Tag: Franz Magnis Suseno

  • Tim Reformasi Polri Gelar Audiensi dengan Tokoh Gerakan Nurani Bangsa Hari Ini

    Tim Reformasi Polri Gelar Audiensi dengan Tokoh Gerakan Nurani Bangsa Hari Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri bakal menggelar audiensi bersama Gerakan Nurani Bangsa (GNB) hari ini, Kamis (13/11/2025).

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshidiqie mengatakan audiensi itu bakal digelar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

    “Iya hari ini menerima audiensi GNB di PTIK jam 13.30,” ujarnya saat dikonfirmasi, Kamis (13/11/2025).

    Pertemuan ini nantinya akan membahas soal rekomendasi atau masukan terhadap tim reformasi Polri untuk nantinya disampaikan kepada Prabowo Subianto.

    Sebelumnya, GNB merupakan gerakan yang dipelopori tokoh nasional. Kelompok ini juga sempat bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto pascademonstrasi akhir Agustus 2025.

    Pertemuan Presiden dengan GNB ini telah memunculkan wacana reformasi Polri. Wacana itu muncul seiring dengan insiden kematian ojek online Affan Kurniawan.

    Adapun para tokoh GNB yang turut serta dalam pertemuan bersama Presiden Prabowo, yakni:

      1. Sinta Nuriyah Wahid;

     2.⁠ ⁠Quraish Shihab; 

     3.⁠ ⁠Pdt. Gomar Gultom; 

     4.⁠ ⁠Romo Franz Magnis-Suseno; 

     5.⁠ ⁠Omi K. Nurcholis Majid;

     6.⁠ ⁠Lukman Hakim Saifuddin;

     7.⁠ ⁠Erry Riyana Hardjapamekas;  

     8.⁠ ⁠Alissa Wahid;

     9.⁠ ⁠Komaruddin Hidayat;

    10.⁠ ⁠Francisia SS Seda; 

    11.⁠ ⁠Laode M Syarif;

    12. Hong Thin;

    13. Kamaruddin Amin;

    14. Bikku Dhanmasubho Mahathera;

    15. Pdt. RD Aloys Budi Purnomo; dan

    16. Uskup Antonius S. Bunjamin.

  • Tak Pernah Terbukti Lakukan Pelanggaran Berat!

    Tak Pernah Terbukti Lakukan Pelanggaran Berat!

    GELORA.CO – Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyebut Soeharto tak pernah terbukti melakukan pelanggaran berat pada masa lalu.

    Hal itu ia ungkapkan untuk menjawab pernyataan Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno, yang menyatakan bahwa Soeharto tidak layak menjadi pahlawan nasional.

    “Enggak pernah ada buktinya kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” kata Fadli Zon di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu, 5 November 2025.

    Lebih lanjut, Fadli menguraikan beberapa jasa besar Soeharto dalam sejarah perjuangan bangsa, termasuk perannya sebagai komandan Serangan Umum 1 Maret 1949 dan operasi pembebasan Irian Barat

    “Nah, itu kan menandakan Pak Harto sebagai komandan pertempuran Serangan Umum 1 Maret punya jasa di dalam kemerdekaan,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Fadli Zon menjelaskan bahwa Soeharto telah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.

    Ia menyebut kategori pemenuhan syarat ini tak hanya dilakukan oleh Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK). 

    Melainkan dari sejarawan, akademisi hingga tokoh agama juga terlibat dalam proses penyaringan nama-nama yang diusulkan menjadi pahlawan nasional

    “Yang mengatakan memenuhi syarat itu bukan hanya dari GTK. Dari kabupaten, kota, dari provinsi, dari TP2GP (Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat) yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi memenuhi syarat dari bawah,” jelas Fadli Zon.

    “Dari beberapa layer itu sudah memenuhi syarat. Enggak ada masalah dan itu datangnya dari masyarakat juga,” sambungnya

    Ia menjelaskan bahwa nama-nama calon itu  telah melewati tahapan pengusulan dan pengkajian.

    “Jadi, tidak ada yang tidak memenuhi syarat. Perjuangannya semuanya jelas, latar belakang, riwayat hidupnya, dan sudah diuji secara akademik, secara ilmiah ya, riwayat perjuangannya ini telah diteliti dengan seksama melalui beberapa layer, beberapa tahap. Nanti kita melihat ya perkembangannya,” ujar Fadli Zon

    Lebih lanjut, Fadli Zon menjelaskan bahwa jumlah usulan nama pahlawan nasional bertambah menjadi 49.

    Fadli Zon mengatakan penambahan ini berasal dari usulan sebelumnya.

    “Ada 40 nama calon pahlawan nasional yang dianggap telah memenuhi syarat dan ada sembilan nama yang merupakan bawaan, carry over, dari yang sebelumnya. Jadi totalnya ada 49 nama,” kata Fadli.

    Ia menyebut dari jumlah itu, 24 diantaranya masuk ke dalam prioritas.

