Seorang Kepala Desa Minta MK Copot Kewenangan Intelijen Kejaksaan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Desa Dadapan, Kecamatan Ngronggot, Kabupaten Nganjuk, Yuliantono, mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kepala desa itu meminta agar frasa “bidang intelijen” dan “penyelidikan” dalam Pasal 30B UU Kejaksaan RI dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Karena menurut pemohon, kewenangan jaksa bidang intelijen dalam melakukan penyelidikan dan menjadikannya dasar penyidikan berpotensi menimbulkan multitafsir serta membuka peluang kesewenang-wenangan.
Berikut adalah bunyi pasal yang digugat oleh Kepala Desa itu:
Pasal 30B
Dalam bidang intelijen penegakan hukum, Kejaksaan berwenang:
a. menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamarlan, dan penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;
b. menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan;
c. melakukan kerja sarna intelijen penegakan hukum dengan lembaga intelijen dan/atau penyelenggara intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar negeri;
d. melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi, nepotisme; dan
e. melaksanakan pengawasan multimedia.
Ia menilai aturan itu tidak memberikan kepastian hukum dan mengabaikan hak konstitusional warga negara di hadapan hukum.
Kuasa hukum pemohon, Prayogi Laksono, mengatakan, penyelidikan seharusnya diatur secara jelas oleh undang-undang, termasuk siapa pejabat yang berwenang melakukannya.
“Namun dalam UU Kejaksaan, hal ini tidak dijelaskan secara tegas sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum,” kata Prayogi dalam sidang yang digelar, Jumat (22/8/2025).
Dia juga menyinggung putusan MK Nomor 28/PUU-V/2007 yang sebelumnya pernah menguji kewenangan jaksa sebagai penyidik.
Dalam putusan itu disebutkan, KUHAP dan UU KPK secara jelas mengatur kedudukan penyelidik.
Dengan dasar tersebut, Yuliantono meminta MK menyatakan Pasal 30B huruf a UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Kemudian menyatakan Pasal 30B frasa “Bidang Intelijen” dan Pasal 30B huruf a frasa “Penyelidikan” UU Kejaksaan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim MK Guntur Hamzah mempertanyakan latar belakang permohonan pemohon yang menyebut ada proses penyelidikan yang tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP.
Jika latar belakang demikian, Guntur Hamzah menanyakan apakah pemohon sudah melaporkan hal tersebut kepada Komisi Kejaksaan atau belum.
“Kan ada Komisi Kejaksaan kalau bicara caranya yang tidak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam KUHAP, misalnya untuk penyelidikan ya,” imbuhnya.
Guntur Hamzah juga menyebut, adanya pelanggaran terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh oknum kejaksaan bukan berarti bermasalah pada norma undang-undangnya.
Karena kasus yang dialami pemohon bukan karena norma yang bermasalah, tetapi tataran pelaksanaan undang-undang.
“Apalagi kalau oknumnya yang macam-macam, mau menggertaklah, mau mengintimidasi lah, mau apa ya, itu larinya ke oknum, karena semuanya kan harus ada tata caranya,” ucap Guntur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Guntur Hamzah
-
/data/photo/2025/01/02/677673434eaf1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
4 Seorang Kepala Desa Minta MK Copot Kewenangan Intelijen Kejaksaan Nasional
-
/data/photo/2025/07/25/6883409d35680.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Manuver Hasto Gugat Pasal Perintangan Penyidikan yang Menyeretnya Ke Dalam Bui Nasional 14 Agustus 2025
Manuver Hasto Gugat Pasal Perintangan Penyidikan yang Menyeretnya Ke Dalam Bui
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Eks Sekretaris Jenderal PDI-P, Hasto Kristiyanto, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah norma Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dinilai telah merugikan dirinya secara konstitusional.
Pasal 21 itu mengatur ketentuan pidana bagi pelaku perintangan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan perkara korupsi.
Hasto pernah dijerat menjadi tersangka dan dibawa ke pengadilan dengan tuduhan merintangi penyidikan kasus suap eks kader PDI-P, Harun Masiku, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, pada Jumat (25/7/2025), Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menyatakan dakwaan jaksa terkait pasal perintangan itu tidak terbukti.
Berselang tiga hari setelah pembacaan putusan, Hasto menggugat Pasal 21 itu ke MK, didampingi 32 pengacara, termasuk eks Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, dan eks peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana.
Kuasa hukum Hasto, Maqdir Ismail, menyebut ancaman pidana yang termuat dalam Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor itu tidak proporsional.
