Tag: Gus dur

  • Daftar Presiden RI yang Berpidato di Majelis Umum PBB, Siapa Terbanyak?

    Daftar Presiden RI yang Berpidato di Majelis Umum PBB, Siapa Terbanyak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto bakal menyampaikan pidato dalam Sidang Majelis Umum (SMU) ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

    Prabowo dijadwalkan menyampaikan pidato pada sesi debat umum di Markas Besar PBB, New York, pada Selasa (23/9/2025) pukul 09.00 waktu setempat atau pukul 20.00 WIB.

    Sekretaris Kabinet (Seskab), Teddy Indra Wijaya menyampaikan pidato ini akan menjadi panggung bagi Indonesia untuk menyuarakan kepentingan negara berkembang dan memperkuat posisi diplomasi Indonesia secara global.

    “Sesuai jadwal yang diterima, Presiden Prabowo akan menyampaikan pidato pada urutan ketiga pada sesi Debat Umum PBB pada 23 September 2025, setelah Presiden Brasil dan Presiden Amerika Serikat,” ujar Teddy dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (22/9/2025).

    Selain Prabowo, presiden sebelumnya juga telah menyampaikan pidato dalam forum internasional itu. Tercatat, hampir seluruh orang nomor satu di Indonesia pernah menyampaikan pidato di sidang PBB.

    Namun, hanya Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang tidak secara langsung menyampaikan pidatonya. Pasalnya, Jokowi telah hanya pernah tampil secara virtual saat pandemi Covid-19.

    Kemudian, untuk acara langsung Jokowi lebih memilih untuk mengutus perwakilan seperti Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi.

    Adapun, sejatinya Presiden ke-3 BJ Habibie dan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid alias Gus Dur juga tidak pernah berpidato langsung pada sidang PBB tersebut.

    Habibie belum sempat berpidato lantaran saat dirinya menjabat Indonesia masih dalam masa pembenahan pemerintah usai Soeharto mundur. Di samping itu, kepemimpinan Habibie juga terbilang singkat hanya satu tahun lima bulan.

    Sama halnya dengan Habibie, Gus Dur juga memiliki masa jabatan sebagai presiden cukup singkat. Presiden dengan julukan bapak Pluralisme ini juga memiliki kondisi kesehatan yang kerap terganggu.

    Berikut data lengkap presiden yang telah melakukan pidato di SMU PBB:

    Presiden ke-1 Soekarno

    – SMU PBB ke-15: Hari ke 7, urutan 46

    Presiden ke-2 Suharto

    – SMU PBB ke-47: Hari ke 4, urutan 61

    Presiden ke-5 Megawati

    – SMU PBB ke-58: Hari ke 1, urutan 17

    Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono 

    – SMU PBB ke-62: Hari ke 1, urutan 20

    – SMU PBB ke-67: Hari ke 1, urutan 27

    – SMU PBB ke-69: Hari ke 1, urutan 16

    Presiden ke-7 Jokowi

    – SMU PBB ke-75 (virtual): Hari ke 1, urutan 16

    – SMU PBB ke-76 (virtual): Hari ke 1, urutan 16

  • Ramalan Jayabaya 08 dan Warisan Goro Jokowi ke Gibran

    Ramalan Jayabaya 08 dan Warisan Goro Jokowi ke Gibran

    GELORA.CO -Ramalan politik di Indonesia selalu menyimpan daya tarik tersendiri. Salah satunya adalah ramalan Jayabaya, pujangga Jawa kuno, yang hingga kini masih sering dijadikan bahan perbincangan serius maupun guyonan politik.

    Dalam ramalan itu disebutkan, pemimpin Nusantara akan memiliki nama dengan akhiran No-To-No-Go-Ro. Frasa ini dimaknai sebagai noto nogoro, yang berarti “menata negara”. Meski sekilas terdengar simbolis, pola tersebut diyakini sebagian kalangan tetap relevan hingga hari ini.

    Jika ditelusuri, benang merah itu memang tampak pada sejumlah presiden RI. Soekarno, presiden pertama, menutup namanya dengan “No”. Soeharto, presiden kedua, berakhir dengan “To”. Lalu Susilo Bambang Yudhoyono kembali menghadirkan akhiran “No” pada era kepemimpinannya. 

    Bahkan Joko Widodo pun kerap dimasukkan dalam pola tersebut. Alasannya, nama asli Jokowi saat lahir adalah Mulyono sebelum kemudian diganti menjadi Joko Widodo.