    “Dan sekarang tentu karena kita juga mendekati Hari Pahlawan, kita telah menyampaikan ada 24 nama dari 49 itu yang menurut, Dewan GTK memerlukan, telah diseleksi mungkin bisa menjadi prioritas,” ujarnya. (*)

  • Soal Pahlawan Nasional, Fadli Zon Sebut Soeharto Tak Pernah Terbukti Terlibat dalam Genosida 1965

    Soal Pahlawan Nasional, Fadli Zon Sebut Soeharto Tak Pernah Terbukti Terlibat dalam Genosida 1965

    Soal Pahlawan Nasional, Fadli Zon Sebut Soeharto Tak Pernah Terbukti Terlibat dalam Genosida 1965
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menyebut tidak pernah ada bukti Presiden ke-2 RI Soeharto terlibat dalam genosida 1965-1966.
    Hal ini disampaikannya menanggapi pernyataan Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Franz Magnis Suseno, bahwa
    Soeharto
    tidak layak menjadi pahlawan nasional.
    “Enggak pernah ada buktinya kan? Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” kata
    Fadli Zon
    di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Ia lantas melemparkan pertanyaan yang sama kepada awak media.
    Ia mempertanyakan, siapa yang berani memberi bukti, sedangkan keterlibatan dalam genosida tidak terjadi berdasarkan fakta sejarah.
    “Apa faktanya? Ada yang berani menyatakan fakta? Mana buktinya? Kan kita bicara sejarah dan fakta dan data gitu. Ada enggak? Enggak ada kan?” ucapnya.
    Fadli Zon juga menegaskan, 49 nama yang telah diusulkan, termasuk Soeharto, telah memenuhi syarat untuk mendapat
    gelar pahlawan nasional
    .
    Soeharto telah memenuhi syarat dari tingkat yang paling bawah, dari usulan masyarakat di tingkat kabupaten/kota hingga diusulkan kepada pemerintah provinsi.
    Artinya, kata dia, bukan hanya Dewan GTK yang dipimpinnya yang menyatakan sosok Presiden ke-2 RI itu memenuhi ketentuan.
    “Dari TP2GP yang di dalamnya juga, di dalam TP2GP juga akan ada sejarawan, ada macam-macam tuh orang-orangnya di dalam itu, ada sejarawan, ada tokoh agama, ada akademisi, ada aktivis, ya, kemudian di Kementerian Sosial dibawa ke kami. Jadi memenuhi syarat dari bawah,” ucap Fadli.
    Bahkan, kata Fadli, nama Soeharto sudah diusulkan sebanyak tiga kali, mulai dari tahun 2011, tahun 2015, hingga tahun ini.
    Ia lalu memerinci berbagai jasa Soeharto sehingga dapat diberikan gelar pahlawan nasional.
    Soeharto memimpin serangan umum pada 1 Maret 1949.
    Serangan tersebut merupakan serangan militer selama Revolusi Nasional Indonesia.
    Yogyakarta saat itu dikuasai oleh pasukan Indonesia selama enam jam.
    “Serangan Umum 1 Maret itu salah satu yang menjadi tonggak Republik Indonesia itu bisa diakui oleh dunia, masih ada. Karena Belanda waktu itu mengatakan Republik Indonesia sudah cease to exist, sudah tidak ada lagi,” tandas Fadli.
    Sebelumnya diberitakan, pemerintah tengah menggodok 49 nama yang diusulkan sebagai pahlawan nasional.
    Sebanyak 24 di antaranya masuk dalam daftar prioritas.
    Beberapa nama yang diusulkan untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional adalah Presiden ke-2 RI Soeharto;
    Presiden ke-4 RI Aburrahman Wahid atau Gus Dur; hingga aktivis buruh, Marsinah.
    Nama-nama itu diusulkan dari beragam unsur hingga di tingkat kabupaten/kota.
    Tak jarang, nama-nama yang diusulkan juga diperdebatkan.
    Sebanyak 500 aktivis dan akademisi belum lama ini menyatakan menolak rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Presiden ke-2 RI, Soeharto.
    Begitu pula dengan Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDI-P, Bonnie Triyana.
    Kendati begitu, ada pula pihak yang pro terhadap usulan tersebut.
    Pada awal pekan ini, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mendatangi Prabowo untuk mengusulkan agar Soeharto menjadi pahlawan nasional.
    Ia berpandangan, jasa Soeharto cukup besar dan luar biasa bagi bangsa dan negara.
    Soeharto juga merupakan pendiri Partai Golkar dan sudah menjabat sebagai Presiden RI selama lebih dari 30 tahun.
    Indonesia yang dikenal sebagai Macan Asia saat Pemerintahan Orde Baru juga tidak terlepas dari jasa Soeharto.
    “Kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai Pahlawan Nasional,” kata Bahlil usai menemui Prabowo di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jelang penetapan gelar pahlawan pada 10 November 2025 mendatang, ramai petisi yang ditandatangani untuk menolak gelar tersebut diberikan kepada mantan Presiden RI ke-II Soeharto.
    Namun ternyata, ada juga petisi yang mendukung pemberian gelar, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.
    Di situs
    change.org
    , penolakan gelar pahlawan untuk
    Soeharto
    ditandatangani oleh belasan ribu masyarakat. Adapun petisi tersebut dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025 lalu mendapatkan dukungan sebanyak 12.849 tanda tangan.
    Selain itu, petisi lain yang menolak Soeharto memperoleh gelar pahlawan juga dibuat pada 25 Oktober 2025, dan memperoleh 909 tanda tangan.
    Ada juga petisi pada 22 Oktober 2016 dengan perolehan dukungan sebanyak 1.806 tanda tangan.
    Di sisi lain, dukungan juga muncul dalam petisi yang dibuat pada 27 Oktober 2022 dengan jumlah dukungan sebanyak 143 tanda tangan.
    Lalu, petisi dukungan gelar pahlawan untuk Soeharto juga dibuat pada 2 Mei 2025 dengan jumlah dukungan hanya 9 tanda tangan.
    Kemudian, pada 14 April 2025 dukungan gelar pahlawan juga ditandatangani oleh 13 tanda tangan.
    Akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, menegaskan bahwa meskipun mendiang Presiden Soeharto memiliki sejumlah jasa besar bagi bangsa, hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
    Magnis mengakui, Soeharto merupakan sosok yang berperan penting membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin serta berhasil menstabilkan kondisi politik dan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru.?
    “Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Ia juga mengakui, di masa Soeharto, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara.
    “Saya kira sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.
    Dalam petisi yang dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025, disebutkan bahwa Soeharto melakukan tindakan pelanggaran berat diantaranya Peristiwa Pulau Buru (1965-1966), Peristiwa ‘Petrus’ 1981-1983, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Kebijakan DOM (Aceh 1989-1998 dan Papua 1963-2003), dan Peristiwa 27 Juli 1996.
    Hal ini berdasarkan temuan Tim Kajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
    Tim Kajian, Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan pro-yustisia sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
    Penyelidikan pro-yustisia telah dilakukan atas berbagai peristiwa yang di antaranya turut mencakup peristiwa yang dikaji oleh Tim Kajian dan telah ditemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
    Di sisi lain, Mahkamah Agung menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 dan diwajibkan membayar uang sebesar 315 juta dollar AS dan Rp 139,4 miliar kepada Negara.
    Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20.
    Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.
    Meskipun Soeharto tidak pernah dipidana, hal ini tidak berarti bahwa Soeharto tidak bersalah. Pasalnya, proses hukum tersebut dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan Soeharto yang memburuk.
    Romo Magnis menilai, rekam jejak kelam Soeharto di bidang hak asasi manusia dan korupsi sistematis membuatnya tidak pantas dianugerahi
    gelar pahlawan nasional
    .
    “Dari seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” tegasnya.
    Magnis menyoroti tanggung jawab Soeharto atas pembunuhan massal 1965–1966, yang disebut sebagai salah satu tragedi genosida terbesar di dunia pada abad ke-20.
    “Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujarnya.
    Selain pelanggaran HAM, Romo Magnis juga menilai Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran selama 32 tahun berkuasa.
    “Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang dekatnya, dan dirinya sendiri. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan ia tanpa pamrih memajukan bangsa, bukan mengambil keuntungan pribadi,” katanya menegaskan.
    Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, mengonfirmasi bahwa seluruh nama tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) telah memenuhi kriteria dasar untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
    “Semua yang diusulkan dari Kementerian Sosial itu secara kriteria sudah memenuhi syarat semua, secara kriteria,” kata Fadli di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
    Dari total 40 nama yang diajukan, terdapat sejumlah tokoh besar seperti Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, Jenderal (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan, serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
    Fadli menjelaskan bahwa daftar nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat keputusan akhir.
    “Kurang lebih, karena ini dalam rangka Hari Pahlawan,” tutur politikus Partai Gerindra itu.

