Tag: Hammam Riza

  • Ahli RI Ungkap Keahlian yang Kebal Kena PHK, Tak Bisa Diganti AI

    Ahli RI Ungkap Keahlian yang Kebal Kena PHK, Tak Bisa Diganti AI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejak perkembangan pesat beberapa tahun terakhir, AI dibuat seperti solusi semua masalah. Bahkan banyak perusahaan yang menggunakan AI untuk merubah arah bisnisnya.

    Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Hammam Riza mengatakan masyarakat perlu mengenali teknologi tersebut. Termasuk semua masalah harus diselesaikan dengan pemanfaatan AI.

    “Itu merupakan sebuah indikasi kepada kita bagaimana kita bisa memanfaatkan dan bagaimana kita bisa memanfaatkan dan bisa mengenali. Tidak semua problem, solusi itu harus memanfaatkan AI,” kata Hammam dalam acara OneHP Day 2025, Selasa (28/10/2025).

    Menurutnya, semua orang harus berpikiran terbuka dengan memberikan kesempatan pada soft skill dan menggunakan critical thinking, dibandingkan menyerahkan kepada AI.

    Lebih lanjut dia juga mengatakan dengan mengenali AI maka bisa memaksimalkan penggunaannya. Termasuk dapat meningkatkan produktivitas dan juga efisiensi dalam pekerjaan.

    “AI ini akan membantu kita dalam efisiensi atau AI ini membantu kita menjalankan berbagai pekerjaan secara otomatis,” ujarnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Managing Director HP Indonesia, Juliana Cen menjelaskan temuan survei perusahaan Work Relations Index 2025. Studi itu melibatkan lebih dari 18 ribu orang di 14 negara, termasuk Indonesia.

    Salah satunya 7 dari 10 karyawan mengatakan tidak punya hubungan baik dengan pekerjaan. Dia mengatakan khususnya di Indonesia terjadi setelah Covid-19 dimana para pekerja yang harus kembali setelah bekerja dari jarak jauh.

    “Jadi, kemudian karena ada faktor tadi jadi hybrid, yang tadinya mungkin sebelumnya kerja di rumah, katakan dipikirkan lebih produktif, tapi ternyata sekarang harus ke kantor macet lagi. Tapi buktinya, dari hasil survei kita, juga katakan ada beberapa hal yang sebenarnya bisa membantu karyawan itu berasa punya hubungan baik sama kerjanya,” jelas Juliana.

    Berdasarkan survei juga dikatakan teknologi berperan penting dalam pekerjaan kita. Teknologi menjadi energi dan sangat penting dalam dunia kerja.

    “Bagaimana teknologi itu bisa membantu supaya kerjaan kita lebih efisien, lebih cepat, lebih baik, sehingga kita punya fulfillment dalam kerjaan kita. Salah satu contoh misalnya, dengan konsep hybrid, dunia masih ada yang bisa bekerja secara online,” kata dia.

    Khusus untuk AI, dia mengatakan 90% karyawan Indonesia menggunakan gen AI. Penggunaannya juga terkait aktivitas sederhana, seperti meringkas atau mengetik email, drafting atau menulis kalimat.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Amerika Serikat Sah Punya UU Keamanan AI, Indonesia Masih Mentok di Peta Jalan

    Amerika Serikat Sah Punya UU Keamanan AI, Indonesia Masih Mentok di Peta Jalan

    Bisnis.com, JAKARTA— Gubernur California Gavin Newsom resmi menandatangani Senate Bill (SB) 53, sebuah undang-undang baru yang disebut sebagai terobosan pertama di Amerika Serikat (AS) terkait transparansi dan keamanan kecerdasan buatan (AI).

    Sementara itu perkembangan regulasi AI di Indonesia masih berkutat pada pengembangan peta jalan. 

    Melansir laman TechCrunch pada Selasa (30/9/2025) aturan tersebut mewajibkan perusahaan pengembang AI skala besa seperti OpenAI, Anthropic, Meta, dan Google DeepMind untuk terbuka mengenai protokol keselamatan yang mereka terapkan. 

