Tag: Habiburokhman

  • IPW Soroti Polisi-Polisi yang Terseret Kasus Sambo Aktif Lagi dan Naik Pangkat

    IPW Soroti Polisi-Polisi yang Terseret Kasus Sambo Aktif Lagi dan Naik Pangkat

    GELORA.CO – Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso meminta Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) untuk menghindari praktik silent blue code, yakni memberikan ruang bagi aparatur yang melanggar, mendapatkan kenaikan pangkat selang sanksi diberikan. Praktik ini contohnya terjadi pada banyak perwira Polri yang pernah terjerat kasus Ferdy Sambo.

    “Silent Blue Code ini adalah satu praktik yang mentoleransi adanya pelanggaran di internal. Ketika itu masih menjadi sorotan, mereka memang kemudian disanksi. Beberapa kasus saya sebutkan di sini ya, mereka disanksi, tetapi dengan lewatnya waktu, diketahui oleh masyarakat, yang disanksi ini kemudian naik pangkat dan menduduki jabatan (baru),” katanya dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR RI bersama Panitia Kerja (Panja) Reformasi Polri, Kejaksaan RI, dan Pengadilan di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (4/12/2025).

    Menurut Sugeng, reformasi Polri bukan sekadar usulan merombak jajaran, tetapi terdapat hal yang lebih penting, yakni menumbuhkan kultur positif yang menolak praktik impunitas maupun silent blue code yang akan menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat pada bidang pengawasan dan sanksi.

    “Itu kan banyak perwira-perwira yang disanksi, bahkan yang diberhentikan sekarang aktif kembali, bahkan naik pangkat. Ada juga yang disanksi karena diduga terlibat dalam pemerasan, juga naik pangkat. Ini menimbulkan ketidakpercayaan, salah satu aspek ya,” ujarnya.

    Kultur yang lebih tegas terhadap penindakan dan penegakan hukum, kata Sugeng, sangat mendorong citra positif kepolisian sebagai institusi negara yang harmonis dan meningkatkan kepercayaan publik.

    Ia mencontohkan praktik silent blue code ini terdapat pada kasus meninggalnya Brigadir Josua oleh eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo yang menyeret banyak nama perwira tinggi kepolisian itu ke kasus pembunuhan berencana.

    “Apa contohnya? Tentu kita lihat kasus imbas daripada terbunuhnya Brigadir Josua. Itu kan banyak perwira-perwira yang disanksi, bahkan yang diberhentikan sekarang aktif kembali, bahkan naik pangkat,” tuturnya.

    Selain itu, Sugeng menyampaikan bahwa Polri merupakan wajah, dan postur dari Presiden terkait visi untuk menerapkan prinsip negara hukum. Hal tersebut termasuk untuk mereformasi kultural Polri untuk menjadi keharusan dalam menjalankan negara yang berdemokrasi.

    “Itu salah satu bahwa Polri adalah alat kerja Presiden. Wajah, postur, penampakan Polri itu tergantung kepada visi Presiden tentang prinsip negara hukum, hak asasi manusia, dan juga tentang demokrasi, yang pertama. Kemudian yang kedua, reformasi kultural adalah satu keharusan,” ucapnya.

    Oleh karena itu, Sugeng mengingatkan bahwa Polri harus lebih harmonis dalam melayani masyarakat terkait menghindari tindakan impunitas yang sering menjadi keluhan publik terhadap institusi kepolisian.

    “IPW mengingatkan kepada Polri, agar Polri walaupun mendapat perintah dari Presiden, harus memperhatikan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia. Karena perintah tersebut apabila dijalankan dengan secara tidak tertib hukum, itu berpotensi melanggar hak asasi manusia dan bisa merepresi. Itu yang kami ingatkan,” tutur Sugeng.

    Reformasi kultural

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa reformasi terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) harus dilakukan secara kultural, bukan struktural. Dia menilai pengaruh terbesar yang mencederai institusi Korps Bhayangkara itu adalah para anggotanya, bukan karena kedudukan lembaga atau hal-hal lainnya yang berkaitan dengan struktur.

    “Bukan persoalan struktural, polisi di bawah siapa, kemudian pengangkatan Kapolri oleh siapa, dengan persetujuan siapa, bukan itu. Tapi pengendalian,” kata Habiburokhman saat Rapat Panitia Kerja (Panja) Reformasi Aparat Penegak Hukum di kompleks parlemen, Selasa (2/12/2025).

    Habiburokhman mengungkapkan bahwa Komisi III DPR RI pun sudah beberapa kali membongkar polemik penegakan kasus yang berkaitan dengan perilaku anggota kepolisian. Contohnya, kata dia, kasus meninggalnya tahanan Polres Palu yang semula disebut bunuh diri, ternyata ada penganiayaan yang dilakukan oleh polisi di sana, yang kemudian dipecat.

    Lalu ada juga kasus Ronald Tannur yang tak hanya melibatkan polisi, tetapi melibatkan aparat penegak hukum lainnya, bahkan pengadilan. Dan yang terbaru, kata dia, ada kasus pemilik toko roti yang menganiaya karyawannya di Jakarta Timur, tetapi tak kunjung ditangkap oleh polisi.

    Untuk persoalan struktural, menurut dia, kedudukan Polri di bawah langsung Presiden sudah tepat. Selain itu, dia mengatakan bahwa ketentuan itu merupakan Ketetapan (TAP) MPR RI Tahun 2000.

    Di sisi lain, dia pun menilai pengangkatan Kapolri oleh Presiden atas persetujuan DPR merupakan aturan yang sudah tepat. Menurut dia, ketentuan itu merupakan amanat reformasi supaya ada pemisahan kekuasaan.

    “Saat itu kita ingin benar-benar mempraktikkan, mengimplementasikan pemisahan kekuasaan, sebagaimana teori trias politica-nya Montesquieu, eksekutif, legislatif, yudikatif,” kata dia.

    Anggota Komisi III DPR RI Bimantoro Wiyono menilai, perlu ada sistem reward and punishment yang tegas dan terukur. Ketika ada aparat yang bekerja baik dan berintegritas, negara harus hadir memberi penghargaan.

    “Sebaliknya, bila ada pelanggaran, sanksinya harus jelas dan berat. Ini harus berjalan seimbang,” kata dia.

    Rekomendasi Komisi

    Komisi Percepatan Reformasi Polri merekomendasikan agar Polri mengevaluasi Peraturan Kapolri (Perkap) dan Peraturan Kepolisian (Perpol) menyusul disepakatinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru. Rekomendasikan itu disampaikan oleh komisi dalam pertemuan bersama Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo di kawasan Jakarta Selatan, Kamis.

    “Kami memberi rekomendasi kepada Kapolri untuk segera mengadakan evaluasi dengan memanfaatkan dukungan tim transformasi internal yang juga selalu ikut di dalam pertemuan-pertemuan rapat dengan pendapat dengan Komisi Percepatan Reformasi Polri, supaya mereka bisa segera mengadakan evaluasi, menyiapkan perubahan Perkap dan Perpol,” kata Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie.

    Dengan dilaksanakannya evaluasi awal, diharapkan Perkap dan Perpol yang perlu diperbaiki dapat mengikuti ketentuan baru KUHP maupun KUHAP.

