Tag: Gus dur

  • Energi Bangsa Terkuras Mencari Dalang Demonstrasi, Bukan Lakukan Perubahan

    Energi Bangsa Terkuras Mencari Dalang Demonstrasi, Bukan Lakukan Perubahan

    GELORA.CO -Mantan Jurubicara Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, Adhie Massardi mengaku prihatin dengan aksi unjuk rasa di Tanah Air yang ujung-ujungnya selalu mencari dalang sementara lupa dengan apa masalah bangsa dan negara yang harus dibenahi yang membuat aksi tersebut terpantik.

    Hal itu disampaikan Adhie dalam acara virtual Halaqah AWM malam Sabtuan Abdul Wahid Maktub dengan tema “Demonstrasi dalam Islam, pada Jumat malam, 5 September 2025.

    Adhie mengurai beberapa negara maju yang sempat didesak rakyatnya untuk melakukan perubahan dan reformasi, salah satunya Korea Selatan pada tahun 1980. Hingga akhirnya Korea Selatan melakukan reformasi politik dan kini menjadi negara maju.

    Selain itu, kata Adhie, ada revolusi Prancis yang berhasil mengubah pola bernegara dan melakukan pembenahan total.

    Namun, di Indonesia justru selalu mencari dalang di setiap peristiwa besar, tanpa dibarengi dengan perubahan total.

    “Jadi setiap ada peristiwa besar di negara lain itu menjadi inspirasi bagaimana untuk keluar dari situasi ini. Nah di kita ini kan setiap ada peristiwa itu yang dicari dalang,” kata Adhie.

    Ia menilai Indonesia cukup banyak membuang waktu dengan kerap mencari biang kerok tanpa dibarengi perubahan dalam bernegara.

    “Menurut saya kita sudah membuang waktu hampir 90 tahun hanya untuk mencari dalang dan provokasi dalam setiap aksi demonstrasi. Hari ini kita melihat sumber daya bangsa ini kan sudah habis hanya untuk sumber daya dan waktu,” kata Adhie.

    “Ini sudah nggak ada lagi buat kita untuk melakukan eksperimen-eksperimen semacam itu. Setiap ada demonstrasi besar dianggap ditunggangi, diasing, ada provokator, dicari itu kemudian ada eksperimen yang lain, mengganti,” sambungnya.

  • SBY dan Megawati Kalah Jauh!

    SBY dan Megawati Kalah Jauh!

    – Mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo alias Jokowi meraih juara 1 mencetak menteri paling banyak daripada Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

    Sementara di era Presiden ke-8 Prabowo Subianto baru satu pembantunya yang terjerat dugaan korupsi yakni mantan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer alias Noel.

    Adapun mantan pembatu Jokowi yang terjerat korupsi adalah:

    1. Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim (NAM)

    Nadiem telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop chromebook. Penetapan tersebut dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Kamis (4/9/2025).

    Kasus Nadiem Makarim menambah panjang daftar menteri era Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tersandung kasus korupsi. Kasus dugaan rasuah yang menyeret nama Nadiem Makarim sendiri ditaksir menyebabkan kerugian keuangan negara hingga Rp 1,98 triliun.

    Penetapan eks Mendikbudristek tersebut dilakukan setelah Kejagung memeriksa 120 saksi dan 4 ahli dalam perkara itu. “Dari hasil pendalaman, keterangan saksi-saksi, dan juga alat bukti yang ada, pada sore dan hasil dari ekspose telah menetapkan tersangka baru dengan inisial NAM,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna, Kamis (4/9/2025).

    Nadiem disangka melanggar Pasal 2 (Ayat) 1 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

    2. Menteri Perdagangan (Mendag) Trikasih Thomas Lembong alias Tom Lembong (TTL)

    Tom Lembong merupakan tersangka kasus korupsi impor gula tahun 2015–2016. Ditahan di Rutan Salemba, kemudian mendapat abolisi dari Presiden Prabowo Subianto.

    3.  Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL)

    Syahrul Yasin Limpo telah divonis 10 tahun penjara dalam kasus pemerasan di Kementan. Dikenai pidana tambahan Rp44,2 miliar dan USD 30.000. Kini KPK masih mengembangkan kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret SYL itu.

    4. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate Johnny G Plate terjerat kasus dugaan korupsi pembangunan menara base transceiver station (BTS) 4G dan infrastuktur pendukung 1, 2, 3, 4 dan 5 BAKTI Kominfo tahun 2020-2022. 

    Johnny G Plate dinyatakan sebagai tersangka terkait wewenangnya sebagai pengguna anggaran dan posisinya sebagai menteri. Johnny G Plate dijerat Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

    5. Menteri Sosial (Mensos), Idrus Marham Idrus Marham terjerat kasus suap sebesar Rp 500 juta yang merupakan bagian dari commitment fee 2,5 persen dari nilai proyek kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1. 

    Fee tersebut diberikan oleh Johannes Budisutrisno Kotjo, pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited. Diduga, suap diberikan agar proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1 berjalan mulus. Awalnya, Idrus sudah beberapa kali diperiksa KPK sebagai saksi terkait kasus kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1 di Provinsi Riau. 

    Dalam kasus ini, KPK juga menjerat Wakil Ketua Komisi VII DPR, Eni Maulani Saragih. Eni ditangkap saat berada di rumah Idrus Marham. Idrus Marham pun mengakui dirinya menjadi tersangka dan langsung menghadap Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dari jabatan menteri. Idrus Marham bebas dari penjara pada Jumat, 11 September 2020. Dia telah menjalani hukuman  2 tahun penjara dalam kasus suap proyek pembangkit listrik PLTU Riau itu. 