    SB 53 juga memberikan perlindungan khusus bagi karyawan perusahaan AI yang berperan sebagai pelapor (whistleblower). Selain itu, regulasi ini menciptakan mekanisme bagi perusahaan maupun publik untuk melaporkan potensi insiden berbahaya terkait AI kepada California Office of Emergency Services. 

    Laporan wajib mencakup kejadian kriminal yang dilakukan tanpa campur tangan manusia, seperti serangan siber, hingga perilaku menipu dari model AI yang belum secara eksplisit diatur dalam regulasi Uni Eropa.

    Meski dinilai sebagai langkah bersejarah, RUU ini mendapat tanggapan beragam dari industri teknologi. Sejumlah perusahaan teknologi menilai aturan di level negara bagian berisiko menciptakan regulasi tambal-sulam yang bisa menghambat inovasi. 

    Meta dan OpenAI bahkan melobi agar RUU ini tidak disahkan, termasuk dengan mengirim surat terbuka kepada Gubernur Newsom. Sebaliknya, Anthropic justru menyatakan dukungan.

    Lahirnya aturan ini juga bertepatan dengan meningkatnya upaya sebagian elit Silicon Valley yang menggelontorkan dana ratusan juta dolar untuk mendukung kandidat politik pro-AI melalui super political action committees (super PACs). 

    Mereka mendorong kebijakan dengan regulasi ringan terhadap perkembangan AI. Meski demikian, langkah California berpotensi menjadi acuan bagi negara bagian lain di AS. New York, misalnya, baru saja meloloskan rancangan undang-undang serupa yang kini menunggu keputusan Gubernur Kathy Hochul untuk disahkan atau diveto.

    Selain SB 53, Newsom juga tengah mempertimbangkan Senate Bill 243 yang baru saja lolos dengan dukungan bipartisan. 

    Aturan tersebut akan mengatur chatbot AI pendamping (AI companion), mewajibkan adanya protokol keselamatan, serta memberikan dasar hukum untuk menindak jika operator chatbot gagal memenuhinya.

    SB 53 sendiri merupakan upaya kedua Senator Scott Wiener setelah rancangan sebelumnya, SB 1047, diveto oleh Newsom tahun lalu akibat penolakan besar dari perusahaan AI. Dalam penyusunan SB 53, Wiener aktif berdialog dengan perusahaan AI besar untuk menjelaskan perubahan yang dilakukan agar lebih dapat diterima.

    Indonesia 

    Di Indonesia, roadmap Kecerdasan Buatan (Artificial intelligence/AI) Nasional 2025–2045 yang semula ditargetkan meluncur pada pertengahan Juli 2025, mundur dari jadwal dan kini diharapkan dapat terbit bulan ini. 

    Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecerdasan Artifisial Indonesia (Korika), Hammam Riza, mengatakan penyusunan peta jalan AI membutuhkan waktu lebih lama karena harus menampung berbagai masukan publik. 

    Dia menegaskan, proses tersebut bukan hambatan, melainkan bagian penting untuk memperkuat substansi kebijakan.

    “Jadi kan banyak concern terkait dengan peta jalan ini. Masukan-masukan yang diberikan selama konsultasi publik itu masih harus dicerna, harus diadopsi lagi ya,” kata Hammam ditemui usai acara peluncuran KChat di Jakarta pada Selasa (16/9/2025).

  • Peta Jalan AI Berjalan Lambat, Korika Singgung Banyak Kepentingan

    Peta Jalan AI Berjalan Lambat, Korika Singgung Banyak Kepentingan

    Bisnis.com, JAKARTA— Roadmap Kecerdasan Buatan (Artificial intelligence/AI) Nasional 2025–2045 yang semula ditargetkan meluncur pada pertengahan Juli 2025, mundur dari jadwal dan kini diharapkan dapat terbit bulan ini. Peta jalan tak kunjung muncul pada 4 bulan terakhir 2025.

    Ketua Umum Kolaborasi Riset dan Inovasi Kecerdasan Artifisial Indonesia (Korika), Hammam Riza, mengatakan penyusunan peta jalan AI membutuhkan waktu lebih lama karena harus menampung berbagai masukan publik. 

    Dia menegaskan, proses tersebut bukan hambatan, melainkan bagian penting untuk memperkuat substansi kebijakan.

