Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ponsel milik Siska (bukan nama sebenarnya) tidak pernah benar-benar hening.
Bunyi dering dan notifikasi pesan berdentang siang dan malam, seperti alarm yang menandai ketakutan yang tak kunjung reda.
Setiap telepon, entah dari nomor lokal maupun luar negeri, membawa satu pesan yang sama, menagih utang.
Bagi Siska, ibu tunggal berusia 32 tahun yang berjuang menghidupi anaknya dengan penghasilan dari membantu warung tetangga, telepon itu bukan sekadar pengingat.
Bunyi deringnya berubah menjadi ancaman yang menekan secara psikologis.
Dua bulan terakhir, setiap langkah Siska di rumah kontrakannya terasa diawasi. Setiap ketukan pintu membuat dadanya berdebar.
Ia selalu melihat kanan-kiri sebelum keluar rumah, bahkan untuk sekadar membeli sembako.
Intensitas panggilan meningkat seiring waktu. Dalam sehari, Siska bisa menerima puluhan panggilan dan pesan WhatsApp.
Ada yang berbicara halus, tetapi tak jarang yang langsung membentak atau mengancam.
Bahkan foto KTP Siska sempat diedit dan digunakan untuk menakut-nakuti. Bagi Siska, ancaman itu bukan sekadar kata-kata di layar, melainkan tekanan nyata yang merusak rasa aman dan ketenangan hidupnya.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah. Kadang dari nomor luar negeri. WA juga
spam,”
kata Siska.
Dari telepon yang terus berdering inilah, cerita tentang teror
pinjaman online
ilegal bermula.
Sebuah lingkaran menakutkan yang membuat korban seperti Siska sulit bernapas dan terus terjebak dalam ketakutan.
Tekanan tidak berhenti pada jumlah panggilan. Nada bicara
debt collector
berubah-ubah, mulai dari berpura-pura sopan hingga langsung kasar.
Siska mengingat bagaimana beberapa penagih memulai percakapan dengan halus seolah peduli, kemudian tiba-tiba meninggikan suara ketika ia mencoba memberi penjelasan.
“Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi,” kata Siska.
Ancaman seperti itu bukan hal asing dalam modus penagihan
pinjol
ilegal.
Mereka memanfaatkan data pribadi korban, termasuk foto KTP dan kontak telepon, sebagai senjata untuk menekan psikologis.
Bagi Siska, ancaman bahwa dirinya akan “dicari polisi” atau “dijemput paksa” adalah bentuk teror yang paling memukul mentalnya.
Ia tahu dirinya tidak melakukan kejahatan, tetapi intensitas penyampaian para penagih membuat informasi palsu itu terasa nyata.
Ia mulai takut membuka pesan. Namun, tidak membuka pesan pun bukan solusi, karena telepon akan terus berdatangan. Setiap pilihan terasa salah.
“Saya enggak tahu harus gimana,” ujar dia.
Setiap kali Siska menolak angkat telepon, intensitas panggilan justru meningkat. Dari belasan menjadi puluhan.
Ketika pinjaman dari aplikasi yang ia gunakan jatuh tempo,
debt collector
mengirim pesan beruntun tanpa henti, seolah ingin memastikan korban tidak sempat berpikir jernih.
Panggilan itu datang bergantian, seakan dioper dari satu penagih ke penagih lain. Nomor yang berbeda-beda membuat Siska tak bisa memblokir semuanya.
“Kalau HP saya bunyi, perut langsung mules,” ujar dia.
Sejak teror telepon dimulai, ruang hidup Siska semakin menyempit. Kontrakan yang ia tempati bersama anaknya bukan lagi tempat yang aman seperti dulu.
Setiap ketukan pintu, bahkan yang berasal dari tetangga, membuatnya terlonjak ketakutan.
“Kalau ada suara motor berhenti di depan rumah, saya langsung mikir itu mereka,” ucap dia.
Setiap kali melangkah keluar rumah untuk sekadar membeli sembako atau mengantar anaknya ke sekolah, ia selalu melihat sekeliling, memastikan tidak ada orang mencurigakan.
Selama dua bulan penuh, Siska mematikan ponselnya pada siang dan malam hari.
Hanya saat kebutuhan mendesak ia berani menyalakannya sebentar, lalu segera mematikannya kembali. Hidupnya seperti berada dalam mode bertahan.
“Saya sampai takut liat HP. Bunyi notif apa pun bikin deg-degan,” ujar dia.
Jika tekanan melalui pesan pribadi belum cukup, penagih mulai menyerang hal yang lebih sensitif, hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan sekitar.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” tutur Siska.