    “No lagi; Mulyono. Kenapa Mulyono? Jokowi itu saat lahir nama aslinya Mulyono, karena berulang kali sakit-sakitan ibunya lalu mengganti nama jadi Joko Widodo. Jadi Jokowi masuknya di No; Mulyono,” terang mantan politikus Gerindra Arief Poyuono saat berbincang dengan RMOL, seperti dikutip kembali pada Minggu, 21 September 2025.

    Namun, pola ini kerap menimbulkan pertanyaan ketika menyentuh nama Presiden Habibie, Gus Dur, dan Megawati. Ketiganya tidak dimasukkan ke dalam rangkaian karena dianggap memimpin dalam periode singkat, kurang dari lima tahun.

    Kini publik kembali berspekulasi apakah Presiden ke-8, Prabowo Subianto, masuk dalam kerangka ramalan Jayabaya? Dari sisi nama memang tidak persis cocok. Tapi namanya juga ramalan?”kadang pas, kadang harus dipas-paskan agar sesuai kenyataan.

    Lebih jauh, sebagian penafsir menyebut bahwa suku kata “Goro” dalam ramalan bukanlah tanda akhiran nama, melainkan gambaran situasi ketika seorang pemimpin berkuasa. Dalam bahasa Jawa, goro berarti dusta atau kebohongan. 

    Sementara goro-goro kerap dimaknai sebagai huru-hara atau kekacauan. Dua tafsir ini saling berkaitan yaitu kebohongan bisa menjadi pemantik utama munculnya kegaduhan sosial maupun politik.

    Lalu, di manakah posisi Joko Widodo dalam konteks ramalan ini?

    Beberapa penafsir meyakini Jokowi berada di fase goro. Mereka menilai, sejak awal kepemimpinannya sudah tampak bayangan potensi kekacauan, berupa kekecewaan, pengkhianatan, hingga kemarahan publik. Kondisi inilah yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai goro-goro, sebuah masa penuh gejolak yang mengiringi kepemimpinan.

    Meski Jokowi kini telah lengser, sebagian kalangan percaya bahwa “warisan goro” itu tidak berhenti begitu saja. Aura itu diyakini berpindah ke putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang kini menjabat sebagai Wakil Presiden.

    Apakah tafsir ini benar adanya atau sekadar ramalan yang dipaksakan agar selaras dengan realitas politik, hanya waktu yang bisa menjawab. 

    Namun satu hal pasti ramalan Jayabaya akan terus hidup di ruang obrolan politik Indonesia, dari warung kopi hingga ruang seminar, sebagai jalinan antara mitos, sejarah, dan drama kekuasaan.

  • Bus Rombongan Peziarah Terlibat Kecelakaan dengan Mobil Yaris di Jombang

    Bus Rombongan Peziarah Terlibat Kecelakaan dengan Mobil Yaris di Jombang

    Jombang (beritajatim.com) – Kecelakaan terjadi di Jalan Raya Desa Jabaran Kedungpari, Kecamatan Mojowarno, Kabupaten Jombang, yang melibatkan dua kendaraan, yaitu mobil Toyota Yaris dan sebuah bus peziarah makam wali, Sabtu (20/9/2025). Kecelakaan tersebut menyebabkan dua orang terluka, sementara 58 penumpang bus tersebut tidak mengalami luka-luka.

    Kecelakaan bermula ketika mobil Toyota Yaris, yang dikemudikan oleh Anna Pratiana (42), melaju dari arah timur menuju barat. Setibanya di lokasi kejadian, diduga mobil tersebut kehilangan kendali dan melaju terlalu ke kanan, sehingga menabrak bus pariwisata yang sedang melaju dari arah barat ke timur. Bus yang dikemudikan oleh M. Agus Widodo (53), tidak mengalami kerusakan dan tidak ada korban luka dari pihak bus.

    Menurut informasi yang dihimpun dari saksi mata, Wondo (83) dan Suhartono (47), keduanya menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi dengan sangat cepat. “Mobil Toyota Yaris itu langsung oleng ke kanan dan menabrak bus. Kondisinya cukup mengerikan,” kata Wondo, seorang saksi mata yang berada di lokasi kejadian.

