiraan membaiknya sekitar di akhir tahun. September, Oktober, November, mungkin Desember itu mulai membaiknya,” katanya.

    Ia menyebut telah menyampaikan usulan moratorium kepada Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Pertanian.

    Rudy menyebut pemerintah memberikan respons positif, tetapi mereka tetap perlu melakukan kajian lebih lanjut.

    “Sejauh ini mereka di depan kami ya oke, setuju untuk melakukan moratorium, tapi kan mereka juga perlu ada kajian lebih lanjut. Itu yang mereka sampaikan. Dia bilang kajian perlu proses. Kami industri kan hanya bisa memohon aja kepada pemerintah,” ujar Rudy.  

  • Harga Kelapa Melonjak, Prabowo Minta Produksi di Dalam Negeri Digenjot, Mentan Lakukan Pemetaan – Halaman all

    Harga Kelapa Melonjak, Prabowo Minta Produksi di Dalam Negeri Digenjot, Mentan Lakukan Pemetaan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengungkap Presiden Prabowo Subianto meminta agar produksi kelapa di dalam negeri ditingkatkan.

    Saat ini, harga kelapa di dalam negeri tengah mengalami kenaikan. Stoknya juga sedang langka.

    Amran mengatakan telah memetakan daerah-daerah tempat produksi kelapa bakal digenjot. Namun, kini ia masih menunggu arahan lebih lanjut dari Prabowo.

    “Kami mau menggenjot produksi kelapa. Bapak presiden sudah minta dikembangkan. Kami sudah petakan [daerah-daerahnya], tinggal menunggu [arahan],” katanya ketika ditemui di kantor Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Selasa (22/4/2025).

    Adapun menurut Ketua Harian Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) Rudy Handiwidjaja, saat ini kelapa tengah memiliki permintaan global yang tinggi.

    Itu menjadi penyebab utama meningkatnya ekspor kelapa dari Indonesia, yang pada ujungnya berdampak terhadap pasokan dalam negeri yang semakin menipis, sekaligus mendorong harga kelapa melonjak tajam.

    “Demand terhadap produk olahan kelapa itu memang lagi trendnya positif. Jadi banyak kelapa yang memang diekspor. Demand produk olahan kelapa meningkat di seluruh dunia. Jadi diekspor kelapa ke China dan Malaysia,” kata Rudy kepada Tribunnews, Senin (21/4/2025).

    Selain faktor ekspor, ia juga mengungkap bahwa menurunnya produksi kelapa akibat kemarau panjang akhir tahun lalu turut memperburuk kondisi.

    Produksi kelapa, kata Rudy, turun hingga 60 persen, yang menyebabkan harga di pasar tradisional kini mencapai Rp 20 ribu hingga Rp 25 ribu per butir.

    Perusahaan industri pengolahan kelapa nasional pun mulai merumahkan pegawainya karena kekurangan bahan baku.

    “Kami sudah berapa ribu karyawan yang sudah dirumahkan dari pihak industri pengolahan kelapa karena kurangan bahan baku,” kata Rudy.

    Meskipun tidak menyebutkan angka pasti, Rudy mencontohkan salah satu perusahaan besar di sektor ini, Sambu Group, yang telah merumahkan sekitar 3.500 karyawan.

    Dari situ, ia memperkirakan total pekerja yang terdampak di satu industri bisa mencapai 10 ribu orang.

    Kondisi ini, menurut Rudy, diperparah dengan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang juga mengandalkan bahan baku kelapa, ikut terdampak dari kondisi kekurangan bahan baku ini.

    Banyak pelaku UMKM kini disebut tidak sanggup lagi melanjutkan produksi, bahkan terpaksa menutup usahanya.

    “Untuk Sambu Group saja kurang lebih 3.500. Belum lagi industri-industri yang padat karya, yang UMKM itu, sudah gulung tikar. UMKM sudah enggak sanggup [melakukan produksi, red],” ujar Rudy.

    Sementara itu, Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkap alasan serupa mengenai harga kelapa di pasaran mahal dan stoknya langka.

    Menurut dia, saat ini pengusaha memilih mengekspor kelapa karena permintaan dari global sedang meningkat, terutama dari China.

    Dengan permintaan global sedang meningkat, sedangkan harga jual di dalam negeri murah, pengusaha akhirnya memilih menjualnya ke luar negeri.

    “Itu kelapa naik harganya karena ekspor. Ekspor ke China, jadi harganya naik. Sementara industri dalam negeri kan belinya dengan harga murah, sehingga eksportir kan lebih suka berjual. Jadinya langka gitu kan. Nah sekarang kami mau cari solusinya,” kata Budi kepada wartawan di Jakarta.

    Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengatakan sudah mempertemukan eksportir dengan pelaku usaha industri.

    Dalam pertemuan tersebut, moratorium ekspor menjadi satu dari sekian pembahasan. Budi mengatakan pemerintah dan pengusaha tengah mencari solusi terbaik.

    “Kami ketemu dulu biar tahu maunya seperti apa. Jangan sampai nanti salah satu dirugikan. Kemarin sudah [bertemu], tetapi belum ada kesepakatan. Nanti kami cari solusi yang terbaik,” ujar Budi. 

  • HIPKI Dorong Pemerintah Segera Jalankan Hilirisasi Kelapa

    HIPKI Dorong Pemerintah Segera Jalankan Hilirisasi Kelapa

    Jakarta, Beritasatu.com – Himpunan Industri Pengolahan Kelapa Indonesia (HIPKI) mendorong pemerintah segera menjalankan hilirisasi kelapa. Hal ini demi membatasi ekspor bahan baku kelapa dan mendongkrak ekspor produk turunan kelapa sehingga menghasilkan nilai tambah.

    Ketua Harian HIPKI Rudy Handiwidjaja mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelumnya telah meluncurkan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa (PJHK) pada 30 September 2024.

    Namun, HIPKI hingga saat ini masih menantikan tindakan nyata dari komitmen pemerintah terkait hilirisasi kelapa melalui PJHK. HIPKI menganggap implementasi PJHK masih wacana sehingga ekspor kelapa semakin marak dan mengancam keberlangsungan industri pengolahan kelapa di Indonesia.

    “Untuk waktu-waktu selanjutnya dari hilirisasi kelapa yang dicanangkan oleh pemerintah ini belum terasa efeknya kepada kami,” ucap Rudy di Jakarta, Rabu (18/12/2024).

    Rudy mengatakan, implementasi PJHK sangat penting untuk segera dilakukan pemerintah. Apalagi, lanjutnya, industri pengolahan kelapa kini tengah menderita akibat maraknya ekspor bahan baku kelapa ke luar negeri.

    Ekspor kelapa yang tak terkontrol ini lantas membuat pasokan bahan baku dalam negeri menjadi langka, harga bahan baku melejit, hingga berakibat pada produksi industri yang tak maksimal.

    HIPKI bahkan mencatat ratusan industri kelapa kolaps dan berhenti beroperasi akibat dampak langka dan mahalnya bahan baku karena ekspor. Bagi HIPKI, ini menjadi ironi karena Indonesia sejatinya merupakan negara yang memiliki kebun kelapa terluas kedua di dunia.

    Oleh karena itu, HIPKI mendorong pemerintah segera tancap gas mengimplementasikan Peta Jalan Hilirisasi Kelapa. Sebab, PJHK itu mengatur pembatasan hingga pelarangan ekspor kelapa bulat, termasuk pemberian Bea Keluar.

    Menurut HIPKI, kata Rudy, jika Indonesia melarang ekspor bahan baku kelapa, maka pasar internasional akan meminta produk dari industri kelapa yang ada di Indonesia karena memiliki suplai yang stabil. Selain itu, industri kelapa dalam negeri akan meningkatkan volume pembelian kelapa dan menambah tenaga kerja karena ada permintaan.

    “Kami juga paham apabila bahan baku diekspor ke luar negeri dalam bentuk kelapa butir tentu nilai tambahnya ada di negara tersebut. Saya rasa kita semua ingin nilai tambah itu berada di Indonesia untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia,” papar Rudy.

    HIPKI juga optimistis Indonesia punya kapasitas produksi untuk mengembangkan industri olahan kelapa berkelanjutan sehingga hilirisasi kelapa bisa berjalan. Namun, pemerintah perlu memperbaiki sekaligus menjaga kredibilitasnya dengan memberikan pesan lebih kuat kepada kalangan dunia usaha dan pelaku industri tentang kesungguhan mendorong kebijakan hilirisasi.

    Rudy menyampaikan, langkah ke arah tersebut bisa dimulai dengan sesegera mungkin mengeluarkan regulasi ekspor kelapa. Pihaknya tidak ingin industri dalam negeri tidak dapat memproduksi santan karena tidak ada bahan baku dan memilih impor.

    “Itu yang harus diperhatikan. Kami mengetuk hati pemerintah, pemangku jabatan untuk bisa lebih memperhatikan industri pengolahan kelapa di Indonesia,” pungkasnya terkait hilirisasi kelapa.