    “Dengan begitu antara tim reformasi Polri dan tim internal itu bekerja saling menunjang untuk perbaikan kepolisian di masa yang akan datang,” ucapnya.

    Sebelumnya, Rapat Paripurna ke-18 DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 205-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP untuk disahkan menjadi undang-undang.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan bahwa pengesahan KUHAP yang baru merupakan hal yang penting, mengingat KUHAP yang lama sudah berusia 44 tahun. KUHAP baru, kata dia, diarahkan untuk menuju keadilan yang hakiki.

    Dia mengatakan KUHAP yang baru itu akan mendampingi penggunaan KUHP baru yang sudah disahkan sebelumnya. KUHP sebagai hukum materiil, harus dilengkapi oleh KUHAP baru sebagai hukum formil untuk operasionalnya.

    Pengaturan baru yang diatur dalam KUHAP, di antaranya bantuan hukum, jaminan tersangka, keadilan restoratif, pendamping saksi, penguatan praperadilan. Pada intinya, dia memastikan bahwa KUHAP yang baru itu sangat progresif.

  • IPW Sorot Praktik Mentoleransi Pelanggaran di Internal Polri, Desak Reformasi Kultural
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        4 Desember 2025

    IPW Sorot Praktik Mentoleransi Pelanggaran di Internal Polri, Desak Reformasi Kultural Nasional 4 Desember 2025

    IPW Sorot Praktik Mentoleransi Pelanggaran di Internal Polri, Desak Reformasi Kultural
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso menegaskan bahwa kultural merupakan aspek paling penting yang perlu direformasi dari Polri.
    Sebab selama ini, kekecewaan masyarakat terhadap
    kepolisian
    berpusat kepada kinerjanya di sektor penegakan hukum, pengawasan, dan sanksi.
    “Reformasi kultural adalah satu keharusan. Nah, banyak kekecewaan masyarakat memang berpusat kepada kinerja
    Polri
    , khususnya terkait penegakan hukum, pengawasan, dan sanksi,” ujar Sugeng dalam rapat panitia kerja (panja)
    reformasi kepolisian
    , kejaksaan, dan pengadilan
    Komisi III DPR
    , Kamis (4/12/2025).
    Sugeng kemudian menyinggung
    silent blue code
    yang merupakan praktik mentoleransi adanya pelanggaran di internal.
    Jika ada pelanggaran di internal kepolisian yang ditindak, ia menilai bahwa penindakan itu diambil karena masih adanya sorotan dari publik.
    “Tetapi dengan lewatnya waktu ya, yang diketahui oleh masyarakat yang disanksi ini kemudian naik pangkat dan menduduki jabatan,” ujar Sugeng.
    “Ini adalah praktik
    silent blue code
    yang mengarah kepada impunitas merangkat, gitu ya. Impunitas merangkak nih, jadi sebetulnya orang yang sudah salah, kemudian dia naik,” sambungnya menegaskan.
    Sugeng mengambil contoh kasus meninggalnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat yang menyeret mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo.
    Dalam kasus itu, banyak perwira yang akhirnya menerima sanksi hingga diberhentikan dari kepolisian. Namun, beberapa di antaranya justru aktif kembali bahkan naik pangkat.
    “Ada juga yang disanksi karena diduga terlibat dalam pemerasan, juga naik pangkat. Nah ini menimbulkan ketidakpercayaan, salah satu aspek ya,” ujar Sugeng.
    Dalam rapat panja sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menekankan,
    reformasi Polri
    harus ditekankan pada aspek kultural, bukan struktural.
    “Reformasi ini memang kita harus maksimalkan di kultural, bukan struktural kalau di kepolisian,” ujar Habiburokhman, Selasa (2/12/2025).
    Habiburokhman mengatakan, Polri selama ini dicitrakan buruk oleh masyarakat karena perilaku anggotanya.
    Ia mencontohkan kasus meninggalnya tahanan yang sebelumnya dinyatakan bunuh diri di Polres Palu. Rupanya, tahanan tersebut tewas akibat dianiaya anggota kepolisian.
    Contoh lainnya adalah kasus penganiayaan oleh pemilik toko roti terhadap karyawannya di Jakarta Timur, yang saat itu tak kunjung ditangkap oleh kepolisian.
    “Pengaruh terbesar yang menciderai nama baik Polri itu adalah soal perilaku anggota. Kaya tadi kasus-kasus yang saya sampaikan, itu bukan persoalan struktural,” tegas Habiburokhman.
    Ia pun menyinggung DPR yang telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai undang-undang.
    Di dalammya ditekankan bahwa kepolisian juga diawasi oleh masyarakat, dengan memperkuat hak warga negara dalam KUHAP baru.
    “Tambah kita kunci lagi, ketentuan bahwa penegak hukum yang melampaui tugasnya, menjalankan tugas, melanggar ketentuan dalam melaksanakan tugas, harus menghadapi sanksi administrasi, etik, dan pidana,” tegas Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ketua Komisi III: Reformasi Polri Harus Dimaksimalkan di Kultural
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 Desember 2025

    Ketua Komisi III: Reformasi Polri Harus Dimaksimalkan di Kultural Nasional 2 Desember 2025

    Ketua Komisi III: Reformasi Polri Harus Dimaksimalkan di Kultural
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menekankan, reformasi Polri harus ditekankan pada aspek kultural, bukan struktural.
    Hal tersebut disampaikannya dalam rapat panitia kerja (panja)
    reformasi kepolisian
    , kejaksaan, dan pengadilan, di Ruang Rapat
    Komisi III
    , Kompleks Parlemen, Jakarta.
    “Reformasi ini memang kita harus maksimalkan di kultural, bukan struktural kalau di kepolisian,” ujar
    Habiburokhman
    , Selasa (2/12/2025).
    Habiburokhman mengatakan,
    Polri
    selama ini dicitrakan buruk oleh masyarakat karena perilaku anggotanya.
    Ia mencontohkan kasus meninggalnya tahanan yang sebelumnya dinyatakan bunuh diri di Polres Palu. Rupanya, tahanan tersebut tewas akibat dianiaya anggota kepolisian.
    Contoh lainnya adalah kasus penganiayaan oleh pemilik toko roti terhadap karyawannya di Jakarta Timur, yang saat itu tak kunjung ditangkap oleh kepolisian.
    “Pengaruh terbesar yang menciderai nama baik Polri itu adalah soal perilaku anggota. Kaya tadi kasus-kasus yang saya sampaikan, itu bukan persoalan struktural,” tegas Habiburokhman.
    Ia pun menyinggung DPR yang telah mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai undang-undang.
    Di dalamnya ditekankan bahwa kepolisian juga diawasi oleh masyarakat, dengan memperkuat hak warga negara dalam KUHAP baru.
    “Tambah kita kunci lagi, ketentuan bahwa penegak hukum yang melampaui tugasnya, menjalankan tugas, melanggar ketentuan dalam melaksanakan tugas, harus menghadapi sanksi administrasi, etik, dan pidana,” tegas Habiburokhman.
    ANTARA FOTO/BAYU PRATAMA S Ilustrasi polisi amankan demo di Jakarta pada 19 Oktober 2025
    Dalam kesempatan berbeda, Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo mengakui, pekerjaan rumah terbesar dalam
    reformasi Polri
    berada di aspek kultural.
    Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR yang membahas penegakan reformasi hukum di Indonesia, pada Selasa (18/11/2025).
    “Reformasi yang awalnya struktural, instrumental, yang masih menjadi PR kami yang kami rasakan hari ini dari semua saran, masukan, kritikan, dan harapam masyarakat adalah reformasi di bidang kultural,” ujar Dedi di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta.
    Dalam kesempatan tersebut, Dedi juga mengakui bahwa demonstrasi pada akhir Agustus dan awal September 2025 menjadi titik balik Polri untuk melakukan perbaikan.
    “Namun demikian, nanti kami laporkan pada sebelumnya bahwa sebelum peristiwa Agustus kelabu dan black September, kami sebenernya sudah melakukan evaluasi sesuai dengan perintah Bapak Kapolri,” ujar Dedi.
    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kata Dedi, berpesan agar institusi kepolisian tidak lelah untuk terus memperbaiki diri.
    “Reformasi Polri ini berjalan secara terus menerus hingga hari ini, sesuai dengan arahan dan perintah Kapolri, kita tidak boleh lelah untuk terus memperbaiki diri,” ujar Dedi.
    Setidaknya terdapat empat fokus transformasi Polri, yakni di bidang organisasi, operasional, pengawasan, dan pelayanan publik.
    “Ini terus menjadi catatan kami untuk kami melakukan perbaikan-perbaikan juga,” ujar Dedi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Meme Lo Lucu, Tapi Pasalnya Enggak: Gegara KUHAP, Roasting Pejabat Bisa Ditangkap
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        28 November 2025