    “Jadi kan banyak concern terkait dengan peta jalan ini. Masukan-masukan yang diberikan selama konsultasi publik itu masih harus dicerna, harus diadopsi lagi ya,” kata Hammam ditemui usai acara peluncuran KChat di Jakarta pada Selasa (16/9/2025).

    Hammam menuturkan, masukan yang diterima berasal dari berbagai pihak, mulai dari organisasi masyarakat sipil, kalangan akademisi, hingga unsur multiheliks lainnya. Semua pandangan tersebut, menurutnya, penting untuk didengar dan ditindaklanjuti dalam penyusunan peta jalan AI.

    Dia memastikan inisiatif perumusan peta jalan ini sudah berjalan melalui mekanisme izin prakarsa, sehingga tinggal menunggu tahapan berikutnya hingga menjadi peraturan presiden.

    “Tetapi prakarsa inisiatif, prakarsanya, izin prakarsanya itu sudah ada. Untuk mendorong peta jalan itu menjadi rancangan peraturan presiden. Jadi bukan berarti prosesnya terhambat ya, karena ini satu diskusi ting-teng. Mikirin lagi lebih detail apa hal-hal yang ini,” jelasnya.

    Sementara itu, Sekretaris Jenderal Korika, Oskar Riandi, menyoroti urgensi regulasi AI di tengah perkembangan teknologi yang lebih cepat dibandingkan payung hukumnya. Dia menyebut, pemerintah sejauh ini telah menyediakan ruang uji coba atau regulatory sandbox di sejumlah sektor.

    “Ketika kecepatan teknologi melebihi kecepatan daripada regulasinya, pemerintah sudah mewadahi dengan membuat regulatory sandbox, terutama aplikasi-aplikasi AI yang berhubungan dengan nyawa, dengan kesehatan, itu Kemenkes sudah ada,” kata Oskar.

    Menurutnya, mekanisme serupa juga berlaku untuk bidang lain yang menyangkut keamanan data hingga informasi rahasia. Meski demikian, Oskar menekankan bahwa peta jalan AI tetap penting agar semua pelaku memiliki arah pengembangan yang jelas.

    “Kami berharap bahwa peraturan pemerintah ini segera terbit, supaya kita semua yang bergerak ke bidang AI ini punya guideline, punya arah acuan yang harus kita tuju untuk mengembangkan aplikasi,” ujarnya.

    Oskar juga menggarisbawahi pentingnya dukungan pemerintah dalam memperkuat ekosistem AI nasional agar mampu bersaing, setidaknya di tingkat regional.

    “Kita mungkin tidak global. Kita mengharap bahwa 2030 ini kita juaranya di regional. Itu yang mudah-mudahan dari kami komunitas dan mungkin juga startup-startup atau perusahaan-perusahaan di bidang AI itu bisa juga dirangkul oleh pemerintah atau diwadahi dengan beberapa macam regulasi,” pungkasnya.

  • RI Butuh Lebih Banyak Eksperimen untuk Tangkap Manfaat Revolusi AI

    RI Butuh Lebih Banyak Eksperimen untuk Tangkap Manfaat Revolusi AI

    Bisnis.com, JAKARTA — INSEAD, sekolah bisnis pascasarjana skala global, menekankan urgensi eksperimen secara terus menerus bagi Indonesia untuk menyambut revolusi kecerdasan buatan (AI) di berbagai sektor.

    Makin cepat dini teknologi ini digunakan, manfaat yang dirasakan makin besar.

    Dekan INSEAD Prof. Francisco Veloso mengatakan terdapat dua aspek untuk menyiapkan diri menyambut revolusi AI. Pertama, memikirkan langkah tujuan dan langkah strategis. Negara-negara, seperti dunia, harus memikirkan kemana mereka ingin pergi dengan teknologi ini. 

    Dia menekankan jika tidak ada perencanaan yang jelas, sering kali pengembangan AI terbentur pada masalah teknis, manajerial, hingga kepemimpinan. Oleh sebab itu, lanjutnya, penting untuk menciptakan lingkungan di mana orang dapat bereksperimen dengan alat-alat ini dan memahami bagaimana mereka dapat bereksperimen dengan cara yang aman dan mendukung. 

