Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Hartanto Yohanes Lim Ajukan Praperadilan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Direktur PT Praba Indopersada, Hartanto Yohanes Lim, mengajukan praperadilan usai ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Mempawah, Kalimantan Barat.
Gugatan praperadilan
ini tercatat di sistem Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 152/Pid.Pra/2025/PN JKT.SEL.
Pihak tergugat adalah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo cq Bareskrim Polri cq Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Polri (Kortas Tipikor).
“Klasifikasi perkara, sah atau tidaknya penetapan tersangka. Pemohon
Hartanto Yohanes Lim
,” dikutip dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara PN Jaksel pada Minggu, (23/11/2025).
Gugatan perdana untuk perkara ini akan diadakan pada Selasa (2/12/2025) pada pukul 09.00 WIB.
Dalam kasus ini, penyidik Kortas Tipikor Polri telah menetapkan empat orang tersangka.
Mereka adalah Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN), Halim Kalla; Direktur PT Praba Indopersada, Hartanto Yohanes Lim; Dirut PLN 2008-2009 Fahmi Mochtar; dan Direktur PT Bakti Reka Nusa, RR.
Penyidikan ini merupakan kelanjutan dari penelusuran Polri atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU 1 Mempawah.
Kasus ini diduga melibatkan kerja sama antara sejumlah perusahaan swasta dan pihak terkait di lingkungan BUMN sektor energi.
Berdasarkan perhitungan saat ini,
kerugian negara
mencapai 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518, atau total Rp 1,3 triliun bila dikonversikan ke rupiah.
Keempat tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Halim Kalla
-
/data/photo/2025/07/16/6877bf4cb233d.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Tersangka Korupsi PLTU Kalbar Hartanto Yohanes Lim Ajukan Praperadilan
-

Kasus PLTU Kalbar, Kortastipidkor Polri Cecar Adik JK dengan 50 Pertanyaan
Bisnis.com, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri telah memeriksa Direktur PT Bakti Rekan Nusa (BRN), Halim Kalla, adik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK), dalam perkara dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar.
Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri Brigjen Totok Suharyanto mengatakan Halim Kalla telah dicecar 50 pertanyaan dalam pemeriksaan kemarin, Kamis (20/11/2025).
“Selesai pemeriksaan [Halim Kalla] dengan 50 pertanyaan,” ujar Totok kepada wartawan, dikutip Jumat (21/11/2025).
Namun, Totok tidak menjelaskan secara detail materi pertanyaan yang dilayangkan ke adik dari Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla itu.
Totok hanya menyampaikan bahwa pemeriksaan Halim Kalla dimulai pada 11.00 WIB dan baru rampung pada 20.00 WIB.
“Dari sekitar 11.00 WIB sampai dengan 20.00 WIB dengan beberapa isoma ya,” pungkasnya.
Sekadar informasi, total ada empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. Selain Halim, eks Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar (FM), Dirut PT BRN berinisial RR dan HYL turut menjadi tersangka.
Adapun, Halim ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga melakukan kongkalikong dengan Fahmi Mochtar (FM) dalam proyek PLTU dengan kapasitas output sebesar 2×50 MegaWatt dari PLN di Kalimantan Barat.
Namun, proyek tersebut dinyatakan mangkrak meski sudah dilakukan 10 kali perpanjang kontrak.
Kemudian, kerugian negara dalam proyek ini dihitung dengan pengeluaran dana oleh PT PLN (Persero) sebesar Rp323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$62,4 juta untuk mechanical electrical. Dengan demikian, total kerugian perkara ini mencapai mencapai Rp1,35 triliun.
-

Polisi Periksa Adik Jusuf Kalla Kasus PLTU Kalbar Hari Ini (20/11)
Bisnis.com, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polri memeriksa Direktur PT Bakti Rekan Nusa (BRN), Halim Kalla hari ini, Kamis (20/11/2025).
Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto mengatakan adik dari Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla itu sudah memenuhi panggilan polisi. “Barusan dilaporan penyidik bahwa HK sudah datang,” ujar Totok saat dikonfirmasi, Kamis (20/11/2025).
Totok mengatakan pemeriksaan Halim dilakukan dalam kapasitasnya sebagai saksi dalam perkara dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar.
Selain Halim Kalla, Totok mengemukakan bahwa pihaknya telah memeriksa memeriksa Direktur PT Praba Indopersada Hartanto Yohanes Lim (HYL) dengan 57 pertanyaan pada Rabu (19/11/2025). “Tersangka HYL kemarin sudah diperiksa,” pungkasnya.
Sekadar informasi, total ada empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. Selain Halim, eks Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar (FM), Dirut PT BRN berinisial RR dan HYL turut menjadi tersangka.
Adapun, Halim ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga melakukan kongkalikong dengan Fahmi Mochtar (FM) dalam proyek PLTU dengan kapasitas output sebesar 2×50 MegaWatt dari PLN di Kalimantan Barat.
Namun, proyek tersebut dinyatakan mangkrak meski sudah dilakukan 10 kali perpanjang kontrak. Adapun, kerugian negara dalam proyek ini dihitung dengan pengeluaran dana oleh PT PLN (Persero) sebesar Rp323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$62,4 juta untuk mechanical electrical. Dengan demikian, total kerugian perkara ini mencapai mencapai Rp1,35 triliun.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5373724/original/048214900_1759828694-Halim_Kalla.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Halim Kalla Diperiksa Sebagai Tersangka Kasus Korupsi PLTU 1 Kalbar
Kasus dugaan korupsi ini telah menetapkan tiga tersangka utama, yakni Fahmi Mochtar, Halim Kalla, dan RR, selaku Direktur PT BRN. Ketiganya diduga terlibat dalam penyimpangan proyek pembangunan PLTU 1 Kalbar yang berujung pada kerugian negara ratusan miliar rupiah.
“Kemarin, 3 Oktober, kita tetapkan tersangka melalui mekanisme gelar terhadap tersangka FM (Fahmi Mochtar), yang bersangkutan dia sebagai Direktur PLN saat itu,” kata Kakortas Tipidkor Polri Irjen Cahyono kepada wartawan, Senin (6/10/2025).
“Dari pihak swasta ada HK (Halim Kalla), tersangka RR, dan juga pihak lainnya. Kalau nanti di proses penyidikan akan berkembang,” sambungnya.
Irjen Cahyono menjelaskan bahwa sejak awal perencanaan, proyek PLTU 1 Kalbar telah diwarnai korespondensi dan kesepakatan tidak sehat untuk memenangkan pihak tertentu dalam pelaksanaan pekerjaan.
“Sejak awal perencanaan proyek sudah terjadi korespondensi. Artinya ada pemufakatan dalam rangka memenangkan pelaksanaan pekerjaan,” ujarnya.
Setelah kontrak ditandatangani, lanjut Cahyono, terjadi berbagai pengaturan yang menyebabkan proyek mangkrak sejak tahun 2008 hingga 2018.
“Setelah dilakukan kontrak, kemudian ada pengaturan-pengaturan. Sehingga ini terjadi keterlambatan yang akibatkan sampai dengan 2018, itu sejak tahun 2008-2018 dianggurin terus,” katanya.
-
/data/photo/2025/10/07/68e498599c4a5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hari Ini, Polri Periksa Halim Kalla dalam Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Hari Ini, Polri Periksa Halim Kalla dalam Kasus Korupsi PLTU Kalbar
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Direktorat Penindakan Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri kembali memanggil Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN), Halim Kalla.
Dia bakal diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Mempawah,
Kalimantan Barat
.
“Betul, (dijadwalkan hari ini) jam 10,” kata Direktur Penindakan Kortas Tipikor Polri, Brigjen Pol Totok Suharyanto, Kamis (20/11/2025).