    Lebih lanjut, Fadli menegaskan bahwa penentuan calon pahlawan nasional telah melalui proses panjang dan berlapis.
    Sebanyak 40 nama yang diusulkan Kemensos berasal dari usulan masyarakat di berbagai daerah, mulai dari tingkat kabupaten/kota.
    “Setelah itu, nama-nama tersebut dibahas di tingkat provinsi, kemudian diproses di Kementerian Sosial sebelum diajukan ke Dewan GTK,” ujar Fadli.
    Ia menambahkan, proses penetapan juga melibatkan diskusi publik dan seminar akademik untuk menilai kiprah dan kontribusi para tokoh sebelum nama mereka diserahkan kepada Presiden.
    “Ada diskusi dengan publik, dengan akademisi, ada seminar-seminarnya, baru kemudian ke TP2GP, tim peneliti yang ada di Kementerian Sosial, baru dikirimkan kepada Dewan GTK,” tegas dia.
    Presiden pelajari usulan 40 tokoh yang dapat gelar pahlawan
    Di sisi lain, Presiden RI Prabowo Subianto yang juga sempat menjadi menantu Soeharto, disebut telah mendapat daftar 40 nama tokoh yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut, nama-nama tersebut sedang dipelajari oleh Presiden RI.
    “Nama pahlawan kami sudah menerima ya secara resmi dari Kemensos hasil dari Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Sedang dipelajari oleh Bapak Presiden karena memang cukup banyak nama-nama yang diajukan,” ujar Prasetyo di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
    “Jadi mohon waktu nanti kalau sudah waktunya dan Bapak Presiden sudah mengambil keputusan, nanti akan kami umumkan,” lanjut Prasetyo.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pemerintah perlu mencermati secara menyeluruh rekam jejak Presiden ke-2 RI Soeharto sebelum memutuskan pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    “Terkait rencana pemberian gelar pahlawan, kita hormati prosesnya. Namun, karena ini penting, ya harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang,” ujar Puan usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Puan menekankan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan memiliki makna historis dan moral yang besar bagi bangsa.
    “Karena juga penting bagaimana kemudian apakah hal tersebut memang sudah waktunya dan sudah perlu diberikan dan lain-lain sebagainya. Namun, hal itu tentu saja harus dikaji dengan baik dan cermat,” kata Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto

    Petisi Dukungan vs Penolakan Pemberian Gelar Pahlawan untuk Soeharto
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Jelang penetapan gelar pahlawan pada 10 November 2025 mendatang, ramai petisi yang ditandatangani untuk menolak gelar tersebut diberikan kepada mantan Presiden RI ke-II Soeharto.
    Namun ternyata, ada juga petisi yang mendukung pemberian gelar, meski jumlahnya jauh lebih sedikit.
    Di situs
    change.org
    , penolakan gelar pahlawan untuk
    Soeharto
    ditandatangani oleh belasan ribu masyarakat. Adapun petisi tersebut dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025 lalu mendapatkan dukungan sebanyak 12.849 tanda tangan.
    Selain itu, petisi lain yang menolak Soeharto memperoleh gelar pahlawan juga dibuat pada 25 Oktober 2025, dan memperoleh 909 tanda tangan.
    Ada juga petisi pada 22 Oktober 2016 dengan perolehan dukungan sebanyak 1.806 tanda tangan.
    Di sisi lain, dukungan juga muncul dalam petisi yang dibuat pada 27 Oktober 2022 dengan jumlah dukungan sebanyak 143 tanda tangan.
    Lalu, petisi dukungan gelar pahlawan untuk Soeharto juga dibuat pada 2 Mei 2025 dengan jumlah dukungan hanya 9 tanda tangan.
    Kemudian, pada 14 April 2025 dukungan gelar pahlawan juga ditandatangani oleh 13 tanda tangan.
    Akademisi dan Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, menegaskan bahwa meskipun mendiang Presiden Soeharto memiliki sejumlah jasa besar bagi bangsa, hal tersebut tidak cukup untuk menjadikannya sebagai pahlawan nasional.
    Magnis mengakui, Soeharto merupakan sosok yang berperan penting membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi pada akhir masa Demokrasi Terpimpin serta berhasil menstabilkan kondisi politik dan ekonomi di awal pemerintahan Orde Baru.?
    “Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis ekonomi setelah tahun-tahun terakhir Demokrasi Terpimpin,” ujar Romo Magnis di Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Ia juga mengakui, di masa Soeharto, Indonesia berhasil mendapatkan pengakuan internasional dan memainkan peran penting di kawasan Asia Tenggara.
    “Saya kira sangat penting bahwa beliau sejak semula menolak konfrontasi dengan Malaysia, dan sebaliknya menjadikan Indonesia bagian dari ASEAN yang bersahabat, bukan menakutkan,” kata Magnis.
    Dalam petisi yang dibuat oleh Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto pada 8 April 2025, disebutkan bahwa Soeharto melakukan tindakan pelanggaran berat diantaranya Peristiwa Pulau Buru (1965-1966), Peristiwa ‘Petrus’ 1981-1983, Peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Kebijakan DOM (Aceh 1989-1998 dan Papua 1963-2003), dan Peristiwa 27 Juli 1996.
    Hal ini berdasarkan temuan Tim Kajian Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
    Tim Kajian, Komnas HAM juga telah melakukan penyelidikan pro-yustisia sesuai dengan Pasal 18 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
    Penyelidikan pro-yustisia telah dilakukan atas berbagai peristiwa yang di antaranya turut mencakup peristiwa yang dikaji oleh Tim Kajian dan telah ditemukan adanya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa-peristiwa tersebut.
    Di sisi lain, Mahkamah Agung menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto melakukan perbuatan melawan hukum melalui putusan No. 140 PK/Pdt/2015 dan diwajibkan membayar uang sebesar 315 juta dollar AS dan Rp 139,4 miliar kepada Negara.
    Kantor PBB Urusan Obat-obatan dan Kriminal (UN Office on Drugs and Crime/UNODC) bersama Bank Dunia juga telah mengeluarkan laporan Stolen Asset Recovery (StAR) pada 2007 yang menyebutkan Soeharto sebagai pemimpin dunia paling korup di dunia di abad ke-20.
    Soeharto menduduki peringkat pertama dengan jumlah aset yang dikorupsinya sebesar 15-35 Miliar Dollar AS.
    Meskipun Soeharto tidak pernah dipidana, hal ini tidak berarti bahwa Soeharto tidak bersalah. Pasalnya, proses hukum tersebut dihentikan pada 2006 akibat kondisi kesehatan Soeharto yang memburuk.
    Romo Magnis menilai, rekam jejak kelam Soeharto di bidang hak asasi manusia dan korupsi sistematis membuatnya tidak pantas dianugerahi
    gelar pahlawan nasional
    .
    “Dari seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa ia tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat,” tegasnya.
    Magnis menyoroti tanggung jawab Soeharto atas pembunuhan massal 1965–1966, yang disebut sebagai salah satu tragedi genosida terbesar di dunia pada abad ke-20.
    “Tidak bisa disangkal bahwa Soeharto paling bertanggung jawab atas genosida setelah 1965–1966. Antara 800.000 sampai 3 juta orang menjadi korban. Itu mengerikan sekali,” ujarnya.
    Selain pelanggaran HAM, Romo Magnis juga menilai Soeharto telah melakukan korupsi besar-besaran selama 32 tahun berkuasa.
    “Dia memperkaya keluarga, memperkaya orang-orang dekatnya, dan dirinya sendiri. Dari seorang pahlawan nasional diharapkan ia tanpa pamrih memajukan bangsa, bukan mengambil keuntungan pribadi,” katanya menegaskan.
    Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, mengonfirmasi bahwa seluruh nama tokoh yang diusulkan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) telah memenuhi kriteria dasar untuk menerima gelar Pahlawan Nasional.
    “Semua yang diusulkan dari Kementerian Sosial itu secara kriteria sudah memenuhi syarat semua, secara kriteria,” kata Fadli di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (24/10/2025).
    Dari total 40 nama yang diajukan, terdapat sejumlah tokoh besar seperti Soeharto, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, Jenderal (Purn) M. Jusuf dari Sulawesi Selatan, serta Jenderal TNI (Purn) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
    Fadli menjelaskan bahwa daftar nama tersebut akan diserahkan kepada Presiden Prabowo Subianto untuk mendapat keputusan akhir.
    “Kurang lebih, karena ini dalam rangka Hari Pahlawan,” tutur politikus Partai Gerindra itu.

