Tag: Feri Amsari

  • 8
                    
                        Feri Amsari: Tuduhan Ijazah Palsu Arsul Sani Bagai Serangan Balik ke MK yang Buat Putusan Pro Rakyat
                        Nasional

    8 Feri Amsari: Tuduhan Ijazah Palsu Arsul Sani Bagai Serangan Balik ke MK yang Buat Putusan Pro Rakyat Nasional

    Feri Amsari: Tuduhan Ijazah Palsu Arsul Sani Bagai Serangan Balik ke MK yang Buat Putusan Pro Rakyat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, tudingan ijazah palsu yang mendera Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani juga serangan bagi MK.
    Terlebih, dalam beberapa waktu terakhir MK membuat putusan yang berpihak kepada rakyat.
    “Serangan terhadap MK harus dilihat dari multi perspektif. Bisa saja ijazah ini benar bermasalah, tetapi serangan ini lebih punya kecenderungan bagian dari serangan balik terhadap Mahkamah Konstitusi yang belakangan putusan-putusannya sesuai dengan kehendak publik dan konstitusi itu sendiri,” kata Feri saat dihubungi Kompas.com, Kamis (20/11/2025).
    Feri mengatakan, MK belakangan membuat putusan beberapa perkara, salah satunya jabatan kepolisian di ruang sipil.
    Menurut dia, pada titik tersebut perlu diwaspadai adanya pihak yang ingin mengatur komposisi
    hakim MK
    .
    “Agar kemudian politik jauh lebih dominan dibandingkan menjaga konstitusi itu sendiri. Coba simak, tidak hanya Pak
    Arsul Sani
    , juga ada serangan terhadap Ketua MK yang menurut saya tidak masuk akal dan punya kecenderungan serta kepentingan yang lain,” ujarnya.
    Meski demikian, Feri mengatakan, jika ijazah tersebut terbukti palsu, kredibilitas MK perlu dipertanyakan.
    “Sejauh ini, kinerja Pak Arsul Sani dinilai cukup mumpuni. Tetapi yang dipermasalahkan tentu lembaga yang melakukan seleksinya. Kenapa hal demikian bisa terjadi?” ucap dia.
    Sebelumnya, Hakim MK Arsul Sani membantah tuduhan
    ijazah palsu
    yang dilaporkan ke Bareskrim Polri.
    Arsul menegaskan, gelar doktor yang didapatkannya ini sah dan bukan abal-abal.
    Gelar S3 ini Arsul dapatkan dari Collegium Humanum atau Warsawa Management University, sebuah universitas swasta di Polandia.
    Pengambilan S3 ini dilakukan sekitar tahun 2020.
    Saat itu, Arsul tidak bisa mengikuti perkuliahan di kampus karena sedang terjadi pandemi global Covid-19.
    Sementara, sebagian kredit perkuliahan sudah didapatkan oleh Arsul dari proses pendidikannya yang sebelumnya.
    Arsul mengatakan, sebenarnya, sejak tahun 2011 ia sudah berupaya untuk mengambil dan menyelesaikan pendidikan jenjang doktoral.
    “Saya memulai studi doktoral saya itu pada awal, mulai kuliahnya, tahun 2011, itu saya mengikuti program doktoral yang dinamakan Professional Doctorate Programme di bidang Justice, Policy, and Welfare di Glasgow School for Business and Society Glasgow Caledonian University, Scotland, United Kingdom,” jelas Arsul pada Senin (17/11/2025).
    Saat itu, ia mengambil kuliah di Glasgow Caledonian University (GCU).
    Namun, karena sejumlah kesibukan, pembelajaran di universitas di Skotlandia ini tidak selesai hingga batas maksimalnya di tahun 2017/2018.
    Meski tidak berhasil mendapatkan gelar doktor, Arsul tetap menerima gelar Masters karena telah menyelesaikan sejumlah studi dan mendapatkan kredit yang dibutuhkan.
    Adapun, pada tahun 2020, Arsul melanjutkan studinya secara online dan akhirnya mengikuti wisuda secara offline pada tahun 2023.
    “Baru pada bulan Maret 2023, kira-kira bulan Februarinya, saya diberitahu bahwa akan ada wisuda doktoral di Warsawa sana, di gedung yang jaraknya tidak jauh dari kampus,” lanjut Arsul.
    Arsul pun menunjukkan sejumlah dokumen yang dimaksudnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Feri Amsari Heran dengan Fenomena Purbaya dan KDM: Kerja Viralnya Ditonjolkan, Subtansi Tidak Jelas

    Feri Amsari Heran dengan Fenomena Purbaya dan KDM: Kerja Viralnya Ditonjolkan, Subtansi Tidak Jelas

    FAJAR.CO.ID,JAKARTA — Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari heran dengan fenomena pejabat yang dipuja-puja. Seperti Menteri Keuangan Purbaya Yushi Sadewa dan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.

