Tag: Febrie Adriansyah

  • TPPU Duta Palma, Kejagung Ungkap Anak Surya Darmadi Ada di Singapura

    TPPU Duta Palma, Kejagung Ungkap Anak Surya Darmadi Ada di Singapura

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan anak terpidana Surya Darmadi, sekaligus tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Duta Palma Group, Cheryl Darmadi ternyata berada di Singapura.

    Jampidsus Kejagung RI, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa pihaknya telah mendeteksi keberada Cheryl di Singapura sudah cukup lama. Namun, dia tidak merincikan secara detail terkait kepentingan dan kapan Chery tiba di Negeri Singa itu.

    “Wah sudah cukup lama itu. Posisi dia [anak Surya Darmadi] ada di Singapura terus,” ujarnya di Kejagung, Rabu (8/1/2025).

    Febrie menambahkan bahwa saat ini pihaknya juga tengah melakukan pendataan untuk aset-aset yang diduga terkait dengan kasus TPPU Duta Palma Group.

    Pendataan itu, dilakukan untuk memisahkan antara dana yang diduga dengan TPPU dan uang terkait dengan lahan ilegal.

    “Kita akan lihat ini semua asetnya yang sedang disita oleh Jaksa, sedang diteliti, yang mana termasuk aset yang akan di TPPU dan yang mana masuk uang dari lahan ilegal. Nah ini masuk ke kebun-kebun yang lain yang dikuasai oleh anaknya. Nah sebatas itu,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Kejagung telah menetapkan Chery Darmadi selaku Dirut PT Asset Pacific dan ketua yayasan Darmex dalam kasus dugaan TPPU pada Kamis (2/1/2025).

    Secara total, korps Adhyaksa telah menyita total Rp6,5 triliun dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dalam kegiatan usaha di Indragiri Hulu, Riau.

    Modusnya, uang hasil tindak pidana itu diduga dialirkan atau disamarkan ke holding perkebunan Duta Palma Group, yakni PT Darmex Plantations dan PT Asset Pacific holding yang bergerak di bidang properti.

  • Kasus Ekspor Minyak Sawit Mentah, Kejagung Sebut Cheryl Darmadi Berada di Luar Negeri

    Kasus Ekspor Minyak Sawit Mentah, Kejagung Sebut Cheryl Darmadi Berada di Luar Negeri

    Jakarta, Beritasatu.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap anak Surya Darmadi, Cheryl Darmadi tengah berada di luar negeri. Cheryl telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya pada periode 2021-2022.

    “Posisi di luar (negeri),” ujar Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung Febrie Adriansyah kepada wartawan Selasa (8/1/2025).

    Febrie tak membeberkan secara detail lokasi teranyar Cheryl Darmadi. Namun, Cheryl diduga masih berada di Singapura.

    Dia menjelaskan, kendati Cheryl Darmadi berada di luar negeri tetapi menyita sejumlah aset guna melengkapi berkas kasus tersebut.

    Saat ini, kata dia, pihaknya tengah melakukan pendataan aset Cheryl Darmadi, termasuk aset tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    “Yang mana termasuk aset yang akan di-TPPU. Yang mana masuk uang dari lahan ilegal,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan anak terpidana Surya Darmadi, Cheryl Darmadi, sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya pada periode 2021-2022.
     

  • Ada Pejabat KLHK Terlibat Dugaan Korupsi Sawit, Berpotensi Jadi Tersangka

    Ada Pejabat KLHK Terlibat Dugaan Korupsi Sawit, Berpotensi Jadi Tersangka

    loading…

    Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut adanya pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terjerat dugaan kasus korupsi tata kelola sawit periode 2005-2024. Foto/SindoNews

    JAKARTA – Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut adanya pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang terjerat dugaan kasus korupsi tata kelola sawit periode 2005-2024. Saat ini, Kejagung tengah mendalaminya lebih lanjut.

    “KLHK masih dalam pengembangan, tapi ada beberapa hal perbuatan-perbuatan melawan hukum kita sudah inventarisir. Sedang pendalaman, tentunya dalam waktu mungkin sebulan lagi kita akan apa yang disampaikan,” ujarnya, Rabu (8/1/2025).

    Menurut Burhanuddin, saat ini Kejagung tengah melakukan inventarisasi berkaitan perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam kasus dugaan korupsi tata kelola sawit periode 2005-2024. Burhanuddin menyebut adanya pejabat eselon I dan II yang berpotensi menjadi tersangka dalam kasus tersebut. “Yang pasti ada. Nanti dahulu jangan tergesa-gesa,” tuturnya.