Menurut Maqdir, lamanya masa pidana yang bisa dijatuhkan pengadilan menggunakan pasal itu lebih besar dari pidana pokok.
“Pada pokoknya adalah kami menghendaki agar supaya hukuman berdasarkan obstruction of justice ini proporsional dalam arti bahwa hukuman terhadap perkara ini sepatutnya tidak boleh melebihi dari perkara pokok,” kata Maqdir saat ditemui di Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Untuk diketahui,
obstruction of justice
mensyaratkan adanya tindak pidana pokok yang menjadi obyek perintangan.
Maqdir mencontohkan, pada kasus suap, pelaku pemberi suap diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara.
Sementara, pelaku yang merintangi kasus suap itu, misalnya dengan merusak barang bukti suap, diancam hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 12 tahun penjara.
“Nah ini yang menurut kami tidak proporsional, hukuman seperti ini,” tutur Maqdir.
Dalam persidangan, kuasa hukum Hasto lainnya, Illian Deta Arta Sari, meminta mahkamah menyatakan bahwa Pasal 21 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali ketentuan ancaman pidana penjara diubah menjadi maksimal 3 tahun.
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000,” kata Deta dalam sidang di Gedung MK.
Selain itu, ia juga meminta norma Pasal 21 itu diperjelas dengan menyatakan bahwa perintangan dimaksud dilakukan secara melawan hukum, di antaranya dengan kekerasan fisik, intimidasi, intervensi, dan suap.
Hasto juga meminta perintangan pada Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor bersifat kumulatif, dalam arti tindakan dilakukan di semua tahapan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.
Pada sidang tersebut, dua hakim konstitusi, Guntur Hamzah dan Daniel Yusmic Foekh, memuji permohonan yang diajukan Hasto.
Guntur menyebut,
legal standing
Hasto sebagai penggugat Pasal 21 itu sangat kuat karena bertolak dari peristiwa nyata yang menimpa dirinya sendiri.
“Kedudukan hukum sudah bagus sekali, karena ini berangkat dari kasus konkret jelas, dia (Hasto) punya kedudukan hukum,” kata Guntur.
Dalam uraian
legal standing
-nya, Hasto memang menjelaskan bagaimana dirinya ditetapkan menjadi tersangka perintangan penyidikan.
Ia dituduh menghalangi operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam kasus suap Harun Masiku pada 8 Januari 2020, sementara Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Sprindik) baru terbit 9 Januari 2020.
“Jadi, kewenangan mahkamah, kedudukan hukum, enggak ada masalah,” ujar Guntur.
Selain itu, Guntur juga memuji aspek konseptual dan filosofis dalam permohonan Hasto yang memudahkan pihak-pihak terkait perkara ini untuk memberikan keterangan.
“Memudahkan ini, baik sekali sampai original intent-nya pasal ini dikemukakan di sini,” tutur Guntur.
Sementara itu, Daniel memuji kualitas permohonan uji materiil Hasto.
Menurutnya, substansi permohonan itu memuat asas doktrin yurisprudensi sejumlah putusan pengadilan terkait kasus Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor.
Sebagaimana Guntur, ia juga mengakui
legal standing
Hasto jelas karena terdampak Pasal 21 tersebut.
“Jadi, saya lihat dari segi kualitas ini sudah sangat bagus,” ujar Daniel.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/23/669fca8b4ee30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hakim MK Sebut Permohonan Hasto Persempit Norma Pasal 21 UU Tipikor Nasional 13 Agustus 2025
Hakim MK Sebut Permohonan Hasto Persempit Norma Pasal 21 UU Tipikor
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Permohonan uji materiil eks Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI-P, Hasto Kristiyanto dinilai mempersempit norma Pasal 21 Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Adapun Pasal 21 itu mengatur tentang ancaman pidana bagi pelaku perintangan penyidikan atau obstruction of justice (OoJ).
Setelah mencermati permohonan, hakim konstitusi Guntur Hamzah menyebut pihak Hasto harus menjelaskan apakah bertujuan mempersempit wilayah penerapan norma atau tidak.
“Saudara mesti menjelaskan bahwa ini tidak bermaksud atau kah memang saudara bermaksud mempersempit norma itu?” kata Guntur di ruang sidang utama Gedung MK, Jakarta, Rabu (13/8/2025).
Guntur mengatakan, dalam permohonannya Hasto meminta agar norma Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor ditambah dengan sejumlah variabel.
Adapun Pasal 21 itu berbunyi, “
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000 dan paling banyak Rp 600.000.000.
