Tag: Firman Kurniawan

  • Video AI Makin Canggih, Begini Cara Mengenalinya

    Video AI Makin Canggih, Begini Cara Mengenalinya

    Jakarta

    Sebuah video yang memperlihatkan jembatan gantung putus di Bali beredar luas di media sosial. Dalam video tersebut, tampak jembatan gantung putus di saat banyak orang sedang menyeberang di atasnya.

    Video ini pertama kali diunggah pada 29 Juli 2025 dan telah ditonton lebih dari 70 juta kali, mendapat lebih dari 320 ribu likes, 14.700 komentar, dan hampir 500 ribu kali dibagikan.

    Namun, hasil analisis menggunakan alat pendeteksi video AI, Hive Moderation, menunjukkan bahwa video tersebut kemungkinan besar, sebesar 99,2%, merupakan hasil rekayasa AI generatif.

    AI generatif adalah salah satu inovasi dalam bidang kecerdasan buatan yang mampu menciptakan konten baru berdasarkan instruksi atau prompt. Teknologi ini dapat menghasilkan teks, gambar, hingga video yang menyerupai buatan manusia. Tak hanya itu, AI generatif juga bisa memanipulasi konten asli, baik visual maupun suara, hingga tampak sangat nyata. Teknik manipulasi ini dikenal dengan istilah deepfake.

    Kenali ciri-ciri video buatan AI

    Untuk mengenali video buatan AI, sedikitnya ada tiga hal yang bisa dilakukan. Pertama, periksa video secara detail. Detail kecil bagian tubuh seperti jari, telinga, atau aksesori biasanya tampak tidak wajar dalam video buatan AI.

    Detail-detail kecil ini biasanya tampak melebur atau menyatu dengan objek lainnya serta tidak konsisten. Pada video jembatan gantung yang putus, lengan baju orang dengan pakaian berwarna biru tampak tidak konsisten. Pada detik ke-5, lengan baju digulung dan pada detik ke-8 lengan bajunya panjang dan tidak digulung.

    Selain itu, elemen visual seperti tulisan atau logo yang tampak tidak sinkron bisa jadi petunjuk kalau sebuah video adalah buatan AI.

    Ketiga, kita bisa menelusuri sebuah video melalui reverse image search. Tujuannya, untuk mengetahui sumber asli video tersebut atau kapan pertama kali video diunggah. Dengan cara ini, kita bisa mengetahui apakah video tersebut ditandai sebagai buatan AI atau merupakan video asli.

    Bahaya perkembangan teknologi AI

    Perkembangan model AI generatif pembuatan video seperti Sora dan Google Veo 3 kian pesat. AI generatif tersebut bisa membuat video yang tampak realistis. Hanya saja, perkembangan ini juga memiliki dampak negatifnya.

    Pakar keamanan siber dan forensik digital Alfons Tanujaya mengatakan kepada DW kalau perkembangan AI generatif dalam menghasilkan video akan membuat video buatan AI makin sulit dibedakan dengan video asli.

    “Hasil video generated AI ini akan makin sempurna dan makin sulit diidentifikasi dan dibedakan dari konten yang bukan AI. Akan makin sulit, itu polanya, itu yang perlu kita sadari, ” ungkap Alfons.

    Senada dengan Alfons, pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan menyebutkan kalau alat pendeteksi AI bisa makin sulit mendeteksi video buatan AI jika berkembang makin pesat dan realistis.

    “Jadi tools pun tidak bisa secara serta-merta memutlakkan ini AI, ini bukan AI. Nah kadang yang bukan AI, tapi karena strukturnya mirip buatan AI, malah dikira AI.” kata Firman.

    Ia juga menyampaikan perlunya mengombinasikan berbagai alat pendeteksi AI saat memeriksa keaslian sebuah konten.

    Perlunya pengawasan pemerintah dan kebijaksanaan pengguna media sosial

    Kepada DW Indonesia, Alfons Tanujaya mengimbau agar pengguna media sosial tidak asal membagikan sebuah konten atau informasi sebelum meyakini kebenarannya.

    “Kalau itu tidak ada di media mainstream dan Anda ragukan, saya sarankan jangan di-forward. Kenapa? Karena kalau Anda salah forward konten, lalu Anda forward konten yang melanggar hukum, Anda bisa kena konsekuensi hukum.”

    Di sisi lain, Alfons juga mengingatkan pentingnya pengawasan pemerintah untuk meminimalisasi penyalahgunaan AI. Meski Indonesia belum memiliki aturan spesifik mengenai AI, Alfons menyebut kalau pemerintah Indonesia bisa menggunakan undang-undang terkait yang sudah ada.