    “Kenapa figur seperti Pak Pur dan Kang Gub itu masih midah dicintai,” tulis Feri dikutip dari akun Facebooknya, Kamis (20/11/2025).

    Menurut Feri, kedunaya hanya menonjolkan kerjanya yang viral. Sementara yang subtansi tidak.

    “Padahal kerja viralnya yang ditonjolkan, sementara kerja subtansi tidak jelas,” ucapnya.

    “Pak Pur baru juga itungan bulan kok sudah dinilai luar biasa,” tambahnya.

    Dia lalu mengungkit bagaimana Presiden ke-7 Jokowi menjadi presiden karena pencitraannya masuk gorong-gorong. Serta Presiden Prabowo Subianto yang berjoget.

    ”Kalian ngak jera dengan orang-orang kayak J dan P,” ucapnya.

    “Masuk parit dan goyang sudah bisa jadi presiden ya,” tmabahnya.

    Menurut Feri, masyarakat terlalu mudah percaya.

    “Ah kalian ini…buzzer, kang survey ama tim sukses mudah banget dipercaya,” imbuhnya.

    Karenanya, dia mendorong hal demikian dipertanyakan.

    “Ayo kita bangun masyarakat sipil yang mempertanyakan orang-orang politik-politikan ini,” pungkasnya.
    (Arya/Fajar)

  • Adu Panas Feri Amsari vs Loyalis Jokowi, Pemenang Pilpres Bukan Prabowo tapi Jokowi?

    Adu Panas Feri Amsari vs Loyalis Jokowi, Pemenang Pilpres Bukan Prabowo tapi Jokowi?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Debat panas antara pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, dan loyalis Presiden ke-7, Jokowi, Mardiansyah Semar, mendadak mencuri perhatian publik.

    Perdebatan itu bermula ketika Feri menanggapi pernyataan Mardiansyah yang menyebut kemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2024 tak lepas dari peran besar Jokowi.

    “Pernyataan bang Mardi ini menarik loh, beliau baru saja mengatakan bahwa yang menang sesungguhnya itu bukan Prabowo, tapi orang memilih Prabowo karena Jokowi,” ujar Feri Amsari dikutip pada Jumat (7/11/2025).

    Dikatakan Feri, pernyataan tersebut justru meragukan legitimasi kemenangan Prabowo di mata publik.

    “Sebuah statement yang meragukan keterpilihan pak Prabowo di mata publik. Jadi seolah-olah inilah jasa Jokowi, membuat Prabowo tergantung-gantung,” sindir Feri.

    Mendengar itu, Mardiansyah langsung menepis anggapan bahwa dirinya merendahkan kontribusi Prabowo.

    Ia menegaskan bahwa dukungan Jokowi merupakan faktor penting yang membuat pasangan Prabowo-Gibran menang telak.

    “Pak Prabowo sendiri yang menyampaikan bahwa dukungan pak Jokowi yang menyebabkan dia menang. Dan itu di forum Gerindra dia sampaikan,” ujar Mardiansyah.

    Ia menegaskan bahwa dirinya tidak pernah bermaksud menafikan peran Prabowo.

    “Jadi jangan kau geser ke situ, seolah-olah tidak kontribusi Prabowo, saya tidak bilang itu,” Mardiansyah menuturkan.

    “Tapi saya katakan dukungan pak Jokowi itu menyebabkan pak Prabowo menang satu putaran,” tambahnya.

    Namun Feri Amsari kembali menimpali dengan nada tegas. Ia menilai narasi seperti itu justru menunjukkan adanya ketergantungan politik antara pemerintahan Prabowo dan Jokowi.

  • Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran Nasional 20 Oktober 2025

    Daftar Skandal Korupsi Besar yang Terkuak di Era Prabowo-Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Masa kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka genap satu tahun pada Senin (20/10/2025) sejak keduanya dilantik pada 20 Oktober 2024.
    Selama kurun waktu tersebut, terdapat beberapa kasus korupsi besar yang dibongkar dan menjadi sorotan publik.
    Kompas.com
    merangkum kasus korupsi besar yang terjadi di era Pemerintahan Prabowo-Gibran, sebagai berikut:
    Kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina periode 2018-2023 menjadi salah satu perkara yang menjadi sorotan publik.
    Dalam kasus ini, Kejaksaan Agung menetapkan sejumlah tersangka, salah satunya, pengusaha Mohammad Riza Chalid pada Kamis (10/7/2025).
    Kejagung juga telah menetapkan Riza Chalid masuk sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) atau buronan sejak 6 Agustus 2025. Hal ini dilakukan lantaran Riza sudah tiga kali mangkir dari pemanggilan penyidik.
    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan sembilan tersangka yakni Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Sani Dinar Saifuddin (SDS) selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Agus Purwono (AP) selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional, Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations PT Pertamina Patra Niaga.
    Kemudian, Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, Dimas Werhaspati (DW) selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan Gading Ramadhan Joedo (GRJ) selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
    Berkas perkara sembilan tersangka telah dilimpahkan tahap 2 di Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.
    Dalam penyidikan, Kejagung menemukan fakta bahwa adanya pemufakatan jahat (
    mens rea
    ) ada kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga dengan para tersangka dari pihak swasta sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara.
    Kejagung mengatakan, tindakan para tersangka menyebabkan kerugian keuangan negara hingga 285 triliun.
    Selain kasus korupsi tata kelola minyak mentah, ada juga kasus dugaan korupsi pengadaan laptop berbasis Chromebook di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendidbudristek) pada 2019-2022.
    Awalnya, Kejaksaan Agung menetapkan empat tersangka pada Selasa (15/7/2025), di antaranya mantan Stafsus Mendikbudristek era Nadiem Makarim, Jurist Tan (JT); eks Konsultan Teknologi di lingkungan Kemendikbudristek Ibrahim Arief (IBAM); Direktur Jenderal PAUD Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbudristek tahun 2020-2021 Mulyatsyahda (MUL); dan Direktur Sekolah Dasar Kemendikbudristek Sri Wahyuningsih (SW).
    Keempatnya dianggap telah melakukan pemufakatan jahat dengan bersekongkol dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook pada era Nadiem Makarim sebagai Mendikbudristek.
    Dari hasil penyelidikan, Kejagung menaksir kerugian keuangan negara mencapai Rp 1,98 triliun.
    Dua bulan berselang, Kejagung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim sebagai tersangka baru pada Kamis (4/9/2025).
    Nadiem disangkakan dengan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 jo, Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Dalam perjalanannya, Nadiem Makarim mengajukan gugatan praperadilan untuk menguji sah atau tidaknya status tersangka yang dialamatkan oleh Kejagung.
    Namun, Hakim tunggal Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, I Ketut Darpawan menolak gugatan Nadiem sehingga status tersangka menjadi sah menurut hukum.
    Pada awal Maret 2025, publik dihebohkan dengan kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor kepada tiga perusahaan crude palm oil (CPO) yaitu PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musik Mas Group.
    Kasus ini menjerat empat orang yang berprofesi sebagai hakim. Mereka adalah Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, keduanya hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan Djuyamto, seorang hakim dari PN Jaksel.
    Para hakim itu menerima uang dari pengacara yang mewakili perusahaan yaitu Ariyanto dan Marcella Santoso.
    Dari suap yang diterima, Djuyamto, Ali, dan Agam memutus vonis lepas untuk tiga korporasi, yaitu Permata Hijau Group, Wilmar Group, dan Musim Mas Group.
    Sementara, Arif Nuryanta dan Wahyu Gunawan terlibat dalam proses negosiasi dengan pengacara dan proses untuk mempengaruhi majelis hakim agar memutus perkara sesuai permintaan.
    Saat ini, hakim yang terlibat kasus korupsi tersebut sedang menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.
    Pada awal Agustus 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan kasus dugaan korupsi kuota haji 2024 yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas naik ke tahap penyidikan.
    “Terkait dengan perkara haji, KPK telah menaikkan status penyelidikan terkait penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023 sampai dengan 2024 ke tahap penyidikan,” kata Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi, Asep Guntur Rahayu, di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    KPK menaksir kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi ini mencapai Rp 1 triliun.
    Dalam kasus ini, KPK telah memeriksa sejumlah saksi baik dari pihak Kementerian Agama, asosiasi penyelenggara haji hingga travel perjalanan.
    KPK pun sudah mencegah 3 orang berpergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
    Meski demikian, hingga saat ini, KPK belum menetapkan tersangka dalam kasus kuota haji tersebut.
    Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap eks Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer atau Noel dalam rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (20/8/2025).
    Immanuel Ebenezer dan 10 orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerasan pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Kementerian Ketenagakerjaan.
    “KPK kemudian menaikkan perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan 11 orang sebagai tersangka, yakni IBM, kemudian GAH, SB, AK, IEG (Immanuel Ebenezer Gerungan), FRZ, HS, SKP, SUP, TEM, dan MM” kata Ketua KPK Setyo Budiyanto dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Jumat (22/8/2025).
    Dalam perkara ini, KPK menemukan bahwa Noel menerima aliran uang sebesar Rp 3 miliar pada 24 Desember 2024.
    Selain itu, KPK juga menyita 32 kendaraan yang terdiri dari 25 mobil dan 7 motor terkait kasus pemerasan tersebut.
    Akibat perbuatannya, Noel dan 10 tersangka lainnya dipersangkakan Pasal 12 huruf (e) dan/atau Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Pada September 2025, KPK juga menetapkan dua legislator Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka kasus dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Meski demikian, KPK belum melakukan penahanan terhadap dua tersangka lantaran masih membutuhkan keterangan dari tersangka.
    KPK menduga, yayasan yang dikelola Heri Gunawan dan Satori telah menerima uang dari mitra kerja Komisi XI DPR RI, yaitu Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
    Namun, keduanya diduga tidak melaksanakan kegiatan sosial sebagaimana dipersyaratkan dalam proposal permohonan bantuan dana sosial tersebut.
    Atas perbuatannya, Heri Gunawan dan Satori disangkakan melanggar Pasal 12 B Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
    Tak hanya itu, keduanya juga dikenakan pasal sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
    Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil menilai, Presiden Prabowo menunjukkan ketegasannya dalam pemberantasan korupsi khususnya di sektor sumber daya alam yang menyeret nama-nama besar.
    “Prabowo juga telah menampakkan ketegasannya dalam hal korupsi di sektor sumber daya alam yang melibatkan orang-orang besar dan oligarki hitam di negeri ini,” kata Nasir saat dihubungi, Jumat (17/10/2025).