Sebelumnya,
Halim Kalla
berhalangan hadir saat dipanggil pada Rabu (12/11/2025) karena sakit.
Dalam perkara ini, Polri telah melayangkan surat panggilan kepada empat tersangka.
Mereka adalah Halim Kalla; FM, mantan Direktur Utama PLN; RR, Direktur Utama PT BRN; dan HYL, Direktur Utama PT Praba Indopersada (PI).
Penyidikan ini merupakan kelanjutan dari penelusuran Polri atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU 1 Mempawah.
Kasus tersebut diduga melibatkan kerja sama antara sejumlah perusahaan swasta dan pihak terkait di lingkungan BUMN sektor energi.
Kasus tersebut menyebabkan
kerugian negara
mencapai 64.410.523 dollar AS dan Rp 323.199.898.518, atau total Rp 1,3 triliun bila dikonversikan ke rupiah.
Keempat tersangka disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/10/07/68e498599c4a5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Polri Jadwalkan Pemanggilan Ulang Halim Kalla terkait Kasus PLTU Kalbar pada 20 November
Polri Jadwalkan Pemanggilan Ulang Halim Kalla terkait Kasus PLTU Kalbar pada 20 November
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Direktorat Penindakan Korps Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Polri berencana kembali memanggil Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN), Halim Kalla, pada Kamis (20/11/2025) dalam kasus dugaan korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 Mempawah, Kalimantan Barat.
Sebelumnya,
Halim Kalla
berhalangan hadir saat dipanggil pada Rabu (12/11/2025) karena sakit.
“Rencana jadwal ulang untuk HK pada 20 November,” kata Direktur Penindakan Kortastipidkor
Polri
, Brigjen Pol Totok Suharyanto kepada Kompas.com, Senin (17/11/2025).
Saat ditanya apakah Halim Kalla dipastikan hadir pada tanggal tersebut, Totok mengaku akan menyampaikannya pada kesempatan berikutnya.
“Untuk
update
(hadir atau tidak) InsyaAllah kita infokan,” ucapnya.
Adapun Halim Kalla dalam kasus ini menjabat sebagai Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN).
Sementara itu, HYL selaku Direktur Utama PT Praba Indopersada (PI) akan dipanggil pada Rabu (19/11/2025).
“HYL dipanggil 19 November,” terang Totok.
Diketahui, Polri telah melayangkan surat panggilan kepada empat tersangka dalam perkara tersebut.
Mereka adalah Halim Kalla selaku Presiden Direktur PT Bakrie Rachmat Nusantara (BRN); FM, mantan Direktur Utama PLN; RR, Direktur Utama PT BRN; dan HYL, Direktur Utama PT Praba Indopersada (PI).
Penyidikan ini merupakan kelanjutan dari penelusuran Polri atas dugaan tindak pidana korupsi dalam proyek PLTU 1 Mempawah.
Kasus tersebut diduga melibatkan kerja sama antara sejumlah perusahaan swasta dan pihak terkait di lingkungan BUMN sektor energi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com
melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama
akun kamu. -
Ngaku Sakit, Kortastipidkor Batal Periksa Halim Kalla Hari Ini 2 jam yang lalu
Ngaku Sakit, Kortastipidkor Batal Periksa Halim Kalla Hari Ini
2 jam yang lalu
-

Kasus PLTU Kalbar, Kortastipidkor Bakal Periksa Halim Kalla Pekan Depan
Bisnis.com, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri mengagendakan pemanggilan Direktur PT BRN, Halim Kalla pada Rabu (12/11/2025).
Direktur Penindakan Kortastipidkor Polri Brigjen Totok Suharyanto mengatakan pemanggilan adik dari Wapres ke-10 dan ke-12 RI itu berkaitan kasus dugaan korupsi proyek PLTU 1 Kalbar.
“Hari Rabu, tanggal 12 November 2025 tersangka HK [dipanggil],” ungkap Totok kepada wartawan, dikutip Jumat (7/11/2025).
