Eks Komisioner Kritik KPU Soal Rahasiakan Ijazah Capres-Cawapres: Itu Hak Publik!
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI 2012-2017 Hadar Nafis Gumay mengatakan, pada masa kepengurusannya KPU membuka akses dokumen para calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres), termasuk ijazah.
Tujuannya tak lain agar publik bisa mengetahui rekam jejak para capres yang akan mereka pilih.
“Jelas itu haknya publik. Kami semua berpandangan bahwa publik harus tahu, karena para calon ini kan para calon pemimpin yang akan dipilih oleh publik. Jadi ya publik berhak mengetahui siapa mereka,” kata Hadar saat dihubungi melalui telepon, Selasa (16/9/2025).
“Jadi publik perlu tahu dokumen-dokumen pendukung mereka,” ujarnya lagi.
Hadar juga menyebut, transparansi menjadi tanggung jawab KPU sebagai penyelenggara negara.
Data yang diterima KPU dan dikelola harus diakses secara transparan sehingga memastikan tidak ada penyimpangan dalam pengelolaan data.
“Jadi itu bentuk akuntabilitas dari kerjaan kami sebagai penyelenggara negara, saya kira dua hal itu sebagai alasannya (data capres-cawapres dibuka),” katanya.
Namun belakangan, Hadar mengkritik situs KPU RI yang minim mempublikasikan data yang mereka peroleh dari capres-cawapres.
Bahkan muncul keputusan baru yang mengecualikan 16 dokumen termasuk ijazah untuk diakses publik.
Sebagai informasi, KPU RI mengeluarkan keputusan yang merahasiakan 16 dokumen syarat capres-cawapres.
Keputusan nomor 731 tahun 2025 itu dikeluarkan pada 21 Agustus 2025.
Namun hari ini Ketua KPU RI Afifuddin membatalkan keputusan tersebut lantaran mendapat kritik keras dari publik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Hadar Nafis Gumay
-
/data/photo/2023/01/02/63b2ce9d657a3.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eks Komisioner Kritik KPU Soal Rahasiakan Ijazah Capres-Cawapres: Itu Hak Publik! Nasional 16 September 2025
-

Skandal Jet Pribadi KPU di Pemilu 2024: Kejanggalan Pengadaan hingga Dugaan Mark Up Rp19,2 M – Halaman all
Laporan khusus Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali menjadi sorotan publik setelah Transparency International Indonesia (TII) mengungkap dugaan mark-up anggaran dalam pengadaan sewa private jet atau jet pribadi untuk Pemilu 2024.
Temuan ini memunculkan pertanyaan serius mengenai transparansi dan akuntabilitas lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia.
Adanya pengadaan sewa jet pribadi oleh KPU pada masa Pemilu 2024 terungkap saat dari anggota DPR RI, Riswan Tony dari Fraksi Golkar menyindir gaya hidup anggota KPU yang dianggap terlalu mewah. Bahkan, ia menyebut seperti tokoh fiksi Don Juan, karena kedapatan menyewa private jet dengan anggaran besar.
“Punya uang Rp 56 triliun itu kaget. Akibatnya, ada yang sudah kayak Don Juan, sewa private jet, belum lagi dugem-nya,” kata Riswan di ruang rapat Komisi II DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Pernyataan ini langsung memantik perhatian publik dan menimbulkan pertanyaan, untuk apa private jet digunakan selama proses pemilu?
Respons dari Ketua KPU, Hasyim Asy’ari, pun tak kalah menarik. Ia membantah jet pribadi itu untuk kepentingan pribadi.
Ia mengakui bahwa selama Pemilu 2024, KPU menyewa private jet untuk memastikan distribusi logistik berjalan tepat waktu. Namun, ia mengaku tidak mengetahui berapa unit pesawat yang digunakan dan membantah adanya penyimpangan.
“Kalau pesawat kan pesawat sewaan untuk monitoring logistik. Pengadaan logistik kita cuma 75 hari lho dan yang bertanggung jawab KPU. Kalau logistik gagal 14 Februari gagal, siapa yang dimintai tanggung jawab?” kata Hasyim.
Dugaan Mark Up Rp19,2 Miliar dan Sederet Kejanggalan Pengadaan
Rupanya, TII sudah lama melakukan investigasi terkait pengadaan sewa private jet oleh pihak KPU ini.