    Akibat kecelakaan ini, Anna Pratiana, pengemudi Toyota Yaris, mengalami luka-luka dan saat ini dirawat di RSUD Kabupaten Jombang. Sementara itu, kernet bus, Abidin Pribadi (39), mengalami luka ringan dan mendapatkan perawatan jalan di RSK Mojowarno, Kabupaten Jombang.

    Kanit Gakkum Satlantas Polres Jombang, Ipda Siswanto, mengungkapkan bahwa penyebab kecelakaan masih dalam penyelidikan, namun diduga pengemudi Toyota Yaris hilang kendali.

    “Kami masih memeriksa lebih lanjut mengenai penyebab kecelakaan ini. Kami juga meminta saksi-saksi yang melihat kejadian tersebut untuk memberikan keterangan lebih lanjut,” ujar Ipda Siswanto.

    Kecelakaan ini terjadi saat perjalanan rombongan wisatawan yang sebelumnya berziarah ke makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang, menuju makam Sayyid Sulaiman di Mojoagung. Kejadian ini menjadi perhatian karena melibatkan kendaraan besar dan menyebabkan luka-luka meskipun tidak ada korban jiwa. [suf]

  • Adhie M Massardi Yakin 100% Menag Yaqut Tak Berani Lego Kuota Haji Tanpa Perintah Jokowi

    Adhie M Massardi Yakin 100% Menag Yaqut Tak Berani Lego Kuota Haji Tanpa Perintah Jokowi

    GELORA.CO – Nama mantan presiden Joko Widodo atau Jokowi kembali disebut-sebut ada kaitan dalam pusaran kasus dugaan korupsi.

    Kali ini, kasus kuota haji ikut menyeret nama ayah Wapres Gibran itu sebagaimana dituturkan mantan juru bicara kepresiden era KH Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Adhie M Massardi.

    “PERSAHABATAN tak harus putus gegara teman kena kasus. Maka saya yakin 100% Menag Yaqut tak berani lego kuota tanpa perintah Presiden,” ujar Adhie melalui akun @AdhieMassardi di X, dikutip Minggu (14/9/2025).

    Dia pun mempertanyakan analisis KPK apakah 20 ribu kuota haji bisa dibiaya keberangkatannya oleh negara.

    “@KPK_RI perlu cek jika 20 Rb kuota benar2 dipakai reguler apa pemerintah punya dananya? Takut DPR tanya dana haji maka Yaqut dilarang hadiri Pansus,” tutupnya.

    Diketahui, KPK mengungkap modus licik dalam dugaan korupsi kuota haji 2024, yakni sengaja dibuat mepet pelunasannya agar bisa dijual ke calon haji lain. Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga modus itu diniatkan dari awal untuk diperjualbelikan.

    “Jadi itu, kalau toh mepet 5 hari, itu untuk trik aja, memang supaya yang sudah antre 5 tahun atau 6 tahun kemudian tidak bisa berangkat dan akhirnya terjual untuk yang tidak perlu antre. Nah, haji biasa antreannya sampai 20 bahkan 30 tahun, haji plus 5 sampai 6 tahun,” ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada awak media, Sabtu (13/9/2025) kemarin.

    “Jadi memang trik-trik itu memang niat greedy, niat jahatnya itu sudah terduga sejak awal bahwa niatnya menjual dan itu otomatis bekerja sama dengan travel haji untuk memperjualbelikan itu,” ungkap Boyamin.

    Dia mengatakan penjualan kuota haji ini tentu banyak diminati calon haji karena merupakan jalan pintas terbaik untuk tidak mengantre lama. Boyamin pun sangat menyayangkan modus ini terjadi. 

  • Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 September 2025

    Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan Nasional 15 September 2025

    Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MUAZIN
    muda Sukidi Mulyadi, lulusan Harvard University, memilih jalan sunyi. Bukan menjadi pengusaha, bukan membangun start-up, bukan pula menjadi elite ormas.
    Ia memilih menulis, berceramah, dan mengingatkan bangsa melalui refleksi moral. Esai-esainya—
    Pinokio Jawa, Machiavelli Jawa, Hitler Jawa
    —menyentil nurani publik. Dan, viral.
    Dalam tulisannya di Harian
    Kompas
    (11 September 2025), ia menulis: “Ketika saluran perubahan formal tidak berfungsi lagi dan aspirasi bersama tidak didengarkan sama sekali, akhirnya rakyat turun ke jalan-jalan sebagai bentuk perlawanan politik.”
    Kegelisahan Sukidi adalah kegelisahan kita semua. Ia mewakili suara batin yang jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk politik dan prahara Agustus 2025.
    Dalam esainya di
    Kompas
    , Sukidi menulis, “Simaklah wahai para pengurus negara, fenomena perlawanan politik dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang. Rakyat tidak percaya dengan yang pemerintah katakan dengan efisiensi karena melihat langsung pemerintahan yang besar yang tidak efisien dan efektif.”
    Sukidi menyebut, “pengurus negara”. Gagasan itu diambil dari Pidato Mohammad Hatta, 15 Juli 1945. Yang digagas Hatta dan para pendiri bangsa adalah negara pengurus, bukan negara kekuasaan.
    Pengertian pengurus negara adalah orang yang mengurusi negara dengan segala kebutuhan warga negara yang telah membayar pajak.
    Terminologi pengurus amat beda dengan pemimpin atau penguasa. Pemimpin seakan menempatkan ada yang memimpin dan rakyat yang dipimpim. Apalagi termonologi penguasa, di mana penguasa menguasasi rakyat yang dikuasasi. Tidak demikian adanya.
    Dalam perspektif Gramsci, Sukidi adalah intelektual sejati bukan sekadar akademisi, melainkan mereka yang mengartikulasikan aspirasi dan kegelisahan rakyat.
    Sukidi memilih “jalan sunyi” sebagai penulis dan penceramah moral. Ia tidak masuk dalam struktur formal (partai, ormas, birokrasi), tetapi justru menjadi intelektual organik yang menyuarakan keresahan rakyat.
    Esainya mengkritik disfungsi saluran formal demokrasi, dan membuka ruang kesadaran bahwa perlawanan politik bisa sah sebagai ekspresi rakyat. Ini adalah upaya membentuk
    counter-hegemony
    terhadap narasi resmi negara.
    Prahara Agustus 2025 membuka mata betapa lumpuhnya pranata demokrasi kita. Partai politik, DPR, DPD, bahkan ormas besar seolah menghilang.
    Padahal, negara sudah mengalokasikan anggaran yang besar berdasarkan RAPBN 2026: DPR Rp 9,9 triliun, DPD Rp 1,8 triliun, MPR Rp 1,05 triliun. Besarnya anggaran ternyata tidak berbanding lurus dengan keberanian untuk menemui rakyat.
    Wajar jika rakyat marah dan melampiaskan kemarahan dengan caranya sendiri, turun ke jalan.
    DPR atau DPRD memilih diam ketika pajak rakyat dinaikkan oleh pengurus negara, baik di pusat maupun di daerah.
     