Selain Halim Kalla, Totok mengungkap bahwa pihaknya turut memanggil eks Direktur Utama PLN, Fahmi Mochtar (FM); Direktur PT Praba Indopersada, Hartanto Yohanes Lim pada Selasa (11/11/2025). Sementara itu, Dirut PT BRN berinisial RR bakal diperiksa pada Rabu (12/11/2025).
Namun demikian, kata Totok, dirinya belum dapat memastikan kehadiran para tersangka di kasus rasuah proyek PLTU itu.
“Belum ada [konfirmasi kehadiran],” pungkas Totok.
Sekadar informasi, Halim ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga melakukan kongkalikong dengan Fahmi Mochtar (FM) dalam proyek PLTU dengan kapasitas output sebesar 2×50 MegaWatt dari PLN di Kalimantan Barat.
Namun, proyek tersebut dinyatakan mangkrak meski sudah dilakukan 10 kali perpanjang kontrak.
Adapun, kerugian negara dalam proyek ini dihitung dengan pengeluaran dana oleh PT PLN (Persero) sebesar Rp323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$62,4 juta untuk mechanical electrical. Dengan demikian, total kerugian perkara ini mencapai mencapai Rp1,35 triliun.
-

Satu Tahun Prabowo-Gibran: Daftar 10 Kasus Korupsi Ditangani Kejagung-Polri
Bisnis.com, JAKARTA — Prabowo Subianto resmi satu setahun dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia (RI) sejak Minggu (20/10/2025).
Sepanjang menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, para penegak hukum baik itu Kejagung, KPK hingga Polri telah banyak mengungkap kasus tindak pidana korupsi (Tipikor).
Salah satu penindakan korupsi yang paling disorot itu saat menetapkan saudagar minyak tersohor di Indonesia, yakni Riza Chalid dalam kasus tata kelola minyak dan produk kilang periode 2018-2023.
Berikut daftar 10 kasus korupsi yang ditindak parat penegak hukum sepanjang satu tahun pemerintahan Prabowo
1. Kasus Ronald Tannur dan Zarof Ricar
Pasca tiga hari Prabowo jadi Presiden, Kejagung telah menetapkan tiga hakim PN Surabaya atas vonis bebas yang dijatuhkan dalam perkara penganiayaan hingga tewas Ronald Tannur terhadap kekasihnya Dini Sera.
Tiga hakim yang ditetapkan sebagai tersangka adalah Erintuah Damanik, dan Mangapul, dan Heru Hanindyo. Perkara ini berkembang hingga menetapkan tiga tersangka lainnya mulai dari Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja.
Selanjutnya, pengacara Ronald Tannur Lisa Rachmat; mantan Hakim Ketua Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Rudi Suparmono, dan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.
Dalam perkara ini, pihak Ronald Tannur telah ‘kong kalikong’ dengan Rudi dalam mengatur majelis hakim dengan menunjuk Erintuah Cs. Singkatnya, usai adanya praktik suap ini majelis hakim menetapkan vonis bebas terhadap terdakwa Ronald Tannur.
Hal itu terbukti usai mereka resmi divonis tujuh tahun untuk Erintuah dan Mangapul, serta Heru dihukum 10 tahun pidana. Sementara itu, Lisa Rachmat 11 tahun dan kini diperberat menjadi 14 tahun di PT DKI.
Selanjutnya, Meirizka tiga tahun pidana dan Zarof Ricar divonis 16 tahun penjara dan diperberat menjadi 18 tahun penjara di PT DKI dalam sidang banding.
Selain itu, saat proses penegakan hukum perkara ini, korps Adhyaksa telah menyita aset sebesar Rp920 miliar hingga emas 51 kg di kediaman Zarof di kawasan Senayan, Jakarta.
Uang itu diduga dikumpulkan Zarof lantaran terkait kasus gratifikasi pengurusan perkara-perkara di Mahkamah Agung selama 2012-2022.