”
Hasto lalu meminta norma Pasal 21 itu diubah menjadi, “Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 dan paling banyak Rp 600.000.000.”
Dengan demikian, Hasto meminta norma pasal itu ditambah dan lebih detail bahwa perintangan dimaksud dilakukan secara melawan hukum dengan cara kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji.
“Kalau semakin banyak variabel yang dicantumkan, berarti itu kan semakin mempersempit wilayah penerapan norma, itu dalam teori berlakunya sebuah norma,” ujar Guntur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/01/02/677673434eaf1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
MK Tolak Bubarkan Kompolnas yang Dinilai Pemohon Tak Profesional Nasional 30 Juli 2025
MK Tolak Bubarkan Kompolnas yang Dinilai Pemohon Tak Profesional
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Mahkamah Konstitusi
(MK) menyatakan, dasar hukum pembentukan
Komisi Kepolisian Nasional
(
Kompolnas
) tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, maka MK menolak pembubaran Kompolnas.
“Anggapan tidak profesionalnya penanganan pengaduan oleh Kompolnas, seandainya anggapan demikian memang benar terjadi, maka dalam batas penalaran yang wajar adalah tidak tepat jika solusinya berupa memohon kepada Mahkamah untuk ‘membubarkan Kompolnas’ dengan cara menyatakan norma Pasal 37 Ayat (2) UU 2 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD Tahun 1945,” ujar hakim MK, Guntur Hamzah, dalam sidang di MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (30/7/2025).
MK mengetok Putusan 103/PUU-XXIII/2025 merespons permohonan agar Pasal 37 Ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Adapun Pasal itu menyatakan, Kompolnas dibentuk berdasarkan
Keputusan Presiden
(Keppres).
“Menyatakan permohonan Pemohon I tidak dapat diterima,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang.
“Menolak permohonan Pemohon II dan Pemohon III untuk seluruhnya,” lanjut Suhartoyo.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan, meskipun pembentukan Kompolnas tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bukan berarti lembaga itu inkonstitusional.
Guntur juga menyebut, inkonstitusional atau tidaknya suatu lembaga tidak bisa diukur semata-mata dari maksimal atau tidaknya mereka menjalankan kewenangan.
Adapun para pemohon mendalilkan keberadaan Kompolnas yang gagal menindaklanjuti aduan secara serius, tidak melindungi korban, tidak independen, hingga gagal menjembatani konflik masyarakat dengan Polri serta hanya sekadar menjadi event organizer Polri.
Padahal, Kompolnas memiliki kedudukan sebagai pengawas Polri.
Hakim Guntur Hamzah menyebut kondisi tersebut tidak lantas membuat Kompolnas bertentangan dengan
UUD 1945
.
Sementara, persoalan pembentukan Kompolnas berdasarkan Keppres, hal itu merupakan kebijakan pembentuk undang-undang.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/07/23/669fca8b4ee30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Rapat RUU TNI di Hotel Mewah Jadi Sorotan MK, Risalah Rapat Dicari
Rapat RUU TNI di Hotel Mewah Jadi Sorotan MK, Risalah Rapat Dicari
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Mahkamah Konstitusi
(
MK
) menyoroti rapat pembahasan revisi Undang-Undang TNI yang digelar oleh DPR di hotel mewah, Fairmont Jakarta, beberapa bulan lalu.
Perhatian tersebut muncul dalam sidang lanjutan uji formil
UU TNI
yang digelar di Gedung MK, Jakarta, Senin (14/7/2025), dengan agenda mendengarkan keterangan ahli dan saksi dari pihak penggugat.
Majelis MK, khususnya Hakim Guntur Hamzah, menegaskan pentingnya dokumen resmi dari rapat konsinyering antara DPR dan pemerintah di Fairmont sebagai alat verifikasi silang terhadap kesaksian saksi.
Sebelumnya, proses uji materi UU TNI ini diajukan oleh sejumlah lembaga masyarakat sipil dan kelompok mahasiswa dalam lima perkara, antara lain perkara dengan nomor 81/PUU XXIII/2025.
Aktivis dari
KontraS
, Andrie Yunus, dihadirkan sebagai saksi dalam sidang.
Ia memaparkan kronologi aksinya menyambangi rapat di Fairmont pada 15 Maret 2025.
Saat itu, Andrie bersama dua aktivis lainnya masuk ke dalam ruang konsinyering Komisi I DPR dan meneriakkan tuntutan agar rapat dihentikan karena diadakan tertutup.
