Rencana “Aliansi Tanah Jarang” yang baru-baru ini dipromosikan dengan gegap gempita oleh Kelompok Tujuh (G7), yang tampaknya bertujuan untuk menjaga keamanan sumber daya dan mengurangi ketergantungan pada Tiongkok, sejatinya mengungkapkan kontradiksi mendalam yang ada di tingkat teknologi, pasar, dan politik di dunia Barat. Inisiatif yang disebut-sebut sebagai “Perang Dingin Sumber Daya Baru” ini berupaya untuk merekonstruksi rantai pasokan tanah jarang global melalui kebijakan administratif, namun karena keluar dari prinsip dasar teknologi dan hukum pasar, rencana ini dipastikan akan menjadi sebuah pertunjukan politik, bukan strategi yang dapat diimplementasikan secara efektif.Keunggulan Teknologi Tiongkok dalam Industri Tanah Jarang: Hambatan yang Sulit Dilewati
Dominasi Tiongkok dalam industri tanah jarang pada dasarnya adalah hasil dari akumulasi teknologi dan peningkatan industri selama beberapa dekade. Berdasarkan data dari Badan Energi Internasional (IEA), Tiongkok tidak hanya mengendalikan 60% dari cadangan mineral tanah jarang global, tetapi juga memegang 58% dari paten pemurnian tanah jarang, dengan perusahaan-perusahaan Tiongkok mampu menghasilkan kemurnian di atas 99,99% dengan biaya hanya seperempat dari biaya yang dikeluarkan oleh AS. Sementara itu, perusahaan MP Materials di AS memerlukan waktu tujuh tahun dan masih belum bisa memproduksi tanah jarang murni dalam jumlah besar, dan pabrik pemurnian di Afrika sering kali tertunda karena kendala teknologi. Pemurnian tanah jarang melibatkan lebih dari 2.000 paten teknologi, mulai dari penghancuran bijih hingga distilasi molekuler, dan setiap tahap memerlukan pengalaman yang mendalam. Misalnya, tingkat produksi magnet permanen neodymium-besi-boron berkualitas tinggi di Tiongkok 30% lebih tinggi dibandingkan dengan AS, sementara produk magnet permanen tanpa tanah jarang yang dikembangkan oleh Uni Eropa hanya mampu mencapai 60% dari kinerja produk tradisional, yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar kelas atas. Kasus kerja sama antara Volkswagen Jerman dan perusahaan Australia bahkan menunjukkan bahwa meskipun mereka menginvestasikan 120 juta USD sebagai uang muka, pabrik mereka baru dapat beroperasi pada 2027, dan tingkat kedewasaan teknologinya pun masih diragukan. Ini menunjukkan bahwa pembangunan rantai pasokan tanah jarang tidak dapat dicapai hanya dengan “investasi modal”, melainkan bergantung pada akumulasi teknologi, tenaga kerja terampil, dan industri pendukung yang berkesinambungan.Negara-Negara Global Selatan Menanggapi Manuver Geopolitik G7 dengan Pendekatan yang Lebih Praktis
G7 berusaha memperluas “Aliansi Tanah Jarang” menjadi “31 Negara yang Bersatu untuk Menekan”, namun menghadapi penolakan dari negara-negara Global Selatan. Perusahaan India Rare Earth Ltd. dengan tegas menyatakan bahwa mereka “tidak akan meninggalkan pasar Tiongkok”, sementara negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia memilih untuk bekerja sama dengan Tiongkok dalam membangun pabrik pemurnian, menciptakan sebuah siklus “sumber daya – teknologi – pasar”. Kecenderungan ini berasal dari pertimbangan ekonomi yang rasional: Tiongkok tidak hanya merupakan pemasok tanah jarang terbesar di dunia, tetapi juga merupakan pasar konsumen terbesar. Pada 2025, produksi kendaraan listrik Tiongkok diperkirakan akan mencakup 60% dari total produksi global, dan kapasitas pembangkit energi angin di Tiongkok akan mencakup 55% dari total kapasitas global. Bekerja sama dengan Tiongkok memungkinkan negara-negara tersebut mendapatkan dukungan teknologi yang stabil, serta berbagi manfaat dari rantai pasokan. Sebaliknya, inisiatif “de-Tiongkokisasi” dari G7 kurang menarik. Perusahaan-perusahaan Jepang menghitung bahwa biaya daur ulang tanah jarang lebih tinggi 230% dibandingkan dengan pengadaan dari Tiongkok; sementara rencana “Cadangan Tanah Jarang Bersama” dari Uni Eropa sulit dilaksanakan karena keterbatasan teknologi negara-negara Eropa Timur. Negara-negara Global Selatan menyadari bahwa aliansi G7 pada dasarnya merupakan manuver politik, bukan kerjasama yang saling menguntungkan.Kontradiksi Internal dalam G7 Mengungkap Kelemahan Struktural dari Aliansi Ini