    Rakyat marah menyaksikan drama permainan hukum. Aktivis ditangkap karena menyalurkan aspirasi, sementara elite politik atau jenderal polisi berbintang tiga berstatus tersangka, tapi perkaranya tak jelasnya prosesnya.
    Seorang terpidana yang seharusnya dieksekusi malah dihadiahi jabatan komisaris BUMN. Itu kesalahan pengurus negara.
    Fenomena ini dapat dibaca melalui teori cartel party Katz & Mair: partai politik yang seharusnya menjadi penghubung rakyat justru membentuk kartel kekuasaan, hidup dari sumber daya negara, dan semakin jauh dari basis sosialnya.
    Lalu,
    state capture
    memperlihatkan bahwa institusi demokrasi sudah disandera oleh elite—fungsi representasi hanyalah formalitas.
    Dalam
    delegative democracy
    ala Guillermo O’Donnell, rakyat seolah memberi mandat total kepada presiden, sementara DPR dan DPD tereduksi jadi pelengkap prosedural.
    Semua teori itu bertemu dalam kenyataan: rakyat kehilangan saluran aspirasi, dan jalan terakhir adalah turun ke jalan.
    Di sinilah relevansi Bung Hatta kembali hidup. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), (15 Juli 1945), ia berkata: “Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus.”
    Pesan Hatta adalah kompas moral. Negara pengurus artinya negara yang hadir untuk mengurus rakyatnya, bukan mengurus keluarga, kelompok, atau oligarki.
    Dengan memegang prinsip kesetaraan, selayaknya istilah “pengurus negara” lebih tepat dibandingkan pemimpin negara.
    Pemimpin mengasumsikan bahwa rakyat dipimpin oleh pemimpin dengan kelas yang lebih tinggi. Istilah “pengurus negara” adalah mandat yang diberikan rakyat (pembayar pajak) untuk mengurusi segala kebutuhan negara dan masyarakat.
    Dalam MemoBDM saya menawarkan tiga hal:
    Pertama, repolitisasi masyarakat sipil. Suara kegelisahan moral dari intelektual, tokoh agama, akademisi harus dirajut menjadi kekuatan politik alternatif.
    Pada era Gus Dur, pernah ada lembaga bernama Forum Demokrasi atau Liga Demokrasi. Kekuatan masyarakat sipil memang harus dikonsolidasikan menjadi kekuatan politik alternatif di tengah disfungsi pranata demokrasi.
    Kedua, reformasi partai politik. Kartelisasi hanya bisa diputus dengan pembatasan rangkap jabatan, transparansi dana politik, dan mekanisme kontrol publik yang nyata.
    Dalam reformasi partai politik dan DPR perlu dipikirkan RUU Pemerintahan Nasional atau RUU Kepresidenan. Menjadi kenyataan, satu-satunya lembaga negara yang tidak punya undang-undang adalah Lembaga Kepresidenan.
    Jika pemerintah daerah punya UU Pemerintahan Daerah, mengapa tidak ada UU Pemerintahan Nasional?
    Ketiga, restorasi amanah rakyat. Elite harus sadar bahwa mandat pemilu bukanlah cek kosong, melainkan janji untuk mengurus rakyat, bukan kerabat atau kroni.
    Rakyat pun masih belum lupa tema yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran adalah keberlanjutan. Sementara Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai simbol perubahan.
    Adapun Gandjar Pranowo-Mahfud MD mengusung keberlanjutan dan koreksi. Kini setelah pemerintahan Prabowo berjalan sepuluh bulan, apa makna kampanye “keberlanjutan” yang digaungkan pada masa kampanye? Lalu, apa artinya janji kampanye?
    Prahara Agustus adalah alarm keras. Prahara Agustus adalah
    wake up call
    , kata Anggota Forum Warga Negara, Chandra Hamzah dan Sudirman Said dan diserukan kembali oleh Mulya Lubis.
    Jika elite tetap tak mendengar, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Jalan kembali ke negara pengurus bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan keharusan sejarah.
    Bung Hatta sudah meletakkan fondasinya; kini kita menunggu, adakah pengurus negara yang berani menapakinya kembali?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sri Mulyani Disebut Dua Kali Ajukan Pengunduran Diri Tapi Ditolak Prabowo, Adhie Massardi: Pencitraan Habis-habisan

    Sri Mulyani Disebut Dua Kali Ajukan Pengunduran Diri Tapi Ditolak Prabowo, Adhie Massardi: Pencitraan Habis-habisan

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Eks Juru Bicara (Jubir) Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur, Adhie Massardi menyebut narasi Sri Mulyani ajukan pengunduran diri dua kali hanya pencitraan.

    “Undur-undur SMI. Kisah ‘2 X’ Sri Mulyani mau mundur jadi legenda pencitraan habis-an,” kata Adhie dikutip dari unggahannya di X, Sabtu (13/9/2025).

    Ia menanyakan mengapa Sri Mulyani tak mundur sejak era pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo. Saat itu, Adhie menyebut postur anggaran ancur-ancuran.

    “Why zaman Widodo, saat postur APBN ancur-ancuran dan Peta Keuangan berantakan SMI gak mundur?” ujarnya.

    Dia sendiri mengaku sudah mengonfirmasi soal pengunduran diri itu. Tapi surat resminya tidak ada.

    “Saya cek ke teman yang punya akses ke Istana soal ini. ‘Gak nemu surat mundur Bu Menkeu,’ katanya. Nah,” pungkasnya.

    Diketahui, Sri Mulyani direshuffle dalam Kabinet Merah Putih. Posisinya sebagai Menteri Keuangan diganti oleh Purbaya Yudhi Sadewa.