Aksi ini berlangsung sekitar 10 menit sebelum mereka didorong keluar oleh petugas keamanan.
Pasca-aksi, Andrie bercerita mengalami intimidasi. Ia menerima beberapa panggilan dari nomor tak dikenal, sekali via telepon biasa dan dua kali lewat WhatsApp, yang berdasarkan pengecekan internal diidentifikasi berhubungan dengan intelijen militer.
Andrie melanjutkan, peristiwa yang lebih mengkhawatirkan terjadi dini hari pada 16 Maret 2025, saat dirinya masih berada di Kantor KontraS.
Saat itu, bel pintu gerbang kantor berbunyi dan diketahui dari CCTV ada tiga orang tak dikenal yang mengaku sebagai wartawan.
“Salah satu cirinya adalah berbadan tegap dan berambut cepak,” ungkap Andrie di ruang sidang, Senin.
Tak berhenti di situ, sekitar pukul 02.00 dini hari, KontraS kembali mendapati keberadaan sekitar lima hingga enam orang yang juga tak dikenal berada di sekitar lingkungan kantor.
Dalam persidangan, Guntur Hamzah menyampaikan pujiannya kepada Andrie, menyebut tindakannya tersebut “keren”.
Guntur mengingat kembali sosok aktivis yang berhasil “geruduk” ruang rapat di Fairmont.
“Saudara Andrie Yunus, ini saya baru ingat kembali. Yang masuk ke Fairmont, ya? Ruang sidang itu. Orang mengatakan keren gitu ya, karena masuk di ruang sidang,” ujar Guntur di ruang sidang.
Hakim Guntur menyatakan bahwa keterangan yang disampaikan Andrie penting sebagai bahan pertimbangan Mahkamah, khususnya dalam menilai apakah proses pembentukan UU TNI 2025 memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi yang bermakna, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Dalam sidang itu, Hakim Guntur Hamzah memutuskan MK akan meminta dan menagih risalah rapat konsinyering tersebut dari DPR serta pemerintah.
Tujuannya, untuk melakukan verifikasi silang terhadap kesaksian Andrie dan menguji apakah proses pembahasan UU TNI di luar gedung DPR telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi dan partisipasi publik.
“Sekaligus juga kepada DPR pemerintah, karena ini menyangkut rapat konsinyering itu, ada enggak ya semacam berita acara terkait dengan rapat tersebut atau risalah yang bisa kami dapatkan dokumennya,” kata Guntur.
Dalam persidangan, Andrie memberikan kesaksian soal aksinya menginterupsi rapat DPR dan pemerintah di Hotel Fairmont yang membahas revisi UU TNI.
“Sehingga kami bisa ya setelah tadi mendengar keterangan dari saksi, kami bisa
crosscheck
ya berdasarkan tentu berita acara atau risalah dari rapat konsinyering pembahasan pada saat di Fairmont,” kata Guntur.
Permintaan risalah ini membuka potensi pertanyaan: apakah diskusi substansi legislatif boleh dilakukan tertutup, dan bagaimana MK akan menilai keabsahan prosedur tersebut dalam putusannya kelak?
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

MK Putuskan Biaya Pendidikan SD dan SMP Harus Gratis Baik Negeri Maupun Swasta
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pendidikan dasar mulai dari SD hingga SMP harus gratis. Baik di pendidikan negeri maupun swasta.
Demikian salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Lembaga ini meminta pemerintah dan pemerintah daerah (Pemda) untuk menjamin pendidikan dasar warga negara dengan tidak menarik pungutan apa pun.
Aturan tersebut tertuang dalam putusan MK nomor 3/PUU-XXII/2024 yang dibacakan di Gedung MK Jakarta, Selasa (27/5). Gugatan terhadap Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang diajukan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, dan lain-lain.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK, Suhartoyo.
Dalam putusan itu, MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika tidak dimaknai pemerintah wajib menggelar pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
“Baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat,” tambahnya.
Dalam pertimbangannya, Hakim MK Guntur Hamzah menjelaskan, negara memiliki kewajiban konstitusional untuk membiayai pendidikan dasar. Hal itu sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang mewajibkan setiap warga negara mendapat hak pendidikan dasar.
Adanya kewajiban membayar biaya pendidikan, lanjut dia, berpotensi menghambat upaya warga negara untuk melaksanakan kewajiban konstitusionalnya.
Lebih lanjut, MK juga menyoroti bantuan keuangan negara hanya difokuskan pada sekolah negeri.