    “Payung hukum itu perlu, tetapi penegakan yang lebih penting. Percuma ada payung hukum enggak ditegakkan. Dan sebenarnya tanpa ada payung hukum hari ini, dengan penegakan yang ada, kamu melanggar etika, bikin gambar porno dari AI, kamu mengeksploitasi orang, itu sudah ada, bisa dipakai, UU ITE dan sejenisnya gitu,” ujar Alfons.

    Meski pengawasan penggunaan AI penting dilakukan pemerintah, Firman mengingatkan agar hal itu tidak membatasi perkembangan AI yang mendukung inovasi dan aktivitas manusia.

    “Kita harus tahu porsi yang tepat, jangan sampai ketinggalan memanfaatkan AI, tapi juga jangan menganggap bahwa perangkat ini hanya untuk kebaikan, orang lain bisa pakai untuk kejahatan. Nah, itu kita perlu mempelajari di sisi-sisi mana bahwa artificial intelligence ini bisa merugikan atau membahayakan manusia,” tutup Firman mengakhiri perbincangan dengan DW Indonesia.

    Editor: Hani Anggraini

    (ita/ita)

  • Indonesia Tegaskan Posisi di Kancah Global Lewat Kesepakatan IEU–CEPA dan ICA–CEPA
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        27 September 2025

    Indonesia Tegaskan Posisi di Kancah Global Lewat Kesepakatan IEU–CEPA dan ICA–CEPA Nasional 27 September 2025

    Indonesia Tegaskan Posisi di Kancah Global Lewat Kesepakatan IEU–CEPA dan ICA–CEPA
    Tim Redaksi
    KOMPAS.com – 
    Selepas perundingan panjang selama beberapa tahun, Indonesia akhirnya menandatangani dua perjanjian strategis, yakni Indonesia–European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU–CEPA) dan Indonesia–Canada Comprehensive Economic Partnership Agreement (ICA–CEPA).
    Kedua kesepakatan tersebut menegaskan komitmen Indonesia dalam memperkuat diplomasi ekonomi sekaligus membuka jalan bagi peningkatan akses pasar, investasi, serta kerja sama yang lebih luas dengan mitra utama di Eropa dan Amerika Utara.
    Adapun penandatanganan ICA CEPA disaksikan oleh Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Kanada Mark Carney di Ottawa, Kanada, Rabu (24/9/2025).
    Sementara itu, penandatanganan dan pengumuman bersama Kesepakatan Substantif IEU-CEPA dilakukan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beserta Komisioner Perdagangan dan Keamanan Ekonomi Komisi Eropa Maros Sefrovic di Bali, Selasa (23/9/2025).
    “Kedua kesepakatan ini menjadi bukti konsistensi Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional di tengah dinamika perdagangan global,” ujar Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Haryo Limanseto dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (27/9/2025).
    Dengan kesepakatan itu, lanjutnya, Indonesia tidak hanya memperoleh posisi tawar yang lebih kuat, tetapi juga memastikan manfaat nyata dapat dirasakan langsung oleh dunia usaha dan masyarakat.
    Pengamat ekonomi Sunarsip menuturkan bahwa Uni Eropa merupakan mitra dagang utama Indonesia dengan pangsa sekitar 10 persen dari total ekspor nasional.
    Sebagian besar ekspor Indonesia ke Eropa berupa komoditas strategis untuk menunjang industrialisasi serta kebutuhan pangan di kawasan tersebut, seperti mineral logam untuk industri otomotif, besi dan baja, serta produk elektronik.
    Ada pula produk minyak sawit mentah atau
    crude palm oil
    (CPO) serta minyak nabati lain yang digunakan dalam industri biofuel, pangan, dan kosmetik.
    Melalui IEU–CEPA, ekspor produk unggulan tersebut diproyeksikan akan semakin meningkat dan memiliki akses pasar yang lebih luas.
    Sunarsip menjelaskan Kesepakatan IEU–CEPA juga diperkirakan akan memperbesar pangsa ekspor Indonesia ke Eropa sekaligus menjadi pasar alternatif yang strategis di tengah kebijakan tarif dagang global yang tidak seimbang, termasuk dari Amerika Serikat.
    Kesepakatan itu diharapkan mampu menjadi penopang penting di saat permintaan ekspor dari negara mitra utama lain, seperti Tiongkok dan India, mengalami pelemahan. Dengan demikian, hal ini juga dapat menjaga ketahanan dan daya saing ekspor Indonesia dalam jangka panjang.
    “Kebijakan IEU-CEPA ini pada akhirnya akan menjadi sumber penguatan
    surplus
    bagi neraca perdagangan kita, yang tentunya akan memperkuat posisi cadangan devisa kita,” ucap Sunarsip.
    Sebagai langkah lanjutan, katanya, diperlukan kebijakan turunan yang mendorong kemitraan antara pelaku usaha besar dengan UMKM agar manfaat ekonomi dari perjanjian ini dapat dirasakan secara luas.
    Guna mendorong penyebaran informasi mengenai kesepakatan tersebut kepada masyarakat, Pengajar Universitas Indonesia Firman Kurniawan menyebutkan bahwa pemerintah juga perlu menekankan pentingnya komunikasi multijenjang yang mampu menjembatani substansi perjanjian yang kompleks menjadi bahasa yang lebih praktis dan mudah dipahami oleh pelaku UMKM.
    Firman menyoroti, di tengah derasnya arus informasi publik, perhatian masyarakat akan lebih tertuju pada substansi yang secara langsung berkaitan dengan kepentingan pribadi.
    Dalam konteks Kesepakatan IEU–CEPA yang merupakan momentum bersejarah setelah perundingan panjang hampir satu dekade, pemerintah diharapkan dapat mengemas pesan komunikasi yang menonjolkan manfaat nyata bagi publik, bahkan hingga pada level sektoral agar peluang ekonomi dari perjanjian tersebut dapat dipahami dan dimanfaatkan secara maksimal.
    “Agar tidak mengalami misinformasi, media konvensional ataupun digital perlu dilibatkan dalam dialog untuk memahami secara utuh makna perjanjian maupun keuntungan dan kesempatan yang diperoleh masyarakat Indonesia,” ujar Firman
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Soal RPP Perlindungan Anak di Ranah Digital, Pakar: Jangan Sampai Jadi Penghalang, Edukasi Harus Diperkuat! – Page 3