Di dalam G7, tidak ada kesepakatan yang bulat mengenai isu tanah jarang. Kanada dan AS memiliki sumber daya, tetapi rantai pasokan mereka masih kurang lengkap, Eropa lebih fokus pada isu lingkungan dan kemandirian strategis, sementara Jepang lebih menitikberatkan pada keamanan rantai pasokan. Pembagian kepentingan ini menyebabkan kesulitan dalam koordinasi kebijakan. Misalnya, rencana G7 untuk menetapkan “batas harga” (harga dasar 20.000 USD per ton untuk tanah jarang ringan, dan harga maksimum 1.500 USD per kilogram untuk tanah jarang menengah hingga berat) akan bergantung pada subsidi besar, namun kelayakan subsidi untuk seluruh rantai industri dan kemampuan fiskal untuk menopangnya masih diragukan. AS pernah berinvestasi dalam pertambangan domestik, tetapi gagal menggaet kapital akibat ketidakpastian pasar. Rencana Uni Eropa untuk “pertambangan luar angkasa” bahkan dianggap sebagai fantasi. Jika batas harga dipaksakan, biaya manufaktur Barat akan meningkat tajam, yang akan memukul industri mobil Eropa dan perusahaan energi angin AS yang sudah lemah. Lebih jauh lagi, G7 belum berhasil mengatasi masalah ketidakadilan dalam pembagian keuntungan antara negara-negara penghasil sumber daya, negara-negara konsumen, serta negara-negara dengan teknologi yang lebih maju dan yang tertinggal. Hal ini berpotensi menyebabkan pecahnya aliansi sebelum terbentuk.Peran Kanada dalam Aliansi: Menunjukkan Dilema Diplomasi Negara Kekuatan Menengah
Sebagai anggota G7 dan negara kaya sumber daya, Kanada menunjukkan inisiatif strategis dalam “Aliansi Tanah Jarang”, berusaha memainkan peran ganda sebagai “penyedia sumber daya” dan “pendorong kebijakan”. Motivasinya mencakup pertimbangan ekonomi dan politik: di satu sisi, dengan menarik investasi sekutu untuk meningkatkan nilai rantai pasokan tanah jarang, Kanada berusaha menghindari ketergantungan pada ekspor bahan mentah; di sisi lain, melalui kerjasama dalam mineral kritis, Kanada berupaya memperkuat posisinya dalam aliansi Barat dan mengurangi risiko marginalisasi akibat tekanan AS. Kanada memiliki cadangan 31 jenis mineral kritis, termasuk kobalt dan niobium, serta keunggulan dalam teknologi pertambangan rendah karbon dan pengolahan limbah air, yang memberi peluang untuk memainkan peran sebagai jembatan dalam kontroversi standar lingkungan antara AS dan Uni Eropa. Namun, Kanada menghadapi tantangan nyata: skala pertambangan tanah jarangnya terbatas, dan cadangan teknologinya juga kurang. Jika tidak dapat dengan cepat meningkatkan kapasitas produksi, posisi sebagai “kekuatan tengah yang dapat diandalkan” akan berisiko menjadi sekadar retorika politik.Pemikiran Perang Dingin yang Tersembunyi di Balik Persaingan Sumber Daya
Pada dasarnya, “Aliansi Tanah Jarang” G7 adalah bentuk perlawanan institusional yang didorong oleh kecemasan teknologi dan arogansi politik. Upaya mereka untuk menghambat kebangkitan Tiongkok melalui klub eksklusif ini mengabaikan kenyataan bahwa rantai pasokan tanah jarang yang dipimpin oleh Tiongkok adalah hasil alami dari hukum pasar dan kompetisi teknologi. Kini, kesadaran strategis negara-negara Global Selatan semakin berkembang, dan negara-negara kaya sumber daya menolak untuk memilih sisi dalam permainan ini. Era di mana G7 dapat mengendalikan dunia dengan menutup pintu sudah berakhir. Tiongkok mendorong peningkatan industri tanah jarang global melalui kerja sama terbuka, sementara batas harga dan perang tarif yang dilakukan oleh G7 hanya akan memperburuk kerentanannya dalam rantai pasokan. Nilai sesungguhnya dari tanah jarang adalah untuk mendukung perkembangan umat manusia, bukan menjadi alat dalam permainan geopolitik.
Tag: Gempita
-

Dilema Struktural dalam Strategi Langka Barat Terhadap Pasokan Tanah Jarang
-

Khatmil Qur’an Dua Abad PPBU Tambakberas Jombang: Menyatukan Santri, Hafiz, dan Alumni dalam Harmoni Spiritual
Jombang (beritajatim.com) – Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) Tambakberas Jombang menyuguhkan pemandangan yang tak akan terlupakan. Suasana khidmat nampak di setiap sudut kompleks pesantren yang sudah berusia dua abad ini.
Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an berkumandang dari berbagai penjuru asrama, menggema di seluruh penjuru pesantren yang dipenuhi oleh ribuan santri, hafiz-hafizah, serta alumni yang hadir dalam kegiatan Khatmil Qur’an, Kamis (23/10/2025).