Bagi banyak korban, inilah fase yang paling memalukan. Bukan hanya dituduh sebagai pencuri, tetapi informasi pribadi mereka disebarkan secara sengaja untuk mempermalukan.
Beberapa tetangga mulai bertanya-tanya, sebagian percaya, sebagian lainnya hanya diam tak memperdulikan.
Dampak sosial ini membuatnya semakin terpuruk.
“Saya malu sama tetangga,” ucap dia.
Perlakuan kasar kepada dirinya sudah cukup membuat Siska stres berat.
Namun, ancaman yang melibatkan keselamatan anaknya menjadi titik terendah dari seluruh perjalanan ini.
Ia mengaku tidak akan pernah melupakan momen ketika seorang penagih menyebut anaknya.
“Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” kata dia.
Ancaman itu datang melalui pesan yang dikirim pada malam hari. Siska membacanya berkali-kali sebelum akhirnya mematikan ponsel dan menangis hingga tertidur.
Sebagai seorang ibu tunggal, ancaman itu menusuk langsung ke pusat ketakutannya.
Sejak itu, ia melarang anaknya bermain di luar rumah sendirian. Bahkan ketika hendak ke sekolah, ia memastikan selalu mengantar.
Kondisi panik ini menyebabkan Siska mengalami gangguan kesehatan.
Menurut Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi, selama beberapa tahun terakhir, LBH melihat semakin banyak korban yang meminjam bukan untuk konsumsi, tetapi untuk menutup hutang dari aplikasi sebelumnya.
Proses ini mirip sekali dengan pola korban judi online berupa lingkaran yang tak ada ujungnya. Namun dalam konteks pinjol, eksploitasi lebih sistematis.
“Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan pinjaman online. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
Di mata Alif, para peminjam ini bukanlah “debitur nakal” seperti stigma yang sering beredar. Mereka tak bisa dianggap pihak yang lalai, tetapi korban.
“Bisa (disebut korban), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
debt collector
atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
Dengan kata lain, mereka adalah korban perdagangan data, korban eksploitasi sistem digital, dan korban kebijakan yang tidak protektif.
Menurut Alif, alasan korban enggan melapor sangat jelas karena takut dipermalukan, takut dikriminalisasi, dan takut data pribadi mereka makin tersebar.
“Seringkali korban juga takut data pribadi dan nomor kontak di gawainya disalin dan disebarkan yang menyebabkan malu karena masalah pinjaman online yang dihadapinya,” kata dia.
Bagi korban, teror sosial jauh lebih mematikan daripada teror tagihan.
Alasan seseorang pertama kali meminjam melalui aplikasi pinjol cenderung seragam.
Tekanan ekonomi menjadi faktor utama, seperti kebutuhan untuk makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutupi tagihan sehari-hari.
“Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” ujar Alif.
Dalam banyak kasus, korban awalnya mencari solusi cepat untuk kebutuhan mendesak.
Namun, alih-alih mendapatkan bantuan, mereka justru terjebak dalam mekanisme penagihan yang menekan mulai dari bunga yang tidak wajar, biaya administrasi tersembunyi, hingga penyebaran data pribadi.
LBH mencatat bahwa sebagian besar orang pertama kali terjerat pinjol karena promosi melalui telepon tanpa diminta.
“Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
Siklus terjerat ini kemudian diperkuat oleh tekanan verbal dari debt collector.
Di samping itu, besaran bunga dan biaya tambahan yang tidak sesuai aturan menjadi pemicu utama utang semakin membengkak.
“Bunga, admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Fauzi
-
/data/photo/2025/04/25/680b24b5d09b8.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Korban Pinjol Kena Mental, Diteror 60 Telepon Sehari dan Anak Terancam Megapolitan 4 Desember 2025
-
/data/photo/2022/04/16/625af161087b7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Cerita Siska, "Single Parent" yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal Megapolitan 4 Desember 2025
Cerita Siska, “Single Parent” yang Bertahan dari Teror Pinjol Ilegal
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Di sebuah kamar kontrakan, sebuah ruang kecil yang menjadi saksi bagaimana hidup Siska (bukan nama sebenarnya) berubah drastis.
Di dalam kontrakan tersebut, perempuan berusia 32 tahun itu pernah menghabiskan malam-malam panjang tanpa tidur. Hanya menatap ponselnya yang bergetar puluhan kali setiap jam.
Setiap getaran adalah ancaman. Setiap nada dering adalah ketakutan.
Dan semua itu bermula dari keputusan yang ia ambil dalam keadaan terdesak.