2. Tom Lembong di Kasus Gula
Masih di bulan yang sama saat Prabowo dilantik, eks Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara importasi gula di Kemendag pada periode 2015-2016.
Dalam perkara ini Tom disebut telah melakukan praktik korupsi yang menguntungkan korporasi melalui kebijakannya untuk mengimpor gula saat menjadi Mendag. Total ada 11 tersangka termasuk dari sembilan bos swasta dan Mantan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI) Charles Sitorus.
Kemudian, Tom dinyatakan bersalah dan divonis 4,5 tahun pidana dalam perkara ini. Namun, bak tersambar petir di siang bolong, Tom telah mendapatkan pengampunan melalui abolisi yang diberikan Prabowo.
Tom pun telah dibebaskan dari penjara menjelang HUT ke-80 RI atau tepatnya pada Jumat (1/8/2025). Dalam pernyataan perdananya usai keluar penjara, Tom menyampaikan apresiasi kepada Prabowo dan seluruh pihak yang terlibat dalam memberikan abolisi tersebut.
“Saya juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Presiden Prabowo Subianto atas pemberian abolisi serta pimpinan serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat atas pertimbangan dan persetujuannya,” kata Tom Lembong di Lapas Cipinang, Jakarta Timur.
3. Kasus Eks Dirjen Kemenkeu Isa
Kejagung telah menetapkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata (IR) dalam kasus korupsi pengelolaan keuangan dan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya pada Jumat (7/2/2025).
Isa ditetapkan sebagai tersangka atas kaitannya sebagai Kepala Biro Asuransi pada Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) 2006-2012.
Dalam dakwaannya, Isa terseret kasus ini lantaran telah selaku Kabiro Bapepam-LK telah memberikan persetujuan kepada Jiwasraya untuk memasarkan produk asuransi JS Saving Plan.
Padahal, Isa mengetahui kala itu Jiwasraya tengah mengalami insolvensi atau kondisi perusahaan tidak sehat. Perbuatannya itu kemudian dinilai telah merugikan keuangan negara.
Adapun, Jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa eks Dirjen Anggaran Kemenkeu Isa Rachmatarwata telah merugikan keuangan negara sebesar Rp90 miliar dalam kasus korupsi Jiwasraya.
Kerugian keuangan negara itu dihitung berdasarkan reinsurance fund yang dibayarkan ke Provident Capital Indemnity sejumlah Rp50 miliar pada 12 Mei 2010.
Kemudian, reinsurance fund ke Best Meridian Insurance Company sejumlah Rp 24 miliar pada 12 September 2012; dan reinsurance fund II ke Best Meridian Insurance Company sebesar Rp 16 miliar pada 25 Januari 2013.
4. Tata Kelola Minyak dan Produk Kilang
Pada awal tahun, publik dihebohkan oleh kasus tata kelola minyak pada Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) tahun 2018-2023.
Bukan tanpa sebab, kasus ini disorot lantaran sempat ada isu bahwa praktik dugaan korupsi ini ada kegiatan mengoplos BBM. Namun, isu tersebut telah terbantahkan dalam dakwaan eks Dirut PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan.
Total, ada 18 tersangka yang telah ditetapkan dalam kasus ini mulai dari dari Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga; Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping; hingga anak Riza Chalid, Muhammad Kerry Adrianto Riza selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa.
Pada intinya, kasus ini melibatkan penyelenggara negara dengan broker, kedua belah pihak diduga bekerja sama dalam pengaturan proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.
Adapun, akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung mengungkap bahwa negara dirugikan sekitar Rp285,1 triliun.
5. Riza Chalid jadi Tersangka
Masih di kasus tata kelola minyak, pengusaha minyak kesohor Riza Chalid telah ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (10/7/2025). Riza termasuk pada 18 tersangka yang ditetapkan sebelumnya.