Kegiatan ini bukan sekadar tradisi tahunan, melainkan sebuah momentum monumental yang merayakan dua abad berdirinya pesantren legendaris yang turut melahirkan banyak ulama, pemimpin, dan aktivis bangsa.
Menghadirkan suasana spiritual yang mendalam, acara ini diselenggarakan serentak di lebih dari 200 majelis, yang jumlahnya dipilih bukan tanpa makna. Angka tersebut menjadi simbol dari usia Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang memasuki dua abad perjalanan panjangnya.
Namun, yang mengejutkan, jumlah majelis yang terlibat jauh melampaui target awal. Ahmad Robert Haidar Balya, penanggung jawab kegiatan yang akrab disapa Gus Abet, menyampaikan dengan penuh kebanggaan bahwa lebih dari 200 majelis ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang luar biasa ini.
“Target kami minimal 200 majelis, tetapi kenyataannya lebih banyak. Ini terdiri dari majelis huffadz, santri, dan juga alumni,” ungkap Gus Abet.
Kegiatan Khatmil Qur’an ini melibatkan seluruh elemen pesantren, baik santri aktif maupun alumni yang tergabung dalam Ikatan Alumni Bahrul Ulum (IKABU). Selain itu, acara ini juga berlangsung di berbagai titik penting, mulai dari Masjid Jami’ Bahrul Ulum, hingga makam-makam para ulama besar seperti KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Usman, KH. Abdul Hamid Hasbullah, KH. Abdul Fattah Hasyim, dan KH. Djamaluddin Ahmad.
Di setiap lokasi ini, hafidz-hafidzah dengan penuh kekhusyukan membacakan Al-Qur’an, dimulai dari juz 1 hingga 30 secara berurutan.
Salah satu majelis khotmil Quran dalam rangka dua abad PPBU Tambakberas Jombang
Keistimewaan dari kegiatan kali ini terletak pada cara penyelenggaraan yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Untuk pertama kalinya, acara Khatmil Qur’an digelar secara terpusat, menyatukan seluruh unsur pesantren dalam satu rangkaian besar yang penuh kekhidmatan.
Selama ini, majelis Khatmil Qur’an biasanya dilaksanakan secara terpisah di ribath-ribath masing-masing, namun pada perayaan dua abad ini, seluruh ribath disatukan dalam kebersamaan yang luar biasa.
Gus Abet menambahkan, “Selama ini, setiap ribath memiliki majelis Khatmil Qur’an sendiri-sendiri, tetapi tahun ini, kami menyatukan semuanya untuk merayakan dua abad berdirinya pesantren ini.”
Kegiatan Khatmil Qur’an ini tidak hanya menjadi ajang mempererat ukhuwah antara santri dan alumni, tetapi juga menjadi momen spiritual yang mendalam bagi setiap orang yang terlibat. Ini adalah bukti nyata betapa besar dan kokohnya ikatan yang terbentuk di antara generasi-generasi yang pernah dan masih berkiprah di pesantren ini.
Di tengah gegap gempita dunia modern, Pondok Pesantren Bahrul Ulum tetap menjadi tempat yang penuh berkah dan keberkahan, menghidupkan warisan spiritual yang terus berkembang dari satu generasi ke generasi berikutnya. [suf]
-
:strip_icc():format(jpeg):watermark(kly-media-production/assets/images/watermarks/liputan6/watermark-color-landscape-new.png,1100,20,0)/kly-media-production/medias/5376982/original/062419800_1760070989-iPhone_17_Pro_Series_01.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
iPhone 17 Pro Max Jadi Varian Terlaris, iBox Catat Pre-Order iPhone 17 Tembus Belasan Ribu Unit – Page 3
Gegap gempita peluncuran perdana iPhone 17 Series masih terasa di berbagai daerah di kota besar di Indonesia, dengan sejumlah Apple Authorized Reseller mengadakan midnight launch ponsel baru Atersebut.
Salah satu rekanan Apple yang juga mengadakan midnight launch iPhone 17 Series di Tanah Air adalah iBox, dengan lokasi di The Space, Senayan City, Jakarta, Kamis malam (16/10/2025).
Sempat absen saat lini seri iPhone 16 tahun lalu, Joy Wahjudi, mengatakan, acara penjualan pertama tengah malam tersebut sebenarnya tidak pernah benar-benar hilang, hanya tertunda karena faktor waktu peluncuran.
“Midnight launch sebenarnya selalu ada kok. Waktu iPhone 16 series itu kan lebih karena delay enam bulan, jadi ya tanggung. Kita skip langsung saja,” ujar Joy saat ditemui di sela-sela acara.
Ia menambahkan, midnight launch ini sudah menjadi tradisi selama dua hingga tahun terakhir. Setiap kali Apple merilis lini iPhone terbaru, para penggemar selalu hadir untuk menjadi orang pertama mendapatkan HP tersebut.
Selain beragam acara hiburan, iBox juga menyiapkan sejumlah hadiah spesial bagi pelanggan pertama yang datang lebih awal, termasuk mystery box bernilai jutaan rupiah dan aktivitas seru untuk memeriahkan suasana.