    Nasir mengatakan, Prabowo juga memberikan arahan dan perintah langsung ke Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kawasan kebun sawit dan tambang di kawasan hutan yang notabene ilegal.
    “Ada ratusan triliun kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat sumber daya alam kita dikelola secara ilegal,” ujarnya.
    Nasir juga mengatakan, selama satu tahun terakhir, banyak kasus besar yang ditangani KPK dan Kejaksaan Agung termasuk mereka yang tidak tersentuh di era pemerintahan Jokowi.
    “Orang-orang besar yang tidak tersentuh di masa Jokowi, justru kini dipersoalkan dan sepertinya Prabowo tidak menghalangi penegakan hukum jika mereka diduga terlibat dalam tindak pidana,” tuturnya.
    Meski demikian, Nasir mengatakan, saat ini, Presiden Prabowo perlu mengevaluasi regulasi dan aparat penegak hukum terkait dengan extraordinary crime.
    Sebab, kata dia, kerusakan yang ditimbulkan sangat besar.
    “Upaya pemulihan keuangan negara sulit untuk didapat dalam jumlah yang besar kalau regulasi dan aktor penegak hukumnya tidak direformasi,” ucap dia.
    Sementara itu, Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai, kasus korupsi yang ditangani dalam satu tahun terakhir lebih banyak menjaring lawan politik dari pada melakukan pemberantasan praktik rasuah tersebut.
    “Beberapa kasus korupsi yang ditangani kan lebih banyak sebagai upaya menjatuhkan lawan politik dibandingkan upaya sungguh-sungguh untuk melakukan pemerantasan korupsi,” kata Feri saat dihubungi, Jumat malam.
    Feri menyoroti, Kejaksaan Agung yang memamerkan uang hasil penindakan kasus korupsi. Namun, ia mengatakan masih dibutuhkan perbaikan anti orupsi agar Kejaksaan Agung dan KPK menjadi imbang.
    “Kalau KPK-nya dilarang lebih diminta untuk pencegahan, tetapi kalau institusi seperti Kejaksaan punya kecenderungan ya tidak melakukan pencegahan tapi penindakan. Anehnya itu tidak dilarang karena tidak bersentuhan dengan figur-figur kakap yang mestinya dipermasalahkan dalam praktik bernegara yang sangat koruptif,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 2
                    