    Namun, Burhanuddin belum mau membeberkan siapa saja pejabat KLHK yang berpotensi menjadi tersangka itu lantaran melakukan perbuatan melanggar hukum. Burhanuddin juga enggan berkomentar tentang ada tidaknya keterlibatan mantan Menteri KLHK dalam kasus tersebut.

    Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah menerangkan, kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan. Maka itu, penetapan tersangkanya pun haruslah dilakukan secara berhati-hati lantaran menyangkut banyak perusahaan.

    “Pak Jaksa Agung berhati-hati untuk mengemukakan siapa tersangkanya karena kebijakan ini tidak bisa diambil dengan hanya beberapa kasus. Nah khawatir kita maju di kasus ini ternyata ada efeknya ke ratusan perusahaan yang berusaha di Kebun Sawit,” katanya.

    Febrie menambahkan, pihaknya bakal memutuskan dari sekian banyak perusahaan, mana saja yang masuk dalam tindak pidana dana mana yang masuk dalam tindakan administrasi pemerintah.
    Ari Sandita – Sindonews

    (cip)

  • Soroti Angka Rp300 T di Kasus Timah, Ahli Hukum Singgung Benturan Lembaga Penghitung Kerugian Negara – Halaman all

    Soroti Angka Rp300 T di Kasus Timah, Ahli Hukum Singgung Benturan Lembaga Penghitung Kerugian Negara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pakar hukum pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa, menyoroti penghitungan kerugian negara dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang mencapai angka Rp300 triliun.

    Penghitungan itu didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014.  

    Menurut Ufran, sampai saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara.

    “Kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi,” kata Ufran kepada wartawan, Minggu (5/1/2025). 

    Terlebih, penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi meskipun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).  

    “Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional,” katanya.  

    Ia menyebut dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga tersebut memunculkan ketidakpastian hukum. 

    Kondisi ini diperparah dengan sikap penegak hukum memilih menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun.

    Perihal nilai kerugian negara dalam kasus timah, Ufran mengatakan klaim tersebut cenderung tendensius dan diragukan kebenarannya.

    Apalagi hingga para terdakwa, yakni Harvey Moeis c.s., divonis oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, tak ada bukti yang membenarkan kerugian negara akibat kerusakan lingkungan itu.

    “Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu,” ujar.

    Oleh karena pembuktian kerugian negara tak terpenuhi dari sejumlah terdakwa yang sudah divonis, Kejaksaan Agung (Kejagung) kini menyasar 5 korporasi yang saat ini jadi tersangka baru kasus timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah periode 2015-2022, yakni PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB dan CV VIP.

    Kejagung memutuskan membebankan kerugian kerusakan lingkungan hidup kepada 5 korporasi tersebut, sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing-masing perusahaan.

    Pembebanan terhadap masing-masing korporasi yakni PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23,6 triliun, PT SIP Rp24,1 triliun, PT TIN Rp23,6 triliun, dan CV VIP Rp42 triliun.

    “Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup akan dibebankan kepada perusahaan sesuai kerusakan yang ditimbulkan masing – masing perusahaan tersebut,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Febrie Adriansyah dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

  • Selain Harvey Moeis, Siapa Lagi yang Harus Bayar Kerusakan Lingkungan Rp271 Triliun di Kasus Timah?

    Selain Harvey Moeis, Siapa Lagi yang Harus Bayar Kerusakan Lingkungan Rp271 Triliun di Kasus Timah?

    GELORA.CO  – Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya yang dibacakan di persidangan telah menuntut terdakwa Harvey Moeis dengan pidana 12 tahun penjara akibat keterlibatannya dalam kasus korupsi tata niaga komoditas timah yang merugikan keuangan negara Rp 300.003.263.938.131,14 (Rp300 triliun).

    Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.

    Kerugian negara yang dimaksud jaksa, di antaranya meliputi kerugian atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. 

    Selain itu, jaksa juga mengungkapkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan mencapai Rp271 triliun berdasarkan hasil hitungan ahli lingkungan hidup.

    Selain itu, JPU, juga menuntut Harvey membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

    Namun demikian, majelis hakim di pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis pidana penjara kepada Harvey dengan pidana 6,5 tahun penjara.