Dia ditetapkan sebagai tersangka atas statusnya sebagai beneficiary owner PT Orbit Terminal Merak.
Dalam kasus ini, Riza diduga telah melakukan intervensi kebijakan terhadap tata kelola minyak Pertamina dengan memberikan rencana kerja sama penyewaan terminal BBM di Merak.
Dalam dakwaan anaknya, Kerry Adrianto. Riza Chalid juga diduga telah diuntungkan dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023 sebanyak Rp2,9 triliun bersama anak dan koleganya. Keuntungan itu diperoleh dari penyewaan terminal BBM.
Adapun, korps Adhyaksa menyatakan bahwa pihaknya bersama Hubinter Polri telah berkoordinasi dengan Interpol pusat untuk menetapkan status red notice terhadap Riza. Proses red notice itu dilakukan setelah Riza Chalid ditetapkan sebagai buron dalam kasus ini.
6. Kasus Dugaan Korupsi Sritex
Masih dalam setahun Prabowo menjabat, Kejagung juga telah mengusut kasus Sritex. Secara total telah menetapkan 11 tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian kredit bank ke Sritex Group.
Belasan tersangka itu mulai dari, eks Dirut Bank BJB, Yuddy Renaldi (YR); mantan Dirut Bank Jateng, Supriyatno (SP); eks Dirut Bank DKI Zainuddin Mappa (ZM) hingga duo Lukminto sebagai bos Sritex yakni Iwan Setiawan Lukminto (ISL) dan Iwan Kurniawan Lukminto (IKL).
Dalam perkara ini, bos Sritex diduga telah ber kongkalikong untuk mendapatkan kredit dari sejumlah bank termasuk bank daerah. Namun, seharusnya izin kredit itu tidak bisa diterima. Pasalnya, berdasarkan informasi dari lembaga pemeringkatan kredit, Sritex berada di bawah standar perusahaan yang bisa diberikan pinjaman dana.
Di samping itu, uang pinjaman ini juga diduga dibelanjakan untuk aset non produktif perusahaan seperti aset tanah di Solo dan Yogyakarta.
Penyidik korps Adhyaksa juga menyatakan kerugian negara yang timbul dari kasus dugaan korupsi ini menjadi Rp1,08 triliun.
7. Kasus Suap Vonis CPO Korporasi
Dalam perkara suap ini, Kejagung telah menetapkan delapan tersangka. Mereka yakni eks Kepala PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanto dan panitera PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Kemudian, tiga hakim non-aktif di pengadilan PN Jakarta Pusat mulai dari dari Djuyamto, Ali Muhtarom dan Agam Syarif Baharuddin juga turut dilimpahkan hari ini.
Selain itu, advokat Ariyanto Bakri (AR) dan Marcella Santoso (MS), serta Head of Social Security and License Wilmar Group Muhammad Syafei (MSY) turut menjadi tersangka.
Kasus ini bermula saat majelis hakim yang dipimpin Djuyamto memberikan vonis bebas terhadap tiga grup korporasi di kasus minyak goreng. Djuyamto dijadikan tersangka atas perannya yang diduga menerima uang suap bersama dua hakim lainnya sebesar Rp22,5 miliar.
Adapun, uang itu disediakan oleh Kepala Legal Wilmar Group Muhammad Syafei, penyerahannya dilakukan melalui pengacara Ariyanto dan Panitera PN Jakut, Wahyu Gunawan.
Sejatinya, Syafei telah menyiapkan Rp20 miliar untuk meminta para “wakil tuhan” itu bisa memberikan vonis lepas terhadap tiga terdakwa group korporasi, mulai dari Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas.
Namun, Ketua PN Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta meminta uang itu digandakan menjadi Rp60 miliar. Singkatnya, permintaan itu disanggupi Syafei dan vonis lepas diketok oleh Djuyamto Cs.