                        Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
                        Nasional

    2 Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi Nasional

    Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com —
    Indonesia pernah mempunyai sebuah aturan yang kontroversial mengenai syarat untuk menjadi seorang presiden, yakni harus merupakan orang Indonesia asli.
    Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
    Namun, aturan ini berubah di era Reformasi ketika Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan amendemen.
    Aturan tersebut pun resmi dihapus dan diubah lewat amendemen kedua UUD 1945 yang diketok pada tahun 2000.
    Setelah diamandemen, Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
    Perubahan narasi dalam amendemen kedua UUD 1945 dinilai sudah relevan dengan masa kini.
    Menurut dosen hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, kata “asli” dalam versi awal sebelum amendemen saat itu disusun berdasarkan refleksi konteks sejarah di awal kemerdekaan.
    Saat itu, bangsa Indonesia baru merdeka sehingga masih ada kekhawatiran tentang kemungkinan campur tangan pihak asing atau bekas penjajah.
    “Jadi istilah orang Indonesia asli dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap kedaulatan politik bangsa yang masih sangat rentan dan belum stabil,” kata Titi saat dihubungi, Senin (9/10/2025).
    Seiring berjalannya waktu, frasa itu dihapus lewat amendemen UUD 1945 karena dianggap sudah tidak relevan.
    Menurut Titi, amendemen UUD 1945 itu menegaskan, semua warga negara Indonesia (WNI) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada diskriminasi atas dasar keturunan, ras, atau asal-usul.
    Oleh karenanya, syarat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945 versi amendemen yang menyebut “warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain” dianggap sudah memadai dan relevan dengan masa ini.
    “(Versi lama) tidak relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak kewarganegaraan yang lebih egaliter,” kata Titi.
    Jika istilah orang Indonesia asli tetap dipertahankan, hal ini dinilai akan membuka ruang diskriminasi terhadap warga negara yang sah namun memiliki latar belakang keturunan tertentu seperti WNI keturunan Tionghoa, Arab, atau lainnya.
    Hal itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi setelah reformasi.
    “Perubahan tersebut penting dan krusial karena memperkuat prinsip civic nationalism, bahwa keindonesiaan ditentukan oleh ikatan kewarganegaraan, bukan asal-usul darah atau etnis,” terangnya.
    Bagi Titi, penghapusan kata “asli” tersebut justru mempertegas bahwa syarat menjadi presiden di Indonesia tidak boleh didasarkan pada ras atau etnis, melainkan pada status kewarganegaraan dan loyalitas kepada negara.
    “Dalam konteks masa kini, menghidupkan kembali narasi “presiden harus WNI asli” tidak hanya ahistoris, tetapi juga berpotensi menghidupkan politik identitas yang sempit dan diskriminatif,” ujar dia.
    Senada dengan Titi, pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari juga menilai penghilangan kata “asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sudah ideal.
    Jika kata “orang Indonesia asli” masih ada dalam beleid tersebut, tentu dapat menimbulkan beragam masalah.
    Sebab, perlu dijelaskan lebih lanjut definisi dan kriteria dari “orang Indonesia asli” yang dimaksud.
    Lebih jauh, kata “asli” juga berpotensi jadi masalah ketika membahas konteks Indonesia di masa depan yang mana banyak WNI melakukan kawin campuran antar negara.
    Lewat penghapusan kata “asli” dalam amendemen UUD 1945, diharapkan putra-putri Indonesia yang berasal dari pernikahan campuran tidak tertolak menjadi seorang presiden di masa depan.
    “Sepanjang mereka adalah warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah meminta status kewarganegaraan lain, sebenarnya itu sudah memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan dari seorang calon presiden,” kata Feri.
    Meski sudah lama diubah, narasi soal “orang Indonesia asli” sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden juga sempat menjadi kontroversi.
    Pada 2016, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin kembali memasukkan kata “orang Indonesia asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen.
    PPP saat itu ingin butir pasal tersebut menjadi: “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.”
    Usulan tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi resmi dalam Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada masa itu, tetapi disambut oleh pro dan kontra.
    Wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla, menilai belum tentu seluruh partai akan menyetujui usulan PPP terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus Indonesia asli.
     