Berdasarkan penelusuran TII melalui Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) dan Aplikasi Monitoring dan Evaluasi Lokal (AMEL) LKPP, ditemukan dua kontrak dengan penyedia layanan penyewaaan private jet, PT Alfalima Cakrawala Indonesia.
Kontrak pertama tertanggal 6 Januari 2024 senilai Rp40.195.588.620 dan kontrak kedua tertanggal 8 Februari 2024 senilai Rp25.299.744.375, sehingga totalnya mencapai Rp65.495.332.995.
Padahal, pagu anggaran yang tercantum dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) hanya sebesar Rp46.195.659.000, menyisakan selisih sebesar Rp19.299.673.995 yang diduga merupakan mark-up anggaran.
“Dengan selisih ini ada dugaan mark-up dalam penyewaan private jet,” peneliti TII, Agus Sarwono.
Agus mengungkapkan, TII menemukan kejanggalan lain dari perusahaan PT Alfalima Cakrawala Indonesia yang mendapatkan pekerjaan penyediaan private jet yang disewa KPU.
Rupanya, perusahaan tersebut baru didirikan pada tahun 2022 alias baru beroperasi dua tahun.
Keterangan pekerjaan dari paket pengadaan tersebut bertuliskan “Sewa Dukungan Kendaraan Distribusi Logistik untuk Monitoring dan Evaluasi Logistik Pemilu 2024”.
TII menilai ada kejanggalan dalam Rencana Umum Pengadaan (RUP) ini. Sebab, paket pengadaan ini tidak secara spesifik menyebutkan jenis kendaraan apa yang akan disewa oleh KPU.
Kemudian, paket pengadaan sewa kendaraan ini menggunakan metode e-purchasing, yang cenderung tertutup, sehingga publik tidak dapat mengetahui bagaimana proses penawaran terjadi, termasuk alasan mengapa penyedia tertentu yang dipilih.
TII juga menemukan ketidaksesuaian antara waktu penggunaan private jet dengan kebutuhan distribusi logistik Pemilu 2024.
Menurut rilis KPU, distribusi logistik hingga ibu kota kabupaten/kota dijadwalkan selesai pada 16 Januari 2024, sementara penggunaan private jet tercatat hingga Juni 2024, jauh setelah tahapan distribusi logistik selesai.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan tujuan penggunaan private jet tersebut.
“Selain soal urgensi penggunaan private jet dalam logistik pemilu, ada dugaan penggunaan private jet justru tidak digunakan untuk hal tersebut. Ini semakin memunculkan kuatnya indikasi kerugian negara dalam pengadaan sewa private jet,” ujar peneliti TII, Agus Sarwono.
Saat ini, TII belum melaporkan temuan ini ke aparat hukum, tapi hasilnya bisa digunakan sebagai bahan kajian lebih lanjut.
Siapa Saja Penumpang Private Jet?
Ia juga meminta KPU membuka data penggunaan private jet, termasuk daftar penumpang, karena penggunaannya yang tidak jelas menimbulkan keanehan.
Alih-alih mengupayakan efisiensi anggaran, ia menilai, keanehan terjadi ketika KPU memilih menggunakan private jet untuk menjangkau daerah-daerah terpencil, baik untuk mendistribusikan logistik ataupun memonitoring distribusi logistik pemilu.
“Pesawat komersil itu bisa menjangkau daerah terluar, kok. Pertanyaannya, kenapa tidak menggunakan pesawat komersil?” ucapnya.
Alasan Temuan Baru Dipublikasi
Agus menjelaskan, pihaknya baru mempublikasikan temuan ini setelah Pemilu 2024 karena proses penelusuran yang lama.
Awalnya, isu pengadaan private jet muncul dari rapat Komisi II DPR pada September 2024, namun tidak didalami lebih jauh.
TII kemudian melakukan penyelidikan mendalam, termasuk analisis anggaran dan dokumen pengadaan, meski terkendala akses informasi.
“Karena lagi-lagi kan informasinya itu umum banget ya, ‘sewa kendaraan untuk monitoring distribusi logistik’, ini kan maknanya apa. Ini apa mereka itu sewa pesawat untuk distribusi atau distribusi monitoring?” ujar Agus.
Agus menegaskan bahwa proses pengadaan ini perlu transparansi, apalagi klaim pemerintah tentang pengadaan digital yang minim praktik korupsi tidak sepenuhnya terbukti.