Siska yang merupakan orangtua tunggal harus menafkahi keluarga dari hasil membantu di warung milik tetangganya.
Uang yang ia dapatkan hanya cukup untuk membeli beras satu liter dan sebungkus mi.
Sementara, slip tagihan listrik sudah menumpuk, ditemani pesan WhatsApp dari ibu kos yang mulai menagih kontrakan dua bulan tertunggak.
Sebagai orangtua tunggal, ia hidup dari hari ke hari. Tak ada suami, tak ada keluarga lain yang bisa rutin membantu.
Yang ada hanya seorang anak kecil yang masih membutuhkan biaya sekolah.
Dalam tekanan seperti itu, pikirannya buntu.
Siska kembali mengingat momen yang membuatnya akhirnya menekan tombol “ajukan pinjaman”.
“Kebutuhan rumah tuh numpuk, listrik mau diputus, kontrakan nunggak dua bulan. Ya akhirnya saya nekat cari pinjaman biar bisa nutup dulu yang mendesak,” kata Siska kepada
Kompas.com,
Senin (1/12/2025).
Saat itu, kontrakan menjadi hal paling genting.
Keputusan itu, bagi Siska, seperti mencari udara di tengah tenggelam.
Dengan ponselnya, ia mulai menjelajah aplikasi. Lalu matanya terpaku pada sebuah iklan yang berseliweran di Instagram.
“Lagi
scroll
HP sambil rebahan, muncul tuh iklan yang bilang
‘langsung cair, tanpa ribet’
. Saya klik karena penasaran,” kata dia.
Di titik itu, ia belum mengenal perbedaan antara
pinjol
legal dan ilegal. Yang ia lihat hanya satu hal: solusi instan.
Prosesnya mudah, malah terlalu mudah.
“Prosesnya cepet banget. Enggak pake foto KTP yang ribet, cuma
selfie
sama isi-isi data,” jelas dia.
Pinjaman pertama cair: Rp 1 juta.
“Buat bayar kontrakan dan sebagian buat beli sembako,” ujar dia.
Namun, yang tampak sebagai pertolongan, justru membuka pintu ke jurang yang jauh lebih gelap.
Dalam tujuh hari, kondisi berubah. Tagihan datang dengan jumlah yang membuatnya terpaku. Bunga, biaya administrasi, dan potongan lain membuat nilai pengembalian melonjak.
“Tiba-tiba pas mau bayar kok jumlahnya lebih besar,” kata Siska.
Rasanya seperti pukulan bertubi-tubi.
Dalam putus asa, ia mengikuti saran teman yang justru semakin menjerumuskannya.
“Terus ada temen bilang,
‘udah, minjem lagi di aplikasi lain buat nutup yang pertama’.
Dari situ lah mulai gali tutup lubang,” kata dia.
Hari demi hari, aplikasi lain datang menghampiri. Satu jadi dua, dua jadi lima.
“Enggak kerasa. Tiap mau jatuh tempo saya minjam yang lain terus,” kata dia.
Siska sempat mencoba berhenti, namun tekanan yang datang dari para penagih membuatnya merasa tak punya pilihan.
“Pernah, Mas. Tapi begitu satu jatuh tempo, mereka neleponin terus. Jadi saya panik lagi. Ya sudah minjem lagi. Rasanya kayak lingkaran setan,” ucap dia.
Apa yang awalnya terasa sebagai solusi, berubah menjadi mimpi buruk.
Dalam hitungan hari, ponsel Siska menjadi alat penyiksa.
Nomor tak dikenal muncul terus menerus—dalam negeri, luar negeri, hingga nomor yang baru dibuat.
“Nelepon sampai 60 kali sehari pernah, kadang dari nomor luar negeri. WA juga
spam,”
kata dia.
Percakapan-percakapan itu masih membekas dalam kepalanya. Bahkan kini, suara notifikasi saja bisa membuat tubuhnya kaku.
Namun, yang paling menghancurkan adalah teror visual dan ancaman kriminalisasi.
“Pernah tuh mereka kirim foto KTP saya yang mereka edit-edit, bilang saya mau ditangkap polisi. Terus ada yang bilang mau dateng ke rumah. Saya sampe gemeteran baca pesannya,” ujar dia.
Tak hanya dirinya yang menjadi sasaran. Para penagih itu menyasar keluarganya, bahkan tetangganya.
“Mereka juga sebar berita ke tetangga, bilang saya kabur bawa uang,” kata Siska.
Tekanan psikologis itu berdampak langsung pada kesehatan fisik.