    “Namanya dalam demokrasi tentu boleh mengusulkan sesuai keyakinannya. Itu bukan mengamandemen sebenarnya, (tapi) kembali ke asal bunyi UUD 1945 yang asli itu begitu,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, 7 Oktober 2016.
    “Tetapi ini kan tentu tidak satu partai ini tidak, belum tentu yang lainnya juga setuju. Kita bicara dalam konteks demokrasi saja,” lanjut JK.
    Sejumlah politisi juga ada yang menilai bahwa usulan tersebut cenderung diskriminatif, bahkan perlu dikaji mendalam oleh semua fraksi yang ada di DPR RI.
    Misalnya, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno menganggap semangat UUD 1945 harus melindungi, jangan sampai justru mendiskriminasi.
     
    “Kalau ada usulan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli yang maknanya pribumi itu malah tidak sesuai spirit UUD yang justru melindungi bukan mendiskriminasi. Itu tidak relevan namanya,” ujar Hendrawan pada Oktober 2016.
    Merespons isu yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian orang Indonesia asli.
    Dalam aturan soal kewarganegaraan, tak disebutkan bila orang Indonesia asli berarti pribumi.
     
    “Kalau Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus pribumi, itu kemunduran. Kita sudah selesai dengan hal semacam itu di era reformasi, ini kok malah balik lagi ke masa lalu,” kata Daniel saat dihubungi, 4 Oktober 2016.
    Menurut Daniel, akan sulit untuk mengartikan orang Indonesia asli karena nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina.
    “Kalau definisinya seperti itu berarti enggak ada yang orang Indonesia yang asli dong karena nenek moyangnya saja bukan dari dataran Indonesia, tapi dari Indocina,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

    Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?

    Bisnis.com, JAKARTA — Polemik status “nonaktif” yang disematkan sejumlah partai politik kepada kadernya di DPR mendapat sorotan dari publik.

    Khususnya, agar setiap nahkoda partai segera melakukan pergantian antarwaktu (PAW) terhadap anggota yang dianggap bermasalah.

    Sayangnya, pimpinan partai tampak enggan mengambil langkah tegas. Beberapa partai sebelumnya telah menyatakan menonaktifkan kader mereka di DPR. Meski begitu, keputusan tersebut menuai kritik lantaran dianggap hanya bersifat simbolis tanpa dasar hukum yang jelas.

    Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, saat dimintai tanggapan mengenai desakan PAW, tidak memberikan jawaban tegas. Ia hanya mengulangi sikap partai soal status Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir.

    “Kemarin dari DPP Golkar seperti yang sudah disampaikan sekjen, bahwa Pak Adies Kadir sudah dinonaktifkan,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025).

    Ketika ditanya lebih lanjut mengenai hak-hak anggota DPR yang berstatus nonaktif, termasuk soal gaji, Bahlil kembali menghindar.

    “Iya nanti kita lihat,” kata Bahlil singkat.

    Hal serupa terlihat dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Saat dicecar pertanyaan terkait kemungkinan PAW terhadap Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, Zulhas memilih diam dan langsung menuju mobilnya.

    Sikap yang tidak lugas dari para pimpinan partai tersebut semakin memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan “nonaktif” hanyalah langkah sementara untuk meredam kritik, bukan upaya serius dalam menegakkan akuntabilitas politik.

    Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, menilai istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum dan lebih merupakan keputusan politik semata.

    “Nonaktif ini bukan istilah hukum, ini adalah keputusan politik. Kalau dalam hukum itu adanya pergantian antar waktu, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap,” ujar Denny saat dihubungi Bisnis, Senin (1/9/2025).

    Dia menjelaskan, pemberhentian sementara hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti ketika anggota dewan menjadi tersangka atau terdakwa. Sementara itu, status nonaktif tidak pernah diatur dalam undang-undang.

    “Jadi nonaktif ini istilah yang tidak muncul dalam undang-undang, sehingga lebih bersifat politis dari langkah yang diambil partai untuk meredakan ketegangan dengan publik. Tapi konsekuensi hukumnya tidak jelas,” tegasnya.