    Sebelum diganti, Sri Mulyani oleh sejumlah sumber disebut mengajukan pengunduran diri dua kali. Namun ditolak Presiden Prabowo.
    (Arya/Fajar)

  • GNB Tuntut Reformasi Polri ke Prabowo, Soroti Kekerasan Aparat 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 September 2025

    GNB Tuntut Reformasi Polri ke Prabowo, Soroti Kekerasan Aparat Nasional 13 September 2025

    GNB Tuntut Reformasi Polri ke Prabowo, Soroti Kekerasan Aparat
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tuntutan reformasi Polri yang dibawa Gerakan Nurani Bangsa (GNB) ke Presiden Prabowo Subianto adalah tuntutan yang berisi pembenahan menyeluruh kepolisian, agar kekerasan aparat kepolisian terhadap masyarakat tak terjadi lagi.
    “Kami mengusulkan pembenahan utuh terutama kebijakannya agar tidak ada ruang tindakan kekerasan eksesif yang dilakukan kepada rakyat,” kata salah satu tokoh dari GNB, Allisa Wahid, kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (13/9/2025).
    Dia menyebut Affan Kurniawan, pengemudi ojek online berusia 21 tahun yang meninggal dunia usai dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Jakarta pada 28 Agustus 2025 malam.
    Peristiwa yang menimpa Affan adalah salah satu contoh yang membuat reformasi Polri perlu segera dilakukan agar tidak ada lagi kekerasan serupa.
    “Yang terpenting adalah reformasi paradigma, terkait dengan peran fungsi Polri dalam hidup bangsa dan negara. Banyaknya kekerasan yang dilakukan anggota kepolisian, ada tagar 1 hari 1 oknum di media sosial, dan lain-lain, menandakan kondisinya bukan kasuistik, tapi paradigmatik,” tutur Alissa.
    Putri sulung dari Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini menilai akar masalah dari kekerasan oleh aparat kepolisian ada pada level paradigma atau kerangka berpikir yang mendasar.
    “Selama paradigma tidak berubah, pasti akan terulang, bahkan makin parah,” kata Alissa.
    Aspek selanjutnya yang perlu direformasi adalah pembenahan bangunan institusi tersebut.
    “Lalu reformasi struktural, tentunya disesuaikan dengan paradigma baru,” ujarnya.
    Alissa juga menjelaskan perihal perlunya reformasi Polri agar tidak terjadi perilaku koruptif.
    “Juga kebijakan, terutama untuk menegakkan disiplin dan pencegahan korupsi dan kolusi di tubuh Polri,” kata Alissa.
     
    Pembentukan komisi reformasi tersebut adalah salah satu tuntutan masyarakat termasuk GNB yang terdiri sejumlah tokoh bangsa dan tokoh-tokoh lintas agama.
    Perihal pembentukan komisi reformasi Polri itu disampaikan anggota GNB, Pendeta Gomar Gultom usai GNB bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan RI, Jakarta pada Kamis (11/9/2025) malam.
    “Tadi juga disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata Pendeta Gomar Gultom, dikutip dari ANTARA.
    Sementara itu, Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menambahkan bahwa aspirasi mengenai reformasi Polri yang disampaikan GNB itu telah direncanakan dan dirumuskan konsepnya oleh Presiden Prabowo.
    “Ini gayung bersambut ya, apa yang ada dalam (Gerakan) Nurani Bangsa itu juga dalam nurani saya, kata Bapak Presiden. Jadi, harapan-harapan yang diminta oleh teman-teman itu juga malah sudah dalam konsepnya Bapak Presiden,” kata Nasaruddin. “Jadi, istilahnya tadi itu gayung bersambut ya apa yang dirumuskan teman-teman ini justru itu yang sudah akan dilakukan oleh Bapak Presiden terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian,” ujar Menag lagi.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Siapa Tokoh-tokoh dalam GNB yang Usulkan Tim Reformasi Polri ke Prabowo?
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        12 September 2025

    Siapa Tokoh-tokoh dalam GNB yang Usulkan Tim Reformasi Polri ke Prabowo? Nasional 12 September 2025