    Lebih lanjut, Fadli menegaskan bahwa penentuan calon pahlawan nasional telah melalui proses panjang dan berlapis.
    Sebanyak 40 nama yang diusulkan Kemensos berasal dari usulan masyarakat di berbagai daerah, mulai dari tingkat kabupaten/kota.
    “Setelah itu, nama-nama tersebut dibahas di tingkat provinsi, kemudian diproses di Kementerian Sosial sebelum diajukan ke Dewan GTK,” ujar Fadli.
    Ia menambahkan, proses penetapan juga melibatkan diskusi publik dan seminar akademik untuk menilai kiprah dan kontribusi para tokoh sebelum nama mereka diserahkan kepada Presiden.
    “Ada diskusi dengan publik, dengan akademisi, ada seminar-seminarnya, baru kemudian ke TP2GP, tim peneliti yang ada di Kementerian Sosial, baru dikirimkan kepada Dewan GTK,” tegas dia.
    Presiden pelajari usulan 40 tokoh yang dapat gelar pahlawan
    Di sisi lain, Presiden RI Prabowo Subianto yang juga sempat menjadi menantu Soeharto, disebut telah mendapat daftar 40 nama tokoh yang diusulkan menjadi Pahlawan Nasional.
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyebut, nama-nama tersebut sedang dipelajari oleh Presiden RI.
    “Nama pahlawan kami sudah menerima ya secara resmi dari Kemensos hasil dari Dewan Gelar dan Tanda Jasa. Sedang dipelajari oleh Bapak Presiden karena memang cukup banyak nama-nama yang diajukan,” ujar Prasetyo di Antara Heritage Center, Jakarta, Kamis (30/10/2025).
    “Jadi mohon waktu nanti kalau sudah waktunya dan Bapak Presiden sudah mengambil keputusan, nanti akan kami umumkan,” lanjut Prasetyo.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menegaskan bahwa pemerintah perlu mencermati secara menyeluruh rekam jejak Presiden ke-2 RI Soeharto sebelum memutuskan pemberian gelar Pahlawan Nasional.
    “Terkait rencana pemberian gelar pahlawan, kita hormati prosesnya. Namun, karena ini penting, ya harus dicermati rekam jejaknya dari masa lalu sampai sekarang,” ujar Puan usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (4/11/2025).
    Puan menekankan bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional bukan sekadar penghargaan simbolis, melainkan memiliki makna historis dan moral yang besar bagi bangsa.
    “Karena juga penting bagaimana kemudian apakah hal tersebut memang sudah waktunya dan sudah perlu diberikan dan lain-lain sebagainya. Namun, hal itu tentu saja harus dikaji dengan baik dan cermat,” kata Puan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Kejujuran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Oktober 2025