    “Karena banyak orang tidak melakukan sesuatu karena mereka takut, takut bahwa manajemen tidak akan menyukai itu, takut bahwa data akan bocor dan membahayakan apa yang mereka lakukan,” kata Veloso di Jakarta, Selasa (19/8/2025). 

    Veloso menambahkan para pengambilan keputusan dan pengadopsi juga perlu didukung dengan menciptakan kerangka kerja yang tepat untuk memberitahu mereka apa yang aman dan tidak aman untuk dilakukan. 

    Tanpa kehadiran aturan yang jelas, kata Veloso, orang-orang akan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan atau tidak melakukan apa-apa karena takut melakukan kesalahan.

    “Mereka harus memiliki niat yang strategis dan keterampilan yang tepat,” kata Veloso. 

    Dekan INSEAD Prof. Francisco Veloso

    Dia mengatakan di INSEAD, Veloso dan seluruh pemangku kepentingan melakukan eksperimen yang aman melalui program gelar dan program pendidikan eksekutif yang sangat aktif. INSEAD telah menciptakan serangkaian program tentang AI untuk bisnis, kepemimpinan dengan AI.

    Veloso berharap dapat bekerja sama dengan beberapa pemimpin di Indonesia untuk membantu mereka mengembangkan pengetahuan dan pemahaman yang tepat sehingga mereka dapat memiliki niat yang strategis dan keterampilan yang tepat.

    “Sangat penting bahwa pemerintah memikirkan siapa yang akan dilatih untuk dapat melatih lebih banyak orang tentang keterampilan ini. Apa instrumen yang sedang diterapkan untuk menantang bisnis agar memiliki niat yang strategis? Pada saat yang sama, sangat penting bahwa kami mempromosikan eksperimen karena kami tidak tahu seperti apa masa depan akan terlihat,” kata Veloso. 

    Sebelumnya, Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza, menegaskan target Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045 tidak akan tercapai dengan pendekatan konvensional. 

    Dia  mengungkapkan berdasarkan proyeksi, kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai US$366 miliar atau setara dengan Rp5.965,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolar AS) pada 2030. 

    Namun, untuk menjadi bangsa yang tidak hanya menjadi pasar AI melainkan juga pengembang AI, diperlukan kedaulatan digital yang kuat. 

    Hammam menyebutkan empat tantangan utama yang perlu dijawab dalam perjalanan AI Indonesia menuju 2045. Beberapa di antaranya yakni kesenjangan talenta, infrastruktur dan akses, keamanan dan privasi data, serta regulasi dan etika. 

    “Saat ini kita butuh 9 juta talenta digital pada 2030, tapi jumlahnya baru sekitar 200 ribu. Ini menunjukkan urgensi pengembangan talenta secara inklusif,” katanya.

    Senada dengan Hammam, Ayu Purwarianti, anggota Satuan Tugas Nasional Pengembangan Talenta AI Indonesia, menekankan pentingnya literasi AI bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, AI harus dibagi dalam tiga pendekatan yaitu AI untuk semua, AI untuk banyak orang, dan AI untuk sedikit orang.

    “AI untuk semua berarti setiap orang Indonesia, bahkan yang tidak menggunakan atau mengembangkan AI sekalipun, tetap perlu memiliki literasi tentang AI. Mereka perlu tahu bahwa ada risiko di balik teknologi ini, seperti deepfake atau penipuan digital,” kata Ayu. 

    Ilustrasi kecerdasan buatan

    Sementara itu, CEO DANA Indonesia Vincent Henry Iswara melihat AI sebagai solusi untuk menjembatani kesenjangan antara inklusi keuangan dan literasi keuangan. 

    “Inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai lebih dari 80%, tapi pertumbuhan literasi keuangan masih lambat. Banyak orang punya akses, tapi belum tahu apa yang bisa dilakukan dengan layanan keuangan yang tersedia,” kata Vincent.

    Menurutnya, AI dapat membantu masyarakat memahami produk keuangan seperti tabungan, investasi, asuransi mikro, hingga kredit. 

    “Bayangkan jika setiap orang punya semacam penasihat keuangan cerdas berbasis AI yang bisa memberi saran sesuai kemampuan mereka. Ini bukan hal yang terlalu jauh, bahkan bisa terwujud dalam dua atau tiga tahun ke depan,” katanya.