    6. Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi Imam Nahrawi, terjerat kasus korupsi oleh KPK. Kasusnya adalah penyaluran dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) melalui Kemenpora tahun anggaran 2018. 

    Saat itu Imam Nahrawi ditetapkan sebagai tersangka bersamaan dengan Asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Imam dan Miftahul diduga melanggar pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. 

    Imam diduga telah menerima suap sebanyak Rp 14.700.000.000,00 melalui Miftahul selama rentang waktu 2014-2018. Selain itu, dalam rentang waktu 2016-2018, Imam juga diduga meminta uang senilai Rp 11.800.000.000,00. 

    Sehingga total dugaan penerimaan Rp 26.500.000.000,00 tersebut diduga merupakan commitmen fee atas pengurusan proposal hibah yang diajukan KONI kepada Kemenpora Tahun Anggaran 2018. 

    7. Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo Edhy Prabowo terjerat kasus dugaan suap terkait Perizinan Tambak, Usaha dan/atau Pengelolaan Perikanan atau Komoditas Perairan Sejenis Lainnya Tahun 2020. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada konstruksi perkara memberikan dugaan kepada Mensos Juliari P Batubara telah menerima uang suap sekitar Rp 8,2 miliar. 

    Dana tersebut diduga dari pelaksanaan paket bansos sembako penanganan Covid-19 di Kemensos pada periode pertama. Juliari diduga meminta jatah Rp 10.000 per paket sembako. Atas dasar hal tersebut, Mensos pun akhirnya telah ditetapkan sebagai tersangka. 

    Selanjutnya pemberian uang tersebut dikelola oleh EK dan SN yang merupakan orang kepercayaan JPB. Diduga uang tersebut digunakan untuk membayar berbagai keperluan pribadi JPB. Diduga diterima fee Rp 12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar. 

    8. Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara Juliari Batubara diduga terkait korupsi bansos di Kementerian Sosial RI dalam penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek 2020. 

    Juliari terbukti menerima uang suap terkait pengadaan bansos Covid-19 sekitar Rp 32,482 miliar. Juliari telah dijatuhi hukuman oleh Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pidana penjara 12 tahun plus denda Rp 500 juta pada 23 Agustus 2021. 

    Hakim juga mewajibkan Juliari membayar uang pengganti sejumlah Rp 14,5 miliar. 

    Selain itu, hakim mencabut hak politik Juliari untuk dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun setelah selesai menjalani pidana pokok. 

    Menteri era SBY

    Di era SBY, ada lima menteri yang tersangkut kasus dugaan korupsi yakni: 

    1. Siti Fadilah Supari, mantan Menteri Kesehatan, diterjerat kasus suap pada 2014. Ia diduga menerima suap terkait pengadaan alat kesehatan. Hal itu terungkap 10 tahun usai ia melakukan perbuatan tersebut yakni pada 2004 lalu. 

    Siti terbukti bersalah lantaran melakukan penunjukan langsung dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan untuk mengantisipasi kejadian luar biasa pada 2005 di Pusat Penanggulangan Masalah Kesehatan (PPMK) Departemen Kesehatan (Kementerian Kesehatan). Hakim menilai Siti terbukti secara sah dan meyakinkan menerima gratifikasi sebesar Rp1,85 miliar dari PT Graha Ismaya. 

    Uang ini diberikan agar Siti menyetujui revisi anggaran pengadaan Alkes I dan suplier Alkes I. Ia kemudian divonis bui empat tahun dan denda senilai Rp200 juta. 

    2. Andi Mallarangeng, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, terjerat kasus dugaan korupsi pengadaan sarana dan prasarana olahraga di Hambalang, Bogor. 

    Ia dijerat KPK pada tahun 2012 lalu. Hakim menyatakan Andi bersalah telah memperkaya diri sendiri senilai Rp2 miliar dan 550 ribu dollar Amerika Serikat. 

    Selain itu, ia juga dituduh telah memperkaya korporasi. Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat lantas menjatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan.

    Andi telah bebas pada 2017 lalu dan kini kembali aktif di Partai Demokrat. 

    3. Suryadharma Ali, mantan Menteri Agama, ditetapkan sebagai tersangka dalam korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama pada tahun anggaran 2012-2013. 

    Di dalam sidang, terungkap Suryadharma menyalahgunakan wewenangnya sebagai Menag dan merugikan keuangan negara senilai Rp27,2 miliar dan 17.967.405 riyal Saudi. 

    Mantan Ketum PPP itu juga dinyatakan bersalah karena telah menggunakan dana operasional menteri untuk biaya pengobatan anak dan membayar ongkos liburan keluarga ke Singapura dan Australia. Hakim kemudian menjatuhkan vonis 10 tahun bui dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan kurungan pada tingkat banding. Ia kemudian diwajibkan membayar uang pengganti Rp1.821.698.840 subsider dua tahun penjara. 

    4. Jero Wacik, mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Februari 2015. KPK menetapkannya sebagai tersangka kasus penyalahgunaan wewenang dalam kapasitasnya sebagai Menbudpar periode 2008-2011. 

    Hakim kemudian menjatuhkan vonis pada 2016 lalu bagi Jero selama 4 tahun bui dan denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, Jero juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp5,073 miliar. 

    5. Bachtiar Chamsyah, mantan Menteri Sosial. Bachtiar Chamsyah adalah Menteri Sosial pada Kabinet Gotong Royong periode 2001-2004 dan Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009. Bachtiar baru ditetapkan sebagai tersangka pada 2010 saat ia sudah tidak lagi menduduki kursi menteri. Bachtiar saat itu ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan mesin jahit dan impor sapi di Departemen Sosial. 