Dan ada satu kalimat yang tak akan pernah ia lupakan sepanjang hidupnya. Kala para penagih mengancam keselamatan anak semata wayangnya.
“Waktu mereka ngomong mau ngejemput paksa anak saya. Padahal anak saya masih SD. Saya langsung nangis kejer,” ujar dia.
Dalam situasi itu, Siska pernah merasa dikepung dari segala sisi. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana.
Ia akhirnya menceritakan semuanya kepada sang adik, orang pertama yang ia percaya.
“Dia kaget banget dan marahin saya, tapi Dia bilang kita cari jalan sama-sama,” kata Siska.
Dari pengakuan itu, Siska mulai merasakan titik terang. Untuk pertama kalinya, ia tak lagi memikul beban itu sendirian.
Malam itu, ia dan adiknya berbicara panjang—tentang ketakutan, rasa malu, dan rasa bersalah yang terus menghantuinya.
Adiknya mencoba menenangkannya, memastikan bahwa apa yang terjadi bukan sepenuhnya kesalahannya, dan bahwa ada jalan keluar meski tampak gelap.
Dukungan itulah yang mendorongnya mencari pertolongan lebih jauh.
“Adik saya akhirnya nyuruh saya lapor ke lembaga bantuan. Baru dari situ saya mulai ngerti kalau saya bukan satu-satunya korban,” katanya.
Meski begitu, trauma yang tersisa sangat dalam. Hingga kini, membuka ponsel pun terasa seperti menghadapi monster yang siap menerkam.
“Dua bulan penuh saya matiin HP siang malam. Keluar rumah pun lihat-lihat dulu. Trauma banget,” ucap dia.
Dalam beberapa tahun terakhir, Pengacara Publik LBH Jakarta, Alif Fauzi melihat pola yang terus berulang.
Banyak korban meminjam bukan untuk kebutuhan konsumsi, melainkan untuk menutup tagihan dari aplikasi sebelumnya.
Situasi ini menyerupai pola yang dialami korban judi online, sebuah lingkaran yang tidak pernah benar-benar berhenti.
Dalam kasus pinjol, cara kerjanya bahkan lebih terstruktur dan eksploitatif.
“Ini menguatkan adanya praktik yang eksploitatif dalam penyelenggaraan
pinjaman online
. Secara posisi hukum, ini juga menunjukkan ketiadaan perlindungan hukum bagi warga negara yang menghadapi masalah pinjaman online,” ujar dia.
Bagi Alif, para peminjam ini tidak tepat bila dianggap sebagai debitur yang lalai atau ceroboh.
Mereka lebih tepat dipahami sebagai pihak yang terperangkap dalam sistem yang tidak memberikan ruang aman.
“Betul bisa (
korban pinjol
), sejauh ini praktik pengambilan data berbasis pada aplikasi yang terinstal (medium ICT/ITE), dan secara sistematis dipindahtangankan kepada pihak
debt collector
atau pihak aplikasi yang tidak terdaftar,” jelas Alif.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa mereka bukan hanya berhadapan dengan utang yang menumpuk.
Mereka juga menjadi sasaran perdagangan data, menjadi korban dari mekanisme digital yang merugikan, dan terjebak dalam situasi yang tidak didukung oleh regulasi yang melindungi.
Menurut Alif, kelompok yang paling mudah terpapar masalah pinjol tidak pernah berubah dari tahun ke tahun.
Perempuan, terutama ibu rumah tangga, masih menjadi pihak yang paling rentan.
“Sejauh ini perempuan atau ibu rumah tangga masih menjadi kelompok paling rentan terkena masalah pinjaman online,” kata Alif.
Beban mengurus keluarga, memenuhi kebutuhan anak, hingga memastikan makanan selalu tersedia membuat mereka berada dalam posisi yang rawan.
Alif menyampaikan, banyak korban datang dalam kondisi mental yang sudah tertekan.
Tidak sedikit ibu rumah tangga yang bahkan takut menyentuh ponsel karena telah menerima ratusan pesan ancaman dari penagih.
Ketika membahas alasan awal seseorang meminjam melalui aplikasi pinjol, Alif melihat polanya hampir selalu sama.
Tekanan ekonomi menjadi faktor paling kuat. Banyak orang terpaksa mencari dana cepat untuk memenuhi kebutuhan makan, membayar kontrakan, biaya sekolah anak, modal usaha yang terhambat, atau sekadar menutup kewajiban harian.
“Selain itu, ada juga karena data pribadinya digunakan untuk mengajukan aplikasi pinjaman online,” kata Alif.
