Tag: Faisal Rachman

  • Butuh ‘Keajaiban’ Agar Ekonomi RI 2025 Tumbuh 5,2%

    Butuh ‘Keajaiban’ Agar Ekonomi RI 2025 Tumbuh 5,2%

    Bisnis.com, JAKARTA – Pelambatan laju perekonomian pada kuartal III/2025 yang realisasinya hanya 5,04% semakin memperberat posisi pemerintah untuk mengejar target pertumbuhan tahunan di angka 5,2%.

    Kalau menurut perhitungan secara akumulatif, untuk mencapai angka pertumbuhan 5,2%, pemerintah perlu mengejar target pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2025 di angka 5,77% – 5,8%. Sementara proyeksi pemerintah saat ini, kuartal IV/2025 hanya tumbuh di angka 5,5%.

    Hal itu berarti, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2025 hanya akan berada di kisaran 5,13%. Meski simulasinya jauh lebih baik 2024 yang hanya tumbuh di angka 5,03%, secara tren pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 di angka 5,5% apalagi 5,77% sangat jarang bisa dicapai.

    Dalam catatan Bisnis, selama 10 tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 tidak pernah mencapai angka 5,5%. Apalagi dengan kondisi ekonomi 2025, yang selain ditopang dukungan dari stimulus pemerintah, nyaris tidak ada momentum politik atau ekonomi dalam skala besar yang bisa membawa ekonomi Indonesia tumbuh 5,5% pada kuartal IV/2025.

    Rata-rata pertumbuhan ekonomi kuartal IV dari tahun 2015-2024 hanya di kisaran 4,3%. Nilai rata-rata ini memperhitungkan realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV/2020 yang terkontraksi 2,19% akibat pandemi Covid-19.

    Sedangkan pencapaian tertinggi pertumbuhan ekonomi kuartal IV dalam 10 tahun terakhir, terjadi pada tahun 2017. Saat itu realisasi pertumbuhannya di angka 5,19%. Menariknya, kuartal IV tahun 2018 dan 2023 yang didukung booming komoditas, realisasi pertumbuhannya masing-masing hanya di angka 5,18% dan 5,04%.

    Artinya, kalau menilik tren tersebut, pertumbuhan ekonomi di angka 5,5% atau 5,77% pada kuartal IV nyaris tidak pernah terjadi selama 10 tahun terakhir. Apalagi dengan fakta bahwa terjadi tren pelambatan kinerja konsumsi rumah tangga selama kuartal III/2025 lalu di angka 4,89%. Padahal, target pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025 yang harus dipenuhi pemerintah agar bisa tumbuh sebesar 5,2% pada tahun 2025, minimal harus di angka 5,77%.  

    Kendati demikian, pemerintah cukup yakin bahwa pada akhir tahun konsumsi akan pulih dan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal mampu tumbuh di angka 5,2%. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto adalah salah satu pejabat kabinet yang optimistis dengan target tersebut.

    “Memang kuartal III ada pelemahan, tetapi kuartal IV kan naik. Inflasi dilihat saja naik di kuartal III akhir. Kedua, kalau dilihat ada spike [kenaikan] di penjualan,” terangnya, Rabu (5/11/2025) lalu.

    Airlangga juga menekankan bahwa kondisi perekonomian semakin membaik pada kuartal IV/2025, setelah efek stimulus perekonomina dirasakan. Dengan begitu, dia memperkirakan target pertumbuhan ekonomi 5,2% bisa tercapai.

    “Full year 5,2% bisa dicapai,” ujarnya.

    Target Tidak Akan Tercapai

    Sementara itu, Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Faisal Rachman mendorong pemerintah lebih ekspansif pada sisa akhir tahun, usai pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 hanya capai 5,03%.

    Faisal memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 tidak akan capai target. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun masih bisa tetap berada di kisaran 5,0%—5,1% apabila pemerintah lebih ekspansif pada akhir tahun ini.