    Bachtiar dijatuhi hukuman satu tahun dan delapan bulan penjara serta denda Rp 50 juta pada 2011. Ia terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan langsung pengadaan mesin jahit, sapi impor, dan kain sarung yang merugikan negara hingga Rp33,7 miliar. 

    Menteri era Megawati 

    Ada 4 menteri Kabinet Gotong Royong era Presiden Megawati Soekarnoputri yang terjerat korupsi. 1. Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. 

    Ia sebagai mantan menteri pertama yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selama menjabat dari tahun 2001–2024, Rokhmin melakukan korupsi dana non-bujeter di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Negara rugi Rp 15 miliar akibat ulah Rokhmin. 

    Dia pun divonis penjara 7 tahun dan denda Rp 200 juta. Namun, dia melakukan sejumlah upaya hukum hingga akhirnya mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan PK tersebut. 

    MA mengurangi masa hukuman Rokhmin menjadi 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan. Setalah menjalani masa hukumannya, Rokhmin bebas bersyarat pada 25 November 2009. 

    2. Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama (Menag) periode 2001-2004 terjerat kasus dugaan korupsi dana penyelenggaraan haji. 

    Ia, terbukti bersalah, ia menerima uang sebesar Rp4,5 miliar. 

    3. Hari Sabarno, mantan menteri dalam negeri terseret kasus korupsi pengadaan mobil damkar. Pada tahun 2004-2005, dia terbukti terlibat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran pada 22 wilayah di Indonesia yang didalangi Hengky Samuel Daud dan mengakibatkan negara rugi miliaran rupiah saat menjadi Mendagri 

    4. Achmad Sujudi, mantan Menteri Kesehatan di masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dan juga di era kepemimpinan Presiden Megawati (periode 1999-2004) terjerat kasus korupsi berkaitan dengan pengadaan alat kesehatan.

    “Semua cerita pengadilan korupsi akan berubah? Korupsi di Indonesia hanya bisa diatasi munculnya Presiden benar negarawan, jujur dan berani menghukum mati para koruptor”.

  • Gerakan Nurani Bangsa: Tuntutan 17+8 Jangan Hanya Didengar, tetapi Dikerjakan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Gerakan Nurani Bangsa: Tuntutan 17+8 Jangan Hanya Didengar, tetapi Dikerjakan Nasional 3 September 2025

    Gerakan Nurani Bangsa: Tuntutan 17+8 Jangan Hanya Didengar, tetapi Dikerjakan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Gerakan Nurani Bangsa (GNB) menegaskan agar pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, tidak hanya mendengar aspirasi rakyat, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk menindaklanjutinya.
    Hal ini merespons munculnya 17+8 Tuntutan Rakyat yang ramai di media sosial dalam beberapa hari terakhir pasca aksi demonstrasi berujung ricuh di sejumlah wilayah.
    “Karena itu kita berharap bahwa jangan cuma dengar itu doang. Kerjakan itu apa yang diminta oleh orang tua dan anak muda ini seperti itu,” kata eks Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
    GNB menilai gerakan tersebut sebagai ekspresi sehat dari anak muda yang menuntut perbaikan demokrasi dan tata kelola negara.
    Menurut Laode, isi tuntutan rakyat tersebut selaras dengan pesan moral yang selama ini juga disuarakan para tokoh yang tergabung dalam GNB.
    “Bahasanya agak berbeda. Karena beliau-beliau ini adalah orang yang lebih senior. Tetapi saya terus terang juga kaget ketika menerima itu ada kata murka di dalam (pesan kebangsaan). Jarang sekali itu orang tua-tua ini bilang ada murka seperti ini. Jadi itu juga teramplifikasi di dalam tuntutan yang 17 + 8,” ujar dia.
    Mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang juga tergabung dalam GNB menegaskan, Presiden perlu memimpin langsung dalam menanggapi tuntutan masyarakat.
    “Jadi aspirasi, masukan, saran bahkan kritik sekalipun itu, mohon pertama didengar. Yang kedua lalu kemudian dikaji, setelah didengar dikaji, setelah dikaji dipertimbangkan. Karena dari hasil pertimbangan itu ada yang bisa dilaksanakan, ada yang belum bisa dilaksanakan,” tutur Lukman.
    Ia menambahkan, penting bagi pemerintah memiliki juru bicara resmi untuk menjelaskan perkembangan respons terhadap aspirasi publik.
    Hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui bahwa negara tengah bekerja menuntaskan berbagai tuntutan tersebut.
    Sementara itu, Alissa Wahid menyebutkan bahwa 17+8 Tuntutan Rakyat merupakan bukti semakin kuatnya konsolidasi publik melalui media sosial.
    “17+8 ini sebetulnya, dan inisiatif ini sangat menggembirakan. Pertama karena dampaknya. Itu dari anak-anak muda. Dari teman-teman yang selama ini banyak bekerja di isu-isu perbincangan publik, terutama terkait dengan demokrasi,” nilai putri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini.
    Adapun 17+8 Tuntutan Rakyat: Transparansi, Reformasi, Empati terdiri dari 17 tuntutan jangka pendek yang diberi tenggat hingga 5 September 2025, dan 8 agenda reformasi sistemik dengan target 2026.
    Beberapa poin utama tuntutan adalah pembentukan tim investigasi independen kasus kekerasan demo 28-30 Agustus, penghentian keterlibatan TNI dalam pengamanan sipil, reformasi DPR dan partai politik, penguatan KPK, hingga reformasi kepolisian agar lebih profesional dan humanis.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Quraish Shihab hingga Kardinal Suharyo Minta Prabowo Perintahkan Polri Hentikan Tindakan Eksesif
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    Quraish Shihab hingga Kardinal Suharyo Minta Prabowo Perintahkan Polri Hentikan Tindakan Eksesif Nasional 3 September 2025