“Kami selalu ingin menghadirkan pengalaman seru untuk pelanggan setia kami. Setiap tahun itu antusiasmenya sangat luar biasa,” kata Joy.
-

Ancam Demo Pakai BH dan CD, Diaspora Indonesia ke Relawan Jokowi: Jangan Normalisasi Jadi Penjilat
Fajar.co.id, Jakarta — Hebohnya video seorang relawan perempuan Jokowi yang berapi-api menyampaikan ancaman akan demo hanya dengan memakai BH dan CD di Mabes Polri hingga kini masih jadi gunjingan.
Bahkan, diaspora Indonesia yang bermukim di Belanda, Dimas Budi Prasetyo pun turut menyampaikan keheranan dan rasa jijiknya dengan pernyataan itu.
“Pertama melihat berita ini sliweran, saya berpikir kasihan benar Pak Jokowi dengan punya pendukung militan seperti ini. Tapi setelah melihat videonya langsung, bagaiman dengan meyakinkannya si ibu ini ngomong, kemudian disambut gegap gempita pendukung yang lain, saya jadi berubah pikiran,” tulus Dimas, dikutip dari akun Facebooknya, Rabu (8/10/2025).
Memang, lanjut dia, kekuasaan keluarga Solo mau tidak mau diakui, ditopang oleh para pendukung yang seperti ini. Militan, tidak tahu malu, dan nalarnya sudah nggak jalan.
“Sekarang mari kita pikir secara logika, apakah ada orang yang waras, mau melakukan hal memalukan seperti ini? Jangankan demi politisi yang didukung, wanita dipaksa seperti ini demi keluarganya saja, akan berpikir ribuan kali,” ujar Dimas.
Harga diri, rasa malu yang diumbar seperti ini, apa sih yang dipertaruhkan? Posisi? Jabatan? Uang? Ya, mau tidak mau kita harus paham negeri ini sedang sakit. Hingga banyak orang mau saja melakukan hal-hal macam ini.
Dia kemudian membeberkan ucapan perempuan pendukung Jokowi yang videonya viral itu.
“Jadi Mabes Polri harus cepat selesaikan ini. Saya organisasi perempuan, kita 500 perempuan akan turun memakai BH dan celana dalam untuk Mabes Polri,” ujarnya berapi-api.
-
/data/photo/2025/09/15/68c7d5b07bcf5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Menkomdigi Tentang Robot AI yang Jadi Menteri di Albania Nasional 15 September 2025
Cerita Menkomdigi Tentang Robot AI yang Jadi Menteri di Albania
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Komunikasi Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menceritakan fenomena unik terkait hadirnya robot kecerdasan buatan (AI) yang ditugaskan sebagai menteri di Albania.
“Ada menteri kecerdasan AI, ditugaskan hal yang strategis yaitu menyisir dan melakukan program serta lelang besar di pemerintahan Albania,” kata Meutya, di acara HUT ke-30 Kompas.com, di Menara Kompas, Jakarta, Senin (15/9/2025).
“Itu sudah di depan mata dan sudah terjadi meski dari etika dan hukum masih menjadi perdebatan, tapi itu sungguh di depan mata,” ujar dia.
Ia menekankan, perkembangan teknologi digital tidak pernah menunggu, dan kecepatannya tidak bisa dikendalikan secara tunggal oleh pemerintah.
“Kekhasan teknologi ini tidak menunggu, dan tidak ada pemerintah di dunia yang memastikan dan memutuskan laju kecepatan internet itu hadir di negaranya,” ujar dia.
“Karena akan sangat tergantung dengan negara sebelahnya dan negara teman-temannya. Jadi tidak ada satupun pemerintah yang bisa menentukan sendiri di kecepatannya mana bisa dibatasi dan di mana teknologi masuk,” tambah dia.
Lebih jauh, Menkomdigi mengingatkan bahwa setelah persiapan literasi digital, tantangan berikutnya akan datang dari AI.
“Ketika kita mempersiapkan literasi, tantangan berikutnya datang dari AI, yang memang lebih jauh gagap gempita dalam kecepatannya,” ujar dia.
“Dengan kecepatan ini kita berharap Kompas.com bisa membaca hal ini. Kadang teman media lebih cepat membacanya, kita perlu kolaborasi di literasi,” tambah dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5319950/original/060944000_1755580793-1000799229.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita 2 Bocah Gowa Mengais Sisa Makanan di Upacara HUT RI
Liputan6.com, Jakarta Di tengah gegap gempita peringatan HUT ke-80 Republik Indonesia yang berlangsung di Lapangan Hasanuddin, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan, Minggu (17/8/2025) lalu, sebuah pemandangan sederhana justru mencuri perhatian jutaan mata.
Bukan deretan pejabat, bukan pula kemegahan upacara. Melainkan dua bocah kecil yang sibuk memunguti sisa makanan di bawah kursi tamu undangan sambil menunjukkan wajah yang penuh bahagia bak menemukan harta karun.