    Selain itu, Harvey juga divonis pidana denda sebesar Rp 1 miliar dimana apabila tidak mampu membayar maka diganti dengan kurungan selama 6 bulan.

    Harvey juga dikenakan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 210 miliar.

    Vonis itu pun memicu kontroversi di publik.

    Sejumlah tokoh bahkan mempertanyakan vonis yang dinilai terlalu ringan jika dibandingkan dengan kerugian negara yang ditimbulkan.

    Bahkan ada juga yang mempertanyakan mengapa jaksa hanya menuntut Harvey mengganti rugi sebesar Rp210 miliar mengingat kerugian negara yang dihasilkan akibat perubatannya dan sejumlah pihak lainnya mencapai sekira Rp300 triliun.

    Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan tersebut?

    Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khsusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah pun mengakui ada kesimpangsiuran terkait pembebanan uang pengganti kerugian negara Rp300 triliun itu.

    Ia menjelaskan ada tiga klaster perbuatan yang mengakibatkan kerugian.

    Pertama, kata dia, mengenai adanya kerja sama sewa alat atau smelter pihak swasta dengan PT Timah. 

    Kedua, lanjutnya, adanya perbuatan tentang transaksi timah dari PT Timah yang dilakukan penjualan oleh pihak swasta. 

    Ketiga, adalah terkait kerugia lingkungan akibat kerusakan ekosistem.

    Terkait kerusakan ekosistem, ungkapnya, hakim sependapat bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup ini adalah kerugian negara dalam kualifikasi tindak pidana korupsi.

    Namun, hal yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang menanggung kerugian kerusakan lingkungan hidup tersebut.

    Oleh karena itu, ujarnya, berdasarkan alat bukti, penyidik memastikan peran dan berapa uang yang diterima masing-masing tersangka. 

    Ia mengatakan, hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi jaksa penuntut umum untuk melakukan pembebanan uang pengganti.

    Hal itu disampaikannya saat konferensi pers usai rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga terkait Desk Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi dan Perbaikan Tata Kelola di Kantor Kejaksaan Agung RI di Jakarta pada Kamis (2/1/2025).

    “Oleh karena itu, hasil ekspose, Jaksa Agung memutuskan bahwa kerugian kerusakan lingkungan hidup ini akan kita bebankan kepada perusahaan-perusahaan seusai dengan kerusakan yang ditimbulkan oleh masing-masing perusahaan tersebut. Dan itu juga sudah ada dalam putusan pengadilan,” kata Febrie.

    Korporasi atau perusahaan tersebut adalah PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Binasentosa (SB), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Internusa (TIN), dan PT Venus Inti Perkasa (VIP).

    Kejaksaan pun telah menetapkan kelima perusahaan tersebut menjadi tersangka korporasi dalam kasus itu.

    Ia pun merinci pembebanan kerusakan lingkungan kepada kelima perusahaan itu berdasarkan alat bukti maupun keterangan ahli yang dilalukan pembuktian di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dan disetujui dalam putusan hakim.

    Berikut ini rinciannya:

    1.  PT RBT sebesar Rp38,5 triliun.

    2.  PT SB Rp23,6 triliun

    3.  PT SIP Rp24,3 triliun.

    4.  PT TIN Rp23,6 triliun.

    5.  PT VIP Rp42,1 triliun.

    “Ini jumlahnya sekitar Rp152 triliun. Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan oleh hakim dan itu menjadi kerugian negara, ini sedang dihitung oleh BPKP,” ujar Febrie.

    “Siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti dan tentunya akan segera kita sampaikan ke publik,” pungkasnya.

    Untuk Perbaiki Lingkungan 

    Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam kesempatan yang sama menjelaskan titik kerugian yang paling besar dalam kasus tersebut adalah kerusakan lingkungan.

    Ia pun bersyukur kerusakan lingkungan itu dapat dibuktikan oleh jaksa di dalam persidangan mengingat biasanya sangat sulit untuk membuktikan hal tersebut.

    “Kita bersyukur bahwa kerusakan lingkungan yang selama ini tidak tertanggulangi, Insyaallah dana ini apabila nanti bisa kita ambil dan kita bisa gunakan untuk perbaikan-perbaikan lingkungan,” kata  Burhanuddin.