Dalam berbagai kasus, para korban berharap dapat menyelesaikan kebutuhan darurat. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Temuan LBH juga menunjukkan bahwa banyak korban pertama kali terpapar pinjol melalui panggilan telepon yang tidak pernah mereka minta.
“Belakangan banyak aplikasi pinjaman online yang menawarkan pinjaman online melalui telepon dengan nomor yang tidak dikenal,” jelas Alif.
Setelah itu, tekanan dari debt collector memperkuat lingkaran jebakan yang mulai menjerat mereka.
“Biaya admin, denda, dan penetapan bunga tidak sesuai standar/regulasi yang ada,” kata Alif.
Cerita Siska bukan satu-satunya. Di balik iklan “cair cepat tanpa ribet”, ada ribuan korban lain yang hidup dalam tekanan, teror, dan ancaman.
Sebagian kehilangan pekerjaan.
Sebagian kehilangan keluarga.
Sebagian kehilangan keberanian untuk bertemu dunia.
Dan sebagian, seperti Siska, sedang berusaha kembali berdiri dari kehancuran emosional dan finansial.
Pinjol ilegal bekerja dengan pola yang sama: memanfaatkan kesulitan ekonomi, memudahkan pinjaman, lalu menjebak dengan bunga, biaya tersembunyi, akses kontak, dan teror sistematis.
Bagi banyak perempuan, terutama orangtua tunggal dan pekerja informal, jerat ini terasa tak terhindarkan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Sumenep Tanam 1.300 Pohon di TPA Torbang, Siap Jadi Paru-Paru Baru Kota
Sumenep (beritajatim.com) – Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah atau Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Desa Torbang, Kecamatan Bantuan, Kabupaten Sumenep mendapat perhatian khusus untuk persoalan kelestarian lingkungan.
Pemkab Sumenep melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) bekerja sama dengan Medco Energi Madura, melakukan penanaman 1.300 bibit pohon di lokasi tersebut. Penanaman ribuan bibit pohon tersebut secara simbolis dilakukan Bupati bersama jajaran Forkopimda Sumenep.
“Penanaman pohon ini untuk memperluas ruang terbuka hijau, serta mendukung strategi mitigasi perubahan iklim,” kata Bupati Sumenep Achmad Fauzi Wongsojudo, Selasa (02/12/2025).
Ia menjelaskan, pembangunan lingkungan berkelanjutan merupakan investasi jangka panjang. Karena itu, penanaman bibit pohon ini merupakan langkah konkret dalam menjaga kualitas lingkungan.
“Ini sebagai upaya penyangga ekosistem dan ruang publik hijau. Bibit pohon yang terus tumbuh bukan sekadar memberikan dampak ekologis sesaat, tetapi menjadi investasi jangka panjang bagi generasi mendatang,” ujarnya.
Menurut Bupati, setiap bibit adalah harapan bagi lingkungan yang lebih sehat di masa depan. Pohon-pohon itu nantinya berperan dalam menyerap emisi karbon dan menjaga keseimbangan ekosistem.
“Kegiatannya bukan semata seremonial. Menanam pohon ini justru untuk masa depan daerah, sebagai hutan kota yang menjadi paru-paru menjaga kualitas udara,” terangnya.
Pohon-pohon tersebut juga diharapkan mampu memperkuat ketahanan lingkungan dari ancaman perubahan iklim. “Semoga ini tidak hanya berhenti pada penanaman, tetapi dilanjutkan dengan perawatan yang baik, supaya pohonnya bisa tumbuh optimal dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat,” harapnya.
Bupati mengatakan, Pemerintah Kabupaten Sumenep berkomitmen untuk memperluas gerakan penghijauan ke wilayah lain yang membutuhkan penanganan lingkungan, khususnya di area rawan kekeringan dan minim tutupan hijau.
“Kami mengupayakan kegiatan ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang, dalam menciptakan lingkungan yang lebih asri, sehat, dan berkelanjutan bagi masyarakat,” imbuhnya.
Sementara Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Sumenep, Anwar Syahroni mengatakan, penanaman bibit pohon merupakan CSR Medco Energi Madura sebesar seratus juta untuk 1.300 bibit pohon.