-

Rapat Anggota DPR Kerap di Hotel Mewah, Advokat Gugat UU MD3 – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam permohonan itu, Zico mempersoalkan kebiasaan DPR yang menggelar rapat pembahasan rancangan undang-undang di hotel mewah, bukan di ‘Gedung Kura-kura’ yang telah dibangun menggunakan dana publik.
“Pemohon merasa sebagai warga negara telah timbul ketidakadilan mengingat gedung DPR telah dilengkapi dengan ruang-ruang rapat yang dibangun dengan dana APBN,” kata Kuasa Hukum Pemohon, Putu Surya Permana Putra, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Senin (5/5/2025).
Dalam sidang yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 42/PUU-XXIII/2025 ini, Putu menyebut pemanfaatan hotel sebagai lokasi rapat menunjukkan sikap tidak efisien DPR di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang digencarkan pemerintah.
“Gedung yang sudah dibangun tersebut justru tidak digunakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Dalam petitumnya, Zico meminta Mahkamah menafsirkan ulang Pasal 229 UU MD3 yang selama ini hanya menyebut rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup.
Ia meminta pasal tersebut dimaknai sebagai kewajiban DPR untuk menyelenggarakan rapat di gedung DPR, kecuali jika seluruh ruang rapat tak dapat digunakan atau mengalami kerusakan.
Selain itu, Zico juga menggugat sejumlah pasal lain dalam UU MD3, seperti Pasal 12 dan Pasal 82, khususnya terkait dominasi fraksi dalam menyuarakan pendapat anggota DPR.
Ia meminta Mahkamah menyatakan bahwa frasa “tugas sebagai wakil rakyat” harus dimaknai sebagai hak anggota untuk menyampaikan pendapat secara perseorangan, bukan semata-mata mewakili fraksi.
Majelis Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, didampingi oleh Daniel Yusmic P Foekh dan Arsul Sani.
Guntur mengingatkan pemohon untuk lebih cermat dalam merumuskan petitum agar tidak menimbulkan kekosongan norma.
“Kalau dikabulkan, ada norma yang hilang tanpa ada pemaknaan kembali. Diberikan tafsir, jadi hanya tafsir bahwa itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ya apa yang Saudara inginkan,” kata Guntur.
Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan harus diserahkan paling lambat pada Senin, 19 Mei 2025.
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hari Ini, MK Mulai Sidang Gugatan Hasil PSU dan Rekapitulasi Ulang Pilkada Nasional 25 April 2025
Hari Ini, MK Mulai Sidang Gugatan Hasil PSU dan Rekapitulasi Ulang Pilkada
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –Mahkamah Konstitusi
(MK) akan memulai sidang terkait gugatan hasil
pemungutan suara ulang
(PSU) di enam daerah dan rekapitulasi ulang di Kabupaten Puncak Jaya hari ini, Jumat (25/4/2025).
Dilansir dari laman
mkri.id
, sidang akan dibagi menjadi tiga panel.
Panel 1 akan dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo, bersama dua Hakim Konstitusi lainnya, Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah.
Mereka bertiga akan menyidangkan empat dari tujuh perkara, yakni PSU Kabupaten Siak, Barito Utara, Talaud, dan Taliabu.
Kemudian, Panel 2 akan dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra, bersama Arsul Sani dan Ridwan Mansyur.
Para hakim di Panel 2 hanya menyidangkan satu perkara, yakni PSU Kabupaten Banggai.
Sedangkan Panel 3 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan anggota majelis Enny Nurbaningsih dan Anwar Usman, akan menangani perkara rekapitulasi ulang Kabupaten Puncak Jaya dan PSU Kabupaten Buru.
Masing-masing panel akan memulai sidang pukul 08.00 WIB dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Sebagai informasi, gugatan hasil PSU ini merupakan kelanjutan dari perkara Pilkada Serentak 2024.
Tujuh daerah yang menjalani sidang hari ini sebelumnya telah diputus oleh MK untuk menggelar pemungutan suara ulang dengan beragam alasan, seperti temuan pelanggaran keterlibatan ASN hingga pelanggaran administrasi kepemiluan.
MK kemudian memutuskan 24 daerah menggelar PSU dan 2 daerah melakukan rekapitulasi ulang.
Saat ini, proses PSU di lima wilayah masih terus dipersiapkan, yakni Kabupaten Mahakam Ulu, Pesawaran, Boven Digoel, Kota Palopo, dan Provinsi Papua.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/02/24/67bc1eeeaa648.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)