    Soal RPP Perlindungan Anak di Ranah Digital, Pakar: Jangan Sampai Jadi Penghalang, Edukasi Harus Diperkuat! – Page 3

    Salah satu aspek krusial dalam rancangan regulasi adalah batas usia minimum anak-anak dalam mengakses platform digital, termasuk media sosial.

    Kawiyan menjelaskan, saat ini masih terjadi perdebatan tentang batas minimum usia anak. Sejumlah negara menetapkan batas minimum beragam.

    Amerika Serikat menerapkan batas usia minimum 13 tahun, sesuai dengan Children’s Online Privacy Protection atau Undang-Undang Perlindungan Privasi Online Anak-anak. Sementara itu, Inggris Raya juga menerapkan batasan usia 13 tahun sesuai dengan Age-Appropriate Design Code (Children’s Code).

    Ia menilai, dalam hal ini yang tidak kalah penting adalah pendampingan dari orang tua di dalam keluarga. “Harus dengan verifikasi serta pengawasan, bimbingan, dan edukasi dari orang tua,” tuturnya.

    Perlu Edukasi dari Orang Tua dan Sekolah

    Dr. Firman Kurniawan, pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, menekankan bahwa pendampingan dari orang tua dan pendidik (sekolah) nmenjadi kunci utama dalam memberikan pemahaman yang tepat kepada anak mengenai penggunaan teknologi yang aman dan bermanfaat.

    “Perlu ada panduan secara sistematis apa peran sekolah, orang tua, dan komunitas untuk membantu anak-anak memanfaatkan dunia digital secara berkualitas dan produktif,” ujarnya.

    Firman menekankan masih banyak orang tua dan guru yang belum memahami cara mengawasi anak dalam menggunakan media digital dengan aman. Selain itu, ia mengingatkan bahwa batas usia bukanlah jaminan kesiapan seorang anak untuk menggunakan platorm digital.

    “Bahaya dan penyalahgunaan platform digital bukan hanya mengancam anak-anak, tapi juga orang dewasa yang tidak paham,” tuturnya.

    Alih-alih membatasi akses secara mutlak yang justru dapat menghambat perkembangan kemampuan digital anak, Firman menyarankan agar anak-anak diajarkan dan dibimbing cara menggunakan teknologi secara bijak sesuai dengan tahap tumbuh kembang mereka.