Mereka adalah Syamsul (7) dan Muhammad Aidil (7). Dengan kantong kresek hitam di tangan, keduanya membuka kotak-kotak makan yang ditinggalkan, lalu mengumpulkan kue yang masih tersisa.
Tamu undangan berlalu begitu saja, tapi kamera salah seorang peserta upacara menangkap momen itu.
Tidak butuh waktu lama, video mereka viral. Ditonton lebih dari 10 juta kali hingga dibanjiri komentar haru sekaligus geram.
“Kita juga kaget lihat videonya viral. Saya baru lihat di media sosial,” kata Mila (18), kakak kandung Syamsul.
Dia mengaku kue yang dikumpulkan dari kegiatan Upacara HUT RI itu dibawa pulang ke rumah untuk dimakan bersama keluarga.
“Dia jalan kaki ke lapangan. Itu kue yang dikumpulkan dibawa pulang, untuk orang di rumah,” tutur Mila.
Kehidupan Syamsul dan Aidil memang jauh dari sorotan. Mereka tumbuh di rumah semi permanen sederhana di Kecamatan Somba Opu.
Ayah Syamsul, Dorra Daeng Ngempo (52), hanya seorang pedagang sayur kelor di pasar tradisional, sedangkan ibu Aidil, Sumiati (39), mengandalkan penghasilan serabutan untuk menyambung hidup.
“Memang dia ke sana mau nonton upacara. Daripada mubazir itu kue, jadi dia bawa pulang untuk dimakan,” kata Sumiati tentang anaknya.
-

Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus
Warga terjatuh saat mengikuti lomba memanjat pohon pinang di Semarak Kalimalang 2025 Jakarta Timur, Minggu (17/8/2025). Lomba yang diadakan dalam rangka menyambut HUT ke-80 RI diselenggarakan selama dua hari yaitu tanggal 16-17 Agustus 2025 dan diikuti ratusan peserta. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/rwa.
Panjat pinang kalimalang dan warisan kolektif wisata kota 17 Agustus
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Senin, 18 Agustus 2025 – 12:31 WIBElshinta.com – Jika di banyak tempat perayaan 17 Agustus identik dengan lomba sederhana di halaman rumah atau lapangan, maka di Jakarta ada satu momen yang selalu dinanti yakni panjat pinang di Kalimalang. Tradisi yang telah melekat sejak puluhan tahun ini menjelma menjadi ikon perayaan kemerdekaan di ibu kota, menghadirkan ribuan warga yang rela berdesakan di bantaran sungai hanya untuk menyaksikan keseruan dan simbol perjuangan kolektif itu.
Bukan sekadar lomba, panjat pinang Kalimalang telah menjelma menjadi pesta rakyat khas Jakarta yang tak tergantikan oleh event mana pun. Suasana 17 Agustus 2025 menegaskan reputasi itu. Sejak pagi, bantaran Kalimalang dipenuhi warga lintas usia.
Di antara ragam lomba rakyat, sorak paling riuh pecah ketika giliran panjat pinang berlangsung dengan format khas Kalimalang yang berbeda, bukan memanjat tiang tegak, melainkan meniti batang pinang atau bambu yang dilumuri oli, dibentangkan melintang di atas aliran air.
Setiap ada peserta terpeleset disambut tawa, setiap bangkit lagi dibalas tepuk tangan. Keriuhan ini dirawat oleh warga dan pemuda setempat. Tahun ini rangkaian hajat warga ini turut didukung Rampai Nusantara sebagai penyelenggara kegiatan 17-an, dengan hadiah puncak panjat pinang berupa dua sepeda sumbangan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Namun, inti pesona Kalimalang bukan pada hadiahnya, melainkan pada pengalaman kolektif yang mempertemukan orang asing menjadi sesama, sesama penonton, sesama penyemangat, dan sesama perayap licin di atas air. Semuanya untuk sehari merayakan kebersamaan tanpa sekat.
Ketua Umum Rampai Nusantara, Mardiansyah Semar, menggarisbawahi bahwa perayaan HUT RI di Kalimalang adalah tradisi rakyat yang kelestariannya dijaga dari tahun ke tahun. Ia menekankan makna yang sering luput dalam seremoni yaitu semangat persatuan dan gotong royong yang dihidupkan, bukan sekadar dikutip.
Di Kalimalang, nilai itu tampak konkret. Kelompok peserta menyusun strategi, tubuh-tubuh menjadi pijakan, tangan saling mengangkat, dan yang jatuh kembali didorong untuk bangkit. Inilah kurikulum kebangsaan yang diajarkan tanpa papan tulis. Kemerdekaan sebagai hasil kerja bersama, bukan hadiah yang jatuh dari langit.
De Klimmast
Agar tradisi ini semakin kaya makna, penting melihat akar sejarahnya. Mayoritas kajian populer dan arsip media menyebut panjat pinang sebagai warisan dari masa kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, permainan memanjat tiang licin (dalam istilah Belanda sering dirujuk sebagai de klimmast) digelar dalam perayaan tertentu, dengan hadiah yang menggoda di puncak batang pinang, berupa barang-barang mewah bagi ukuran kala itu.