Ribuan bibit pohon tersebut terdiri dari akasia sebanyak 175 pohon, sukun 250 pohon, gayam 250 pohon, mahoni 250 pohon dan matoa sebanyak 275 pohon. “Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan luas cakupan ruang hijau, serta memperbaiki kualitas lingkungan di tengah pertumbuhan kawasan perkotaan,” ujarnya. (tem/kun)
-

Menteri PPPA Sebut Pencegahan Korupsi Dimulai dari Peran Ayah di Rumah
Jakarta –
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifah Fauzi menegaskan pendidikan antikorupsi tidak hanya dimulai dari sekolah atau lingkungan kerja, tetapi juga dari keluarga khususnya dari peran seorang ayah. Menurutnya, ayah memiliki posisi strategis dalam membentuk integritas anak sejak dini.
Hal itu ia katakan saat menghadiri acara Sosialisasi Anti Korupsi dan Peringatan Hari Ayah Nasional 2025 di Hotel Grand Sahid, Jakarta Selatan, Selasa (2/12/2025). Dia menekankan nilai kejujuran, keberanian menolak kecurangan, hingga sikap bertanggung jawab dapat tertanam kuat ketika dicontohkan langsung oleh sosok ayah di rumah.
“Antikorupsi bukan sekadar soal hukum atau penindakan. Ini adalah nilai yang dibangun sejak kecil. Peran ayah di rumah sangat besar untuk menunjukkan bagaimana jujur dalam hal-hal sederhana,” kata Arifah.
Dia mencontohkan, kebiasaan kecil seperti tidak memanipulasi alasan ketika terlambat, tidak mengambil barang milik orang lain, hingga memegang janji sederhana kepada anak dapat menjadi pelajaran otentik tentang antikorupsi sejak dini.
“Anak belajar dari yang mereka lihat. Kalau ayahnya berani berkata jujur meskipun sulit, anak akan merekam itu sebagai nilai hidup,” tambahnya.
“Keluarga adalah benteng pertama pendidikan antikorupsi. Jika ayah hadir, terlibat, dan konsisten menunjukkan integritas, kita sedang menyiapkan generasi yang lebih berani melawan korupsi,” ungkapnya.
Dalam kesempatan itu, Arifah juga mendorong pemerintah daerah dan komunitas keluarga untuk memperluas kampanye penguatan karakter anak, termasuk melalui pelatihan parenting dan modul pendidikan antikorupsi berbasis keluarga.
(bel/idn)
-
/data/photo/2019/05/13/3191979353.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Sengketa Muatan Minyak Kapal Tanker di Batam, Kejari Dianggap Abaikan Pengadilan Regional 1 Desember 2025
Sengketa Muatan Minyak Kapal Tanker di Batam, Kejari Dianggap Abaikan Pengadilan
Tim Redaksi
BATAM, KOMPAS.com
– Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Batam, dianggap mengabaikan Pengadilan Negeri (PN) Batam dalam sidang gugatan derden verzet terkait kepemilikan kargo beripa light crude oil dalam kapal tanker MT Arman 114 yang kini berstatus dilelang oleh Kejaksaan Agung.
Dalam agenda persidangan yang berlangsung di PN
Batam
, Senin (1/12/2025) sore, sidang yang semestinya mendalami keberatan pihak pemilik muatan itu justru kembali tersendat.
Hal ini diakibatkan ketidakhadiran pihak tergugat, yakni
Kejaksaan Negeri Batam
dan Kejaksaan Agung RI untuk kedua kalinya.
Majelis hakim Tiwik, membuka sidang dengan agenda pemanggilan ulang terhadap tergugat.
Namun hingga persidangan diakhiri pihak tergugat tidak menghadiri persidangan.
Untuk itu, pihaknya menjelaskan bahwa pengadilan masih mengikuti tata aturan pemanggilan.
“Pengadilan akan melakukan pemanggilan hingga tiga kali. Bila pada panggilan ketiga pihak yang dipanggil tetap tidak menghadiri, sidang dapat dibuka dan diperiksa tanpa kehadirannya,” ujarnya saat memimpin sidang.
Menurut majelis, pemanggilan berikutnya dijadwalkan dengan agenda pemeriksaan pada 17 Desember.
Bila ketidakhadiran Kejari Batam terus berlanjut, majelis akan mempertimbangkan langkah hukum lanjutan, termasuk membuka pokok perkara tanpa menunggu kehadiran tergugat.
Kuasa hukum penggugat, Fauzi menegaskan bahwa klien PT Concepto Screen SAL merupakan pemilik sah 166.975,36 metrik ton light crude oil yang diangkut MT Arman 114.
Mereka menyatakan tidak terkait dengan kapal maupun tindak pidana yang menyeret nakhoda kapal tersebut.
“Muatan itu bukan barang ilegal, bukan alat bantu kejahatan, dan tidak boleh dirampas hanya karena putusan pidana terhadap nakhoda,” jelasnya.
