Tag: Firman Manan

  • Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dipandang Positif, Peningkatan Kualitas Tetap Bergantung Parpol

    Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal Dipandang Positif, Peningkatan Kualitas Tetap Bergantung Parpol

    PIKIRAN RAKYAT – Pengamat Politik dari Universitas Padjadjaran, Firman Manan memandang, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menghadirkan efek positif pada penyelenggara dan peserta pemilu maupun pemilih. Namun, dalam hal peningkatan kualitas pemilu, tetap bergantung pada mampu atau tidak partai politik memanfaatkan waktu dua sampai dua setengah tahun di antara pemilu di tingkat nasional dengan tingkat lokal.

    MK menetapkan, pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah atau lokal dipisahkan melalui pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dan Undang-Undang Pilkada. Menurut Mahkamah, pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD serta kepala daerah tingkat provinsi, serta anggota DPRD serta kepala daerah tingkat kabupaten maupun kota paling singkat dua tahun, dan paling lama 2 tahun 6 bulan semenjak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD, atau pelantikan presiden dan wakil presiden.

    Menurut Firman, selang waktu 2 tahun hingga 2 tahun 6 bulan semestinya positif bagi penyelenggara, partai politik, maupun pemilih. Penyelenggara bisa lebih siap, partai politik punya waktu memadai dalam merekrut berikut sosialisasi kandidat, sedangkan pemilih dapat waktu cukup untuk membentuk preferensi dan mengevaluasi dinamika yang terjadi.

    “Kemarin, setelah pemilu presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRD tingkat provinsi, DPRD kabupaten maupun kota, segera masuk tahapan Pemilihan gubernur dan wakil gubernur serta wali kota dan wakil wali kota atau bupati dan wakil bupati. Bahkan, ada tahapan yang bersinggungan di antara dua pemilihan tersebut. Terdapat kerumitan, penyelenggara dan partai politik mengalami kelelahan,” ucap dia, Minggu (29/6/2025).

    Bagi pemilih, ucap Firman, terjadi first-order election atau anggapan yang memandang pemilihan presiden dan wakil presiden merupakan hal paling penting. Ketika tahapan pemilihan tingkat lokal berjalan, masyarakat memandang tak lagi begitu penting.

    “Selain itu, informasinya (tiap-tiap tahapan pilkada serentak) pun tertutupi riuh rendah Pilpres. Pada pilkada lalu, bagaimana pun ada presidential coattail effect atau efek ekor jas atas pilpres. Partai politik atau kandidat yang dipandang dekat dengan Prabowo Subianto beroleh efek positif,” tutur Firman.

    Rentang waktu 2 hingga 2,5 tahun, ucap Firman, merupakan waktu memadai bagi pemilih dalam mengevaluasi pasangan presiden dan wakil presiden serta legislator di tingkat pusat. Persepsi akan kinerja presiden dan wakil presiden, serta legislator di tingkat pusat mempengaruhi preferensi pemilih menjatuhkan pilihan ke kandidat di pemilihan di tingkat lokal.

    “Belum tentu partai politik atau koalisi parpol pemenang pemilu presiden dan wakil presiden atau yang mendominasi parlemen di tingkat nasional bisa kembali menang di pemilu lokal. Seumpama kinerja dipandang bagus, bisa positif (ke pemilu tingkat lokal). Sementara itu, ketika kinerja dinilai jelek oleh masyarakat, parpol oposan yang akan beroleh efek positif di pemilu lokal,” ucap dia.

    Berkenaan dengan konstelasi politik atas pengaruh putusan MK itu, Firman mengatakan, sangat terbuka kemungkinan, koalisi di tingkat pusat berbeda dengan di daerah. Apalagi, terdapat putusan MK tentang ambang batas pencalonan kepala daerah.

    Dalam hal kualitas pemilu setelah terbit putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, menurut Firman, tetap bergantung partai politik. Kualitas pemilu -terutama di tingkat lokal- bisa meningkat saat parpol mampu memanfaatkan waktu lapang untuk melakukan persiapan, di antaranya seleksi atau rekrutmen kandidat, infrastruktur pemenangan, sosialisasi.

    “Positif selama parpol bisa memanfaatkan selang waktu itu,” ucap Firman.***

  • Partisipasi Masyarakat Jawa Barat Anjlok!

    Partisipasi Masyarakat Jawa Barat Anjlok!

    JABAR EKSPRES – Tingkat partisipasi masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Jawa Barat (Jabar) dikabarkan mengalami penurunan atau anjlok yang cukup signifikan.

    Bahkan menurut laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jabar, tingkat partisipasi masyarakat di Pilkada 2024 kemarin khususnya pada pemilihan gubernur (Pilgub) tercatat hanya mencapai 65,97 persen dari target yang ditentukan sekitar 76 persen.

    “Sudah di hitung itu sekitar 65,97 persen, ini pasti turun (dibanding target yang ditentukan),” ucap Ketua KPU Jabar, Ahmad Nur Hidayat, Senin (19/12) malam.

    Diketahui, pada Pilkada 2024 khususnya Pilgub kemarin, KPU Jabar hanya mencatat sebanyak 23.703.785 masyarakat yang menyalurkan hak pilihnya.