    “Kalau teman-teman, misalnya untuk Timah datanglah ke Bangka lihat dari pesawat di bawah itu begitu rusak lingkungan itu. Itulah insyaallah dengan Dana dana yang ada apabila nanti dapat bisa dikembalikan kepada pemerintah untuk perbaikan lingkungan akibat dari pertambangan-pertambangan ini,” sambung dia.

    Rincian Kerugian Lingkungan

    Kejaksaan menggandeng Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo untuk menghitung kerugian kerusakan lingkungan akibat pada kasus korupsi tata niaga komoditas timah wilayah IUP PT Timah Tbk tahun 2015 hingga 2022.

    Untuk menghitung hal tersebut sejumlah instrumen dan metode digunakan, di antaranya melalui citra satelit maupun verifikasi ke lapangan.

    Berdasarkan hal itu, ditemukan total luas galian terkait kasus PT Timah Tbk di Bangka Belitung adalah 170.363.064 hektar.

    Namun, luas galian yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) hanya 88.900,462 hektar.

    Sedangkan luas galian yang tidak mempunyai izin mencapai 81.462,602 hektar. 

    Penghitungan kemudian dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.

    Perhitungan dilakukan dengan membagi kerugian lingkungan di kawasan hutan dan luar kawasan hutan.

    Hasilnya, kerugian kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 271.069.688.018.700 (Rp 271,06 triliun). 

    Jumlah tersebut terdiri dari biaya kerugian lingkungan (ekologi) Rp 157,83 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,27 miliar, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 5,26 triliun.

    Sehingga subtotalnya Rp 223,36 triliun. 

    Sedangkan kerugian lingkungan hidup akibat tambang timah di luar kawasan hutan (APL) yakni biaya kerugian lingkungan Rp 25,87 triliun, biaya kerugian ekonomi lingkungan Rp 15,2 triliun, dan biaya pemulihan lingkungan Rp 6,62 triliun.

    Sehingga subtotalnya Rp 47,70 triliun.

    Baca juga: Komentari Harvey Moeis Korupsi Rp 300 T Cuma Divonis 6,5 Tahun, Mahfud MD: Duh Gusti, Bagaimana Ini?

    Bila semua digabung kawasan hutan dan luar kawasan hutan, maka total kerugian akibat kerusakan lingkungan itu mencapai Rp 271,06 triliun

  • 5 Perusahaan Jadi Tersangka Korporasi Korupsi Timah, Rugikan Negara Rp152 Triliun

    5 Perusahaan Jadi Tersangka Korporasi Korupsi Timah, Rugikan Negara Rp152 Triliun

    loading…

    Jaksa Agung ST Burhanuddin menjelaskan penetapan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi kasus dugaan korupsi pengolahan tata niaga komoditas timah. Foto/Ari Sandita

    JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah.

    “Kita menetapkan 5 korporasi perusahaan timah, perkaranya hari ini kami umumkan dalam tahap penyidikan,” ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam paparan Capaian Kinerja Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi & Perbaikan Tata Kelola dan Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2024).

    Menurutnya, kelima korporasi itu meliputi PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

    Adapun PT RBT membuat kerugian negara sekitar Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekira Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun. Jika ditotal kerugian negara mencapai Rp152 triliun.

    Dia menerangkan, perkara timah tersebut memang kerugiannya signifikan, hanya saja kerugian paling besarnya adalah kerusakan lingkungan.

    Pihaknya pun bersyukur kerusakan lingkungan tersebut dapat dibuktikan oleh Jaksa dalam persidangan.

    “Biasanya sangat sulit untuk mmebuktikan itu. Kita bersyukur kerusakan lingkungan yang selama ini tidak tertanggulangi, InsyaAllah dana ini apabila nanti bisa kita ambil dan kita bisa gunakan untuk perbaikan-perbaikan lingkungan,” tuturnya.

    Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah menerangkan, pihaknya fokus untuk melakukan perbaikan lingkungan akibat kasus korupsi timah.

    Kejagung sedang menghitung tanggungan beban uang pengganti yang harus dibayar para tersangka.

    “Siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindaklanjuti dan akan kita segera sampaikan ke publik,” ujarnya.