    Meme Lo Lucu, Tapi Pasalnya Enggak: Gegara KUHAP, Roasting Pejabat Bisa Ditangkap Megapolitan 28 November 2025

    Meme Lo Lucu, Tapi Pasalnya Enggak: Gegara KUHAP, Roasting Pejabat Bisa Ditangkap
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Coba cek grup WhatsApp kalian yang namanya aneh itu, atau moots kamu di X sekarang. Isinya penuh meme muka pejabat yang lagi di-
    roasting
    , kan?
    Awas, bisa jadi ternyata salah satu mutual kamu itu ternyata intel aparat yang lagi nyamar buat nyari bukti pidana.
    Kedengarannya kayak lagi
    overthinking
    , tapi
    sorry to say
    , ketakutan ini makin valid dan nyata.
    Gara-garanya? Revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang kini sudah disahkan.
    Kamu yang hobi marah-marah atau bikin gambar meme dengan muka pejabat harus makin hati-hati, karena batas antara bercanda di medsos dan tindak pidana jadi makin buram.
    Kamu bisa ketawa lihat meme roasting pejabat hari ini, tapi besok bisa jadi kamu diciduk aparat karena dinilai melanggar hukum karena adanya KUHAP.
    Salah satunya, pasal soal polisi yang bisa menyamar alias
    undercover
    dan pasal karet yang bikin hobi spill kemarahan dan reposting meme kita jadi ngeri-ngeri sedap.
    Artikel ini mencoba untuk ngajak kamu, anak-anak muda Generasi Z buat membedah soal seberapa valid ketakutan soal pembatasan ekspresi di ruang digital dan bagaimana implementasi hukumnya setelah RKUHAP disahkan.
    Jujur aja deh, seberapa sering sih kamu bener-bener baca ratusan halaman naskah undang-undang yang tebalnya kayak kitab kera sakti itu?
    Bagi Gen Z yang dibombardir ribuan konten tiap harinya dari medsos, otak kita biasanya akan memilih informasi yang enteng dan mudah dicerna.
    Termasuk, meme yang jadi bahasa politik sekaligus ungkapan ekspresi keresahan kita semua.
    Zeta (22 tahun), seorang karyawan swasta di Jakarta Barat salah satunya.
    Baginya, isu hukum yang berat seperti KUHAP itu membosankan dan seringkali lewat begitu saja kalau tidak dikemas dengan bahasa visual.
    “Jujur sebenarnya persoalan KUHAP tuh tiba-tiba banget kan ya munculnya dan susah pula pahamnya.
    The moment
    orang tau ada KUHAP, enggak lama setelah itu sah gitu aja, tanpa masyarakat tau sebenernya apa sih si KUHAP ini,” cerita Zeta.
    Di tengah kebingungan buat
    keep up
    dengan RKUHAP, meme hadir sebagai penyelamat untuk dia bisa cari tau lebih dalam.
    Zeta mencontohkan sebuah meme viral yang menggambarkan situasi yang bikin semua orang bisa masuk penjara kalau berisik mengkritik kebijakan politik.
    Buat dia, meme ”
    This could be us, but you choose stop playing medsos
    ” jadi salah satu yang bikin
    awareness
    -nya soal RKUHAP muncul, karena takut hobi main medsosnya terusik.
    “Itu paling seru sih kayaknya. Meme itu beneran dapet respon positif, malah orang-orang lebih senang dengan konsep kalau ntar penjara penuh karena kita kritik pemerintah. Itu menarik banget,” kata Zeta.
    Hal yang sama ternyata juga dialami Kharina (23), warga Bekasi yang punya
    screentime Twitter
    alias
    X
    mencapai 8 jam sehari.
    Menurut dia, meme cukup jitu buat jadi bentuk edukasi politik sekaligus hiburan.
    “Jujur lebih suka dalam bentuk meme, anggap aja hiburan tapi serius, gitu.
    Somehow
    saya tuh seneng, ada beberapa yang kritik pake meme, tapi isinya berbobot,” ujar Kharina.
    Bahkan, dia mengakui lebih suka mencerna informasi atau kritik-kritik yang dibungkus dengan konsep meme, karena bisa sekaligus jadi hiburan.
    “Kalo liat kritik pakai meme, jujur sering banget, sampai di tahap kalau liat meme kritik pemerintah tuh pasti langsung pencet
    retweet
    . Soalnya pergerakan kritik pakai meme itu keliatan lebih masif di kalangan netizen,” ucap dia.
    Nah, masalahnya, seperti kata Kharina, ketika kritik digital ini makin masif dan efektif, sepertinya aparat negara mulai merasa perlu untuk “menertibkan” narasi tersebut, salah satunya lewat KUHAP.
    Buat Gen Z, politik itu nggak melulu soal debat kaku ala generasi boomer di acara televisi.