    “Penting mempertahankan kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif, terutama melalui percepatan belanja pemerintah, khususnya pada sektor-sektor produktif yang memiliki efek pengganda tinggi,” ujar Faisal dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025) 

    Selain itu, prospek konsumsi rumah tangga diperkirakan membaik seiring perbaikan pasar tenaga kerja dan inflasi yang tetap terkendali. Dia melihat stabilitas harga dan meningkatnya pendapatan riil masyarakat akan memperkuat daya beli, terutama di segmen menengah.

    Dari sisi investasi, Faisal melihat prospek yang lebih positif dibandingkan paruh awal 2025. Penurunan suku bunga kebijakan global dan domestik diproyeksikan akan menurunkan biaya pendanaan dan meningkatkan kepercayaan investor untuk berekspansi.

    Meski demikian, Faisal mengingatkan bahwa kenaikan impor barang modal dapat meningkat kembali seiring pemulihan investasi.

    Dia menilai ekspor Indonesia masih akan menghadapi tantangan eksternal, terutama akibat perang dagang yang berlanjut dan perlambatan ekonomi China. Kendati demikian, tekanan terhadap ekspor diperkirakan mulai berkurang seiring pelonggaran sikap AS terhadap negosiasi dagang dan upaya diversifikasi pasar ekspor oleh pemerintah.

    Selain itu, upaya diversifikasi negara mitra dagang lewag perjanjian-perjanjian perdagangan baru dan pemulihan harga komoditas utama juga bisa membantu performa ekspor. Hanya saja, secara umum, kondisi global yang cenderung stagnan akan menekan inflasi dunia dan membuka ruang bagi penurunan suku bunga lanjutan, yang dapat mendorong arus modal masuk ke pasar berkembang termasuk Indonesia.

    Faisal pun melihat stabilitas politik dan makroekonomi akan menjadi kunci pada periode mendatang. Pemerintah dinilai masih memiliki ruang untuk memperluas kebijakan fiskal dan moneter, namun harus tetap berhati-hati.

    “Karena defisit transaksi berjalan berpotensi melebar di tengah friksi perdagangan dan defisit fiskal dapat meningkat akibat kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan,” ungkap Faisal.

  • Kejar Target Pertumbuhan 5,2%, Ekonom Dorong Pemerintah Lebih Ekspansif

    Kejar Target Pertumbuhan 5,2%, Ekonom Dorong Pemerintah Lebih Ekspansif

    Bisnis.com, JAKARTA — Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Faisal Rachman mendorong pemerintah lebih ekspansif pada sisa akhir tahun, usai pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 hanya capai 5,03%.

    Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,87% pada kuartal I/2025 dan 5,12% pada kuartal II/2025. Pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi capai 5,2% sepanjang tahun. Agar target tersebut bisa tercapai, ekonomi pada kuartal IV/2025 harus tumbuh minimal 5,77%.

    Faisal memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada 2025 tidak akan capai target. Kendati demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun masih bisa tetap berada di kisaran 5,0%—5,1% apabila pemerintah lebih ekspansif pada akhir tahun ini.

    “Penting mempertahankan kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif, terutama melalui percepatan belanja pemerintah, khususnya pada sektor-sektor produktif yang memiliki efek pengganda tinggi,” ujar Faisal dalam keterangannya, Rabu (5/11/2025) 

    Selain itu, prospek konsumsi rumah tangga diperkirakan membaik seiring perbaikan pasar tenaga kerja dan inflasi yang tetap terkendali. Dia melihat stabilitas harga dan meningkatnya pendapatan riil masyarakat akan memperkuat daya beli, terutama di segmen menengah.

    Dari sisi investasi, Faisal melihat prospek yang lebih positif dibandingkan paruh awal 2025. Penurunan suku bunga kebijakan global dan domestik diproyeksikan akan menurunkan biaya pendanaan dan meningkatkan kepercayaan investor untuk berekspansi.

    Meski demikian, Faisal mengingatkan bahwa kenaikan impor barang modal dapat meningkat kembali seiring pemulihan investasi.