    Siapa Tokoh-tokoh dalam GNB yang Usulkan Tim Reformasi Polri ke Prabowo?
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gerakan Nurani Bangsa atau GNB menyampaikan tuntutan ke Presiden Prabowo Subianto agar Prabowo membentuk tim reformasi polri. Siapa anggota GNB?
    Dilansir
    ANTARA
    , Jumat (12/9/2025), GNB berisi banyak tokoh sebagai anggotanya.
    GNB yang diterima Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis (11/9/2025), yakni Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid yang merupakan istri Presiden ke-4 RI; tokoh agama sekaligus filsuf cum teolog, Romo Franz Magnis-Suseno SJ; agamawan Profesor M Quraish Shihab, dan tokoh Nahdlatul Ulama KH Ahmad Mustofa Bisri.
    Ada pula Uskup Agung Jakarta, Mgr Ignatius Kardinal Suharyo; Omi Komariah Nurcholish Madjid; Profesor Doktor Amin Abdullah; Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, Alissa Q Wahid; hingga mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
    Turut pula, filsuf sekaligus astronom Karlina Rohima Supelli; Ketua Umum PGI Pendeta Jacky Manuputty; Mantan Ketua Umum PGI Pendeta Gomar Gultom; Romo A Setyo Wibowo SJ; Mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas; Eri Seda; Laode Moh Syarif; Makarim Wibisono; Komaruddin Hidayat; dan budayawan Slamet Rahardjo.
    Pembentukan komisi reformasi tersebut adalah salah satu tuntutan masyarakat termasuk Gerakan Nurani Bangsa (GNB) yang terdiri sejumlah tokoh bangsa dan tokoh-tokoh lintas agama.
    Perihal pembentukan komisi reformasi Polri itu disampaikan anggota GNB, Pendeta Gomar Gultom usai GNB bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Kepresidenan RI, Jakarta pada Kamis (11/9/2025) malam.
    “Tadi juga disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata Pendeta Gomar Gultom, dikutip dari
    ANTARA
    .
    Sementara itu, Menteri Agama RI Nasaruddin Umar menambahkan bahwa aspirasi mengenai reformasi Polri yang disampaikan GNB itu telah direncanakan dan dirumuskan konsepnya oleh Presiden Prabowo.
    “Ini gayung bersambut ya, apa yang ada dalam (Gerakan) Nurani Bangsa itu juga dalam nurani saya, kata Bapak Presiden. Jadi, harapan-harapan yang diminta oleh teman-teman itu juga malah sudah dalam konsepnya Bapak Presiden,” kata Nasaruddin. “Jadi, istilahnya tadi itu gayung bersambut ya apa yang dirumuskan teman-teman ini justru itu yang sudah akan dilakukan oleh Bapak Presiden terutama menyangkut masalah reformasi dalam bidang kepolisian,” ujar Menag lagi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Prabowo setuju komisi investigasi dibentuk selidiki prahara Agustus

    Prabowo setuju komisi investigasi dibentuk selidiki prahara Agustus

    Jakarta (ANTARA) – Presiden Prabowo Subianto menyetujui usulan kelompok masyarakat sipil termasuk dari Gerakan Nurani Bangsa (GNB) untuk membentuk komisi investigasi independen yang menyelidiki rangkaian kerusuhan pada 25 Agustus, kemudian 28—30 Agustus 2025 di Jakarta dan daerah lainnya.

    Kerusuhan pada periode waktu tersebut, yang kemudian disebut oleh GNB sebagai prahara Agustus, turut diwarnai oleh aksi pembakaran dan penjarahan, dan korban jiwa akibat rangkaian insiden tersebut mencapai 10 orang, termasuk Affan Kurniawan yang meninggal karena dilindas kendaraan taktis (rantis) Barracuda milik Brimob Polri.

    “Saya ingin sampaikan di sini bahwa salah satu tuntutan masyarakat sipil yang juga menjadi aspirasi kami dari GNB adalah perlunya dibentuk Komisi Investigasi Independen terkait dengan kejadian prahara Agustus beberapa waktu yang lalu, yang menimbulkan jumlah korban jiwa, korban kekerasan, luka-luka, dan seterusnya cukup banyak. Presiden menyetujui pembentukan itu, dan detailnya tentu nanti pihak Istana akan menyampaikan bagaimana formatnya,” kata Lukman Hakim Saifuddin, yang mewakili Gerakan Nurani Bangsa, saat jumpa pers selepas pertemuan antara Presiden Prabowo dan GNB di Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Kamis malam.

    Di lokasi yang sama selepas jumpa pers, Lukman lanjut menjelaskan investigasi yang dilakukan secara independen itu perlu dilakukan karena jangan sampai unjuk rasa yang digelar oleh masyarakat sipil termasuk aktivis, mahasiswa dan pelajar itu difitnah sebagai penyebab kerusuhan.

    Lukman menilai unjuk rasa menyampaikan pendapat merupakan hak setiap warga negara yang dilindungi oleh konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 45).