    Menanti Kejujuran Nasional 22 Oktober 2025

    Menanti Kejujuran
    Pegiat literasi, praktisi dan pemerhati pendidikan
    KEJUJURAN
    adalah fondasi moral yang menentukan jatuh-bangunnya suatu bangsa. Mohammad Hatta, dalam buku Memoir Bung Hatta (1979) berkata, “Kejujuran adalah kekuatan rohani yang membebaskan manusia dari belenggu kepalsuan. Ia merupakan mata uang yang berlaku di seluruh dunia.” Hatta meyakini bahwa integritas lebih bernilai daripada segala kekayaan.
    Krisis moral yang terjadi pada tata kelola kehidupan sosial, pemerintahan, dan bisnis hari ini bukan semata-mata disebabkan kurangnya kecerdasan atau sumber daya, melainkan lebih karena merosotnya nilai kejujuran sebagai panduan bertindak.
    Dalam sejarah kekuasaan, kejatuhan imperium besar dari Romawi hingga keruntuhan dinasti modern bukan semata karena serangan militer, melainkan hilangnya kepercayaan sebagai akibat kebohongan yang sistemik. Kejujuran bukan hanya menyangkut sikap pribadi, melainkan kesadaran kolektif yang menentukan martabat publik dan legitimasi kekuasaan.
    Kejujuran dilihat sebagai keutamaan tertinggi dan arah menuju kebenaran. Immanuel Kant menyatakan bahwa berbohong, apa pun alasannya, adalah pelanggaran terhadap martabat manusia karena merusak rasionalitas dan kebebasan moral.
    Dalam tradisi Timur, Chaturvedi Badrinath (2006) dalam ”
    The Mahabharata: An Inquiry into the Human Condition
    ” menjelaskan Yudhistira merupakan perwujudan nilai satya (kejujuran) dan dharma. Puntadewa atau Yudhistira dari kisah Mahabharata itu diyakini sebagai simbol kejujuran.
    Yudhistira berprinsip bahwa kebohongan sekecil apa pun dapat meruntuhkan harmoni kosmos. Meskipun harus kehilangan kerajaan dan menghadapi penderitaan, ia tidak pernah melepaskan komitmennya pada kebenaran. Kisah ini memberi pelajaran bahwa kejujuran bukan strategi pragmatis, melainkan jalan hidup yang harus dilalui seorang pemimpin sejati.
    Tokoh-tokoh agama pun menempatkan kejujuran sebagai inti keteladanan. Nabi Muhammad SAW dikenal dengan gelar Al-Amin, artinya dapat dipercaya karena kejujurannya, bahkan sebelum diangkat menjadi nabi (Imam Al-Bukhari dalam Shahih Al-Bukhari). Gelar itu tidak hanya diberikan oleh pengikutnya saja, tetapi juga dari masyarakat luas, termasuk orang-orang yang menentangnya.
    Yesus Kristus berkata, “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak . Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Matius 5:37). Hal ini menegaskan bahwa integritas bukanlah pilihan retoris, melainkan cermin kemurnian jiwa.
    Menurut Bhagavad Gita, satya atau kejujuran ditegaskan sebagai kewajiban spiritual utama manusia dalam mencapai kedamaian dan pembebasan (Radhakrishnan, The Bhagavad Gita, 1948).
    Pandangan ini sejalan dengan ajaran agama-agama besar yang menempatkan kejujuran bukan sekadar etika, tetapi jalan menuju keselamatan (Parrinder, World Religions, 1971). Dalam ruang kekuasaan, kejujuran merupakan pilar inti dari etika kepemimpinan.
    Mahatma Gandhi dalam “
    The Moral and Political Thought of Mahatma Gandhi
    ” (1973) menegaskan, “Truth is God,” kebenaran adalah Tuhan. Baginya, politik minus moral adalah sumber bencana. Selain itu, Nelson Mandela menegaskan bahwa pengakuan yang jujur atas kesalahan masa lalu bukanlah pelemahan, melainkan langkah penting dalam memulihkan martabat bangsa.
    Hal ini membuktikan bahwa kekuatan pemimpin tidak terletak pada kemahirannya membungkus kelemahan, tetapi keberaniannya dalam menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Kejujuran moral tidak menjadikan kekuasaan berubah sebagai alat dominasi, tetapi menjadi sarana pelayanan.
    Abdurrahman Wahid dalam buku “Tuhan Tidak Perlu Dibela” (1999), menuliskan bahwa yang harus dibela bukanlah kebenaran secara abstrak, melainkan kemanusiaan yang tertindas oleh kebohongan dan ketidakadilan. Ketika itu, Gus Dur tidak ragu membuka fakta meski tidak populer secara politik. Beliau meyakini bahwa legitimasi pemimpin lahir dari kejujuran hati, bukan akumulasi dari dukungan semu.
    Dalam amanatnya, Panglima Besar Jenderal Soedirman kepada Tentara Indonesia (dalam buku Soedirman: Sejarah dan Teladan, 1964) menyerukan, “Tentara hanya mempunyai kewajiban satu, yaitu mempertahankan Negara Republik Indonesia. Jangan sekali-kali mengkhianati negara!” Pesan ini tidak sekadar patriotik tetapi juga merupakan seruan untuk setia pada kebenaran yang menjadi dasar perjuangan.
    Hannah Arendt dalam esainya “Lying in Politics” (1971), mengatakan bahwa kebohongan politik yang terorganisir merupakan ancaman paling dahsyat terhadap demokrasi karena menghancurkan dasar kebenaran publik yang menjadi fondasi deliberasi demokratis.
    Jika kebijakan didirikan di atas ilusi, masyarakat akan kehilangan arah moral dan kompas masa depan. Arendt menamai fenomena ini dengan “banalitas kebohongan,” yaitu kebohongan yang sudah dianggap wajar sehingga tidak lagi menimbulkan rasa bersalah.
    Indonesia hari ini senyatanya berada dalam persimpangan penting, yaitu memilih kejujuran sebagai fondasi transformasi atau terus membiarkan kebohongan sebagai budaya yang diberi legitimasi politik.
    Kejujuran tidak hanya sebagai instrumen administratif. Ia adalah kekuatan spiritual. Dalam filosofi Jawa, keutamaan kepemimpinan terletak pada keselarasan antara kehendak, ucapan, hati, dan tindakan. Tokoh Puntadewa tidak dikagumi karena kehebatannya berperang, tetapi karena kejernihan hatinya.
    Filosof kontemporer Indonesia, Franz Magnis-Suseno, dalam Etika Politik (1987), mengatakan bahwa pemimpin yang jujur tidak gentar kehilangan jabatannya karena ia mengutamakan tanggung jawab moral yang lebih tinggi daripada sekadar mempertahankan kekuasaan. Maka, kejujuran menjadikan kekuasaan bukanlah wahana manipulasi, melainkan sebagai jalan pengabdian.
    Dalam catatan sejarah Indonesia, pemimpin yang menjaga integritas membangun fondasi kepercayaan yang tahan lama. Hatta rela mundur dari jabatan wakil presiden ketika merasa bahwa kejujurannya bersinggungan dengan kebijakan yang ia anggap tidak sejalan dengan moral publik.
    Kejujuran itu tidak meniadakan capaian, tetapi memastikan setiap capaian sungguh-sungguh berimplikasi positif pada kehidupan rakyat. Dalam relasi sosial, kejujuran merupakan perekat kehidupan antarmanusia. Jika tidak ada kejujuran, maka tidak ada rasa aman, tidak ada ketenangan batin, dan tidak ada masa depan yang bisa direncanakan dan dijalani bersama.
    Filsuf Konfusius dalam teks klasik Analek Konfusius (The Analects, kitab XII bab 12 ayat 7), berkata, “Jika suatu negara kehilangan senjata, ia masih bisa bertahan; jika kehilangan pangan, masih ada harapan; tetapi jika kehilangan kepercayaan rakyat, negara itu akan hancur.” Kata-kata ini menjelaskan bahwa kejujuran adalah modal politik yang lebih kuat daripada kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi.
    Agar kejujuran kembali menjadi nilai publik, perlu dibangun sistem yang bisa mewujudkan transparansi dan meniadakan atau setidaknya bisa meminimalkan peluang manipulasi. Pemimpin tidak hanya dinilai dari pidatonya, tetapi melalui indikasi dampak sosial yang bisa diverifikasi.
    Pemanfaatan teknologi digital dewasa ini memungkinkan masyarakat secara objektif melihat data secara terbuka, mengevaluasi keputusan, dan mengawasi jalannya pemerintahan. Di Jepang misalnya, pemerintah membuat laporan dalam format yang mudah diakses publik. Laporan itu dilengkapi dengan indikator keberhasilan dan kegagalan. Transparansi ini tidak melemahkan pemerintah, tetapi justru memperkuat legitimasi karena rakyat bisa melihat kinerja konkret, bukan sebatas retorika atau “omon-omon kosong”.
    Hari ini kita ditantang untuk mampu membangun keberanian moral di tengah budaya pragmatisme. Selama ini, kejujuran acapkali dianggap merugikan baik secara politis maupun ekonomi. Namun, jika disimak dengan baik, sejarah membuktikan sebaliknya: kejujuran menciptakan reputasi jangka panjang dan membangun stabilitas sosial.
    Untuk itu, generasi penerus negeri ini perlu dibekali pendidikan karakter yang berbasis integritas. Harus ada keteladanan dari para pemimpin. Seperti kata Ki Hadjar Dewantara, “Ing ngarsa sung tulada,” di depan memberi teladan. Tanpa teladan kejujuran dari para pemimpin, bangsa yang besar ini akan kehilangan arah moral.
    Kejujuran adalah cermin kemanusiaan. Ia menempatkan pemimpin dan rakyat dalam relasi yang sejajar dan saling mempercayai untuk tujuan bersama. Kejujuran adalah napas demokrasi, sumber kekuatan batin, dan cahaya keadilan suatu bangsa.
    Tokoh Puntadewa dalam kisah klasik mengajarkan kejujuran sebagai kehormatan, para tokoh dalam agama menegaskan kejujuran sebagai jalan kebenaran, dan para pemimpin besar dunia membuktikan kejujuran sebagai energi transformatif. Bangsa yang menyiapkan masa depan melalui kejujuran adalah bangsa yang membangun peradaban yang bermartabat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tidak Relevan, Polisi Kembalikan Buku yang Disita Terkait Demo Ricuh di Jatim