    Quraish Shihab hingga Kardinal Suharyo Minta Prabowo Perintahkan Polri Hentikan Tindakan Eksesif
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Gerakan Nurani Bangsa meminta Presiden Prabowo Subianto memerintahkan Kepolisian RI segera mengevaluasi kepemimpinan dan kebijakan internalnya agar tidak lagi terjadi tindakan eksesif atau di luar batas terhadap masyarakat, khususnya dalam menangani aksi unjuk rasa.
    Pesan itu disampaikan Alissa Wahid saat membacakan “Pesan Kebangsaan” Gerakan Nurani Bangsa di Jakarta, Rabu (3/9/2025).
    “Memerintahkan Kepolisian untuk secepatnya mengevaluasi dan menata ulang kepemimpinan dan kebijakannya agar tidak menimbulkan tindakan eksesif yang melanggar hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara lainnya,” kata Alissa dalam konferensi pers yang digelar di Rumah Pergerakan Griya Gus Dur, Jakarta.
    Pesan kebangsaan ini ditandatangani sejumlah tokoh lintas agama, budaya, dan profesi, antara lain Nyai Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, M Quraish Shihab, KH Ahmad Mustofa Bisri, Kardinal Ignatius Suharyo, Franz Magnis-Suseno SJ, Alissa Wahid, Lukman Hakim Saifuddin, Karlina Supelli, hingga budayawan Slamet Rahardjo.
    Alissa menegaskan, kemanusiaan dan keberpihakan kepada rakyat harus menjadi pijakan utama negara.
    Oleh karena itu, segala bentuk kekerasan dan represifitas aparat dalam menghadapi aksi unjuk rasa harus dihentikan.
    “Hentikan segala tindak kekerasan dan represifitas dalam menangani aksi unjuk rasa sebagai bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi,” tutur dia.
    Selain soal Polri, Gerakan Nurani Bangsa menilai Presiden perlu memimpin jajaran negara untuk bersikap etis, sederhana, dan patut demi memulihkan kepercayaan publik.
    Mereka juga mendorong pemerintah menjaga stabilitas ekonomi secara transparan, menghapus fasilitas berlebihan bagi pejabat publik, serta memperkuat program kesejahteraan sosial alih-alih membebani rakyat dengan pajak baru.
    Gerakan Nurani Bangsa menekankan pentingnya menegakkan prinsip supremasi sipil dalam demokrasi Indonesia.
    “Memastikan berjalannya prinsip Supremasi Sipil dalam pelaksanaan Demokrasi di Indonesia serta menguatkan kembali TNI/Polri yang profesional dan fokus pada tugas pokok fungsinya,” terang Alissa.
    Pada saat yang sama, masyarakat diajak menumbuhkan kesadaran kolektif secara damai, tanpa kekerasan, perusakan, maupun penjarahan.
    Pesan Kebangsaan ini ditujukan untuk merespons adanya gelombang aksi demonstrasi yang terjadi pada akhir Agustus 2025.
    Diketahui, mulanya aksi demonstrasi dilakukan sebagai bentuk penolakan terhadap kenaikan tunjangan anggota DPR di tengah kondisi ekonomi yang sedang lesu.
    Situasi semakin memanas setelah insiden tewasnya Affan Kurniawan (21), seorang pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis Brimob saat pembubaran aksi di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025) malam.
    Keesokan harinya, aksi solidaritas menuntut pertanggungjawaban atas insiden tersebut meluas, tidak hanya di Jakarta tetapi juga ke sejumlah daerah lain.
    Namun, situasi demonstrasi berkembang tidak kondusif.
    Massa yang marah membakar fasilitas umum, menyerang sejumlah titik, termasuk markas aparat, hingga menyebabkan kerusuhan di beberapa lokasi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo unggah kompilasi pidato Presiden masa ke masa soal Pancasila

    Prabowo unggah kompilasi pidato Presiden masa ke masa soal Pancasila

    Jakarta (ANTARA) – Presiden RI Prabowo Subianto mengunggah video kompilasi cuplikan pidato Presiden Indonesia dari masa ke masa, mulai dari Presiden pertama RI Soekarno hingga Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan Prabowo sendiri, soal Pancasila dan persatuan bangsa.

    Dalam video yang diunggah lewat akun resmi Instagram miliknya @prabowo pada Senin, cuplikan pidato hitam-putih itu dimulai dari Presiden ke-1 RI, Soekarno, yang menyatakan Pancasila adalah pilar dari negara Indonesia.

    “Pancasila. Pancasila or the five pilars of our state. We seek to build a new, a better world,” ucap Presiden Soekarno yang berbahasa Inggris dalam potongan video tersebut.

    Presiden Soekarno menyatakan bahwa pemerintah bertekad membangun dunia yang lebih baik.

    Kemudian, Presiden ke-2 RI Soeharto menyampaikan cita-cita pembangunan Indonesia, bahkan perjuangan bangsa Indonesia adalah tercapainya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

    Presiden ke-3 RI B.J Habibie menyatakan bahwa keanekaragaman dari suku di Indonesia menjadi sumber daya untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang menguntungkan seluruh bangsa Indonesia.

    “Keanekaragaman dari suku itu justru menjadi sumber daya untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang menguntungkan seluruh bangsa yang hidup di sini,” kata Habibie.

    Selanjutnya, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau kerap dikenal Gus Dur mengingatkan bahwa kita akan tetap menjadi bangsa yang sama walaupun berbeda-beda keyakinan.

    Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri menggelorakan pemuda-pemudi Indonesia untuk menatap masa depan dengan penuh gagah berani.

    “Pemuda-pemudi Indonesia menatap masa depan dengan penuh gagah berani untuk kita bisa berdiri di atas kaki sendiri,” kata Megawati.

    Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono mengingatkan bahwa bangsa Indonesia sejak era kemerdekaan hingga sekarang ini adalah bangsa yang tangguh, pantang menyerah, dan memiliki daya juang yang kuat.

    Presiden ke-7 RI Joko Widodo menekankan bahwa persatuan kita, kerukunan kita, kerja keras dan kegotongroyongan kita dapat membawa Indonesia melompat lebih tinggi lagi.

    Terakhir, Presiden RI Prabowo Subianto mengingatkan bahwa Indonesia dibangun di atas landasan yang sudah dirintis para pendahulu, yakni Presiden Indonesia.

    “Kita bangun Indonesia di atas landasan yang sudah dirintis pendahulu-pendahulu kita. Indonesia harus swasembada pangan, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, bahkan kita siap menjadi lumbung pangan dunia.

    Pewarta: Mentari Dwi Gayati
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Aktivis Difabel dan Mantan Anggota MPR Fikri Thalib Tutup Usia

    Aktivis Difabel dan Mantan Anggota MPR Fikri Thalib Tutup Usia

    Jakarta: Aktivis disabilitas yang juga anggota MPR era Reformasi, meninggal dunia pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 17.05 WIB. Beliau mengembuskan napas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada usia yang ke-65 tahun.

    Fikri Thalib dikenal luas sebagai anggota MPR RI periode 1998-1999, bagian dari parlemen yang terbentuk pasca-Reformasi. Ia juga merupakan salah satu pendukung utama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid.

    Pemerhati politik, Geiz Khalifa, menyampaikan bahwa meskipun Fikri Thalib menggunakan kursi roda akibat polio sejak kanak-kanak, semangat perjuangannya tidak pernah padam. Sejak mahasiswa, ia aktif dalam berbagai gerakan dan dikenal gigih memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.

    Untuk mendukung mobilitasnya, Fikri bahkan memodifikasi sendiri rem, gas, dan kopling mobilnya agar bisa dioperasikan dengan tangan.

    Dengan kendaraan yang telah dimodifikasi tersebut, ia tetap bersemangat berkeliling ke berbagai daerah untuk berdiskusi dan menyemai semangat perjuangan bersama para aktivis. Menurut Geiz, Fikri adalah sosok yang teguh, mandiri, dan setia pada idealismenya.

    Jenazah almarhum akan disemayamkan di Masjid Silaturahim, Cibubur, Jakarta Timur, untuk disalatkan pada hari ini, Sabtu, 30 Agustus 2025. Setelah itu, jenazah akan dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan, setelah waktu salat Zuhur.

    Jakarta: Aktivis disabilitas yang juga anggota MPR era Reformasi, meninggal dunia pada Jumat, 29 Agustus 2025, pukul 17.05 WIB. Beliau mengembuskan napas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, pada usia yang ke-65 tahun.
     
    Fikri Thalib dikenal luas sebagai anggota MPR RI periode 1998-1999, bagian dari parlemen yang terbentuk pasca-Reformasi. Ia juga merupakan salah satu pendukung utama Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid.
     
    Pemerhati politik, Geiz Khalifa, menyampaikan bahwa meskipun Fikri Thalib menggunakan kursi roda akibat polio sejak kanak-kanak, semangat perjuangannya tidak pernah padam. Sejak mahasiswa, ia aktif dalam berbagai gerakan dan dikenal gigih memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh.

    Untuk mendukung mobilitasnya, Fikri bahkan memodifikasi sendiri rem, gas, dan kopling mobilnya agar bisa dioperasikan dengan tangan.
     
    Dengan kendaraan yang telah dimodifikasi tersebut, ia tetap bersemangat berkeliling ke berbagai daerah untuk berdiskusi dan menyemai semangat perjuangan bersama para aktivis. Menurut Geiz, Fikri adalah sosok yang teguh, mandiri, dan setia pada idealismenya.
     
    Jenazah almarhum akan disemayamkan di Masjid Silaturahim, Cibubur, Jakarta Timur, untuk disalatkan pada hari ini, Sabtu, 30 Agustus 2025. Setelah itu, jenazah akan dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan, setelah waktu salat Zuhur.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (FZN)

  • Presiden RI Pernah Bubarkan DPR Gara-Gara Tak Capai Kesepakatan

    Presiden RI Pernah Bubarkan DPR Gara-Gara Tak Capai Kesepakatan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tuntutan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat belakangan ini sebagai reaksi publik terhadap sejumlah isu. 

    Secara konstitusional, DPR tidak bisa dibubarkan atau dibekukan, termasuk juga oleh presiden. Hal ini tertuang dalam UUD 1945 amandemen ketiga, yang secara secara tegas menyatakan bahwa presiden tidak bisa membubarkan atau membekukan DPR.

    “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.***),” bunyi Pasal 7C UUD 1945.

    Meski begitu, sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan pada 5 Maret 1960 lewat Penetapan Presiden No.3 Tahun 1960 ketika Presiden Soekarno berkuasa. Pembubaran tersebut disebabkan karena DPR tidak bisa membantu pemerintah dan memenuhi harapan yang diinginkan.

    “[…] DPR ternyata tidak memenuhi harapan kami supaya bekerja atas dasar saling membantu antara pemerintah dan DPR, sesuai dengan jiwa dan semangat UUD’45, Demokrasi Terpimpin dan Manifesto Politik,” tegas Soekarno dalam Penetapan Presiden No.3 Tahun 1960.

    Menurut koran Nasional (7 Maret 1960), sebelumnya pemerintah berharap DPR menyetujui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp44 miliar. Namun, akibat perdebatan yang tak kunjung usai dan kemudian DPR hanya menyetujui APBN sebesar Rp36 Miliar, Soekarno kemudian melakukan kebijakan yang membubarkan DPR.