Eks Ketua KPU Curiga Sewa Jet untuk Kepentingan Tertentu: Pasti Sekjen Tahu
Pegiat pemilu sekaligus dosen Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini dan Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/8/2024). (Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow)
Mantan Ketua KPU RI, Hadar Nafis Gumay, menyatakan temuan investigasi TII menjadid sinyal buruk bagi kondisi lembaga penyelenggara pemilu di Tanah Air.
“Kalau sudah membaca laporan investigasi dari TII, itu indikasinya (korupsi) menurut saya cukup kuat,” tegas Hadar, Rabu (30/4).
Menurutnya, pengadaan sewa private jet dengan anggaran besar dan waktu yang dianggap tidak relevan tidak masuk akal, mengingat tahapan logistik pemilu telah terjadwal jauh hari.
“Jadi itu sudah bisa direncanakan. Jadi tidak perlu dilakukan mepet dengan kemudian menggunakan private jet yang bisa terbang seenak jadwalnya. Karena itu kan biayanya lebih tinggi,” ujarnya.
Hadar juga menilai alasan penggunaan jet untuk menjangkau daerah terpencil tidak berdasar. Ia menyebut jalur transportasi umum sudah memadai dan KPU pusat bisa menugaskan KPU daerah untuk memastikan kesiapan pemilu.
Yang paling tajam, Hadar menduga kuat bahwa pengadaan sewa jet ini tak mungkin terjadi tanpa sepengetahuan Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU, Bernad Dermawan Sutrisno.
“(Sekjen KPU) sudah pasti tahu (soal pengadaan sewa private jet). Sudah pasti. Tidak mungkin tidak tahu,” tegas Hadar.
Ia menambahkan, “Sekjen itu dibuat untuk men-support kerja komisioner dalam menyelenggarakan pemilu. Memang tugas mereka, Kesekjenan. Ya harus dikerja mereka, ditanya itu.”
Sebagai Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Hadar mendorong agar aparat hukum segera menyelidiki dugaan penyimpangan tersebut. Ia mengingatkan, seluruh penggunaan uang negara wajib dipertanggungjawabkan secara transparan dan sesuai aturan.
“Penegakan hukum penting dilakukan agar citra penyelenggara pemilu tidak bertambah hancur,” pungkasnya.
Tribunnews.com telah berupaya menghubungi Ketua KPU Mochammad Afifuddin, serta beberapa anggota KPU, di antaranya Betty Epsilon Idroos, Idham Holik, dan Yulianto Sudrajat.
Namun, hingga berita ini ditulis, belum ada respons dari semua anggota KPU RI tersebut mengenai isu pengadaan sewa private jet ini.
Bagaimana pendapat Anda tentang dugaan mark-up dalam pengadaan sewa private jet oleh KPU? Bagikan opini Anda di kolom komentar dan sebarkan artikel ini di media sosial untuk meningkatkan kesadaran publik.
-

Pakar sebut perlu penataan rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu
“Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,”
Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT) Hadar Nafis Gumay mengatakan diperlukan penataan terkait proses rekrutmen tenaga penyelenggara pemilu guna menjaring tenaga yang profesional dan berintegritas dalam perbaikan sistem pemilu di tanah air.
“Jadi kita perlu cari ke depan penataan kembali, jadi bagaimana kita mendapatkan, merekrut mereka, mendapatkan yang betul-betul profesional, berintegritas dan juga mandiri,” kata Hadar saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) Komisi II DPR RI bersama sejumlah pakar terkait pandangan dan masukan terhadap sistem politik dan sistem pemilu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (5/3).
Hal itu disampaikannya merespons pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di 24 daerah sebagaimana yang diperintahkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“PSU kita di dalam keadaan yang jumlahnya demikian banyak dan sebagian besar itu sebetulnya menunjukkan ketidakberesan penyelenggara pemilunya,” ujarnya.
Dia lantas berkata, “Itu ada biaya besar yang harus ditanggung, harus digunakan, dan seharusnya ini (PSU) tidak terjadi kalau memang kita punya penyelenggara pemilu yang memang baik.”
Untuk itu, dia mengatakan agar proses seleksi tenaga penyelenggara pemilu harus dipastikan terbuka, terukur, dan bebas dari kepentingan politik.
Dia juga memandang penting pula untuk mempertimbangkan tenaga penyelenggara pemilu diisi oleh orang-orang yang memiliki kematangan usia.
“Kalau mereka adalah orang-orang yang sudah lebih matang, seharusnya mereka dalam bekerja untuk wasit-wasit penyelenggara pemilu itu tidak akan melihat atau memanfaatkan faktor itu,” ucapnya.