    BACA JUGA:Bantuan KJP Plus Tahap 4 Sudah Cair! Cek Penerima Bantuan dan Besaran Dana untuk Anak Sekolah

    Hal ini berbanding jauh dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap atau DPT yang mencapai hingga 35.925.960 orang.

    “Makannya ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi kami untuk menaikan kembali (partisipasi masyarakat) di periode mendatang,” ungkap Ahmad.

    “Insyaallah ini akan kami jadikan evaluasi untuk hal-hal yang bisa kita tingkatkan pada periode yang akan datang,” sambungnya.

    Pengamat Politik Sebut ada Beberapa Faktor Penyebab Turunnya Partisipasi Masyarakat di Pilkada 2024

    BACA JUGA:6 Rekomendasi Aplikasi Investasi Terbaik 2024 Diawasi OJK, Cara Mudah Dapat Penghasilan

    Sementara itu, Pengamat Politik UNPAD, Firman Manan menilai turunnya tingkat partisipasi masyarakat pada Pilkada kali ini disebabkan oleh beberapa faktor.

    Faktor yang pertama, kata Firman, yakni berkaitan dengan waktu yang terlalu berdekatan antara Pilpres, Pileg, dan Pilkada.

    “Ini kan tidak dialami di pilkada sebelumnya. Dan kenapa itu jadi pengaruh? Karena perhatian publik termasuk media, parpol , pemilih itu pada Pilpres (kemarin). Sehingga isu-isu terkait pilkada agak tertinggal, jadi tidak menarik perhatian publik,” ucapnya saat dikonfirmasi.

    Selain waktu yang berdekatan, Firman juga menyebut adanya kejenuhan dari masyarakat.

    BACA JUGA:Berapa Gaji PPPK Paruh Waktu? Segini Besarannya

    “Nah yang ke tiga, itu bisa saja terkait dengan (calon) kandidatnya yang tidak memenuhi ekspektasi publik atau kemudian tidak kompetitif, seperti Jawa Barat,” katanya.

    Maka dengan adanya hal ini, Firman menuturkan kedepannya KPU harus segera melakukan evaluasi khususnya terkait dengan jarak atau waktu pelaksanaan agar tingkat partisipasi di periode selanjutnya dapat mengalami peningkatan.

  • Catatan Pengamat Politik Unpad untuk Debat Pilkada Jabar

    Catatan Pengamat Politik Unpad untuk Debat Pilkada Jabar

    JABAR EKSPRES – Pengamat Politik Universitas Padjadjaran Firman Manan turut berkomentar mengenai debat publik perdana Pilkada Jawa Barat. Menurutnya, debat masih belum ideal karena kurang penajaman perbedaan ide gagasan dari para paslon.

    Menurut Firman, kegiatan yang digelar KPU Jawa Barat itu masih belum debat.

    “Kemarin itu belum debat. Kalau debat kan ada perbedaan ide gagasan yang kemudian diperdebatkan. Sehingga pemilih bisa bandingkan. Kemarin itu baru pemaparan,” jelasnya.

    BACA JUGA: Lewat Debat Terbuka, Acep-Gita Ingin Hapus KKN di Jabar

    Firman melanjutkan, kondisi itu juga bisa dikarenakan sejumlah faktor. Misalnya format debat yang terbatas baik secara waktu maupun mekanisme.

    Misal di sesi kedua dan ketiga, ada pertanyaan dari panelis tapi kurang untuk di elaborasi antar paslon. “Waktu juga 45 detik. Sulit juga bagi paslon menjelaskan,” tuturnya.

    Peluang debat menarik sebenarnya ada di sesi 4 dan 5. Di mana antar paslon saling berinteraksi. Tapi ternyata juga tidak terjadi perdebatan. Beberapa paslon malah cenderung setuju dengan gagasan paslon lain.

    BACA JUGA: Paslon Pilkada Jabar Sampaikan Duka Kecelakaan Tol Cipularang KM 92 di Debat Publik

    Dari sisi tema juga cukup banyak. Sehingga membuat paslon maupun pemilih yang mendengarkan tidak fokus.

    Firman turut menduga ada kekhawatiran psikologis dari paslon untuk ovensif atau memberikan serangan. Mereka khawatir malah menimbulkan sentimen negatif. Layaknya pengalaman debat pilpres.

    Debat Pengaruhi Pemilih Rasional hingga Tradisional

    Firman menuturkan, debat publik semestinya bisa dimanfaatkan dengan maksimal oleh paslon yang tertinggal secara elektabilitas.

    BACA JUGA: Deretan Aplikasi Penghasil Uang Rp 25 Ribu per Hari Langsung Cair

    “Ini kesempatan mengkritisi ide gagasan paslon yang unggul sehingga pemilih bisa pindah,” cetusnya.

    Dengan melihat debat yang biasa – biasa saja maka paslon yang sudah unggul akan lebih diuntungkan. Karena sajian debat yang terjadi kurang mempengaruhi pemilih.

    Menurut Firman, secara substansi debat memang sebenarnya lebih menarik bagi segmen pemilih rasional. Mereka banyak mengkaji pilihan dari debat itu.

    BACA JUGA: Cara Cek Status Penerima Bansos PBI JK 2024, Cukup Pakai NIK KTP