Pada masa itu, panjat pinang mengandung ironi bahwa hadiah mengilap di atas, tapi jarak sosial di bawah. Setelah kemerdekaan, tradisi ini “diindonesiakan” dengan maknanya yang bertransformasi dari tontonan bernada sindiran menjadi perayaan kebersamaan.
Batang licin berubah menjadi metafora jalan terjal bangsa, dengan hadiah di pucuk menandai cita-cita kolektif. Transformasi makna ini menjadikan panjat pinang relevan, bukan sekadar romantika masa lampau, melainkan wadah aktualisasi nilai gotong royong di ruang publik modern.
Kalimalang memberi bab tambahan pada kisah itu. Di sini, panjat pinang bukan sekadar meniru pola vertikal yang umum, melainkan mengembangkan bentuk khas meniti “jembatan” licin di atas air. Kekhasan yang sudah terdokumentasi media sejak beberapa tahun lalu ini lahir dari kreativitas warga Cipinang Melayu dalam memanfaatkan lanskap sungai sebagai panggung.
Tradisi air di Kalimalang juga memperkenalkan variasi lain seperti gebuk bantal. Namun ingat, di sini panjat pinanglah yang lebih tua dan menjadi poros identitas perayaan. Kesaksian tokoh lingkungan menyebut “Semarak Kalimalang” sudah ada sejak era 1930-an. Sempat jeda pada masa perang, dan dihidupkan kembali pada awal 1980-an.
Kronologi lisan ini, meski perlu terus ditopang arsip tertulis, memperkuat kesan bahwa Kalimalang bukan fenomena musiman, melainkan warisan yang diwariskan antar-generasi.
Kekuatan Kalimalang justru terletak pada cara komunitas memelihara tradisi. Tidak ada satu “pencetus” tunggal yang secara kredibel ditahbiskan sebagai penggagas. Tradisi ini lahir dari gotong royong pemuda dan warga, lalu tumbuh bersama dukungan kelurahan, perangkat RW, dan relawan, termasuk koordinasi keselamatan dengan dinas terkait saat pelaksanaan.
Karena itu, setiap tahun Kalimalang terasa baru sekaligus akrab dengan formatnya yang sama; energi sosialnya selalu diperbarui. Di sinilah semua bisa melihat fenomena yang oleh sosiolog Emile Durkheim disebut “gejolak kebersamaan” bahwa momen ketika individu larut dalam emosi kolektif yang meneguhkan solidaritas.
Bagi banyak orang Jakarta yang sehari-hari hidup dalam ritme kota yang terfragmentasi, Kalimalang adalah ruang rekat sosial yang langka.
Inklusivitas Tinggi
Keunikan lain Kalimalang adalah inklusivitasnya. Tidak ada tiket mahal, tidak ada pagar sosial. Warga sekitar menyatu dengan pendatang, bahkan wisatawan mancanegara kerap ikut mencoba peruntungan di atas batang licin.
Tradisi ini menjadi magnet tahunan, menyaingi gegap-gempita panggung hiburan modern yang sering eksklusif. Justru karena diakses semua orang, panjat pinang Kalimalang memancarkan rasa kepemilikan yang seakan menyerukan bahwa “ini pesta kami, milik kami, dirayakan bersama”.
Efek rambatnya pun nyata, UMKM lokal hidup oleh arus penonton, pedagang kaki lima kebagian rezeki, dan jejaring sosial warga melebar. Melihat semua itu, wajar bila banyak yang mengusulkan Kalimalang dimasukkan ke dalam kalender budaya resmi Jakarta dan diusulkan sebagai warisan budaya takbenda tingkat kota.
Ini bukan sekadar memberi stempel “prestise”, melainkan memastikan keberlanjutan: penataan ruang bantaran, standar keselamatan, pelibatan komunitas, dokumentasi arsip, dan dukungan logistik lintas instansi. Jika ditata baik, Kalimalang dapat menjadi rujukan nasional untuk festival tradisi berbasis sungai, tanpa kehilangan jiwa rakyatnya.
Pembelajaran dari kota-kota lain menunjukkan, ketika pemerintah bertindak sebagai fasilitator dan pelindung, bukan pengambil alih, tradisi justru tumbuh subur dan berdaya. Puncaknya, panjat pinang Kalimalang mengajarkan cara merayakan kemerdekaan yang mencerahkan dengan memadukan ingatan sejarah, kreativitas lokal, dan keberanian bersolidaritas.
Di atas batang licin itu, kita melihat miniatur republik orang yang kuat merunduk agar yang di atas bisa melangkah, yang jatuh ditarik naik lagi, dan kemenangan dirayakan sebagai milik bersama. Tahun ini, hadiah sepeda dari Wakil Presiden menambah semarak, tetapi hadiah terbesar selalu sama: rasa bahwa kita masih punya ruang untuk menjadi Indonesia yang riang, berani, dan saling menopang.