    Presiden kemudian menggantinya dengan parlemen bernama DPR Gotong Royong (DPR-GR). Anggota DPR-GR juga ditunjuk Soekarno sendiri sebanyak 283 orang yang tak hanya berisi partai politik, tetapi juga personel militer. 

    Meski begitu, keputusan Soekarno untuk membubarkan DPR menuai kontroversi. Sebab, DPR yang dibubarkan merupakan parlemen berdasarkan hasil Pemilu demokratis tahun 1955. Selain itu, komposisi DPR-GR juga menguntungkan pihak terkait sebab jumlah kursi dari Partai Komunis Indonesia (PKI) naik. Sementara, jumlah kursi partai-partai Islam merosot.

    Atas dasar inilah, sejumlah pimpinan politik seperti Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, Parkindo, Partai Katolik, NU, serta partai non-komunis lainnya sepakat melakukan perlawanan, yakni lewat Liga Demokrasi yang didirikan pada 24 Maret 1960.

    Merle Calvin Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c. 1200 (2008) menjelaskan, pendirian Liga Demokrasi didukung oleh Mohammad Hatta. Saat itu Hatta tak lagi berstatus Wakil Presiden RI karena mengundurkan diri pada 1 Desember 1956 karena tak lagi sejalan dengan Soekarno. 

    Liga Demokrasi didirikan untuk menolak pembubaran DPR dan menuntut pengembalian sistem Demokrasi Parlementer. Namun, Soekarno mengabaikan desakan tersebut dan memilih pergi ke luar negeri. Sekembalinya dari luar negeri, Soekarno kemudian melarang Liga Demokrasi dan membubarkan Masyumi dan PSI. 

    Dalam perjalanannya, ketiadaan parlemen sebagai representasi rakyat menimbulkan masalah. DPR-GR yang diangkat oleh Presiden Soekarno kerap tunduk dan menjadi “Stempel” kebijakan pemerintah. Tidak ada lagi fungsi parlemen yang mengawasi dan mengkritik kinerja pemerintah. 

    Eksistensi DPR-GR sendiri berakhir seiring kejatuhan Soekarno sebagai Presiden Indonesia sekitar tahun 1966-1967. 

    Pernah Dilakukan Gus Dur

    Serupa tapi tak sama, Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, tercatat pernah juga bertindak keras kepada DPR. Hanya saja, Gus Dur tidak membubarkan, tetapi membekukan DPR dan MPR, dengan mengeluarkan maklumat Presiden Republik Indonesia pada 23 Juli 2001.

    Langkah ini dilakukan karena MPR yang dipimpin oleh Amien Rais berencana melakukan Sidang Istimewa untuk mengganti Gus Dur dari jabatan presiden. Meski begitu, langkah pembekuan DPR dan MPR percuma sebab parlemen masih menjalankan fungsinya dan melakukan perlawanan balik.

    Puncaknya, MPR dan DPR sukses melakukan Sidang Istimewa dan menggulingkan Gus Dur dari jabatan presiden. Kemudian parlemen langsung melantik Megawati sebagai Presiden ke-5 RI. 

    Naskah ini merupakan bagian dari CNBC Insight, rubrik yang menyajikan ulasan sejarah untuk menjelaskan kondisi masa kini lewat relevansinya di masa lalu. Lewat kisah seperti ini, CNBC Insight juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan dari masa lampau yang masih bisa dijadikan pelajaran di hari ini.

    (mfa/mfa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • DPR di Ujung Teriakan Rakyat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat Nasional 27 Agustus 2025