    Lebih lanjut, dia menilai ekspor Indonesia masih akan menghadapi tantangan eksternal, terutama akibat perang dagang yang berlanjut dan perlambatan ekonomi China. Kendati demikian, tekanan terhadap ekspor diperkirakan mulai berkurang seiring pelonggaran sikap AS terhadap negosiasi dagang dan upaya diversifikasi pasar ekspor oleh pemerintah.

    Selain itu, upaya diversifikasi negara mitra dagang lewag perjanjian-perjanjian perdagangan baru dan pemulihan harga komoditas utama juga bisa membantu performa ekspor.

    Sementara pada tahun depan, risiko makroekonomi diperkirakan relatif sama dengan 2025: tekanan utama berasal dari faktor eksternal seperti geopolitik, perdagangan global, dan pemulihan ekonomi China yang lambat.

    Hanya saja, secara umum, kondisi global yang cenderung stagnan akan menekan inflasi dunia dan membuka ruang bagi penurunan suku bunga lanjutan, yang dapat mendorong arus modal masuk ke pasar berkembang termasuk Indonesia.

    Faisal pun melihat stabilitas politik dan makroekonomi akan menjadi kunci pada periode mendatang. Pemerintah dinilai masih memiliki ruang untuk memperluas kebijakan fiskal dan moneter, namun harus tetap berhati-hati.

    “Karena defisit transaksi berjalan berpotensi melebar di tengah friksi perdagangan dan defisit fiskal dapat meningkat akibat kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan,” ungkap Faisal.

    Perkembangan Kuartal III/2025

    Faisal turut merincikan perkembangan indikator-indikator pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025, sepeti yang dirilis Badan Pusat Statistik pada hari ini, Rabu (5/11/2025).

    Dari sisi pengeluaran, pertama ada konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi lebih dari separuh terhadap produk domestik bruto (PDB). Konsumsi rumah tangga tumbuh 4,89% secara tahunan (year on year/YoY), sedikit menurun dari 4,97% YoY pada kuartal sebelumnya.

    Menurutnya, normalisasi konsumsi terjadi setelah lonjakan musiman pada kuartal II akibat perayaan keagamaan dan musim libur. Secara kuartalan, perlambatan terutama terlihat pada komponen konsumsi yang terkait rekreasi dan mobilitas.

    Transportasi dan komunikasi tumbuh 6,41% YoY, melambat dari 6,48% YoY. Kemudian, restoran dan hotel tumbuh 6,32% YoY, turun dari 6,77% yoy.

    Peralatan rumah tangga juga melambat cukup signifikan menjadi 3,74% YoY dari 4,34% YoY, mencerminkan penurunan permintaan barang tahan lama.

    Sebaliknya, sebagian komponen menunjukkan perbaikan. Konsumsi pakaian meningkat menjadi 4,21% YoY dari 2,91% YoY, didorong oleh awal tahun ajaran baru dan meningkatnya aktivitas ritel daring.

    Dari sisi pembentukan modal tetap bruto atau investasi, pertumbuhan investasi melambat tajam menjadi 5,04% YoY dari 6,99% YoY pada kuartal II/2025.

    Investasi bangunan dan struktur tumbuh hanya 3,02% YoY, turun dari 4,89% YoY seiring penurunan konsumsi semen dan beralihnya fokus pemerintah dari pembangunan infrastruktur ke program peningkatan sumber daya manusia.

    Sementara itu, investasi mesin dan peralatan tetap menjadi segmen tercepat dengan pertumbuhan 17,00% YoY, menurun dari 24,58% YoY sejalan dengan penurunan impor barang modal.

    Kemudian Faisal menjelaskan komponen pengeluaran pemerintah menjadi sumber pertumbuhan baru pada periode ini. Konsumsi pemerintah tumbuh 5,49% YoY, berbalik dari kontraksi 0,33% YoY di kuartal sebelumnya.