     

  • ‘Ekonomi Perhatian’ dan Akibat Bias Memaknai Dunia

    ‘Ekonomi Perhatian’ dan Akibat Bias Memaknai Dunia

    Jakarta

    Saat Herbert A. Simon–psikolog, yang juga ekonom asal Amerika Serikat– pernah menyinggung soal The Attention Economy di tahun 1971. Ia mungkin tak menyangka, gagasannya bakal berpengaruh hingga hari ini. Gagasan yang bukan saja penting dalam penyusunan model bisnis media digital, namun juga mempengaruhi pemaknaan masyarakat, pada dunia yang dihayatinya. Dunia yang dialami panca indera telanjang, jauh berbeda dari dunia dalam pengalaman media digital. Atas karyanya itu, di tahun 1978 Herbet A. Simon meraih penghargaan Nobel di Bidang Ekonomi.

    Uraiannya semula, disiapkan sebagai makalah untuk ceramah yang diselenggarakan Johns Hopkins University dan Brookings Institution. Topiknya “Designing Organizations for an Information-Rich World”. Dengan judul ini, uraian nampak biasa-biasa saja. Juga tak punya unsur kejutan. Ia hendak mengajukan gagasan seputar merancang organisasi, di tengah dunia dalam kelimpahan informasi. Namun seluruhnya jadi berbeda, seiring diajukannya 2 pertanyaan: “Sudah berapa lama, dunia ini mengalami kelimpahan informasi? Dan apa implikasi dari kelimpahan itu, jika memang benar adanya?” Jawaban-jawaban yang muncul, berimplikasi luas.

    Untuk pertanyaan pertamanya yang diajukan tak kurang 53 tahun silam, kian terjawab gamblang di era sekarang. Era yang diwarnai perkembangan pemanfaatan internet, dengan berbagai tampilannya. Keadaan yang relevan, di tengah perkembangan teknologi informasi. Teknologi yang mentransformasi informasi analog, jadi digital. Seluruhnya menyebabkan, produksi dan distribusi informasi mencapai titik tertingginya. Kelimpahan informasi jadi realitasnya.

    Namun realitas itu berhadapan dengan stagnannya kognisi manusia. Proses evolusi tak mendorongnya mengalami pelipatgandaan kemampuan memperhatikan. Manusia tak jadi lebih mampu memperhatikan, akibat tingginya permintaan perhatian. Keadaan yang justru berkembang: perhatian manusia yang jumlahnya tetap, ditransaksikan dengan informasi yang berlimpah. Maka agar meraih kepuasan optimal, rasionalitas dipaksa melakukan seleksi perhatian agar memperoleh kepuasan optimal. Relasi perhatian vs informasi berlimpah itu tak ubahnya aktivitas ekonomi. Aktivitas yang dimengerti, sebagai upaya rasional manusia mengoptimalkan pilihannya dengan sumberdaya yang terbatas.

    Curt Steinhorst, 2024, lewat “Lost in The Scroll: The Hidden Impact of The Attention Economy”, mengungkap implikasi lanjut relasi yang melahirkan Ekonomi Perhatian itu. Steinhorst yang mengutip Michael Goldhaber, mengemukakan: keberhasilan diraihnya perhatian di tengah intensifnya produksi dan distribusi informasi tak berbeda dengan diperolehnya kekayaan yang bertahan lama. Perhatian jadi mata uang. Memperoleh perhatian berlimpah, berarti memperoleh uang banyak. Berlimpahnya perhatian, berarti kaya raya.

    Kekayarayaan yang dapat dikonversi dengan apa pun yang ditawarkan ekonomi, dalam kelimpahan informasi. Menjadi berharganya perhatian, lantaran kehadirannya dibutuhkan untuk mengubah informasi jadi bermakna. Tanpa perhatian informasi tak menembus panca indera dan membangun pemaknaan. Informasi akan tersapu waktu, berlalu jadi residu. Herbert A. Simon menyebutnya: kelimpahan informasi yang menciptakan kemiskinan perhatian.

    Realitas perhatian yang berpeluang jatuh pada hal-hal yang bersifat langka, sering dikaitkan dengan bias negatif. Bias negatif adalah kecenderungan diberikannya perhatian pada hal yang negatif. Perhatian lebih diberikan pada perkataan kasar, kecelakaan, kesedihan, bencana, juga kejadian tak masuk akal. Di tingkat individu, ini membentuk perbincangan luas. Terakumulasi jadi perhatian yang diperoleh.

    Seluruhnya dapat dipahami: rasionalitas manusia memilih kesenangan, seraya menghindari rasa sakit. Hal-hal yang negatif jadi bahan perhatian, lantaran dipersepsi mengandung ancaman. Karenanya, menghindari ancaman dengan cara, memberikan perhatian pada yang negatif.

    Mekanisme Ini disebut selective attention. Maka ketika perhatian dijatuhkan pada hal-hal yang negatif, juga yang langka terjadi, dimengerti sebagai tendensi memperbesar peluang hidup. Dalam realitasnya, yang negatif dan langka merupakan ancaman. Perhatian ditujukan pada yang negatif, justru untuk memperbesar peluang hidup.