    DPR di Ujung Teriakan Rakyat
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
    ADA
    gema yang lahir dari jalanan, dari ruang digital yang riuh, dari suara rakyat yang tak lagi sabar menunggu janji: “Bubarkan DPR.”
    Teriakan itu, seperti gaung dalam gua yang lembap, berulang dan berulang. Ia tak datang dari satu titik, tetapi dari rasa frustrasi yang meluas: gaji fantastis, tunjangan rumah, perjalanan dinas, gestur yang tampak meremehkan, hingga joget di ruang sidang yang mestinya sakral.
    Namun, apakah teriakan itu sungguh ditujukan untuk menutup pintu DPR, atau hanya jeritan kolektif yang ingin didengar? Di sanalah paradoksnya: rakyat bersuara, tetapi konstitusi menjawab dengan dingin—tidak bisa.
    Pasal 7C UUD 1945 tegas: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR. Sebuah norma yang lahir dari luka sejarah, dari trauma ketika Soekarno dengan satu penetapan menyingkirkan parlemen hasil Pemilu 1955, menggantinya dengan DPR Gotong Royong.
    Sebuah luka ketika Abdurrahman Wahid mencoba mengulanginya, hanya untuk berakhir dengan kejatuhan dirinya.
    Teriakan itu, dengan demikian, bukanlah instruksi. Ia adalah tanda. Sebuah alarm bahwa legitimasi sedang retak.
    Kita pernah hidup dalam sejarah ketika lembaga yang bernama DPR bisa dihentikan dengan selembar kertas.
    Pada 5 Maret 1960, Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden No. 3/1960. DPR dibubarkan. Alasan formalnya sederhana: penolakan RAPBN. Alasan politisnya lebih dalam: DPR dianggap tak revolusioner, tak sejalan dengan visi Demokrasi Terpimpin.
    Sejak itu, kita hidup dengan DPR Gotong Royong, lembaga tanpa akar elektoral, sekadar cermin kehendak presiden. Rakyat kehilangan rumah bagi aspirasinya.
    Empat dekade kemudian, 23 Juli 2001, sejarah hampir berulang. Abdurrahman Wahid, dengan Maklumat Presiden, membekukan DPR dan MPR.
    Namun kali ini, konstitusi dan politik tak berpihak. Militer menolak, rakyat terpecah, Mahkamah Agung menegaskan langkah itu tak sah. Gus Dur jatuh.
    Sejarah itu mengajarkan: pembubaran DPR bukan jalan. Ia hanya melahirkan krisis yang lebih dalam.
    Meski begitu, sulit menyangkal: ada jurang yang menganga antara DPR dan rakyat. Lembaga yang disebut “wakil rakyat” itu sering kali tak berwajah rakyat. Ia berwajah partai, fraksi, kepentingan dagang, bahkan transaksi.
    Narasi “bubarkan DPR” lahir dari nurani yang terluka. Dari rakyat yang melihat parlemen lebih sibuk dengan tunjangan ketimbang pengawasan.
    Dari buruh yang menunggu perlindungan, tetapi yang tiba adalah revisi undang-undang yang menguntungkan pemodal. Dari petani yang menjerit karena lahan diserobot, tetapi suara mereka hilang di ruang rapat.
    Nurani itulah yang memaksa publik bersuara. Meski mereka tahu, secara hukum, DPR tak bisa dibubarkan.
    Hukum berdiri seperti pagar. Ia dingin, rasional, sering kali terasa kaku. Pasal 7C UUD 1945 adalah pagar itu. Tidak ada pintu di sana. Tidak ada ruang tafsir untuk keadaan darurat sekalipun.
    Sistem presidensial memang dibangun agar tak ada pihak yang bisa membubarkan pihak lain. DPR hanya bisa berakhir dengan pemilu. Presiden hanya bisa jatuh dengan pemakzulan.
    Asimetri yang disengaja: eksekutif tak bisa mematikan legislatif, legislatif hanya bisa menjatuhkan eksekutif dengan mekanisme yang panjang.
    Seruan “bubarkan DPR” karenanya hanya gema politik. Ia tak akan menemukan jalannya dalam undang-undang, kecuali melalui amandemen UUD.
    Dan itu pun, sebuah jalan yang hampir mustahil: DPR dan DPD harus menyetujui, MPR harus mengesahkan. Artinya, mereka yang dituntut bubar justru memegang kunci.
    Di sinilah politik bekerja. Seruan “bubarkan DPR” bisa jadi lebih berguna sebagai simbol ketidakpuasan ketimbang agenda nyata.
    Ia jadi bahan bakar bagi oposisi, jadi komoditas di media sosial, jadi amunisi bagi kelompok yang ingin mengganggu status quo.
    Politik selalu pandai menunggangi suara rakyat. Teriakan yang lahir dari nurani bisa dibelokkan jadi alat tawar. Bisa dijadikan ancaman, bisa jadi alat legitimasi.
    Namun, politik juga bisa memaknai ulang suara itu. Jika DPR bijak, maka seruan itu seharusnya dilihat sebagai alarm, bukan ancaman. Alarm yang menandakan jarak yang kian jauh antara rakyat dan wakilnya.
    Rakyatlah yang pada akhirnya akan memutuskan. Tidak dengan dekrit, tidak dengan penetapan presiden, tidak dengan maklumat. Tetapi dengan selembar kertas bernama surat suara.
    Narasi “bubarkan DPR” mungkin tak akan pernah mewujud dalam hukum. Namun, ia bisa terwujud dalam pilihan rakyat di pemilu. Dengan cara itu, rakyat bisa “membubarkan” wajah lama DPR, menggantinya dengan wajah baru.
    Namun, pertanyaannya: apakah rakyat percaya pada mekanisme itu? Atau apakah demokrasi kita terlalu tersandera oleh partai politik, sehingga pilihan rakyat sekadar memilih nama-nama yang telah disiapkan oligarki?
    Di situlah letak tragedinya. Rakyat ingin perubahan, tetapi saluran formalnya dibatasi. Teriakan pun menggema, mencari jalan lain.
    “Bubarkan DPR” mungkin bukan instruksi yang realistis. Ia adalah metafora, cara rakyat mengekspresikan kehilangan kepercayaan. Sebuah tanda bahwa lembaga yang mestinya menyalurkan aspirasi justru terasa asing, bahkan menindas.
    Konstitusi sudah menutup pintu pembubaran. Sejarah sudah memperingatkan risikonya. Hukum sudah menegaskan ketidakmungkinannya, tetapi nurani rakyat tetap bersuara.
    Mungkin, yang perlu dibubarkan bukanlah DPR sebagai lembaga. Melainkan cara DPR bekerja. Cara ia mewakili. Cara ia hidup dari uang rakyat.
    Dan mungkin, pada akhirnya, yang benar-benar ingin dibubarkan rakyat adalah jurang yang memisahkan mereka dari wakil yang mengaku mewakili.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • GUSDURian imbau pemerintah bijak dalam membuat kebijakan pajak

    GUSDURian imbau pemerintah bijak dalam membuat kebijakan pajak

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid mengimbau pemerintah untuk bijak dan melibatkan masyarakat dalam membuat kebijakan soal pajak dan kebijakan-kebijakan lainnya agar tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.

    “Kebijakan pemerintah dibuat tanpa kajian yang cukup. Suara rakyat semakin ditekan, sehingga muncul berbagai bentuk perlawanan, mulai dari kabur aja dulu atau Indonesia gelap,” kata Alissa dalam keterangannya di Jakarta, Minggu.

    Hal ini penting dilakukan agar tak menimbulkan gejolak besar di masyarakat seperti yang terjadi di Pati yang menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) sebesar 250 persen, yang kemudian disusul aksi demonstrasi serupa di Bone, Sulawesi Selatan, menentang kebijakan Pemda setempat yang menaikkan PBB-P2 sebesar 400 persen.