Mungkin itulah alasan sederhana mengapa panjat pinang Kalimalang selalu ditunggu warga Jakarta, berbeda dengan event lain yang datang dan pergi. Panjat pinang Kalimalang bukan sekadar menambah daftar hiburan, melainkan menegakkan kembali cermin yang memantulkan siapa kita.
Selama batang pinang itu terus dibentangkan di atas air, selama tawa dan sorak masih bercampur dengan cipratan sungai, selama tangan-tangan itu masih saling mengangkat, Kalimalang akan tetap menjadi kabar gembira yang bisa ditonton setiap 17 Agustus, sebuah janji kecil bahwa kemerdekaan selalu bisa dirayakan bersama.
Sumber : Antara
-
/data/photo/2024/10/24/6719fe1487daa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal Nasional 15 Agustus 2025
Antrean Stunting: Retorika Generasi Emas yang Tak Terkawal
Alumnus Sekolah Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta. Anggota Dewan Pembina Wahana Aksi Kritis Nusantara (WASKITA), Anggota Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Saat ini aktif melakukan kajian dan praktik pendidikan orang dewasa dengan perspektif ekonomi-politik yang berkaitan dengan aspek sustainable livelihood untuk isu-isu pertanian dan perikanan berkelanjutan, mitigasi stunting, dan perubahan iklim di berbagai daerah.
DI TENGAH
gegap gempita menyambut hari kemerdekaan ke 80 tahun Indonesia, sayup-sayup terdengar rintihan lirih anak-anak usia di bawah lima tahun (balita). Hingga kini jutaan balita masih harus berjuang melepaskan diri dari status stunting.
Retorika pembangunan dan ambisi besar bangsa seperti kehilangan makna ketika tubuh-tubuh kecil itu terus tumbuh dalam kekurangan gizi, dan perlahan masa depannya terampas.
Jika ulang tahun kemerdekaan adalah momentum reflektif, maka pertanyaan yang layak diajukan bukanlah seberapa jauh kita melangkah, melainkan siapa saja yang tertinggal dalam perjalanan panjang republik ini.
Target ambisius pemerintah untuk menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024 resmi meleset.
Data dari hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024, prevalensi stunting nasional turun dari 21,5 persen di tahun 2023 menjadi 19,8 persen atau setara dengan sekitar 4,48 juta balita, dengan sekitar 377.000 kasus baru berhasil dicegah.
Meski demikian, pemerintah membungkus penurunan stunting dari tahun ke tahun dengan retorika statistik.
Penurunan diglorifikasi sebagai keberhasilan, meski tak sesuai target dan menyamarkan realitas lambatnya kerja di bawah kendali birokrasi.
Kegagalan memenuhi target ini sudah dapat diduga. Pada 2023, penurunan stunting hanya 0,1 persen dari tahun sebelumnya.
Atas dasar itu pencapaian penurunan di 2024 oleh pemerintah dianggap sebagai keberhasilan, meski hanya turun 1,7 persen.
Sementara dana yang digelontorkan untuk isu tersebut pada tahun 2024, lebih dari Rp 186,4 triliun (APBN, 2024).
Artinya, anggaran yang tergolong besar tersebut belum mampu membuat program percepatan penurunan stunting memutus siklus kegagalan pertumbuhan anak secara signifikan.
Ironis memang, di tengah jargon “Indonesia Emas 2045”, masalah stunting masih bergerak seperti antrean panjang tanpa ujung yang jelas.
Anak-anak dengan tinggi badan yang tak sesuai usia karena kekurangan gizi kronis—baik sejak dalam kandungan maupun dua tahun pertama kehidupan, lalu terganggu perkembangan kognitifnya—seolah dipaksa menjadi penumpang gelap dalam perjalanan menuju cita-cita besar bangsa.
Jika menelisik akar masalah lambannya penanganan stunting, dua batu sandungan utama tampak nyata: birokrasi yang kaku dan ketergantungan pada pendanaan negara yang tidak selalu tersedia tepat waktu.
Banyak program penanganan stunting di daerah harus menunggu pencairan Dana Alokasi Khusus (DAK) atau instruksi vertikal dari kementerian teknis, sementara kebutuhan di lapangan mendesak dan tidak bisa ditunda.
Pola tersebut membuat kader-kader posyandu yang menjadi garda terdepan dalam penanganan stunting, kerap mengelus dada karena tidak mampu berbuat maksimal di tengah realitas masalah yang mereka pahami.
Stunting bukan sekadar soal fisik, tetapi tentang peluang hidup anak di masa depan—dan setiap hari yang terlewat tanpa penanganan adalah kerugian bersama sebagai bangsa.
Lebih jauh, pelibatan masyarakat dalam program ini minim. Padahal, kunci keberhasilan program berbasis perubahan perilaku—seperti pola makan, sanitasi, dan pemantauan kehamilan—tidak bisa hanya bertumpu pada intervensi pemerintah.