  • Pengguna Aplikasi AI Sentuh 493 Juta Semester I/2025, Melesat 128% YoY

    Pengguna Aplikasi AI Sentuh 493 Juta Semester I/2025, Melesat 128% YoY

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengguna teknologi kecerdasan buatan (AI) di dunia melesat tajam seiring dengan munculnya aplikasi baru berbasis AI.

    Menurut laporan Business of Apps, dilansir dari DataIndonesia.id, jumlah pengguna aplikasi kecerdasan buatan global  mencapai 691 juta pengguna pada semester I/2025. Jumlah ini melesat 40,16% dibandingkan dengan semester sebelumnya yang sebanyak 493 juta pengguna.

    Jumlah pengguna aplikasi kecerdasan buatan pada semester I/2025 juga melonjak 128,05% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada semester I/2024, jumlahnya tercatat sebanyak 303 juta pengguna.

    ChatGPT menjadi aplikasi AI yang paling banyak digunakan di dunia saat ini. Tercatat, jumlah pengguna aktif chatbot AI yang dikembangkan oleh OpenAI tersebut mencapai 400 juta per Maret 2025. Angka tersebut meningkat 33,33% dibandingkan Desember 2024 yang sebanyak 300 juta pengguna.

    Lebih lanjut, pendapatan aplikasi kecerdasan buatan atau artificial intelligence/AI di dunia mencapai US$4,5 miliar pada 2024. Jumlah tersebut diproyeksi melonjak 204,44% menjadi US$13,7 miliar pada 2025.

    Pendapatan aplikasi kecerdasan buatan secara global diperkirakan masih terus tumbuh hingga 2030 mendatang. Pada 2030, nilainya diramal mencapai US$156,9 miliar. 

    Melihat trennya, pertumbuhan pendapatan aplikasi kecerdasan buatan di dunia mencapai tiga digit sepanjang 2023 hingga 2026. Kemudian, pertumbuhan tersebut turun menjadi dua digit hingga tahun 2030.

    Sebelumnya, Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza, menegaskan target Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045 tidak akan tercapai dengan pendekatan konvensional. 

    “Kita perlu menjadikan AI sebagai akselerator. AI dapat merevolusi semua sektor strategis dan membawa kita dari ekonomi berbasis efisiensi menuju ekonomi berbasis inovasi,” kata Hammam dalam World AI Show Indonesia 2025 di Jakarta pada Selasa (8/7/2025).

    Dia  mengungkapkan berdasarkan proyeksi, kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai US$366 miliar atau setara dengan Rp5.965,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolas AS) pada 2030. 

    Namun, untuk menjadi bangsa yang tidak hanya menjadi pasar AI melainkan juga pengembang AI, diperlukan kedaulatan digital yang kuat. 

    Hammam menyebutkan empat tantangan utama yang perlu dijawab dalam perjalanan AI Indonesia menuju 2045. 

    Beberapa di antaranya yakni kesenjangan talenta, infrastruktur dan akses, keamanan dan privasi data, serta regulasi dan etika. 

    “Saat ini kita butuh 9 juta talenta digital pada 2030, tapi jumlahnya baru sekitar 200 ribu. Ini menunjukkan urgensi pengembangan talenta secara inklusif,” katanya.

    Senada dengan Hammam, Ayu Purwarianti, anggota Satuan Tugas Nasional Pengembangan Talenta AI Indonesia, menekankan pentingnya literasi AI bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, AI harus dibagi dalam tiga pendekatan: AI untuk semua, AI untuk banyak orang, dan AI untuk sedikit orang.

    “AI untuk semua berarti setiap orang Indonesia, bahkan yang tidak menggunakan atau mengembangkan AI sekalipun, tetap perlu memiliki literasi tentang AI. Mereka perlu tahu bahwa ada risiko di balik teknologi ini, seperti deepfake atau penipuan digital,” kata Ayu. 

  • Kadin Jakarta Tegaskan Pentingnya Transformasi Digital Berbasis AI – Page 3

    Kadin Jakarta Tegaskan Pentingnya Transformasi Digital Berbasis AI – Page 3

    Sebelumnya, Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Prof. Hammam Riza, menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor untuk mempercepat adopsi dan pengembangan kecerdasan artifisial (AI) di Indonesia. 