    Menututnya, pemulihan ini mencerminkan pergeseran kebijakan fiskal ke arah ekspansif, setelah sebagian anggaran yang sebelumnya ditahan kembali dicairkan sejak pertengahan tahun. Hingga 22 September 2025, pemerintah telah merealisasikan pencairan Rp168,5 triliun dari total Rp256,1 triliun dana cadangan anggaran, mempercepat realisasi proyek dan belanja sosial.

    Sedangkan ekspor-impor juga mencatatkan surplus neraca perdagangan, meski keduanya sama-sama melambat. Ekspor tumbuh 9,91% YoY, turun dari 10,95% YoY; sedangkan impor turun tajam menjadi 1,18% YoY dari 11,65% YoY.

    Dia mencatat perlambatan ekspor mencerminkan normalisasi pasca percepatan pengiriman (front-loading) sebelum penerapan tarif timbal balik oleh Amerika Serikat pada Agustus 2025. Sementara itu, impor melemah karena penurunan investasi dan berakhirnya musim haji serta libur sekolah, yang menekan impor jasa perjalanan.

    Dari sisi lapangan usaha, hampir seluruh sektor mencatatkan pertumbuhan positif. Sektor pendidikan tumbuh paling tinggi 10,59% YoY, diikuti jasa perusahaan sebesar 9,94% YoY, ditopang awal tahun ajaran baru dan meningkatnya aktivitas wisata domestik.

    Manufaktur yang masih menjadi penopang utama ekonomi dengan pertumbuhan 5,54% YoY, sedikit menurun dari 5,68% YoY. Industri logam dasar tumbuh kuat 18,62% YoY, sedangkan makanan dan minuman meningkat ke 6,49% YoY, didukung oleh permintaan global atas CPO, baja, dan mesin listrik.

    Sebaliknya, subsektor tekstil dan produk kayu tertekan akibat penerapan tarif timbal balik oleh AS, masing-masing hanya tumbuh 0,93% YoY dan -9,60% yoy.

    Pertanian melonjak menjadi 4,93% YoY dari 1,65% YoY. Sementara pertambangan terkontraksi 1,98% YoY karena menurunnya produksi batu bara.

  • Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif sejak kuartal III/2025 diperkirakan bisa memberikan sumbangsih terhadap inflasi. Selain kebijakan suku bunga yang longgar dari Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menginjeksi himbara dengan likuiditas murah Rp200 triliun pada September 2025 dan menyalurkan berbagai stimulus ekonomi. 

    Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada September 2025 sebesar 0,21% secara bulanan (month-to-month/mtm), dan secara tahunan sebesar 2,65% (year on year/YoY). Kemudian, inflasi tahun berjalan dari Januari-September 2025 yakni 1,82% (year-to-date/ytd). 

    Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk. Faisal Rachman memperkirakan pada Oktober 2025 terjadi  deflasi bulanan sebesar 0,05% (month to month/MtM) dan inflasi yang melandai secara tahunan dari September 2025 yakni menjadi 2,65% (year-on-year/yoy). 

    Situasi tersebut, terang Faisal, membuat pihaknya mempertahankan perkiraan inflasi pada akhir 2025 berada di kisaran antara 2% sampai dengan 2,5%. Perkiraan itu masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI) yakni 1,5% dan 3,5%, yang sejak akhir 2024 lalu telah menempuh kebijakan moneter longgar dan pro-pertumbuhan. 

    Menurut Faisal, kebijakan ekspansif BI ditambah dengan yang dilakukan oleh Menkeu Purbaya dari sisi fiskal bisa memberikan sumbangsih kepada inflasi. Sebab, suplai uang menjadi lebih banyak. 

    “Dampak terhadap inflasi dari ekspansi likuiditas ini diestimasi berada dalam kisaran 0,3 sampai dengan 0,5 percentage point,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (31/10/2025). 

    Kendati demikian, Faisal memperkirakan dampak dari likuiditas yang melimpah di sistem perekonomian itu terbatas terhadap kenaikan inflasi. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh perekonomian Indonesia yang masih berjalan di bawah output gap yang negatif, tekanan terhadap permintaan yang masih terkedali, serta potensi normalisasi harga emas di tengah membaiknya sentimen risiko. 