Menurut mereka, KUHAP mewajibkan barang milik pihak ketiga yang beritikad baik untuk dikembalikan.
Gugatan derden verzet didaftarkan pada 27 Oktober 2025 setelah mereka mengetahui muatan tersebut ikut dirampas dalam putusan pidana.
Ketidakhadiran Kejaksaan dalam dua panggilan pengadilan makin kontras ketika Concepto mengungkap bahwa Kejaksaan justru telah mengumumkan rencana lelang muatan crude oil tersebut pada 4 November 2025, hanya sepekan setelah gugatan derden verzet diajukan.
Menurut penggugat, tindakan itu tidak mencerminkan kehati-hatian dan mengabaikan proses hukum yang sedang berjalan.
Mereka juga mencurigai pengumuman lelang yang tidak mencantumkan pemilik barang.
“Objek sedang dalam sengketa terbuka. Lelang semestinya ditunda sampai ada kepastian hukum. Seolah-olah muatan tidak punya pemilik, padahal sedang disengketakan,” tegasnya.
Pihaknya juga meminta penundaan lelang ke KPKNL Batam tak membuahkan hasil.
Dimana KPKNL membalas bahwa seluruh tindakan dilakukan berdasarkan perintah Kejaksaan dan menyarankan permohonan ditujukan langsung ke Jaksa Agung.
Kuasa hukum penggugat mengingatkan bahwa siapa pun pemenang lelang tidak otomatis dianggap pembeli beritikad baik. Jika gugatan dikabulkan, crude oil harus dikembalikan kepada pemggugat.
“Kami tidak segan menarik pemenang lelang ke proses hukum bila eksekusi tetap dipaksakan,” lanjutnya.
Pengajuan derden verzet dinilai sebagai satu-satunya mekanisme untuk melawan perampasan muatan yang menurut penggugat tidak terkait tindak pidana.
Sengketa kepemilikan muatan dianggap sebagai ranah perdata, bukan pidana.
Penggugat mengkritik tajam Kejaksaan yang dinilai tidak menunjukkan itikad baik.
Mereka menyebut ketidakhadiran berturut-turut dalam sidang sebagai tindakan yang tidak mencerminkan etika institusi penegak hukum.
Menurut Fauzi, Kejaksaan tidak bisa mendalilkan putusan pidana sebagai dasar tunggal perampasan muatan.
“Kepemilikan adalah domain perdata. Tidak boleh dicampur begitu saja,” jelasnya.Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
-

295 PPPK Paruh Waktu Pemkab Sumenep Ikuti Prosesi Terima SK Secara Daring
Sumenep (beritajatim.com) – Sebanyak 295 pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) paruh waktu di lingkungan Pemkab Sumenep mengikuti prosesi penyerahan surat keputusan (SK) Bupati secara ‘daring’. Sedangkan 4.929 lainnya mengikuti secara ‘luring’ di GOR A. Yani Sumenep.
Plt Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) Sumenep, Arif Firmanto menjelaskan, ratusan PPPK paruh waktu yang mengikuti penerimaan SK secara daring tersebut karena mereka berada di wilayah kepulauan.
“Mereka bertugas di kepulauan sebagai tenaga kesehatan. Jadi karena mempertimbangkan prioritas pelayanan kesehatan pada masyarakat, maka mereka diminta mengikuti secara daring,” katanya.
Pada Senin (01/12/2025), sebanyak 5.224 PPPK paruh waktu di lingkungan Pemkab Sumenep menerima surat keputusan (SK) Bupati. Berdasarkan keputusan Menteri PANRB, formasi kebutuhan PPPK paruh waktu di Sumenep sebanyak 5.252.
Namun berdasarkan hasil verifikasi, angka tersebut berkurang hingga menjadi 5.224, karena ada PPPK paruh waktu yang dinyatakan TMS atau tidak memenuhi syarat, kemudian ada yang mengundurkan diri, dan ada yang meninggal dunia.
“Masa hubungan perjanjian kerja PPPK paruh waktu berlaku satu tahun, terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2025 hingga 1 September 2026. Perjanjian kerja tersebut dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja,” terang Arif.
Ia menambahkan, PPPK paruh waktu wajib melaksanakan tugas sesuai surat perintah melaksanakan tugas (SPMT) terhitung 31 Desember 2025. Mereka akan menerima gaji sebagai PPPK paruh waktu pada 1 Januari 2026.
Sementara Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo mengatakan bahwa hadirnya PPPK paruh waktu merupakan transformasi tata kelola pemerintahan yang lebih adaptif, efisien, dan responsif.