    Dalam gelaran World AI Show 2025, ia menyampaikan Indonesia tengah berada di garis depan transformasi teknologi, khususnya sejak peluncuran Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial (Stranas KA) pada 2020.

    KORIKA, yang selama tiga tahun berturut-turut menjadi pendukung utama World AI Show, memandang AI sebagai fondasi penting menuju Indonesia Emas 2045.

    Saat ini, pemerintah bersama pemangku kepentingan sedang menyusun roadmap AI 2030, yang akan merinci strategi nasional untuk menjawab berbagai tantangan, mulai dari etika hingga infrastruktur dan talenta.

    “Korika sebagai sebuah perkumpulan yang menghubungkan akademisi, bisnis, pemerintah, komunitas, media dan seluruh stakeholder. Karena AI itu adalah untuk semua dan akan menjadi bagian daripada kehidupan kita ke depan,” ujar Hammam kepada wartawan di tengah acara World AI Show 2025, Selasa (8/7/2025, di JW Marriot Hotel, Jakarta.

    Kesiapan SDM

    Hammam menambahkan, AI tidak hanya berbicara tentang transformasi digital, tetapi bagaimana Indonesia mempersiapkan sumber daya manusia untuk bisa menjadi inovator-inovator di bidang teknologi AI ini.

    Hamman menuturkan soal Roadmap AI 2030 yang dirancang bersama Kementerian Komunikasi dan Digital ini akan diluncurkan pada Agustus mendatang.

    Dokumen tersebut disusun berbasis SWOT analysis dan akan menjadi acuan kerja multi-sektor untuk mengembangkan use case AI spesifik di sektor seperti kesehatan, maritim, pertanian, penanggulangan bencana, hingga pembangunan smart city.

     

  • Korika Tegaskan Peta Jalan AI Indonesia Tidak Boleh Asal Comot dari Negara Lain

    Korika Tegaskan Peta Jalan AI Indonesia Tidak Boleh Asal Comot dari Negara Lain

    Bisnis.com, JAKARTA— Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) menegaskan penyusunan Peta Jalan atau Roadmap Artificial intelligence (AI) 2025–2030 tidak bisa sekadar mengadopsi regulasi atau model dari negara lain. 

    Peta jalan pengembangan AI harus disusun berdasarkan nilai-nilai budaya, pengetahuan lokal, dan kebutuhan khas Indonesia. 

    Presiden KORIKA Hammam Riza mengatakan, roadmap AI nasional yang tengah difinalisasi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) harus dirancang secara kontekstual agar AI benar-benar bermanfaat bagi masyarakat Indonesia secara inklusif dan berkelanjutan.

    “Kita tidak bisa mencomot begitu saja, aturan-aturan ataupun regulasi yang ada di luar, dan langsung diterapkan di Indonesia. Tapi tentu saja harus disesuaikan dalam konteks kebudayaan kita, tradisional knowledge-nya kita, heritage-nya kita, budaya kita,” kata Hammam ditemui disela acara World AI Show Indonesia 2025 di Jakarta pada Selasa (8/7/2025).

    Menurutnya, roadmap yang akan diluncurkan pada Agustus mendatang itu mencakup tujuh aspek utama dalam pengembangan AI, mulai dari etika, kebijakan, data, infrastruktur, talenta, riset, hingga use case sektor industri. 

    KORIKA sebagai orkestrator ekosistem inovasi turut menyusun rekomendasi dari masing-masing bidang strategis tersebut.

    Dalam proses penyusunan roadmap, KORIKA juga menerapkan analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats (SWOT) serta strategi  Threats, Opportunities, Weaknesses, Strengths (TAUS) untuk mengidentifikasi prioritas dan quick wins yang bisa segera dijalankan sebagai langkah awal implementasi.

    Lebih lanjut, Hammam menekankan urgensi menjaga kedaulatan data nasional di tengah pesatnya pemanfaatan AI global. Dia menyebutkan, jika data Indonesia tidak dikurasi secara mandiri, maka akan sangat rentan digunakan secara bebas oleh pengembang luar negeri.