    Denny menilai, perdebatan soal nonaktif seharusnya menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendasar.

    “Yang harus ditargetkan bukan hanya anggota dewan yang dijatuhi sanksi, tetapi lebih jauh adalah reformasi DPR dan reformasi partai politik. Karena anggota dewan yang relatif bermasalah hadir lewat proses rekrutmen dan pemilu yang juga bermasalah,” ujarnya.

    Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.

    “Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3, sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” jelas Feri.

  • Pakar Hukum: Status Nonaktif Sahroni, Nafa, Eko, dan Uya Kuya Bersifat Politis, Tanpa Dasar Hukum

    Pakar Hukum: Status Nonaktif Sahroni, Nafa, Eko, dan Uya Kuya Bersifat Politis, Tanpa Dasar Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA – Penonaktifan anggota DPR Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya dilakukan tanpa dasar hukum atau keputusan politik semata. 

    Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, menilai istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum dan lebih merupakan keputusan politik semata. Polemik status nonaktif yang disematkan sejumlah partai politik kepada kadernya di DPR mendapat sorotan dari pakar hukum tata negara.

    “Nonaktif ini bukan istilah hukum, ini adalah keputusan politik. Kalau dalam hukum itu adanya pergantian antar waktu, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap,” ujar Denny saat dihubungi Bisnis, Senin (1/9/2025).

    Dia menjelaskan, pemberhentian sementara hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti ketika anggota dewan menjadi tersangka atau terdakwa. Sementara itu, status nonaktif tidak pernah diatur dalam undang-undang.

    “Jadi nonaktif ini istilah yang tidak muncul dalam undang-undang, sehingga lebih bersifat politis dari langkah yang diambil partai untuk meredakan ketegangan dengan publik. Tapi konsekuensi hukumnya tidak jelas,” tegasnya.

    Denny menilai, perdebatan soal nonaktif seharusnya menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendasar.

    “Yang harus ditargetkan bukan hanya anggota dewan yang dijatuhi sanksi, tetapi lebih jauh adalah reformasi DPR dan reformasi partai politik. Karena anggota dewan yang relatif bermasalah hadir lewat proses rekrutmen dan pemilu yang juga bermasalah,” ujarnya.

    Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.

    “Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3, sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” jelas Feri.

  • Banggar Benarkan Sahroni-Uya Kuya Cs Masih Dapat Gaji Walau Sudah NonAktif dari DPR

    Banggar Benarkan Sahroni-Uya Kuya Cs Masih Dapat Gaji Walau Sudah NonAktif dari DPR

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Said Abdullah menegaskan anggota DPR yang berstatus nonaktif, seperti Ahmad Sahroni (Nasdem), Eko Patrio (PAN), Nafa Urbach (Nasdem), dan Uya Kuya (PAN), tetap menerima gaji dan tunjangan.

    Hal itu disampaikannya menanggapi polemik sejumlah partai politik yang menonaktifkan kader mereka di parlemen.  Menurut Said, baik tata tertib DPR maupun Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) tidak mengenal istilah nonaktif.

    “Namun saya menghormati keputusan yang diambil oleh NasDem, PAN, dan Golkar. Seharusnya pertanyaan itu dikembalikan kepada ketiga partai tersebut, supaya moralitas saya tidak melangkahi itu. Dan memang tidak boleh lah ya,” kata Said, Senin (1/9/2025). 

    Meski begitu, politisi PDIP tersebut mengakui secara teknis anggaran untuk gaji anggota DPR tetap berjalan.

    “Kalau dari sisi aspek itu ya terima gaji. Iya lah, karena sebagaimana saya sampaikan tadi,” ujarnya. 

    Said menjelaskan keputusan terkait anggaran sudah tidak lagi berada di Badan Anggaran (Banggar).

    “Kan tidak di Banggar lagi posisinya, Banggar sudah memutuskan. Sekarang kalau begitu diputuskan, kan di bagian pelaksana. Pelaksananya bukan Banggar, itu sudah di KL masing-masing,” jelasnya. 

    Setali tiga uang, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari, membenarkan penjelasan tersebut. Menurutnya, status nonaktif tidak berdampak pada hak keuangan anggota DPR karena istilah itu tidak diatur dalam UU MD3.

    Dengan demikian, meskipun secara politik kader tertentu dinonaktifkan partainya, secara hukum dan administrasi mereka tetap berstatus anggota DPR dengan hak penuh, termasuk gaji dan tunjangan. 