Termasuk, lanjut dia, memastikan kuota 30 persen keterwakilan perempuan ada di setiap level penyelenggara pemilu.
Selain itu, Hadar menilai perlu mempertimbangkan ulang keberadaan penyelenggara pemilu yang bersifat permanen. Menurut dia, apabila jarak keserentakan pemilu tidak berjauhan maka tidak perlu memiliki penyelenggara pemilu yang permanen di daerah.
“Jadi itu bisa dikurangi jumlahnya, dan tidak perlu dibuat permanen kalau memang jarak antara satu kelompok pemilu yang serentak dengan satu kelompok pemilu yang lain atau pilkada itu berdekatan,” tuturnya.
Dia pun menekankan bahwa kelancaran dan keberhasilan pelaksanaan pemilu akan sangat bergantung pada penyelenggaranya.
“Bahkan ada banyak yang bilang, sebagian besar atau 50 persen pemilu itu sudah kita bisa dapatkan sebagai satu pemilu yang baik kalau penyelenggaranya itu juga bekerja dengan baik, sesuai dengan aturan yang berlaku,” paparnya.
Terlebih, ujarnya lagi, Indonesia memiliki lembaga penyelenggara pemilu yang terbilang lengkap, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Kita punya penyelenggara yang sangat lengkap, dan itu sangat besar, otoritasnya juga luar biasa besar. Ada KPU, ada Bawaslu, dan ada DKPP, tetapi pertanyaannya kok pemilu kita ini bermasalah terus? Jadi ini sesuatu yang harus kita cari jawabannya. Jangan-jangan memang ada persoalan dari penyelenggaranya,” ucap dia.
Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025 -

Presidential Threshold Dihapus, Begini Respons Parpol
loading…
Parpol nasional peserta Pemilu 2024. Ilustrasi/Dok SINDOnews
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden ( presidential threshold ). Sejumlah partai politik ( parpol ) pun merespons putusan tersebut.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Adapun norma yang diujikan oleh para Pemohon adalah Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ( Pemilu ), yang menyatakan, pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
“Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.
“Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” lanjutnya.
Untuk diketahui, permohonan ini diajukan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip “one man one vote one value” tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip “one value” karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.
Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.
Dikutip dari laman MK , dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam tiga perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 129/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra. Kemudian, Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.
Respons 6 Parpol
1. PDIP
Juru Bicara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Chico Hakim menghormati putusan MK tersebut. “Tentu kita harus menghormati putusan MK yang final dan binding sifatnya. Namun tentu ada beberapa catatan terkait dengan sampai adanya threshold 20% sebelum ini tentunya adalah kesepakatan dari fraksi-fraksi dan partai politik yang ada di parlemen dan tentu banyak pertimbangan untuk mengapa sehingga mencapai threshold 20 persen,” jelas Chico dalam keterangannya, dikutip Jumat (3/1/2025).
Menurutnya, banyaknya alternatif pilihan calon baik untuk demokrasi. Tetapi, ia menilai, penjaringan calon presiden penting dilakukan. “Karena tentu walaupun alternatif pilihan dan ketersediaan pilihan yang banyak itu juga baik untuk demokrasi, namun tentu penjaringannya juga penting. Dalam artian supaya tidak terlalu bebas sehingga tidak ada penjaringan ideologi misalnya dan hal-hal yang sifatnya untuk non-teknis lain,” ucap Chico.
-

MK Putuskan Gugatan Ambang Batas Calon Presiden Siang ini
loading…
Mahkamah Konstitusi (MK) bakal memutuskan gugatan perkara ambang batas presiden (Presidential Threshold), Kamis (2/1/2025) siang. FOTO/DOK.SINDOnews
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi ( MK ) bakal memutuskan gugatan perkara ambang batas presiden ( Presidential Threshold ). Pembacaan putusan akan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Kamis (2/1/2025) siang.
Berdasarkan penulusuran melalui website resmi MK, terdapat empat gugatan yang berkaitan dengan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Gugatan itu bernomor perkara, 62, 87, 101, 129/PUU-XXI/2023.
Perkara nomor 62 diajukan oleh Enika Maya Oktavia. Perkara 87 dimohonkan Dian Fitri, Muhammad S Muchtadin, Muhammad Saad. Sementara perkara 101 diajukan oleh yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang dalam hal ini diwakili oleh Hadar Nafis Gumay, dan Titi Anggraini. Yang terakhir perkara 129 yang diajukan oleh Gugum Ridho Putra.