    “Data terkait dengan budaya kita, data terkait dengan pribadi kita, itu akan menjadi data yang digunakan oleh berbagai AI model. Kalau misalnya kita tidak mengkurasi data-data tersebut ya, kita akan tidak memiliki lagi kedaulatan dalam data kita,” ungkapnya .

    Hammam nengatakan Roadmap AI Indonesia juga diarahkan untuk menghasilkan solusi nyata di sektor-sektor utama seperti pertanian, kesehatan, kemaritiman, penanggulangan bencana, hingga pembangunan kota cerdas.

    Sebagai bagian dari strategi nasional menuju Indonesia Emas 2045, roadmap AI ini disusun melalui kolaborasi antara pemerintah, industri, akademisi, dan komunitas. Hammam menegaskan AI adalah milik bersama, dan tanggung jawab pengembangannya tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah.

    “AI itu adalah milik semua. Jadi bukan hanya pemerintah yang bertanggung jawab untuk bisa melakukan pengembangan AI ini. Tapi dari industri, dari akademia, dari komunitas. Ini semua bagian dari penting dalam perkembangan AI itu,” ucapnya. 

  • Kecerdasan Buatan (AI) Berpontensi Dongkrak Ekonomi RI 10x Lipat

    Kecerdasan Buatan (AI) Berpontensi Dongkrak Ekonomi RI 10x Lipat

    Bisnis.com, JAKARTA— Teknologi kecerdasan buatan (AI) dinilai berpotensi menjadi katalis utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 10 kali lipat menuju visi Indonesia Emas 2045. 

    Untuk mencapainya, Indonesia perlu memperkuat ekosistem AI secara menyeluruh, mulai dari infrastruktur, tata kelola data, etika, hingga pengembangan talenta digital. 

    Presiden Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Hammam Riza, menegaskan target Indonesia menjadi lima besar ekonomi dunia pada 2045 tidak akan tercapai dengan pendekatan konvensional. 

    “Kita perlu menjadikan AI sebagai akselerator. AI dapat merevolusi semua sektor strategis dan membawa kita dari ekonomi berbasis efisiensi menuju ekonomi berbasis inovasi,” kata Hammam dalam World AI Show Indonesia 2025 di Jakarta pada Selasa (8/7/2025).

    Dia  mengungkapkan berdasarkan proyeksi, kontribusi AI terhadap ekonomi Indonesia bisa mencapai US$366 miliar atau setara dengan Rp5.965,8 triliun (dengan asumsi kurs Rp16.300 per dolas AS) pada 2030. 

    Namun, untuk menjadi bangsa yang tidak hanya menjadi pasar AI melainkan juga pengembang AI, diperlukan kedaulatan digital yang kuat. 

    Hammam menyebutkan empat tantangan utama yang perlu dijawab dalam perjalanan AI Indonesia menuju 2045. 

    Beberapa di antaranya yakni kesenjangan talenta, infrastruktur dan akses, keamanan dan privasi data, serta regulasi dan etika. 

    “Saat ini kita butuh 9 juta talenta digital pada 2030, tapi jumlahnya baru sekitar 200 ribu. Ini menunjukkan urgensi pengembangan talenta secara inklusif,” katanya.

    Senada dengan Hammam, Ayu Purwarianti, anggota Satuan Tugas Nasional Pengembangan Talenta AI Indonesia, menekankan pentingnya literasi AI bagi seluruh lapisan masyarakat. Menurutnya, AI harus dibagi dalam tiga pendekatan: AI untuk semua, AI untuk banyak orang, dan AI untuk sedikit orang.

    “AI untuk semua berarti setiap orang Indonesia, bahkan yang tidak menggunakan atau mengembangkan AI sekalipun, tetap perlu memiliki literasi tentang AI. Mereka perlu tahu bahwa ada risiko di balik teknologi ini, seperti deepfake atau penipuan digital,” kata Ayu. 

    Sementara itu, CEO DANA Indonesia Vincent Henry Iswara melihat AI sebagai solusi untuk menjembatani kesenjangan antara inklusi keuangan dan literasi keuangan. 

    “Inklusi keuangan Indonesia sudah mencapai lebih dari 80%, tapi pertumbuhan literasi keuangan masih lambat. Banyak orang punya akses, tapi belum tahu apa yang bisa dilakukan dengan layanan keuangan yang tersedia,” kata Vincent.