    Justru, meme di medsos yang sering dianggap enggak penting sama orang-orang tua, ternyata memang terbukti bisa jadi ekspresi politik anak muda secara ilmiah, guys!
    Berdasarkan riset Fatanti & Prabawangi (2021) di Universitas Negeri Malang terbukti kalau meme politik juga bentuk partisipasi politik anak muda.
    “Melalui meme, warga negara bukan hanya dapat menyuarakan pendapatnya, namun juga memperoleh dan menyebarkan informasi sekaligus hiburan. Selain itu, meme juga dapat bertindak sebagai medium edukasi dan literasi politik bagi anak muda,” jelas hasil riset itu.
    Enggak cuma itu, riset internasional Limor Shifman (2014) di Massachusets Institute of Technology (MIT) juga bilang kalau meme itu bisa jadi fundamental edukasi politik paling simpel di internet.
    Daripada darah tinggi liat kelakuan pejabat yang
    red flag
    , Gen Z lebih milih nge-
    roasting
    lewat visual kocak dan satir yang bikin kritik terasa lebih seru dan gampang dicerna.
    Nggak cuma itu, meme juga sering jadi
    entry point
    atau pintu gerbang pertama yang bikin kita melek sama isu berat—mulai dari kasus korupsi sampai drama pemilu—yang mungkin males kita baca kalau cuma lewat teks berita panjang.
    Well
    , mau nonton berita di televisi atau lewat meme konyol di medsos,
    It’s still politics, but just make it fun, right
    ?
    Eits
    , tapi kita harus tau nih, ada salah satu bagian di KUHAP yang bisa bikin para Gen Z
    anxiety
    , yaitu pasal soal penyamaran, yang dinilai jadi pasal karet.
    Dalam KUHAP yang baru, tepatnya di Pasal 136, aparat penyidik punya kewenangan buat memakai teknik penyamaran alias undercover untuk mendalami suatu tindak pidana.
    Skenarionya gini, misalnya, kamu sering diskusi soal politik, bahkan sampai marah-marah ke pejabat publik di media sosial.
    Ternyata, ada satu orang mutual anonim kamu di medsos yang sering mancing emosi dengan ngasih unjuk kebijakan yang cukup ngeselin, sampai akhirnya kamu memaki para pejabat pakai kata-kata kasar.
    Cekrek. Chat itu di-screenshot dan langsung bisa jadi alat bukti sampai kamu diciduk karena dianggap mencemarkan nama baik atau menghina lembaga negara.
    Pengacara Publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Fadhil Alfathan bilang, sebenarnya penyamaran itu cuma boleh dipakai buat kasus narkotika, termasuk di dalam KUHAP yang disebut lewat bagian penjelasan.
    “Nah tapi problemnya, itu kan adanya di penjelasan umum ya, khawatirnya ini kemudian sangat rentan ada misuse pada penggunaan teknik investigasi khusus ini, digunakan tanpa pemahaman yang jelas dari aparat penegak hukum,” kata Fadhil.
    Buat kalian yang udah punya
    trust issue
    ke aparat yang melakukan proses hukum enggak sesuai prosedur, cukup wajar kalau khawatir penyamaran ini dilakukan di luar kasus narkotika.
    “Tentu menurut saya valid gitu ya (kekhawatiran), karena memang tidak ada jaminan bagi warga negara untuk kemudian terbebas dari penyalahgunaan kekuasaan aparat, tentu itu suatu hal yang valid. Apalagi, tidak ada mekanisme pengawasan dan tanggung jawab yang jelas di hukum kita,” ucap Fadhil.
    Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar ikut memvalidasi ketakutan ini.
    Fickar menyoroti tajam soal praktik penyamaran yang dilakukan aparat sebagai sebuah penjebakan.
    “Menurut saya, kalau undercover itu sudah terlalu jauh. Dan ini menurut saya bertentangan dengan asas-asasnya sendiri, asas dari hukum acara pidana,” kata Fickar.
    Fickar menjelaskan sebuah prinsip hukum dasar yaitu asas praduga tak bersalah yang membuat orang harus dianggap baik sampai terbukti jahat.
    Tapi, dengan teknik
    undercover
    yang tidak dibatasi secara jelas, Fickar menilai polisi bisa melakukan apa yang disebut entrapment alias penjebakan.
    Misalnya, praktik memancing orang lain buat menjelek-jelekkan atau menghina seseorang di media sosial alias
    rage baiting
    .
    “Itu kan memancing orang untuk memancing orang melakukan tindak pidana, yang tadinya tidak mau berbuat pidana, karena dipancing itu jadi pidana,” jelas Fickar.
    Simpelnya gini, kamu itu tadinya anak baik-baik yang cuma mau keluh kesah biasa aja.
    Tapi, saat kamu diincar karena sering mengkritik, ada intel yang nyamar dan memprovokasi di medsos sampai jadi ikut-ikutan ngomong kasar atau menyebar info yang belum tentu benar.
    Kalau kata Fickar, orang yang tadinya enggak punya niat jahat, jadi bisa terpancing untuk punya niat jahat karena dorongan dari penyamar tadi.
    Fickar juga menegaskan bahwa teknik
    undercover
    dan penjebakan itu hanya masuk akal untuk kasus narkotika, di mana peredarannya tertutup dan tingkat kerusakan terhadap generasi bangsanya sangat besar.
    “Mestinya ketentuan menjebak lewat penyamaran itu jangan diatur di dalam ketentuan yang umum. Karena kalau di ketentuan umum maka berlaku secara umum, untuk kasus apa saja,” kata Fickar.
    “Misalnya ada orang sengaja dikentutin biar marah, terus pas dia mukul, langsung dikenain pasal penganiayaan,” sambungnya memberikan analogi satir.
    Jadi, ketakutan Gen Z yang ngerasa KUHAP jadi bikin aparat makin
    red flag
    itu ternyata cukup punya alasan yang kuat. Duh, ngeri juga, ya.
    Dis aat netizen panik soal potensi kriminalisasi, DPR RI akhirnya juga ikut
    speak up
    .
    Kalau kata Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, narasi seram yang seliweran di
    timeline
    itu cuma berlebihan dan salah kaprah.
    Menurut dia, KUHAP yang baru disahkan 18 November 2025 kemarin justru bikin syarat penangkapan jadi jauh lebih ribet dibanding aturan lama.
    “Syarat penangkapan dalam
    revisi KUHAP
    jauh lebih banyak dan lebih berat dibandingkan dengan KUHAP lama,” kata Habiburokhman di Gedung DPR RI, Selasa (18/11/2025) lalu.
    Jadi, buat kamu yang takut tiba-tiba diciduk pas lagi repost meme lucu itu, DPR minta kamu tenang dulu. Katanya sih, polisi enggak bisa asal main tangkap tanpa kepastian tindak pidananya.
    Habiburokhman juga menjelaskan kalau di
    KUHAP baru
    , polisi enggak bisa sembarangan menetapkan tersangka, alias harus punya dua alat bukti dulu.
    Terus soal penahanan, aturannya diklaim lebih objektif dan enggak cuma mengandalkan subjektivitas penyidik.
    Menurut Habiburokhman, kamu baru akan ditangkap kalau beneran red flag banget kelakuannya, misalnya, ngeghosting alias mangkir dari panggilan polisi dua kali berturut-turut, memberikan informasi palsu, menghambat pemeriksaan, mau kabur, atau menghilangkan barang bukti.
    “Nah, kalau di KUHAP baru, ini sangat obyektif, sangat bisa dinilai, gitu lho,” kata politisi Gerindra itu.
    Terus, dia juga bilang kalau narasi soal isu HP kita yang bisa disadap atau disita seenak jidat itu misleading.
    Katanya, semua aksi “mata-mata” kayak penyadapan, penbekuan rekening, sampai penyitaan handphone itu wajib ada izin dari pengadilan.
    Jadi, polisi enggak bisa jadi stalker dadakan yang intip chat WA kamu tanpa prosedur hukum yang sah.
    Nantinya, aturan detail soal penyadapan ini bakal diatur lebih lanjut di Undang-undang yang terpisah.