    Tidak Relevan, Polisi Kembalikan Buku yang Disita Terkait Demo Ricuh di Jatim

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Jawa Timur telah mengembalikan 39 buku terkait dengan aksi demonstrasi berujung ricuh di wilayah hukumannya pada akhir Agustus lalu.

    Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan alasan pihaknya mengembalikan puluhan buku tersebut lantaran tidak berkaitan dengan tindak pidana yang diusut.

    “Setelah dilakukan evaluasi mendalam oleh penyidik, disimpulkan bahwa buku-buku tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana yang disidik,” ujar Trunoyudo dalam keterangan tertulis, Selasa (30/9/2025).

    Dia menambahkan, pengembalian buku ini merupakan implementasi dari Pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa barang sitaan yang tidak berkaitan dengan tindak pidana wajib dikembalikan kepada pemiliknya.

    “Ketika barang bukti tidak relevan dengan perkara, maka harus dikembalikan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak pemilik,” imbuhnya.

    Dia menjelaskan bahwa penyitaan buku tersebut merupakan bagian dari proses hukum. Dengan demikian, apabila setelah dianalisis buku tersebut tidak relevan dengan perbuatan tindak pidana maka akan langsung dikembalikan.

    Adapun, pengembalian puluhan buku milik masing-masing tersangka ini sudah dilakukan sejak 29 September 2025.

    “Kami ingin masyarakat memahami bahwa setiap tindakan penyidik memiliki dasar hukum. Polri tidak akan menahan atau menyita barang yang tidak berhubungan dengan tindak pidana,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Polda Jawa Timur dan jajarannya telah menyita sejumlah buku yang diduga berkaitan erat dengan aksi kerusuhan pasca demonstrasi di wilayah Jatim akhir Agustus lalu.

    Sejumlah buku yang disita polisi tersebut di antaranya adalah “Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” karya Franz Magnis-Suseno, “Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, “Apa itu Anarkisme Komunis?” karya Alexander Berkman, hingga “Strategi Perang Gerilya Che Guevara”.

  • Kapolri Gelar Dialog dengan Rocky Gerung hingga Usman Hamid, Bahas Reformasi Polri?

    Kapolri Gelar Dialog dengan Rocky Gerung hingga Usman Hamid, Bahas Reformasi Polri?

    Bisnis.com, JAKARTA – Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melakukan dialog publik dengan sejumlah koalisi masyarakat sipil dan tokoh untuk menerima saran dan kritik untuk institusi.

    Sigit mengatakan pihaknya akan menyerap masukan dari masyarakat sipil itu untuk kebaikan institusi sekaligus menjaga ruang demokrasi Indonesia.

    “Tentunya kami ingin mendengar langsung baik dari masyarakat Sipil terhadap apa yang harus Polri lakukan ke depan dalam menjaga ruang demokrasi agar tetap berjalan dengan lancar, aman, dan juga pesan tersampaikan,” kata Sigit di PTIK, Jakarta Senin (29/9/2025).

    Sigit menambahkan forum dialog bersama koalisi masyarakat sipil ini bakal digelar secara berkelanjutan. Dengan begitu, Polri bakal menjadi institusi sesuai harapan masyarakat.

    Adapun, dia juga memastikan bahwa Polri akan terus melakukan perbaikan serta beradaptasi dengan segala bentuk tantangan zaman yang ada. 

    “Ke depan tentu diskusi ini tidak hanya berhenti sampai di sini tapi terus bisa berlanjut mungkin dalam pertemuan-pertemuan lain yang bersifat informal dan tentunya kami Polri terus akan berupaya untuk melakukan perbaikan melakukan transformasi reformasi,” pungkasnya.

    Di samping itu, Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid menyampaikan salah satu pembahasan dari dialog itu yakni berkaitan dengan pembebasan sejumlah aktivis terkait aksi unjuk rasa akhir Agustus lalu.

    “Kami menyampaikan kepada jajaran kepolisian hari ini, termasuk Bapak kapolri, untuk membebaskan para aktivis yang hingga hari ini masih ditahan,” imbuhnya.

    Adapun, Ketua Umum YLBHI, Muhammad Isnur mengemukakan bahwa pihaknya telah mendorong agar Polri bisa melakukan perbaikan eksternal maupun internal.

    Salah satunya berkaitan dengan kontrol penyidikan dengan pembaharuan peraturan kepolisian yang belum diperbaharui sejak 2010. 

    Selain itu, YLBHI juga meminta agar Polri bisa mengevaluasi proses perekrutan hingga pendidikan untuk lebih menghargai kebebasan berekspresi.