8. Kasus Obstruction of Justice
Dalam perkara ini, Kejagung telah menetapkan empat tersangka dalam perkara perintangan ini. Empat tersangka, yakni advokat Marcella Santoso (MS); dosen sekaligus advokat Junaidi Saibih (JS); eks Direktur Pemberitaan Jak TV Tian Bahtiar (TB); dan Ketua Cyber Army, M Adhiya Muzakki (MAM).
Dalam catatan Bisnis, terdapat tiga kasus yang baru diduga dirintangi oleh para tersangka. Mulai dari, kasus tata niaga timah dan kasus importasi gula Tom Lembong.
Pada intinya, keempat tersangka itu bekerja sama dalam membuat narasi negatif untuk menyudutkan kinerja penyidik khususnya pada perkara korupsi timah, importasi gula dan fasilitas impor crude palm oil alias CPO.
9. Nadiem Makarim di Kasus Chromebook
Nadiem Makarim telah ditetapkan sebagai tersangka pada Kamis (9/10/2025) dalam kasus pengadaan terkait Chromebook periode 2019-2022.
Nadiem ditetapkan sebagai tersangka karena perannya saat menjadi Mendikbudristek. Dia memiliki peran penting dalam dugaan korupsi. Pasalnya, pendiri Go-Jek tersebut diduga memerintahkan pemilihan Chromebook untuk mendukung program digitalisasi pendidikan di Kemendikbudristek.
Secara terperinci perannya dalam kasus ini mulai dari melakukan pertemuan dengan pihak Google hingga akhirnya sepakat untuk menggunakan Chrome OS dalam proyek pengadaan TIK di Kemendikbudristek.
Padahal, pada era Mendikbud Muhadjir Effendy, pengajuan produk Chromebook dari Google sudah ditolak karena tidak efektif jika digunakan untuk daerah 3T.
Nadiem juga diduga telah mengunci Chrome OS melalui lampiran pada Permendikbud No.5/2021 tentang Petunjuk Operasional Dana Alokasi Khusus Fisik Reguler Bidang Pendidikan TA.2021.
Adapun, Nadiem juga telah melakukan upaya hukum untuk melepaskan status tersangkanya melalui gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada Selasa (23/9/2025).
Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutuskan untuk menolak permohonan gugatan praperadilan dari mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim.
Sebab, penetapan tersangka Nadiem oleh penyidik Kejagung telah sesuai dengan prosedur dan sah menurut hukum yang berlaku, artinya status tersangka Nadiem tetap sah dan tidak digugurkan.
Selain Nadiem, Kejagung juga telah menetapkan tersangka lainnya yakni, Jurist Tan selaku Stafsus Mendikbudristek tahun 2020–2024 dan Ibrahim Arief (IBAM) selaku mantan konsultan teknologi di Kemendikbudristek.
Kemudian, Sri Wahyuningsih (SW) selaku eks Direktur SD di Kemendikbudristek dan Mulyatsyah selaku eks Direktur Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kemendikbudristek.
Sri dan Mulyatsyah merupakan KPA dalam proyek pengadaan pendidikan ini.Adapun, Kejagung juga telah menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp1,9 triliun. Kerugian negara itu timbul dari perhitungan selisih kontrak dengan harga penyedia dengan metode ilegal gain. Perinciannya, item software Rp480 miliar, dan Mark up dari selisih harga kontrak diluar CDM senilai Rp1,5 triliun.
10. Kasus PLTU Halim Kalla
Polri melalui Kortastipidkor tengah mengusut kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 di Mempawah, Kalimantan Barat pada 2008-2018. Total ada empat tersangka dalam perkara ini mulai dari eks Dirut PLN Fahmi Mochtar.
Kemudian, adik dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 sekaligus Direktur PT BRN Halim Kalla (HK), Dirut PT BRN berinisial RR dan Dirut PT Praba berinisial HYL.
Kasus ini bermula saat PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan PLTU 1 di Kalimantan Barat. PLTU itu nantinya akan memiliki output sebesar 2×50 MegaWatt.