    (shf)

  • Kejagung Tetapkan Anak Surya Darmadi dan 2 Korporasi Tersangka

    Kejagung Tetapkan Anak Surya Darmadi dan 2 Korporasi Tersangka

    Kejagung Tetapkan Anak Surya Darmadi dan 2 Korporasi Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Kejaksaan Agung
    (Kejagung) menetapkan anak terpidana Surya Darmadi,
    Cheryl Darmadi
    , sebagai tersangka kasus dugaan
    tindak pidana pencucian uang
    (TPPU) dengan tindak pidana asal korupsi kegiatan usaha
    Duta Palma Group
    .
    Jampidsus Kejagung RI Febrie Adriansyah mengatakan, pihaknya telah memperoleh bukti yang cukup untuk menetapkan Cheryl sebagai tersangka.
    “Cheryl Darmadi yang bersangkutan adalah Dirut PT Asset Pacific dan ketua Yayasan Darmex, sehingga kita akan proses sebagai tersangka TPPU,” ujar Febrie di Kejagung, Kamis (2/1/2025).
    Selain Cheryl, penyidik pidana khusus turut menetapkan dua korporasi sebagai tersangka TPPU Duta Palma Group.
    Dua korporasi itu adalah PT Monterado Mas (MRM) dan PT Alfa Ledo (AL).
    Kedua tersangka korporasi ini merupakan pengembangan dari penyidikan TPPU sebelumnya.
    “Ada dua korporasi, yaitu Alfa Ledo dan korporasi Monterado Mas ini tambahan korporasi lainnya. Ini pengembangan dari alat bukti dan aset-aset yang telah diidentifikasi penyidik terkait TPPU,” katanya.

    Kejagung telah menyita total Rp 6,5 triliun dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dalam kegiatan usaha di Indragiri Hulu, Riau.
    Adapun modusnya, uang hasil tindak pidana itu diduga dialirkan atau disamarkan ke
    holding
    perkebunan Duta Palma Group, yakni PT Darmex Plantations dan PT Asset Pacific yang bergerak di bidang properti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejagung Tetapkan Anak Surya Darmadi & Korporasi di Kasus TPPU Duta Palma Group

    Kejagung Tetapkan Anak Surya Darmadi & Korporasi di Kasus TPPU Duta Palma Group

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan anak terpidana Surya Darmadi, Cheryl Darmadi menjadi tersangka kasus dugaan TPPU dengan tindak pidana asal korupsi kegiatan usaha Duta Palma Group.

    Jampidsus Kejagung Febrie Adriansyah mengatakan pihaknya telah memperoleh bukti yang cukup untuk menetapkan Cheryl sebagai tersangka.

    “Cheryl Darmadi yang bersangkutan adalah Dirut PT Asset Pacific dan ketua yayasan Darmex sehingga kita akan proses sebagai tersangka TPPU,” ujarnya di Kejagung, Kamis (2/1/2025).

    Selain Cheryl, Febrie juga menyampaikan bahwa penyidik pidana khusus turut menetapkan dua korporasi sebagai tersangka TPPU Duta Palma Group.

    Dua korporasi itu di antaranya PT Monterado Mas (MRM) dan PT Alfa Ledo (AL). Kedua tersangka korporasi ini merupakan pengembangan penyidikan TPPU sebelumnya.

    “Ada dua korporasi yang Alfa Ledo dan korporasi Monterado Mas ini tambahan korporasi lainnya. Ini pengembangan dari alat bukti dan aset aset yang telah diidentifikasi penyidik terkait TPPU,” pungkasnya.

    Sebagai informasi, korps Adhyaksa telah menyita total Rp6,5 triliun dalam kasus dugaan tindak pidana pencucian uang dalam kegiatan usaha di Indragiri Hulu, Riau.

    Modusnya, uang hasil tindak pidana itu diduga dialirkan atau disamarkan ke holding perkebunan Duta Palma Group yakni PT Darmex Plantations dan PT Asset Pacific holding yang bergerak di bidang properti.

  • Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Korporasi Korupsi Timah, Kerugian Rp150 Triliun!

    Kejagung Tetapkan 5 Tersangka Korporasi Korupsi Timah, Kerugian Rp150 Triliun!

    Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 5 tersangka korporasi sebagai tersangka dalam kasus tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS) periode 2015-2022.

    Jaksa Agung (JA) Burhanuddin mengatakan lima korporasi yang dijadikan tersangka itu yakni PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Tinindo Inter Nusa (TIN) dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).

    “Pertama adalah PT RBT yang ke-2 adalah PT SB yang ke-3 PT SIP yang ke-4 TIN dan yang ke-5 VIP,” ujar Burhanuddin di Kejagung, Kamis (2/1/2025).

    Di lain sisi, Jampidsus Kejagung RI, Febrie Adriansyah mengatakan bahwa pihaknya telah memutuskan pembebanan uang kerugian negara kepada lima tersangka korporasi itu.