Dalam permohonannya, pemohon menguji Pasal 222 UU Pemilu yang mengatur soal syarat menjadi peserta pilpres. Dalam pasal itu, pasangan pilpres harus mendapat dukungan dari parpol gabung minimal 20% yang memiliki kursi di DPR RI atau 25% perolehan suara sah nasional.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih meminta untuk menunggu hasil persidangan. “Waduh, kalau soal ambang batas presiden, presiden threshold, sabarlah menunggu, kayaknya nggak lama lagi kita akan mendengarkan seluruhnya,” kata Enny kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).
Dirinya tidak bisa menyampaikan hasilnya lebih dahulu karena persidangan akan dilaksanakan pada pukul 13.00 WIB di ruang sidang Gedung MK, Jakarta.
“Entah apa itu nanti hasilnya, ini tidak bisa saya sampaikan di sini. Sabarlah menunggu, waktunya tidak lama lagi, pada jam 1 nanti akan langsung dilakukan pengucapan putusan. Bersabarlah,” sambungnya.
(abd)
-

Golput Tinggi, Pakar Duga Banyak Pemilih Sengaja Bikin Suara Tak Sah sebab Tak Percaya Paslon
GELORA.CO – Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) sekaligus mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hadar Nafis Gumay menduga, banyak pemilih sengaja membuat suaranya tidak sah pada Pilkada 2024.
Pasalnya, partisipasi pemilih pada Pilkada 2024 terbilang rendah, atau banyak pemilih golput. Pada Pilkada Jakarta 2024 misalnya, partisipasi pemilih hanya 57,5 persen.
“Patut diduga banyak pemilih yang tetap hadir memilih, namun sengaja membuat surat suaranya tidak sah. Wujud protes mereka terhadap kondisi yang ada,” ujar Hadar kepada Kompas.com, Minggu (1/12/2024).
Hadar menduga, pemilih melakukan hal tersebut lantaran tidak percaya dengan pilihan calon kepala daerah yang ada.
“Saya kira wujud ketidakpercayaan kepada pilkada, khususnya terhadap paslon yang ada,” ucapnya.
Hadar lantas memberikan sejumlah catatan bagi pemerintah agar partisipasi pemilih kembali meningkat. Salah satunya, dengan membuat publik sadar betapa pentingnya partisipasi mereka dalam pemilihan umum.
“Dua, permudah dan sederhanakan proses penggunaan hak pilih. Tiga, buat jarak waktu lebih panjang dari pelaksanaan pemilu. Empat, tata proses pencalonan yang lebih memungkinkan ada lebih banyak paslon,” imbuh Hadar.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 tak sampai 70 persen berdasarkan rata-rata nasional.
“Dari data-data yang tersedia memang di bawah 70 persen, tapi tentu kalau di-zoom in, masing-masing provinsi dan kabupaten/kota beda-beda. Ada juga ya provinsi sudah 81 persen, ada yang 77 persen, ada yang memang 54 persen, itu masih ada,” kata anggota KPU RI Augus Mellaz dalam jumpa pers, Jumat (29/11/2024).
Berdasarkan pemantauan via Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU RI pada Jumat sore, dari 98,5 persen data yang masuk, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada Serentak 2024 hanya 68,16 persen.
Partisipasi pada Pilkada Sumatera Utara hanya 55,6 persen, sedangkan DKI Jakarta hanya 57,6 persen, terendah sepanjang sejarah.
Secara nasional, tingkat partisipasi pemilih dalam pilkada ini jauh lebih rendah ketimbang Pilpres 2024 Februari lalu yang mencapai 80 persen lebih.
Mellaz berdalih, upaya-upaya sosialisasi dan penyebarluasan informasi terkait pemungutan suara Pilkada Serentak 2024 tidak berbeda dibandingkan Pilpres 2024.
“Meskipun rata-rata nasional biasanya kalau dalam konteks pilkada dibandingkan pilpres, pileg, itu biasanya di bawah,” ucap Mellaz.
-
/data/photo/2024/08/27/66cd522ab98db.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Transparansi KPU Dipertanyakan Usai Tak Tampilkan Grafik Perolehan Suara Pilkada 2024 di Sirekap
Transparansi KPU Dipertanyakan Usai Tak Tampilkan Grafik Perolehan Suara Pilkada 2024 di Sirekap
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (
KPU
RI) tidak menampilkan grafik atau tabulasi perolehan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap).