    “Demo itu sebenarnya mahasiswa, para aktivis itu kan secara damai sebagaimana biasa mereka mengekspresikan tuntutannya, itu adalah sesuatu yang dijamin oleh konstitusi. Lalu kan kemudian berubah menjadi tindakan kekerasan, perusakan fasilitas umum, bahkan penjarahan dan lain sebagainya, pembakaran-pembakaran, dan itu kemudian menimbulkan fitnah, tuduhan-tuduhan macam-macam. Itulah kenapa lalu kemudian agar menghilangkan semua fitnah, tuduhan-tuduhan, saling tuduh satu kepada yang lain, maka harus diinvestigasi,” kata Lukman.

    Dia menjelaskan alasan mengapa harus komisi yang independen, karena mereka yang ditugaskan menyelidiki itu harus orang-orang yang berintegritas tinggi, profesional, dan mandiri.

    “Komisi Investigasi Independen ini (diharapkan, red.) memiliki kewenangan yang kuat untuk menjalankan peran, fungsi, dan tugasnya,” sambung Lukman.

    Presiden Prabowo mengundang sejumlah tokoh lintas agama dan tokoh-tokoh bangsa lainnya yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa ke Istana Kepresidenan RI, Jakarta, Kamis sore. Pertemuan Presiden dan Gerakan Nurani Bangsa itu berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Beberapa tokoh dalam GNB yang hadir di Istana dan berdialog dengan Presiden, di antaranya Romo Franz Magnis-Suseno SJ, dan Prof. M. Quraish Shihab.

    Tokoh-tokoh lainnya yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa, yaitu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, KH. Ahmad Mustofa Bisri, Mgr. Ignatius Kardinal Suharyo, Omi Komariah Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Amin Abdullah, Bhikkhu Pannyavaro Mahathera, Alissa Q Wahid, Lukman Hakim Saifuddin, Karlina Rohima Supelli, Pendeta Jacky Manuputty, Pendeta Gomar Gultom, Romo A Setyo Wibowo SJ, Erry Riyana Hardjapamekas, Eri Seda, Laode Moh Syarif, Makarim Wibisono, Komaruddin Hidayat, dan Slamet Rahardjo.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi/Mentari Dwi Gayati
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Romo Magnis Minta Pelaku Kerusuhan Ditindak, Jangan Salah Tangkap
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        11 September 2025

    Romo Magnis Minta Pelaku Kerusuhan Ditindak, Jangan Salah Tangkap Nasional 11 September 2025

    Romo Magnis Minta Pelaku Kerusuhan Ditindak, Jangan Salah Tangkap
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis mengatakan, dalam pertemuan Gerakan Nasional Bangsa (GNB) di Istana Jakarta pada Kamis (11/9/2025), tidak ada pembicaraan spesifik mengenai kerusuhan yang terjadi selama aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025.
    Romo Magnis menegaskan pentingnya menindak pelaku kerusuhan tersebut.
    “Nah, ini tidak dibicarakan ini. Tentu pelaku kerusuhan harus ditindak karena demonstrasi harus tanpa kekerasan,” kata Romo Magnis, di Kompleks Istana, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
    Ia juga mengingatkan agar tidak terjadi salah tangkap terkait pelaku kerusuhan.
    “Iya,” ujar dia.
    Diketahui, Presiden Prabowo Subianto mengundang tokoh bangsa yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) ke Istana Kepresidenan Jakarta, sore ini.
    Selain Romo Magnis, sejumlah tokoh dan pejabat turut hadir.
    Mereka di antaranya Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi Stella Christie, Wakil Menteri Sosial Agus Jabo hingga eks Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim.
    “Mendampingi Pak Presiden menerima tamu sepertinya. Dari Gerakan Nurani Bangsa,” kata Agus Jabo, di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis.
    Sementara itu, Lukman Hakim menyampaikan, sejumlah tokoh dari Gerakan Nurani Bangsa akan hadir termasuk Ketua Gerakan Nurani Bangsa sekaligus istri Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, Sinta Nuriyah, juga turut hadir.
    “Dari Gerakan Nurani Bangsa yang akan hadir adalah tentu ketuanya Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, lalu ada Pak Quraish Shihab, ada Romo Magnis Suseno, lalu ada Ibu Omi Komaria Nurcholish Madjid, ada Komaruddin Hidayat, Erry Riyana Hardjapamekas, ada beberapa tokoh yang lain, Profesor Ery Seda, ada Laode Syarif,” ujar dia.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.