    Menurutnya, AI dapat membantu masyarakat memahami produk keuangan seperti tabungan, investasi, asuransi mikro, hingga kredit. 

    “Bayangkan jika setiap orang punya semacam penasihat keuangan cerdas berbasis AI yang bisa memberi saran sesuai kemampuan mereka. Ini bukan hal yang terlalu jauh, bahkan bisa terwujud dalam dua atau tiga tahun ke depan,” katanya.

    Dia juga menyoroti peran AI dalam mendorong kemajuan sektor UMKM, yang menyerap lebih dari 80% tenaga kerja Indonesia. Menurutnya AI bisa membantu UMKM dalam perencanaan keuangan, manajemen modal kerja, hingga meningkatkan pendapatan. 

    “Ini penting untuk menciptakan ekonomi yang lebih sehat dan inklusif,” kata Vincent.

  • Jadi Kebutuhan Mendasar, Transformasi Digital Berbasis Cloud bakal Tembus Rp 22 Triliun di Indonesia pada 2025! – Page 3

    Jadi Kebutuhan Mendasar, Transformasi Digital Berbasis Cloud bakal Tembus Rp 22 Triliun di Indonesia pada 2025! – Page 3

    Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, isu kedaulatan data menjadi perhatian utama. Kedaulatan data dianggap krusial karena berkaitan dengan kontrol nasional, keamanan informasi, kemandirian ekonomi digital, serta keadilan dalam akses terhadap teknologi.

    Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Hammam Riza, menekankan urgensi pembangunan infrastruktur yang mendukung kedaulatan data dan transformasi digital yang inklusif.

    “Dengan cloud berbasis edge yang dikembangkan secara lokal, kita dapat memastikan bahwa AI dan data digital melayani kepentingan bangsa, bukan hanya menjadi konsumen solusi dari luar negeri,” ujarnya.

    Menurut Hammam, selain dampak ekonomi dan sosial budaya, aspek keselamatan dan keamanan dalam penggunaan teknologi AI juga menjadi perhatian utama dalam konteks kedaulatan data.

    “Saat ini, pemanfaatan AI masih dibayangi oleh isu pelanggaran data dan ancaman keamanan lainnya,” ia memungkaskan.

    Selain itu, potensi ketidakakuratan dan penyalahgunaan AI, termasuk disinformasi, malinformasi, manipulasi, dan pengambilan keputusan yang keliru, juga menjadi perhatian. Oleh karena itu, diperlukan landasan etika dan regulasi yang jelas dalam pemanfaatannya.

  • Top 3 Tekno: Daftar HP Samsung yang Kebagian One UI 7 Terpopuler – Page 3

    Top 3 Tekno: Daftar HP Samsung yang Kebagian One UI 7 Terpopuler – Page 3

    Indonesia, negara tropis dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, menghadapi tantangan berat dalam mengendalikan penyakit menular berbasis vektor seperti demam berdarah, malaria, leptospirosis, dan zoonosis.

    Perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan memperparah risiko penyebaran penyakit-penyakit menular tersebut.

    Menghadapi tantangan itu, teknologi kecerdasan buatan (AI) dan analisis data besar (big data analytics) diniai bisa menjadi solusi potensial.

    Integrasi data historis penyakit, faktor iklim, dinamika vektor, dan data sosial-demografis dalam model prediksi AI diharapkan dapat mengidentifikasi pola penyebaran penyakit, memproyeksikan potensi wabah, dan merekomendasikan intervensi kesehatan berbasis bukti.

    Pemerintah Indonesia telah mengembangkan beberapa sistem informasi seperti SISMAL (Sistem Informasi Surveilans Malaria) dan SIZE (Sistem Informasi Zoonosis dan Emerging Infectious Diseases).

    Menurut Dr. Tauhid Nur Azhar, subject matter expert bidang kesehatan di Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan K/L terkait di periode 2019-2021 saat diketuai oleh Prof Hammam Riza, telah menghadirkan inovasi suatu sistem pemantauan dan prediksi penyakit zoonosis dan emerging infectious disease lainnya yang dinamai SIZE.

    Baca selengkapnya di sini