Hal ini membuat KPU Jakarta mengikuti kebijakan yang telah ditentukan KPU RI sehingga rekapitulasi suara
Pilkada Jakarta
2024 tidak dipublikasikan di Sirekap.
“Kami tegaskan bahwa Sirekap ini adalah alat bantu. Dia hanya menampilkan, mempublikasikan foto C Hasil di setiap TPS sehingga masyarakat dapat mengontrol, memantau, mengawasi kalau dalam proses rekapitulasi di tingkat kecamatan nanti ada yang tidak sinkron atau tidak sesuai dengan yang dipublikasikan di Sirekap tersebut,” ungkap Anggota KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah, dikutip dari video YouTube
Kompas TV
, Kamis (28/11/2024).
Fahmi mengatakan, secara resmi KPU Jakarta melakukan rekapitulasi suara secara manual dan berjenjang.
Langkah ini yang akan menjadi dasar bagi KPU Jakarta untuk menetapkan pasangan calon yang memenangkan
Pilkada Jakarta 2024
.
“Jadi tujuannya adalah mempublikasikan C Hasil secara cepat, untuk kemudian masyarakat dapat memantau, mengontrol, dan mengawasi supaya tidak terjadi pergeseran suara, ataupun tidak ada permainan merubah-rubah suara di setiap TPS, tujuannya itu,” kata Fahmi.
Direktur Eksekutif Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit)
Hadar Nafis Gumay
mempertanyakan transparansi KPU selaku penyelenggara Pilkada 2024.
Hadar menilai, tidak adanya grafik atau tabulasi perolehan suara Pilkada di Sirekap justru menunjukkan KPU tidak transparan. Padahal, transparansi menjadi salah satu komitmen KPU dalam pelaksanaan pilkada.
“Saya kira ini (KPU tidak membuka membuka tabulasi perolehan suara pilkada) satu kekeliruan yang mereka lakukan kali ini. Karena sebetulnya di dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya, termasuk dalam pilkada, itu (tabulasi perolehan suara) diumumkan,” jelas Hadar saat dihubungi
Kompas.com
, Jumat (29/11/2024).
Hadar berujar, tidak adanya tabulasi perolehan suara Pilkada 2024 pada akhirnya malah menimbulkan kegaduhan.
Salah satunya adalah terjadinya saling klaim kemenangan dan sebagainya di antara masing-masing pasangan calon yang berlaga di pilkada.
“Sehingga akhirnya ada ruang besar di mana masing-masing pihak ini bisa mengklaim sendiri-sendiri dengan lebih leluasa,” jelas Hadar.
Hadar mengaku heran mengapa KPU tidak mau menampilkan tabulasi perolehan suara Pilkada 2024 di Sirekap.
Padahal, KPU sudah memiliki data perolehan suara maupun sistem untuk mempublikasikan data yang masuk di Sirekap.
“Dan alasan KPU DKI kemarin sangat lemah menurut saya dan dasarnya tidak cukup kuat karena penyelenggara pemilu itu haruslah kerja secara transparan. Dan transparan itu ya tidak dipilih-pilih. Jadi ini juga tidak menunjukkan bahwa mereka bertanggung jawab,” tegas Hadar.
“Jadi, mereka (KPU) tidak bisa kita anggap bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan sampai pada poin ini. Dan ini juga menunjukkan orang-orang penyelenggara yang tidak profesional menurut saya karena mereka punya semua keterampilan, tapi dia tidak dikerahkan semuanya,” sambung Hadar.
Lebih lanjut, Hadar berujar bahwa apabila KPU mau membuka tabulasi perolehan suara sementara Pilkada 2024 di Sirekap, itu bisa membuat mereka melakukan kontrol.
Dengan begitu, pihak-pihak yang mau mencoba-coba melakukan kecurangan, baik dari dalam dan luar tidak bisa melakukan kecurangan.
“Pagar atau batasan untuk melakukan kecurangan itu menjadi lebih terbuka kalau KPU tidak menyampaikan hasil tabulasi sementara mereka yang mereka sudah punya. Jadi kita bertanya, jangan-jangan mereka punya motif politik,” kata Hadar.
“Jadi saya kira ini memprihatinkan dan penyelenggara pemilu kita harus bertanggung jawab terhadap situasi sekarang yang membuat semua bertanya-tanya,” imbuhnya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