    Alissa menegaskan, dalam demokrasi, suara rakyat harus didengar dan dilibatkan, baik dalam proses pengambilan keputusan maupun pelaksanaan kebijakan. Kondisi ini menjadi perhatian serius GUSDURian, terutama untuk mengantisipasi potensi melemahnya kedaulatan sipil.

    “Demokrasi hanya bisa tegak jika kedaulatan sipil tetap kuat. Kalau kekuasaan sipil berada di bawah kendali militer, suara rakyat tidak akan pernah menjadi yang utama,” ujarnya.

    Selain soal penguatan demokrasi, dalam Tunas GUSDURian mendatang, juga akan membahas soal ekologi.

    Alissa menuturkan bahwa secara global, dunia sedang menghadapi krisis iklim. Di Indonesia, kondisi ini diperburuk oleh industri ekstraktif yang masih beroperasi dengan pendekatan kekuasaan. Dampaknya, masyarakat adat tersingkir dan ekosistem mengalami kerusakan parah.

    “Hampir tidak ada, pertambangan yang benar-benar memulihkan lingkungan. Bahkan, karena penyelenggara, pemerintah itu masih abai terhadap aturan hukum, kewajiban reklamasi tidak dilakukan. Akibatnya, banyak masyarakat menjadi korban, jatuh ke lubang tambang, atau tanah tandus tanpa penghijauan kembali,” jelasnya.

    Menurut Alissa, isu yang diangkat bukan sekadar masalah ekologis, melainkan juga keadilan ekologis.

    “Keadilan ini mencakup perlindungan bagi masyarakat adat sekaligus menjaga hak-hak alam,” kata Alissa.

    Alissa menambahkan, dalam Tunas GUSDURian 2025, nantinya akan disusun rekomendasi konkret untuk memperkuat demokrasi dan keadilan ekologi bagi masyarakat Indonesia.

    “Gus Dur itu bekerja berbasis nilai, kita fokus pada nilai-nilai tersebut harus diturunkan dalam bentuk yang lebih kongkret,” tuturnya.

    TUNAS Jaringan GUSDURian merupakan momen konsolidasi para penggerak GUSDURian. Kegiatan mengangkat tema Meneladani Gus Dur, Menguatkan Indonesia diikuti 2000 peserta, terdiri dari Komunitas GUSDURian, sahabat dan murid Gud Dur, individu, lembaga, tokoh lintas agama, jejaring masyarakat sipil, serta para akademisi dari berbagai daerah di Indonesia.

    Adapun kegiatan meliputi Konferensi Pemikiran Gus Dur, Forum Gerakan, dan Festival Gerakan. Dalam forum tersebut juga digelar Community Space: bazar dan pameran gerakan; Learning Space: ruang berbagi pengetahuan dan keterampulan yang diisi para pakar dan penggerak; serta dimeriahkan dengan Malam Budaya.

    Sejumlah tokoh yang akan hadir di antaranya KH. Husein Muhammad, Dewi Kanti Setianingsih, Greg Barton, Mahfud MD, Badriyah Fayumi, Kamala Candrakirana, Laode M. Syarif, Tantowi J. Musaddad, Nissa Wargadipura, dan Sandra Moniaga.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    DPR Tidak Bisa Dibubarkan, Kecuali Lewat Jalan Non-Konstitusional: ‘Revolusi’

    Belakangan ini ramai di media sosial ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).

    Bahkan, beredar seruan demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR Senayan. Isu ini langsung memicu polemik besar di tengah masyarakat.

    Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru.

    Wakil Ketua Komisi III DPR, Ahmad Sahroni, merespons isu tersebut dengan keras dan menyebut ajakan membubarkan DPR sebagai tindakan yang tidak masuk akal.

    Pernyataan ini memang terkesan kasar, namun secara konstitusional memiliki dasar.

    Landasan Konstitusional: DPR Tidak Bisa Dibubarkan Presiden

    UUD 1945 hasil amandemen menutup celah pembubaran DPR oleh Presiden.

    Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7C: Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.

    Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.

    Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.

    Kekecewaan Publik terhadap DPR

    Isu pembubaran DPR muncul tidak lepas dari kekecewaan masyarakat. Kritik publik antara lain:

    Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR.Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK.Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR.DPR dianggap kehilangan empati, misalnya ketika berjoget dalam sidang sementara rakyat menghadapi kesulitan ekonomi.Produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat dan lemahnya fungsi pengawasan terhadap pemerintah.

    Semua ini seharusnya menjadi bahan introspeksi agar DPR kembali pada jati dirinya sebagai wakil rakyat.

    Sejarah Pembubaran DPR di Luar Konstitusi

    Sejarah mencatat DPR pernah dibubarkan melalui langkah non-konstitusional.

    Pada 1960, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret untuk membubarkan DPR hasil Pemilu 1955. Sementara pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sempat mencoba membekukan DPR dan MPR, namun langkah itu justru berakhir dengan pelengserannya.

    Dua peristiwa ini membuktikan bahwa pembubaran DPR secara ekstra-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik.

    Karena itu, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak bisa lagi dibubarkan Presiden.

    Jalan Konstitusional: Amandemen dan Pemilu

    Secara hukum, cara satu-satunya untuk menghapus DPR adalah melalui amandemen UUD 1945.

    Namun, mekanisme ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya justru dari DPR.

    Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.

    Dengan demikian, secara politik dan praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.

    Apakah Revolusi Solusi?

    Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.

    Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.

    Oleh karena itu, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.

    DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.

    Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.

    Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.

    Jakarta, Minggu 24 Agustus 2025