    Namun demikian, dalam realitasnya informasi negatif tapi langka ini merupakan sumber gangguan mental. Ketaknyamanan, stress, bahkan depresi. Memang jika dikelola dengan baik, dapat mendatangkan kebahagiaan. Ujungnya, dipertahankannya hidup. Bangsa-bangsa yang punya sejarah hidup panjang, dihuni penduduk yang juga berumur panjang. Dalam kisahnya terbukti: mampu mengalihkan berbagai peristiwa yang menekan, tak nyaman bahkan merenggut kehidupan jadi kebijakan hidup. Ini dapat disaksikan pada Bangsa Mesir, Yunani, Mexico, India, Cina maupun Jepang.

    Bias negatif yang bermanfaat sebagai mekanisme pertahanan hidup, berubah jadi paradoks. Ini saat bias negatif dijadikan sebagai formula penangguk keuntungan. Realitas hidup hari ini mengkonfirmasinya. Di antara intensifnya produksi dan distribusi informasi lewat media digital, perhatian–dengan kurva normal yang berbentuk lonceng–jatuh pada area ekstrim kiri dan kanan. Sumbu imajiner datar yang bergerak dari kiri ke kanan, menunjukkan pergerakan spektrum kualitas isi informasi: dari yang berkualitas sangat buruk ke yang berkualitas sangat baik. Sedangkan sumbu imajiner tegak dari atas ke bawah, menunjukkan peluang terjadinya peristiwa. Di titik atas artinya, peluang kejadiannya sangat besar. Dan makin ke bawah, peluang kejadiannya mendekati nol. Sangat langka.

    Ini kemudian dapat dibaca–dengan mengacu pada uraian McAdam di atas–pada kualitas informasi yang semakin buruk, juga semakin baik dan peluang kejadiannya makin langka, perhatian dicurahkan. Sedangkan pada timbangan informasi buruk vs informasi baik, bias negatif manusia mengantarnya memilih informasi dengan kandungan bias negatif. Artinya, makin kiri dan makin ke bawah, terjadi pemusatan perhatian.

    Inilah formula produksi dan distribusi informasi yang berlaku hari ini. Jika seluruhnya ditelaah lebih dalam, informasi di sebelah kiri dan bawah, berciri, pertikaian, kontroversi, sensasi, disinformasi, spekulasi, konspirasi, irasionalitas. Informasi tak berkualitas jadi pengisinya. “Supermarket” keburukan digelar di area ini. Sebaliknya pada area kanan, memuat: pencapaian usaha, keberhasilan pendidikan, kemajuan riset, tips & trick produktivitas, nasihat hidup bermoral dan etis, kisah sukses dan ketokohan, sejarah obyektif. Sisi yang memuat dunia berkeadaan baik-baik saja. Dunia yang layak dihuni.

    Namun lantaran dianggap sebagai normalitas kehidupan, tak mengancam dan tanpa kejutan, kehadirannya tak perlu memperoleh prioritas perhatian. Karenanya perhatian lebih berpeluang jatuh pada informasi area kiri bawah. Negatif tapi langka.

    Implikasi upaya produksi dan distribusi informasi ~dengan berpijak pada formula attention economy ini~ mengantar manusia era sekarang memandang dunia sebagai tempat yang buruk. Perhatian yang hanya tertuju pada informasi yang negatif tapi langka, membiaskannya dari harapan yang dapat diraih. Dunia baik-baik saja memang terus diupayakan, tapi kalah perhatian dibanding yang buruk.

    Brooke Auxier, 2020, dalam “64% of Americans say social media have a mostly negative effect on the way things are going in the U.S. today”, ~dengan mengutip penelitian Pew Research Center pada 13-19 Juli 2020~ mengkonfirmasi keadaan di atas. Sedikitnya 2/3 warga Amerika menyebut media sosial memiliki efek negatif terhadap keadaan di negara itu. Hanya satu dari sepuluh orang yang mengatakan adanya efek positif. Sementara hanya satu dari dua puluh lima orang, mengatakan platform ini tak punya efek positif maupun negatif.

    Dunia yang tampak sakit, bukan lantaran dunianya benar-benar sakit. Realitas terformulasi yang jadi penyebabnya. Perhatian yang berhasil terserap tanpa sisa, membiaskan pemaknaan pada dunia. Pengguna media sosial jadi korban sukarelanya. Seluruhnya lantaran, hidup tercuri formula attention economy.

    Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org.

    (rdp/rdp)