    “Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3 sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” kata Feri saat dihubungi Bisnis.

  • Gaji Tinggi Pejabat Harus Diimbangi Hukuman Berat Bila Melanggar

    Gaji Tinggi Pejabat Harus Diimbangi Hukuman Berat Bila Melanggar

    GELORA.CO -Pengamat hukum tata negara, Feri Amsari, menilai gaji pejabat negara seharusnya memang besar. Namun di balik itu ada tanggung jawab besar pula yang harus dipikul untuk menyejahterakan rakyat.

    “Saya merasa seluruh penyelenggara negara dan pejabat negara atau orang yang mengabdi dengan negara digaji luar biasa besar. Harusnya digaji besar,” ujar Feri, lewat kanal YouTube Guru Gembul, seperti dikutip redaksi di Jakarta, Selasa, 26 Agustus 2025.

    Menurutnya, besarnya gaji pejabat adalah bentuk upaya mencegah penyalahgunaan kekuasaan. 

    “Suka tidak suka DPR kita itu akan punya godaan besar. Jadi syaratnya agar dia tidak menyimpang kekuasaannya dia digaji besar. Presiden juga digaji besar,” jelasnya.

    Kendati begitu, Feri menegaskan, besarnya gaji tidak serta merta menjamin pejabat terbebas dari penyimpangan.  Maka Ia menekankan, pejabat yang melakukan tindak pidana harus dihukum lebih berat dibanding rakyat biasa

    “Jadi kalau ada seorang yang melakukan tindak pidana tertentu kalau rakyat biasa sekian dan kalau pejabat maka harus lebih tinggi hukumannya dari itu. Itu ada di undang-undang dan berlaku, tapi standar diperberatnya kadang-kadang peradilan tidak fair,” ungkap Feri.

    Feri juga menyinggung persoalan kesejahteraan hakim, jaksa, polisi, hingga militer yang dinilainya masih jauh dari layak. Dia menegaskan, negara seharusnya memastikan aparat penegak hukum hingga militer digaji dengan pantas.

    “Harusnya kita memastikan pejabat kita, lembaga kekuasaan kehakiman kita, jaksa kita, polisi kita, digaji sangat layak. Berapa gaji militer kita untuk melindungi kita dari serangan di luar? Kecil sekali,” pungkas Feri. 

  • Prabowo Beri Amnesti dan Abolisi, Pakar Hukum: Ada Nuansa Peradilan Politik

    Prabowo Beri Amnesti dan Abolisi, Pakar Hukum: Ada Nuansa Peradilan Politik

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Keputusan Presiden Prabowo Subianto yang memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong kembali menuai sorotan. Pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai langkah itu bukan sekadar keputusan hukum biasa, melainkan sarat dengan muatan politik.

    “Menurut saya memang ada nuansa peradilan politik dalam kedua kasus itu. Dan dibenarkan dengan pemberian amnesti dan abolisi,” ujar Feri dikutip YouTube Forum Keadilan TV, Selasa, (5/8/2025).

    Ia menyebut bahwa kedua kasus tersebut tak bisa dilepaskan dari sosok Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Menurutnya, keterlibatan Jokowi terlihat jelas, baik dalam kasus yang menjerat Hasto maupun Tom Lembong.

    “Ada seseorang yang kemudian kurang lebih disebut sebagai Presiden RI ke-7 Joko Widodo di balik kasus Tom dan Hasto. Kemudian saya merasa patut saja kalau kemudian dibangun logikanya,” kata Feri.

    Lebih jauh, ia mengungkap bahwa nama Hasto sudah lama muncul dalam radar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun baru ditahan setelah Jokowi tak lagi menjabat dan secara politik tidak lagi berada di lingkaran PDIP.

    Sementara untuk kasus Thomas Lembong, ia melihat ada keterkaitan dengan sikap politik yang berbeda terhadap pemerintahan sebelumnya. Tom Lembong diketahui merupakan pendukung Anies Baswedan saat Pilpres 2024.

    “Bagi saya kurang apa lagi untuk menjelaskan ini ada korelasi? Orang yang dulu mendukung dan kemudian terdampak,” ujarnya.

    Menariknya, keputusan pemberian amnesti dan abolisi muncul tak lama setelah putusan pengadilan kepada keduanya. Waktu yang dinilai sangat cepat dan tak biasa.