    Secara terperinci, kerugian lingkungan hidup Rp271 triliun kasus timah ditanggung PT RBT sebesar Rp38 triliun, PT SB Rp23 triliun, PT SIP Rp24 triliun, PT TIN Rp23 triliun, dan PT VIP Rp42 triliun.

    “Ini sekitar Rp152 triliun,” tutur Febrie. 

    Sementara itu, Febrie menyatakan pihak yang bertanggung jawab dari sisa kerugian lingkungan hidup sebesar Rp119 triliun masih dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    “Sisanya dari Rp271 triliun yang telah diputuskan hakim itu jadi kerugian negara sedang dihitung BPKP siapa yang bertanggung jawab tentunya akan kita tindak lanjuti,” pungkasnya.

  • Kaleidoskop 2024: Jatuhnya Martabat Hakim karena Mafia Peradilan

    Kaleidoskop 2024: Jatuhnya Martabat Hakim karena Mafia Peradilan

    Kaleidoskop 2024: Jatuhnya Martabat Hakim karena Mafia Peradilan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tahun 2024 diwarnai skandal
    mafia peradilan
    yang mencoreng martabat dan kehormatan wakil Tuhan di bumi:
    hakim
    .
    Setelah operasi tangkap tangan (OTT) perkara suap pengurusan perkara yang menyeret hakim agung pada 2022 lalu, pada 2024 sejumlah hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya membebaskan terdakwa pelaku pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur.
    Mereka adalah
    Hakim
    Ketua Erintuah Damanik serta dua hakim anggota, Mangapul dan Heru Hanindyo.
    Ketiganya ditangkap penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) di Surabaya pada 23 Oktober lalu karena ditengarai menerima suap untuk membebaskan Ronald Tannur, yang membunuh kekasihnya, Dini Sera Afriyanti.
    “Iya (penangkapan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya terkait suap dalam vonis bebas Gregorius Ronald Tannur),” ujar Febrie Adriansyah kepada wartawan Rabu (23/10/2024).
    Menyusul ketiga hakim itu, Kejagung menangkap pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat.
    Selang satu hari berikutnya, Kamis (24/12/2024), Kejagung menangkap mantan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan (Balitbang Diklat Kumdil) Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar (ZR) di Bali.
    Penangkapan Zarof ditindaklanjuti dengan penggeledahan di Jakarta.
    Upaya paksa itu membuat publik tercengang.
    Sebab, penyidik menemukan uang dan emas yang totalnya mencapai Rp 1 triliun.
    Harta itu terdiri dari uang tunai Rp 920 miliar dan emas batangan seberat 51 kilogram yang disebut berasal dari jual beli perkara di MA.
    “Itu pengakuannya yang menyatakan bahwa uang dan emas itu merupakan hasil dari pengurusan perkara,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar.
    Selama proses penyidikan, Kejagung hanya mengungkap sedikit perbuatan para pelaku.
    Tindakan mafia peradilan itu baru mulai terungkap setelah perkara Erintuah, Mangapul, dan Heru dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat dan disidangkan.
    Skandal mafia peradilan ini dimulai ketika ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, meminta Lisa menjadi pengacara untuk mendampingi anaknya.
    Istri anggota DPR RI itu datang ke kantor Lisa pada 5 Oktober 2023 di Surabaya.
    Dalam pertemuan tersebut, sang pengacara meminta ibu Ronald Tannur menyiapkan sejumlah uang untuk mengurus perkara anaknya.
    Setelah pertemuan itu, Lisa pun bergerilya.
    Ia menemui Zarof Ricar yang diduga sebagai makelar kasus.
    “Untuk mencarikan hakim pada Pengadilan Negeri Surabaya yang bersedia untuk menjatuhkan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dalam perkara anak seorang anggota DPR,” kata jaksa.
    Lisa kemudian beberapa kali menemui Mangapul pada kurun Januari hingga Maret 2024 di sebuah apartemen di Surabaya.
    Dalam pertemuan itu, ia menyampaikan bahwa perkara kliennya, Ronald Tannur, akan dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