“Pemerintah saat ini mendorong penggunaan model kerja yang lebih fleksibel, sehingga dapat menjangkau kebutuhan pelayanan hingga tingkat paling dasar,” ujarnya.
Ia menambahkan, salah satu tantangan besar pemerintah daerah adalah kondisi geografis Sumenep yang terdiri dari wilayah kepulauan dan daratan.
“Karena kondisi geografis seperti itu, maka tantangan pelayanan publiknya lebih besar. Butuh aparatur yang fleksibel, tangguh, dan siap melayani kapanpun,” tegasnya.
Kabupaten Sumenep terdiri dari 27 kecamatan. 9 kecamatan diantaranya merupakan kecamatan kepulauan yakni Kecamatan Masalembu, Sapeken, Arjasa, Kangayan, Raas, Nonggunong, Gayam, Giligenting, dan Kecamatan Talango. (tem/ted)
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5426587/original/001193100_1764310556-rumah_warga_medan_banjir.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Banjir Medan, Cerita Mencekam Warga dalam 24 Jam
Liputan6.com, Jakarta Kota Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara (Sumut) dilanda banjir besar pada Kamis (27/11/2025). Meski sudah mulai surut pada Jumat (28/11/2025), bencana banjir medan menyisakan duka dan cerita.
Warga membagikan cerita mencekam dikepung banjir. Mulai dari air yang tiba-tiba naik pada waktu Subuh, hingga sulitnya mencari sanak saudara yang terjebak di rumah akibat banjir. Kondisi diperparah padamnya aliran listrik, sehingga banyak warga yang benar-benar merasa kebingungan pada saat air merendam tempat tinggal mereka.
Sarah, tinggal di Jalan S Parman, Medan. Dia berbagi cerita saat terjebak di rumah akibat banjir dari luapan Sungai Babura. Tinggi air yang merendam rumahnya mencapai 2,5 meter. Dia mulai membagikan kisahnya sejak Kamis 27 November 2025.
“Awalnya masih sepinggang orang dewasa, lama-lama tinggi. Nah, rumah kami lantai 2, yang lantai 1 sudah tenggelam,” dia membagikan pengalamannya di media sosial.
Situasi semakin sulit karena aliran listrik padam. Ini adalah kali pertama Sarah merasakan banjir yang mencekam. Dia harus dievakuasi dari rumahnya yang sudah terendam.
“Tim Basarnas sudah mulai merapat, mau nangis karena kedinginan. Seumur-umur baru ngerasain ini dievakuasi akibat banjir,” tulisnya.
Keesokan harinya, Sarah kembali membagikan cerita. Dia dan keluarga lolos dari kepungan banjir. Mereka mengungsi sementara ke salah satu guest house.
“Hari ini (Jumat, 23 November 2025) banjir sudah mulai surut, tapi lumpurnya cukup tebal,” ucapnya.
Cerita lain datang dari bantaran Sungai Deli. Tepatnya di kawasan Jalan Kejaksaan. Seorang warga bernama Fauzi menceritakan detik-detik air sungai naik hingga merendam rumah yang ditempati bersama keponakan dan ibunya.
Bermula dari hujan yang mengguyur Kota Medan tak henti-henti sejak Selasa (25/11/2025). Fauzi mulai resah. Apalagi, langit di Kota Medan tak menunjukkan adanya tanda-tanda cerah.
Rabu (26/11/2025) malam, Fauzi yang rumahnya hanya hitungan meter dari Sungai Deli sempat mengecek debit air. Daikuinya, saat itu debit air mulai naik. Tak Sampai 24 jam, pada Kamis (27/11/2025) pagi, air mulai merendam rumahnya.
“Semalam lah puncaknya, pagi naik, siang naik, malam masih tinggi. Pagi ini mulai surut. Ini paling tinggi saya rasa naiknya, karena gang dekat rumah saya biasanya enggak pernah banjir, tapi kali ini banjir,” ungkapnya.
Di tengah kepungan banjir, Fauzi gelisah. Dia kesulitan menghubungi keluarga untuk mengirimkan kabar. Sinyal telekomunikasi yang dipakainya hilang timbul ketika hendak memberi tahu kabar kepada keluarga.
“Sulit kali komunikasi. Terus, listrik kan juga padam, nyari-nyari tetangga yang punya genset, lah, untuk ngecas hape. Begitu sinyal ada, langsung kasih kabar ke keluarga,” bebernya.

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5406014/original/027963300_1762507810-pexels-electra-studio-32883186-30648986.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/05/20/682b7bcf2f20c.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)