Pengalaman di isu lain menunjukkan bahwa ketika masyarakat dilibatkan dalam identifikasi masalah dan solusi, hasilnya lebih berdampak dan berkelanjutan.
Salah satu fase krusial yang kurang menjadi perhatian adalah masa remaja. Padahal, inilah jembatan penentu generasi berikutnya. Remaja putri yang mengalami anemia karena pola makan buruk berisiko tinggi melahirkan anak stunting.
Di banyak daerah, praktik perkawinan dini masih berlangsung karena tekanan adat dan kemiskinan struktural. Tubuh remaja yang belum matang secara biologis maupun psikis dipaksa mengandung dan membesarkan anak, dengan konsekuensi buruk bagi tumbuh kembang anak tersebut.
Lebih dari itu, banyak remaja korban kekerasan seksual, pernikahan paksa, hingga penyalahgunaan narkoba—semuanya berdampak langsung pada kesehatan reproduksi, kondisi mental, dan masa depan mereka sebagai calon orangtua.
Tanpa intervensi serius pada fase ini, kita justru memperkuat mata rantai kegagalan tumbuh dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, memperkuat remaja hari ini adalah fondasi penting bagi anak-anak bebas stunting di masa depan.
Salah satu ironi terbesar dalam narasi penurunan stunting nasional adalah kenyataan bahwa penurunan angka tidak selalu berbanding lurus dengan perbaikan kondisi anak.
Anak-anak yang melewati usia lima tahun secara otomatis tidak lagi masuk dalam kategori pengukuran stunting, walaupun mereka tetap mengalami dampak jangka panjang akibat pertumbuhan yang terganggu.
Statistik nasional pun “kehilangan” mereka, dan ini yang membuat keberhasilan semu dari penurunan angka stunting.
Penurunan ini, jika ditelusuri lebih lanjut, bukan karena keberhasilan pelayanan gizi atau perubahan perilaku di tingkat keluarga.
Sebaliknya, banyak terjadi karena perpindahan usia—anak yang dulunya teridentifikasi stunting, kini tidak tercatat lagi karena melewati usia 59 bulan. Pemerintah tidak memiliki data yang memadai untuk konteks tersebut.
Namun, penulis menemui fakta lapangan di berbagai daerah, bahwa pergantian umur menjadi faktor yang determinan dari penurunan angka stunting.
Jika hal ini berlaku umum, maka muncul pertanyaan mendalam: apakah kita benar-benar menyelesaikan masalah, atau hanya memindahkannya dari satu kategori statistik ke kategori tak terlihat?
Laporan UNICEF dan WHO secara konsisten menekankan bahwa dampak stunting bersifat jangka panjang—menurunnya kecerdasan, produktivitas, dan meningkatnya risiko penyakit kronis di usia dewasa.
Tanpa strategi komprehensif berkelanjutan, kita bukan hanya kehilangan satu generasi, tetapi mewariskan kelemahan struktural pada generasi berikutnya.
Jika pemerintah benar-benar serius menuju “Generasi Emas 2045”, maka pendekatan dalam penanganan stunting harus berubah drastis.
Kita membutuhkan desentralisasi kendali, pelibatan aktif masyarakat sipil, dan pembiayaan fleksibel yang bisa merespons kebutuhan cepat.
Pemerintah daerah hingga di tingkat desa harus diberi ruang untuk berinovasi tanpa terbelenggu oleh sistem keuangan yang terjeda.
Lebih penting lagi, indikator keberhasilan tidak boleh semata-mata berdasarkan penurunan angka di atas kertas, melainkan perubahan nyata dalam kualitas hidup anak-anak.
Sistem pemantauan perlu diperluas hingga usia sekolah dasar agar anak-anak yang pernah stunting tetap menjadi bagian dari intervensi, bukan sekadar bayang-bayang statistik.
Langkah lain yang mendesak adalah memperkuat kolaborasi lintas sektor—pendidikan, kesehatan, pertanian, hingga perlindungan sosial.
Sebab stunting bukan masalah gizi semata, tapi cerminan dari ketimpangan akses terhadap sumber daya dasar: makanan bergizi, air bersih, sanitasi, dan informasi kesehatan.
Sudah saatnya pemerintah berhenti dengan berbagai jargon populis tanpa peta jalan yang rasional dan komprehensif. Jargon-jargon populis tidak akan membuat antrean panjang menuju stunting berhenti.
Jumlah anak-anak stunting bukan sekadar data, tetapi mereka berhak menjadi calon-calon pemimpin masa depan. Hak itulah yang direnggut secara sistemik akibat kegagalan pembangunan.
Generasi emas tak akan lahir dari tubuh yang lemah dan pikiran yang tertinggal. Kita tidak bisa membangun Indonesia 2045 dengan mengabaikan anak-anak hari ini.
Menangani stunting harus menjadi panggilan moral, bukan sekadar proyek tahunan. Karena dalam setiap tubuh kecil yang gagal tumbuh, tersimpan dosa sejarah: masa lalu, saat ini, dan masa depan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/06/11/6848fa433faee.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)