    Walaupun begitu, Pengacara Publik LBH, Fadhil Alfathan ngaku enggak mau percaya begitu aja sama polisi soal penyadapan ini.
    Menurut Fadhil, meskipun poin mengenai penyadapan ini belum diatur secara detail, tetap aja sudah ada dasar hukum buat polisi melakukan penyadapan.
    Malahan, jadi lebih bahaya karena belum dikasih aturan main yang jelas, karena belum adanya UU Penyadapan.
    “Tetap saja kita harus khawatir dan sangat valid, karena ya itu, walau belum detail, tapi tetap udah ada dasar hukum buat polisi menyadap. Malah jadi bahaya kalau polisi menginterpretasikan sendiri cara-cara penyadapannya,” ucap Fadhil.
    Selain takut dijebak intel, kekhawatiran terbesar Gen Z di medsos adalah soal konten yang kadang dianggap sensitif, tapi sebenarnya lucu, termasuk meme.
    Apa jadinya kalau meme muka pejabat yang kita edit dan bikin ketawa itu ternyata dianggap penghinaan? Apakah kita harus berhenti mengkritik lewat gambar?
    Zeta, sebagai sosok yang hobi lihat muka pejabat dijadikan meme, merasa aturan ini cukup tidak masuk akal.
    “Padahal main sosial media kan bebas ya, meme juga ekspresi aja gitu, keluh kesah. Itu malah ganggu kita sebagai masyarakat buat punya suara. Kalau diatur bahkan diancam gitu mah parah banget,” keluhnya.
    Tapi tenang, Pak Fickar ternyata cukup ngasih rasa lega, walau tetap ada batasan dalam bikin meme.
    Menurut Fickar, ada perbedaan besar yang harus dipahami pejabat saat menghadapi meme di media sosial, yaitu antara mengkritik kebijakan publik dan menyerang pribadi.
    Fickar mengingatkan kita pada konsep dasar negara demokrasi, pejabat publik itu pelayan rakyat yang digaji pakai uang pajak kita.
    “Sekeras apapun kritik warga negara terhadap pejabat publik, sepanjang ia masih pejabat publik, itu tidak berlaku itu hukum pidananya seharusnya. Penuntutan terhadap warga negara itu harusnya enggak boleh ada,” tegas Fickar.
    Lalu bagaimana dengan meme edit wajah pejabat yang blunder sampai seliweran di seluruh media sosial?
    “Sepanjang itu karikatur, tidak merusak wajah aslinya, itu tidak apa-apa. Kan gini, kalau karikatur digambar jadi kritik, tiap hari di koran Kompas juga ada, itu semua isinya sindiran kan. Itulah cerminan dari negara kita,” jelasnya.
    Artinya, kalau bikin meme yang menyindir kebijakan, misalnya kebijakan pajak naik, jalanan rusak, atau korupsi, itu adalah hak sebagai warga negara.
    Jadi, kalau kamu edit foto pejabat jadi badut untuk mengkritik “kinerjanya yang lucu kayak sirkus”, itu masih bisa diperdebatkan sebagai kritik satir.
    Tapi, kalau kamu edit foto pejabat dengan gambar porno, atau menghina bentuk fisiknya alias
    body shaming
    , atau menuduh urusan rumah tangganya, itu ada potensi masuk ranah pidana.
    Walaupun didukung ahli hukum, tapi dampak dari enggak jelasnya pasal karet di KUHAP tetap bikin sejumlah Gen Z ketar-ketir buat mengkritik.
    Bisa jadi, orang jadi takut bicara bukan karena mereka salah, tapi karena mereka takut dicari-cari kesalahannya.
    Kharina adalah salah satu bukti nyata korban fenomena ini dan berujung enggak lagi berani bersuara lantang pakai akun aslinya di media sosial.
    Dia memilih “bergerilya” lewat akun anonim atau
    fan account
    yang biasanya digunakan untuk urusan K-Pop.
    “Kalau posting kritik lumayan sering meskipun bukan pake akun pribadi, mostly pakai
    fan account
    . Karena itu akun publik satu-satunya dan anonim, jadi lebih ngerasa aman,” akunya sambil tertawa.
    Strategi
    hit and run
    pakai akun alter ini memang kerasa aman, tapi ini juga ironis.
    Bayangin aja, buat bertanya “uang pajak rakyat ke mana?”, kita harus effort sembunyi di balik foto profil idol K-Pop atau karakter anime favorit kita.
    Zeta menambahkan, rasa takut blunder dan fakta yang diputarbalikkan menjadi alasan utama kenapa banyak Gen Z mulai mengerem setelah adanya pengesahan KUHAP.
    “Aku sendiri nyoba kritik dalam batas wajar aja sih, enggak berani terlalu gimana-gimana, karena tetep takut blunder dan malah bisa diputerbalikin,” kata Zeta.
    Kondisi hukum negara kita memang enggak lagi baik-baik aja, tapi bukan berarti kita harus berhenti peduli.
    Dari wawancara panjang dengan para pakar hukum pidana, berikut rangkuman survival guide di tengah-tengah situasi ini biar kamu bisa tetap kritis dan juga aman:
    Sesuai peringatan Pak Fickar tadi, kita harus tetap waspada walaupun di ruang-ruang privat, seperti direct message medsos ataupun grup WhatsApp.
    Kalau ada orang yang terlalu agresif memancing buat ngejelek-jelekin politisi, bikin kerusuhan, apalagi sampai hal-hal radikal, mundur pelan-pelan! Ingat,
    entrapment
    itu nyata.
    Salah satu kunci buat selamat dari jeratan UU ITE adalah pastikan setiap meme atau tweet kamu punya basis argumen pada kebijakan publik.
    Do: “Kebijakan ini merugikan rakyat karena data menunjukkan…”
    Don’t: “Pejabat X mukanya jelek kayak…”
    Paham sih, kadang-kadang meme yang lucu emang lebih sering masuk FYP atau
    hit tweet
    , tapi inget, jangan sampai kamu beneran ketemu sama
    bestie
    -mu itu di dalam sel yang udah kalian janjikan, ya!
    Penggunaan gaya bahasa meme, sarkasme, atau karikatur itu dilindungi sebagai ekspresi seni dan demokrasi.
    Tapi jangan memanipulasi fakta sekadar untuk mencari sensasi atau menyulut amarah netizen yang kesabarannya setipis tisu dibagi dua, apalagi mengomentari urusan pribadi pejabat.
    Kita bisa belajar dari kedua Gen Z yang membagikan ceritanya: Zeta dan Kharina yang mungkin merasa takut, tapi tetap sepakat buat mencari cara supaya suaranya tetap didengar, meski harus lewat cara-cara anonim.
    Sebagai pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan juga nitipin satu pesan untuk para Gen Z supaya tetap bersuara.
    “Ekspresi itu bukan sekedar ngomong, itu bagian dari kebutuhan masyarakat. Mau ada seribu yang dipenjara sekalipun, harus dan pasti akan tetap ada orang yang terus berisik,” kata dia.
    Fadhil juga menegaskan kalau kita harus membuktikan pemidanaan negara terhadap masyarakat yang vokal mengkritik itu sia-sia.
    “Enggak ada pilihan lain selain mengkonsolidasikan kesadaran kolektif karena hukum yangg jelek dan merugikan publik harus terus dipertanyakan dan diperbaiki,” ucapnya.
    Kalau kamu menyaksikan di lingkunganmu ada orang-orang yang menjadi korban penangkapan atau kriminalisasi sesuai prosedur, masyarakat juga harus bisa saling jaga.
    Pada akhirnya, negara demokrasi itu hidup dari suara-suara berisik warganya, frens.
    Kalau kita semua diam karena takut, siapa lagi yang bakal ngingetin mereka yang duduk di kursi empuk sana?
    Tetap bikin meme dan tetaplah berisik, tapi mulai sekarang, Gen Z harus jadi netizen yang lebih cerdik!
    Katanya Gen-Z nggak suka baca, apalagi soal masalah yang rumit. Lewat artikel ini, Kompas.com  coba bikin kamu paham dengan artikel yang mudah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menteri Hukum Siapkan 3 PP Krusial Jelang KUHAP Baru Berlaku Awal 2026