    “Kita mendorong adanya bagaimana struktur dan program baik dari mulai pendidikan, rekrutmen, kemudian upgrading setiap anggota itu lebih memahami bagaimana protap dan lebih menghargai kebebasan berekspresi, membuka ruang agar teman-teman yang mendorong perubahan itu dijamin dan dilindungi,” tutur Isnur.

    Berikut ini 10 tokoh yang tergabung dalam dialog publik bersama kepolisian pada Senin (29/9/2025) : 

    1. Franz Magnis Suseno (Guru Besar Filsafat STF Driyarkara)

    2. Usman Hamid, S.H., M.Phil. (Direktur Amnesty Internasional Indonesia)

    3. Rocky Gerung (Pengamat Politik)

    4. M. Choirul Anam (Komisioner Kompolnas)

    5. Ardi Manto Adi Putra (Direktur Imparsial)

    6. Dimas Bagus Arya (Koordinator KontraS)

    7. Muhammad Isnur (Ketua Umum YLBHI)

    8. Julius Ibrani (Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI)

    9. Al Araf (Ketua Badan Pengurus Centra Initiative)

    10. Iftitah Sari (Sekjen / Manajer Program Institute For Criminal Justice Reform).

  • Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca Nasional 19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Merespons penyitaan buku-buku anarkisme dan pemikiran kiri oleh polisi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan tidak ada larangan bagi masyarakat untuk membaca buku apapun.
    “Tapi kalau larangan membaca buku ya tentunya kan tidak ada,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
    Namun, ia enggan memberikan respons lebih jauh soal hal ini.
    “Aku belum monitor,” tuturnya singkat.
    Diketahui, Pos Lantas Waru Sidoarjo dirusak dan dibakar oleh kelompok tak dikenal saat ramai aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Surabaya pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.
    Sejumlah anggota yang berpatroli di lokasi tersebut mengalami pengeroyokan. Sebanyak 18 orang ditangkap atas pembakaran Pos Lantas Waru, termasuk 10 anak berhubungan dengan hukum atau ABH.
    Dari penangkapan tersebut, polisi menyita 11 buku dari satu pelaku berinisial GLM (24).
    Buku-buku ini dinilai polisi menganut paham-paham anarkisme.
    Sebagai informasi, 11 judul buku yang disita di antaranya adalah “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno, “Anarkisme” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, dan “Strategi Perang Gerilya” karya Che Guevara.
    Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.
    Sementara itu, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan bahwa ia tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.
    “Tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang, Kamis (18/9/2025).
    Polda Jawa Barat memublikasikan sejumlah buku yang menjadi barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
    Beberapa buku tersebut disebut memuat teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
    Berdasarkan pantauan, buku-buku ini tersusun rapi di atas meja, disertai dengan barang bukti lainnya.
    “Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan.
    Beberapa judul buku yang dipublikasikan antara lain Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, dan Sastra dan Anarkisme. Buku-buku ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi ada juga yang dibeli secara online dari luar negeri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mensesneg: Tim Reformasi Polri mulai bekerja pekan ini

    Mensesneg: Tim Reformasi Polri mulai bekerja pekan ini

    Jakarta (ANTARA) – Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengemukakan bahwa Tim Komite Reformasi Polri yang kini sedang dalam tahap penyusunan formasi dijadwalkan mulai bekerja pekan ini.

    Mensesneg, di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu, menyebut latar belakang pembentukan tim itu bertujuan untuk melakukan evaluasi dan perbaikan kinerja dan pelayanan di institusi kepolisian.

    “Keinginan Presiden, adalah tentunya kan kita semua sangat mencintai institusi kepolisian, tetapi ada beberapa hal yang mungkin perlu dilakukan perbaikan, evaluasi, dan itu biasa untuk seluruh institusi sesuai arahan Presiden untuk memperkuat profesionalisme Polri,” katanya.

    Meski anggota tim telah mulai ditentukan, kata Prasetyo, penunjukan ketua belum dilakukan, termasuk spekulasi mengenai keterlibatan mantan Menko Polhukam Mahfud MD.

    “Belum, belum ditunjuk ketuanya. Baru disusun anggotanya-anggotanya,” katanya saat ditanya tentang peluang Mahfud MD menduduki jabatan ketua tim.

    Instrumen hukum berupa surat keputusan presiden (Keppres) juga tengah dipersiapkan, dan pemerintah menargetkan pengumuman resmi dalam minggu ini.

    “Tunggu, insya Allah dalam minggu ini,” katanya.

    Pemerintah berharap reformasi ini dapat berjalan lancar dan menghasilkan perubahan nyata di tubuh kepolisian, dengan dukungan doa dari masyarakat.

    Sebelumnya diberitakan, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan, Presiden Prabowo sedang menyiapkan Keppres pembentukan tim atau komisi reformasi Polri.

    Yusril mengatakan pelantikan akan segera dilakukan.

    “Kalau itu memang sudah disiapkan Keppresnya dan mungkin akan segera dilantik ya sehari-dua hari ini,” kata Yusril di Jakarta, Selasa (16/9).

    Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mengusulkan pembentukan tim Reformasi Polri kepada Presiden Prabowo pada 11 September 2025.

    Mereka berharap tim diisi tokoh-tokoh penting, termasuk mantan Kapolri, mantan Kompolnas, perwakilan masyarakat sipil, dan Komnas HAM.

    Alissa Wahid menekankan agar tim dipimpin pemerintah, seperti menteri terkait, agar kinerjanya berjalan efektif.

    Tokoh GNB yang hadir antara lain Sinta Nuriyah Wahid, Alissa Wahid, Quraish Shihab, Pendeta Gomar Gultom, Romo Franz Magnis-Suseno, Komaruddin Hidayat, Bikku Dhanmasubho, dan Laode M. Syarif.

    Pewarta: Andi Firdaus, Genta Tenri Mawangi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.