    Ia meminta pelaku pembunuhan itu divonis bebas (vrijspraak).
    Jaksa kemudian menyebut pada 4 Maret 2024, ia menemui Erintuah dan memperkenalkan diri sebagai pengacara Ronald Tannur.
    Ia mengaku telah bertemu dengan Heru dan Mangapul yang akan menjadi hakim anggota perkara kliennya.
    “Padahal penetapan penunjukkan Majelis Hakim perkara pidana Gregorius Ronald Tannur belum ada,” tutur jaksa.
    PN Surabaya baru menerbitkan penetapan susunan majelis hakim pada keesokan harinya dengan susunan Erintuah sebagai hakim ketua serta Mangapul dan Heru sebagai hakim anggota.
    Jaksa kemudian menyebut, selama proses persidangan, Lisa telah memberikan suap kepada tiga hakim itu senilai Rp 1 miliar dan 308 dollar Singapura atau seluruhnya senilai Rp 4,6 miliar.
    “Bahwa uang yang diberikan Lisa Rachmat kepada terdakwa Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo berasal dari Meirizka Widjaja,” ujar jaksa.
    Setelah persidangan bergulir, Erintuah, Mangapul, dan Heru kompak membebaskan Ronald Tannur dari seluruh dakwaan dan tuntutan jaksa.
    “Sebagaimana Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 454/Pid.B/2024/PN.Sby tanggal 24 Juli 2024,” kata jaksa.
    Namun, setelah membebaskan anaknya, kini sang ibunda pun menjadi tersangka pemberi suap dan dipenjara.
    Meski sudah lewat satu purnama menahan Zarof Ricar, Kejaksaan Agung baru menjelaskan peran Zarof Ricar sepenggal cerita.
    Menurut Harli, Zarof yang sudah pensiun dari Mahkamah Agung, tetap bisa menjadi perantara suap antara pengacara Ronald Tannur dengan ketiga hakim PN Surabaya.
    Kepada penyidik, kata Harli, Zarof mengaku uang dan emas batangan itu bukan miliknya.
    Harta benda itu merupakan hasil pengurusan perkara.
    Namun demikian, Kejagung tak kunjung mengungkap asal muasal dan peruntukan harta panas senilai Rp 1 triliun di rumah Zarof Ricar.
    Sampai hari ini, pihak Korps Adhyaksa terus mengeklaim masih mendalami uang dan emas tersebut.
    “Kami belum mendapat informasi detail terkait pengungkapan itu (suap perkara lain), namun penyidik terus berupaya mendalaminya,” ujar Harli kepada Kompas.com, Kamis (19/12/2024).
    Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mendesak Kejagung mengungkap asal muasal dan peruntukan harta itu.
    Sebab, sangat mungkin uang dan emas itu merupakan titipan dari pihak lain, baik hakim maupun pejabat.
    “Kejaksaan Agung harus membongkar karena sangat mustahil uang dan batangan emas yang ada di rumah ZR itu miliknya sendiri. Sangat mungkin itu juga titipan yang belum diambil oleh hakim atau siapapun pejabat publik,” ungkap Fickar.
    Ia menduga, uang dan emas sengaja dititipkan kepada Zarof untuk menghindari auditor, mengingat pejabat wajib menyampaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
    Uang dan emas itu, menurutnya, baru akan diambil ketika mereka pensiun di kemudian hari.
    “Kejaksaan Agung harus melacak ini, mengingat akses ZR yang luas di kalangan para hakim karena kedudukannya dulu sebagai Kapusdiklat MA yang berhubungan dengan semua hakim. Jadi sangat mungkin uang dan emas itu titipan para hakim,” ujarnya.
    Terpisah, mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein menyebut Zarof harus membuktikan sumber uang dan emas senilai Rp 1 triliun di rumahnya.
    Menurut Yunus, kekayaan Zarof begitu besar karena ia diduga melakukan tindak pidana pencucian uang.
    “Pasti ada cuci uang, enggak mungkin enggak. Sekian lama, sekian besar, pasti membayar banyak orang, dan tidak akan habis dia makan sendiri. Buktinya numpuk kan itu,” lanjut Yunus.
    Harta di rumah Zarof terus menjadi pertanyaan panjang publik.
    Sebab, ketika menjabat pun ia bukan hakim yang bisa menentukan putusan pengadilan.
    Selama proses penyidikan terungkap, Zarof Ricar rupanya tidak hanya menjembatani Meirizka dan Lisa menyuap hakim PN Surabaya.
    Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar menyebut, Ricar diduga menyiapkan uang Rp 5 miliar untuk hakim agung yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur.
    Adapun kasasi diajukan jaksa penuntut umum yang tidak terima Ronald Tannur divonis bebas.
    “Sesuai catatan LR (Lisa Rachmat) yang diberikan kepada ZR (Zarof Ricar), (Rp 5 miliar itu) untuk hakim agung atas nama S, A, dan S lagi yang menangani perkara kasasi Ronald Tannur,” ujar Abdul.
    Namun, pihak kejaksaan tidak mengungkap siapa hakim agung yang diduga menerima suap untuk memutus bebas Ronald Tannur.
    Untuk bisa menjatuhkan vonis sesuai permintaan, pemberi suap minimal harus mengkondisikan dua dari tiga hakim agung yang mengadili.
    Pertanyaan timbul lantaran satu hari sebelum tiga hakim PN Surabaya ditangkap, MA mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum.
    Melalui Putusan Perkara Nomor 1466 K/Pid/2024, majelis kasasi menghukum Ronald Tannur 5 tahun penjara karena dinilai terbukti membunuh kekasihnya dan melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP.
    MA kemudian mengadili sendiri Ronald Tannur dengan hukuman penjara.
    “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun,” bunyi putusan kasasi itu.
    Belakangan, setelah salinan putusan tersebut bisa diakses publik, terungkap terdapat hakim agung yang ingin membebaskan Ronald Tannur.
    Hakim Agung Soesilo, satu dari tiga hakim sekaligus ketua majelis kasasi, menyatakan dissenting opinion.
    Dia tidak sependapat dengan dua anggotanya yang menyatakan Ronald Tannur terbukti bersalah dan harus dipenjara.
    Dalam dissenting opinion-nya atau DO, Soesilo menyebut putusan PN Surabaya atau majelis hakim yang mengadili fakta-fakta hukum sudah sesuai hukum acara yang berlaku.
    Ia juga menyebut kekasih Ronald Tannur, Dini Sera, meninggal karena robek majemuk pada organ hati akibat kekerasan benda tumpul.
    Meski dokumen visum et repertum menjelaskan kematian Dini, kata dia, hal itu tidak menyatakan perbuatan Ronald Tannur melindas tubuh kekasihnya membuat perempuan itu tewas.
    “Hasil visum et repertum tersebut tidak serta merta menyatakan terdakwa lah sebagai pelaku perbuatan terhadap Dini Sera Afriyanti, apalagi sampai adanya dugaan terdakwa melindas tubuh Dini Sera Afriyanti sebagai penyebab meninggalnya Dini Sera Afriyanti karena tidak ada alat bukti yang membuktikan dugaan tersebut,” kata Hakim Agung Soesilo.
    Soesilo lantas menyatakan Ronald Tannur tidak terbukti bersalah, namun ia kalah suara.
    Dua anggotanya, Ainal Mardhiah dan Sutarjo, sepakat dengan dakwaan jaksa bahwa Ronald Tannur bersalah.
    Seiring bergulirnya persoalan ini, Ketua Mahkamah Agung (MA) Hakim Agung Sunarto menerbitkan Surat Tugas Nomor 22/KMA/ST.PW1.3/10/2024 pada 28 Oktober 2024.
    Ia membentuk tim khusus guna melakukan pemeriksaan karena Ketua Majelis Kasasi, Soesilo, disebut-sebut bertemu dengan sang makelar, Zarof Ricar.
    Namun, setelah melakukan rangkaian pemeriksaan etik, MA menyatakan majelis kasasi Ronald Tannur, termasuk Hakim Agung Soesilo, tidak terbukti melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
    “Kesimpulan dari pemeriksaan tidak ditemukan pelanggaran KEPPH yang dilakukan oleh Majelis Kasasi perkara nomor 1466 K/PID/2024 sehingga kasus dinyatakan ditutup,” kata Juru Bicara MA, Yanto, dalam konferensi pers di Gedung MA, Jakarta, Senin (18/11/2024).
    Yanto mengungkapkan, berdasarkan pemeriksaan, Hakim Agung Soesilo pernah bertemu Zarof di salah satu universitas di Makassar, Sulawesi Selatan.
    Menurutnya, baik Soesilo maupun Zarof sama-sama menjadi tamu undangan di acara itu.
    “Pada pertemuan eksidentil dan berlangsung singkat tersebut, ZR sempat menyinggung masalah kasus Ronald Tannur tetapi tidak ditanggapi oleh Hakim Agung S,” kata Yanto.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.