    Menteri Hukum Siapkan 3 PP Krusial Jelang KUHAP Baru Berlaku Awal 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menyiapkan tiga peraturan pemerintah (PP) krusial menjelang pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru pada 2 Januari 2026.

    Tiga PP tersebut, kata dia, merupakan bagian dari 21 PP yang harus dipersiapkan sebagai turunan dari KUHAP baru.

    “Peraturan pelaksanaannya semua disiapkan, tetapi tidak semua harus menunggu. Ada tiga PP yang krusial,” ungkap Supratman dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu.

    Dirinya optimistis ketiga PP itu akan segera selesai dan berlaku bersamaan dengan KUHAP dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.

    Selain PP, kata dia, terdapat pula Rancangan Undang-Undang Penyesuaian Pidana yang sedang dibahas pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, sebagai salah satu aturan pendukung KUHAP dan KUHP baru.

    “Saya yakin dan percaya di tanggal 2 Januari nanti ini semua akan berlaku bersamaan,” ungkapnya.

    Di sisi lain, dia mengungkapkan sejauh ini KUHP maupun KUHAP baru terus disosialisasikan kepada seluruh pihak, khususnya penegak hukum hingga masyarakat, sebelum diterapkan pada tahun depan.

    Sebelumnya, Menkum pun sudah pernah mengatakan bahwa KUHAP yang baru, setelah disetujui oleh DPR RI, akan berlaku mulai 2 Januari 2026 bersamaan dengan pemberlakuan KUHP baru.

    “Dengan berlakunya KUHP kita di tahun 2026, 2 Januari yang akan datang, sekarang KUHAP-nya juga sudah siap. Jadi otomatis dua hal ini, hukum materiil dan formil-nya itu dua-duanya sudah siap,” kata Supratman di kompleks parlemen, Jakarta (18/11).

    Menurut dia, KUHAP yang baru secara umum akan langsung berlaku dan tinggal menunggu pengundangannya saja. Dia mengatakan bahwa bakal ada peraturan pemerintah (PP) turunan dari KUHAP yang akan dibentuk dalam waktu dekat.

    Di sisi lain, dia meminta agar masyarakat tak mempercayai hoaks-hoaks yang beredar terkait KUHAP ini. Hal itu, kata dia, sudah diklarifikasi oleh Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman selaku penyusun KUHAP tersebut.

    Dia mengatakan penyusunan KUHAP sudah melibatkan berbagai kalangan dan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Namun, dia tak menampik bahwa ada pihak yang setuju maupun tidak setuju terhadap KUHAP tersebut.

  • Elemen Koalisi Sipil Tanggapi Habiburokhman: Yang Pemalas adalah DPR

    Elemen Koalisi Sipil Tanggapi Habiburokhman: Yang Pemalas adalah DPR

    Elemen Koalisi Sipil Tanggapi Habiburokhman: Yang Pemalas adalah DPR
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Koalisi Masyarakat Sipil menanggapi Ketua Komisi III DPR yang menyebut mereka sebagai pemalas dalam mencermati pembahasan RUU KUHAP yang kini telah mejadi UU KUHAP.
    “Enggak bisa juga dibilang bahwa Koalisi Sipil malas. Sebenarnya yang pemalas adalah DPR itu sendiri karena tidak mau membuat draf lebih baik lagi, lebih sempurna lagi, dan tergesa-gesa mengesahkan,” kata Ketua Umum
    YLBHI
    , Muhammad Isnur, kepada
    Kompas.com
    , Jumat (21/11/2025).
    YLBHI atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia merupakan salah satu LSM elemen
    Koalisi Masyarakat Sipil
    untuk Pembaruan
    KUHAP
    .
    KUHAP termutakhir telah disahkan oleh rapat paripurna DPR pada Selasa (18/11/2025) lalu.
    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP terdiri dari banyak LSM antara lain YLBHI, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.
    Mereka mengkritisi
    KUHAP terbaru
    sejak KUHAP masih dalam tahap draf pembahasan dan setelah KUHAP itu menjadi undang-undang.
    Koalisi juga merasa dicatut namanya saat rapat Panitia Kerja (Panja)
    RUU KUHAP
    berlangsung di
    Komisi III DPR
    pada 12 dan 13 November 2025.
    Dia juga merasa undangan Komisi III DPR ke LSM-LSM penentang KUHAP terbaru sebagai undagan yang sia-sia karena KUHAP sudah telanjur disahkan DPR menjadi undang-undang.
    “Pertanyaannya, mengundang untuk apa ya? Karena seharusnya mengundang itu sebelum disahkan ketika masih dalam tahap perbaikan,” kata
    “Tidak lagi ada kesempatan untuk memperbaiki. Kita enggak perlu penjelasan mereka,” kata Isnur.
    Ketua Komisi III DPR RI
    Habiburokhman
    menanggapi sejumlah kritik terhadap pasal-pasal kontroversial dalam KUHAP terbaru yang dinilainya berangkat dari informasi keliru.
    Dia bahkan menyindir pihak yang menyoroti beberapa pasal kontroversial revisi KUHAP sebagai koalisi pemalas, karena tidak membaca dokumen maupun mengikuti pembahasan secara utuh.
    “Nah, ini kan berarti koalisi pemalas, dia enggak lihat live streaming kita debat khusus soal ini. Ini koalisi pemalas saja kita kasih nama. Tidak benar,” ujar Habiburokhman, dalam konferensi pers di gedung DPR, Rabu (18/11/2025).
    Pernyataan tersebut disampaikan Habiburokhman ketika memaparkan penjelasan tak akurat soal pasal-pasal kontroversial di RUU KUHAP yang perlu diluruskan.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru

    Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru

    Natalius Pigai Siap Fasilitasi Masyarakat yang Tak Puas dengan KUHAP Baru
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyatakan, Kementerian HAM siap menfasilitasi masyarakat yang tidak puas dengan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang baru disahkan DPR.
    “Kita tetap berada dan berpijak kepada orang yang merasa aspek-aspek HAM-nya masih belum maksimal. Silakan menyampaikan pendapatnya, pikirannya, perasaannya, berdiskusi, dan berdialog dengan
    Kementerian HAM
    . Kementerian HAM akan memfasilitasi,” kata Pigai di Hotel Shangri-La, Jakarta, Jumat (21/11/2025).
    Pigai mengatakan, Kementerian HAM akan terbuka untuk menyampaikan kepada pemerintah dan
    DPR
    mengenai aspek HAM yang belum ditampung dalam RKUHAP.
    “Kementerian HAM terbuka pintu untuk menyampaikan kepada pihak-pihak yang berkewajiban untuk melakukan koreksi kalau di dalam KUHAP tersebut tidak mewadahi aspek-aspek yang beririsan dengan hak asasi manusia,” ujarnya.
    Meski demikian, Natalius menilai proses penegakan hukum dalam KUHAP yang baru memiliki unsur HAM sebanyak 80 persen.
    Dia mengatakan, selain menyampaikan kepada Kementerian HAM, masyarakat juga dapat melakukan uji materi atau
    judicial review
     ke Mahkamah Konstitusi (MK) bila tetap tidak puas dengan
    KUHAP baru
    .
    “Oleh karena itu, kalau akan memperumit ruang hidup dan kebebasan serta hak asasi anak cucu kita dan cicit kita, maka silakan ajukan judicial review. Kementerian HAM tidak tanggung-tanggung memberi dukungan kalau hanya soal HAM,” ucap dia.
    Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) resmi mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) menjadi undang-undang.
    Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026, pada Selasa (18/11/2025).
    Ketua Komisi III DPR Habiburokhman dalam laporannya menyampaikan bahwa KUHAP memerlukan pembaruan untuk memperkuat posisi warga negara dalam hukum.
    KUHAP baru yang telah disahkan DPR disebutnya telah mengakomodasi kebutuhan kelompok rentan; memperjelas syarat penahanan; perlindungan dari penyiksaan; penguatan dan perlindungan hak korban; kompensasi; restitusi; rehabilitasi; hingga keadilan restoratif.
    “Di KUHAP yang lama, negara itu terlalu powerful, aparat penegak hukum terlalu powerful. Kalau di KUHAP yang baru, warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara,” ujar Habiburokhman membacakan laporan Komisi III dalam rapat paripurna.
    KUHAP yang baru disahkan menjadi undang-undang dibutuhkan seiring bakal berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 2 Januari 2026.
    “Komisi III bersama rekan-rekan pemerintah mengucapkan syukur alhamdulillah atas telah selesainya pembahasan RUU tentang KUHAP yang sangat dibutuhkan seluruh penegak hukum di negeri ini yang akan mendampingi penggunaan KUHP,” ujar Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KUHAP Baru, Pasal Pemblokiran Jadi Polemik Pihak DPR vs Koalisi Sipil

    KUHAP Baru, Pasal Pemblokiran Jadi Polemik Pihak DPR vs Koalisi Sipil

    KUHAP Baru, Pasal Pemblokiran Jadi Polemik Pihak DPR vs Koalisi Sipil
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – KUHAP versi terbaru telah mengatur soal pemblokiran rekening hingga akun media sosial. DPR versus Koalisi Masyarakat Sipil berbeda pandangan soal pasal ini.
    KUHAP
    termutakhir telah disahkan oleh rapat paripurna
    DPR
    pada Selasa (18/11/2025).
    KUHAP terbaru itu disahkan usai dibahas oleh Panitia Kerja (Panja)
    RUU KUHAP
    di
    Komisi III DPR
    , dipimpin oleh Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
    Polemik mengemuka soal pasal-pasal di dalamnya, termasuk soal
    pemblokiran
    .
    Dalam KUHAP versi lama (UU Nomor 8 Tahun 1981), tidak ada pasal yang mengatur mengenai pemblokiran.
    Dalam KUHAP terbaru, pemblokiran didefinisikan sebagai tindakan untuk mencegah semetara waktu terhadap akses penggnaan bermacam-macam jenis hal, mulai dari pemindahan harta, bukti kepemilikan, transaksi perbankan, akun
    medsos
    , informasi elektronik, dokumen elektronik, hingga produk administratif.
    Selanjutnya, ada bagian khusus soal pemblokiran dalam KUHAP terbaru, yakni pada bagian kesembilan, pasal 140. Berikut bunyinya:
    Pasal 140
    (1) Pemblokiran dapat dilakukan oleh Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim.
    (2) Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin ketua pengadilan negeri.
    (3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat informasi lengkap mengenai alasan perlunya dilakukan pemblokiran minimal meliputi:

    a. uraian tindak pidana yang sedang diproses;

    b. dasar atau fakta yang menunjukkan objek yang akan diblokir memiliki relevansi dengan tindak pidana yang sedang diproses dan sumber perolehan dasar atau fakta

    tersebut; dan

    c. bentuk dan tujuan Pemblokiran yang akan dilakukan terhadap masing-masing objek yang akan diblokir.
    (4) Ketua pengadilan negeri wajib meneliti secara cermat permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari terhitung sejak permohonan izin diajukan.
    (5) Ketua pengadilan negeri dapat meminta informasi tambahan dari Penyidik mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6) Pemblokiran hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk jangka waktu 6 (enam) Bulan.
    (7) Dalam keadaan mendesak, Pemblokiran dapat dilaksanakan tanpa izin ketua pengadilan negeri.
    (8) Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) meliputi:

    a. potensi dialihkannya harta kekayaan;

    b. adanya tindak pidana terkait informasi dan transaksi elektronik;

    c. telah terjadi permufakatan dalam tindak pidana terorganisasi; dan/atau

    d. situasi berdasarkan penilaian Penyidik.
    (9) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Penyidik dalam jangka waktu paling lama 2×24 (dua kali dua puluh empat) jam meminta persetujuan kepada ketua

    pengadilan negeri setelah dilakukan Pemblokiran.
    (10) Ketua pengadilan negeri dalam jangka waktu paling lama 2×24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Penyidik meminta persetujuan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) mengeluarkan penetapan.
    (11) Dalam hal ketua pengadilan negeri menolak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), penolakan harus disertai dengan alasan.
    (12) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (11) mengakibatkan Pemblokiran wajib dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran.
    (13) Dalam hal perkara dihentikan pada tahap Penyidikan, Penuntutan, atau berdasarkan putusan Praperadilan mengenai tidak sahnya penetapan Tersangka, Pemblokiran harus dibuka dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja oleh pejabat yang memerintahkan Pemblokiran dengan mengeluarkan surat perintah pencabutan Pemblokiran.
    Pihak DPR melalui Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjamin bahwa aturan soal pemblokiran dan bentuk upaya paksa lainnya diatur lebih ketat di KUHAP versi terbaru ini.
    “Pemblokiran, Pasal 140, dilakukan harus dengan izin ketua pengadilan. Jadi enggak benar ya apa namanya kalau tanpa izin ya,” kata Habiburokhman saat jumpa pers di Gedung DPR, Rabu (19/11/2025).
    Pemblokiran dan upaya paksa lainnya tidak dapat dilakukan hanya berdasar subjektivitas aparat.
    “Jadi pengaturan soal penggeledahan, penyitaan, penyadapan, dan pemblokiran ini jauh lebih baik di
    KUHAP baru
    daripada di KUHAP Lama,” kata politikus Partai Gerindra ini.
     