Dalam proyek itu, tersangka Fahmi Mochtar (FM) diduga melakukan pemufakatan jahat dengan pihak swasta untuk memenangkan salah satu penyedia.
Modusnya, mulai dari panitia pengadaan PLN meloloskan KSO BRN-Alton-OJSEC meskipun tidak memenuhi syarat administrasi dan teknis pembangunan PLTU tersebut.
Pada 2009, KSO BRN justru mengalihkan pekerjaan kepada pihak ketiga yakni PT Praba Indopersada dengan kesepakatan pemberian imbalan. Hal itu dilakukan sebelum adanya tandatangan kontrak.
Singkatnya, hingga berakhirnya kontrak KSO BRN maupun PT PI tidak mampu menyelesaikan pekerjaan dan hanya bisa menyelesaikan 57% pembangunan. Oleh karena itu, diberikan perpanjangan kontrak hingga 10 kali hingga Desember 2018.
Namun, lagi-lagi KSO BRN dan perusahaan pihak ketiga tidak mampu menyelesaikan pekerjaan itu dan hanya bisa mengeluarkan sampai 85,56%. Alasan mangkraknya proyek itu lantaran KSO BRN memiliki keterbatasan keuangan.
Padahal, KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$62,4 juta untuk mechanical electrical. Atas perbuatan tersangka itu telah menimbulkan kerugian negara sebesar Rp1,35 triliun (jika pengeluaran dollar PLN dihitung dengan kurs saat ini).
Perinciannya, kerugian negara itu dihitung dengan pengeluaran dana PT PLN (Persero) sebesar Rp323 miliar dan US$62,4 (Rp1,03 triliun) yang tidak sesuai ketentuan dan tidak memberikan manfaat atas pembangunan PLTU 1 Kalbar yang mangkrak.
-

Kasus Halim Kalla, Kortastipidkor Polri Bakal Periksa 65 Saksi di Kasus PLTU 1 Kalbar
Bisnis.com, JAKARTA — Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri telah membidik 65 saksi untuk diperiksa dalam kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 di Mempawah, Kalimantan Barat pada 2008-2018.
Direktur Penindakan Kortastipidkor Brigjen Totok Suharyanto mengatakan 65 saksi itu rencananya bakal diperiksa secara maraton dalam dua pekan ke depan. Namun demikian, dia tidak memerinci ahli yang akan diperiksa itu.
“Rencana diagendakan dua minggu ke depan 65 saksi, saat ini berproses,” ujar Totok saat dihubungi, Rabu (15/10/2025).
Dia menambahkan, selain pemeriksaan saksi pihaknya juga akan memeriksa lima ahli untuk membuat terang perkara yang menyeret adik Jusuf Kalla, Halim Kalla ini.
Lima ahli itu yakni Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Engineering, Procurement, Construction, and Commissioning (EPCC), ahli ketenagakerjaan, hingga ahli keuangan negara.
“Ahli LKPP, BPK, EPCC, ahli ketenagakerjaan, ahli keuangan negara,” pungkasnya.
Sekadar informasi, total ada empat orang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara ini. Selain Halim, eks Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar (FM), Dirut PT BRN berinisial RR dan Dirut PT Praba berinisial HYL turut menjadi tersangka.
Adapun, Halim ditetapkan sebagai tersangka lantaran diduga melakukan kongkalikong dengan Fahmi Mochtar (FM) dalam proyek PLTU dengan kapasitas output sebesar 2×50 MegaWatt dari PLN di Kalimantan Barat.
Namun, proyek tersebut dinyatakan mangkrak meski sudah dilakukan 10 kali perpanjang kontrak. Adapun, kerugian negara dalam proyek ini dihitung dengan pengeluaran dana oleh PT PLN (Persero) sebesar Rp323 miliar untuk pekerjaan konstruksi sipil dan US$62,4 juta untuk mechanical electrical. Dengan demikian, total kerugian perkara ini mencapai mencapai Rp1,35 triliun.