    Koalisi Masyarakat Sipil
    untuk Pembaruan KUHAP menilai Pasal 140 itu mengandung celah penyalahgunaan subjektivitas aparat untuk melakukan pemblokiran, terlepas dari izin pengadilan.
    “Perlu ditegaskan bahwa izin hakim tersebut dapat dikecualikan dan pengecualian tersebut bersifat sangat rentan untuk disalahgunakan secara subjektif,” kata Koalisi melalui siaran pers, Rabu (19/11/2025).
    Celah itu ada pada ayat (7) dan (8) yang mengatur bahwa pemblokiran tanpa izin ketua pengadilan dapat dilakukan dalam keadaan mendesak.
    “Yang paling rentan disalahgunakan adalah alasan pemblokiran tanpa izin pengadilan berdasarkan ‘situasi berdasarkan penilaian Penyidik’,” kata Koalisi.
    Ada syarat-syarat ‘keadan mendesak’ sebagaimana diatur di ayat (8), namun menurut Koalisi, syarat itu bersifat pilihan dan tidak wajib dipenuhi seluruhnya.
    “Syarat tersebut juga alternatif, yang artinya sesederhana bahwa tanpa perlu melihat alasan-alasan yang lain, cukup dengan alasan adanya ‘penilaian penyidik’ maka sudah bisa menjadi dasar untuk pemblokiran tanpa izin pengadilan,” kata Koalisi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komisi III DPR mulai susun RUU Penyesuaian Pidana pekan depan

    Komisi III DPR mulai susun RUU Penyesuaian Pidana pekan depan

    Jakarta (ANTARA) – Komisi III DPR RI bakal mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana pada pekan depan guna mempersiapkan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan 2026.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan pihaknya bersama Kementerian Hukum sudah menggelar rapat secara internal pada Kamis ini untuk membahas penyusunan RUU tersebut.

    “Persiapan rapat hari Senin (24/11). Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej yang juga turut hadir dalam rapat itu menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana adalah perintah dari Pasal 613 KUHP. Dalam jangka waktu tiga tahun setelah disahkan, KUHP baru harus disesuaikan antara Undang-Undang lainnya, termasuk hingga peraturan daerah.

    “Harus selesai. Kalau nggak, KUHP baru nggak bisa dilaksanakan,” kata Eddy.

    Dia menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana hanya sedikit karena terdiri dari 35 pasal yang terbagi ke dalam tiga bab.

    “Bab,m satu, penyesuaian antara UU di luar KUHP, ini mengenai ketentuan pidana. Dua, penyesuaian Perda dengan KUHP nasional. Dan yang ketiga kan di KUHP ada beberapa typo, nah itu yang kita betulin,” katanya.

    Sebelumnya, Komisi III DPR RI segera berlanjut ke pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana setelah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disetujui untuk menjadi undang-undang.

    Komisi III DPR RI pun berharap RUU itu bisa segera rampung di sisa waktu masa persidangan ini sebelum memasuki masa reses pada 10 Desember 2025.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gerak Cepat Reformasi Polri Tersandung Pengesahan UU KUHAP

    Gerak Cepat Reformasi Polri Tersandung Pengesahan UU KUHAP

    Bisnis.com, JAKARTA — Langkah pemerintah untuk lakukan reformasi Polri tengah tersandung usai Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disahkan.

    Presiden Prabowo Subianto telah membentuk tim yang dinamakan Komisi Percepatan Reformasi Polri pada 7 November 2025 melalui melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 122/P Tahun 2025 tentang Pengangkatan Keanggotaan Komisi Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Tim tersebut dibentuk tak lain ditugaskan untuk membawa perubahan bagi wajah Polri yang belakangan citranya tidak terlalu positif.

    Namun, di tengah langkah memperbaiki citra Polri, pengesahan UU KUHAP baru dinilai justru bertolak belakang dengan langkah pembenahan lembaga penegak hukum tersebut.

    Pasalnya, sejumlah pihak menyoroti sejumlah pasal yang dinilai dapat membuat polisi justru semakin kuat dan sewenang-wenang.

    Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah jika pasal-pasal yang dipersoalkan bakal membuat polisi menjadi semakin kuat tersebut tidak benar.

    Dia menyebut poster-poster yang diunggah di media sosial soal jika RKUHAP disahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim adalah produk hoax.

    “Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan (hal-hal tertentu) ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” tegas Habiburokhman.

    Sementara itu, Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas mengatakan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang yang menyesuaikan kebutuhan perkembangan zaman.

    Pernyataan itu dia sampaikan saat menyampaikan pandangan pemerintah atas pengesahan RUU tersebut, Senin (18/11/2025), di Kompleks Parlemen.

    “Kami mewakili Presiden menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, khususnya Komisi III DPR RI yang terhormat,” kata Supratman.

    Menurutnya, KUHAP menjadi tonggak kemandirian hukum bangsa Indonesia, serta menegaskan prinsip bahwa Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

    Penjelasan dalam KUHAP dinilai relevan dengan perkembangan zaman saat ini dan dinamika sosial masyarakat. Menurutnya, pembaharuan KUHAP juga mampu membantu mengatasi kejahatan lintas negara, kejahatan siber, hingga meningkatkan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).

    “RUU KUHAP memuat sejumlah pembaharuan mendasar yang disusun untuk menyesuaikan sistem hukum acara pidana dalam perkembangan zaman,” ujarnya.

    Kontradiksi Reformasi Polri

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Kepolisian menilai alih-alih melakukan reformasi kepolisian, pemerintah bersama DPR justru tengah merancang dan mempercepat proses pengesahan produk legislasi, yakni KUHAP yang akan memperkuat monopoli kewenangan dan diskresi kepolisian sehingga semakin menjadikannya lembaga superpower.

    Sementara mekanisme check and balances atau pengawasan terhadap kepolisian kian diperlemah. Situasi ini justru berlangsung belum lama berselang pasca komite yang bertujuan untuk melakukan pembenahan menyeluruh terhadap kepolisian ini ditetapkan.

    Dalam laporannya disebutkan, kegagalan praktik penangkapan pelaku yang profesional dan akuntabel serta gagalnya upaya reformasi kepolisian selama ini, tidak dapat dilepaskan dari kegagalan dalam mengatur kewenangan kepolisian dan mendesain mekanisme pengawasan terhadap kepolisian yang selama ini diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Dengan ketentuan KUHAP sebelumnya, berbagai kasus penyiksaan, salah tangkap, rekayasa kasus, kriminalisasi, penyalahgunaan kewenangan, penelantaran perkara, hingga diskriminasi dalam penegakan hukum kerap terjadi dan dilakukan oleh kepolisian menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya dalam penegakan hukum, hal mana kerap dipotret dalam berbagai catatan berbagai organisasi masyarakat sipil dan lembaga negara independen.

    “Sementara dengan Rancangan KUHAP saat ini justru memperkuat kendali dan monopoli kewenangan serta memperluas diskresi polisi, justru akan melanggengkan berbagai praktik penyalahgunaan wewenang (abuse of power), kegagalan penegakan hukum, hingga praktik impunitas oleh kepolisian,” tulis laporan tersebut.