    “Kami tidak mengantisipasi inflasi bisa meningkat hingga di atas level 3%,” terang pria dengan dua gelar Master berbeda dari National University of Singapore dan University of Edinburgh itu. 

    Untuk itu, pihaknya pun memperkirakan inflasi pada akhir 2025 sekitar 2,33% atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yakni hanya 1,57%. Perkiraan itu turut didasari oleh kebijakan pemerintah yang dapat mengendalikan inflasi akhir tahun, dengan menawarkan diskon tiket transportasi pada libur Natal dan tahun baru. 

    Kendati demikian, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA, David Sumual menilai ekspansi likuiditas oleh BI maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum terindikasi berdampak ke inflasi. 

    David menilai momentum perbaikan aktivitas belanja masyarakat sejalan dengan periode musiman Natal dan tahun baru. Akan tetapi, dia melihat kebijakan suku bunga yang longgar hingga injeksi Rp200 triliun ke himbara serta berbagai program stimulus belum akan berpegaruh ke kenaikan harga. 

    “Belum ada indikasi dampak ke inflasi. Harga pangan stabil sementara berbagai produk impor yang deras masuk ke dalam negeri justru harganya relatif stabil turun,” terang David kepada Bisnis. 

    Menurut David, kebijakan fiskal yang ekspansif dari Kemenkeu secara khusus bisa menstabilkan ekonomi serta mencegah penurunan lebih lanjut. Namun, dia menyebut kebijakan itu hanya bersifat sementara.

    Dia menilai kebijakan ekspansif dari sisi fiskal bisa membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (yoy), sebagaimana yang disampaikan Purbaya dan jajarannya. Namun, David melihat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 masih akan sekitar 5%. 

    “Kebijakan-kebijakan ini sifatnya masih ’emergency’ ibarat cafeine yang dampaknya hanya temporer. Perlu dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang bisa dorong pertumbuhan lebih sustain dalam jangka menengah panjang,” tuturnya. 

    Tertahan Pertumbuhan Ekonomi

    Pada acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Selasa (28/10/2025), Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menjelaskan bahwa pengaruh suplai uang berlebih terhadap inflasi masih menjadi perdebatan di kalangan ekonom. Dia menilai tidak berarti cetak uang maka akan selalu mendorong inflasi. 

    Purbaya menilai fenomena dimaksud, yang dinamakan demand-pull inflation, tidak akan terjadi apabila laju pertumbuhan ekonomi suatu negara berada di bawah potensialnya. Dalam hal ini, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut rata-rata pertumbuhan ekonomi 5% di Indonesia belum menyentuh level potensial. 

    Menurutnya, Indonesia dalam jangka pendek harus mencapai pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%. Hal ini sejalan dengan target pertumbuhan 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. 

    Pertumbuhan ekonomi sekitar 7% itu dibutuhkan, terang Purbaya untuk bisa menyerap tenaga kerja di usia kerja di sektor formal. “Nanti kalau pertumbuhan ekonomi di atas [6%-7%] dalam beberapa tahun baru timbul apa yang disebut demand-pull inflation. Kalau sekarang terlalu dini,” ujarnya. 

  • Begini Rapor Ekonomi RI, Awalnya Lesu Lalu Tiba-tiba 5,12%

    Begini Rapor Ekonomi RI, Awalnya Lesu Lalu Tiba-tiba 5,12%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Selama satu tahun Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, tepatnya sejak 20 Oktober 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengejutkan banyak pihak, karena mampu melaju cepat usai mengalami tekanan pada periode awal 2025.

    Pada kuartal I-2025, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,87% secara tahunan atau year on year (yoy). Laju pertumbuhan itu jauh lebih rendah dari kuartal I-2024 yang mampu melesat di level 5,11%, maupun kuartal IV-2024 yang tumbuhnya 5,02%.

    Lesunya laju pertumbuhan pada awal tahun ini tak terlepas dari tekanan daya beli yang dialami masyarakat, di samping adanya efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Makanya, pemerintah pada saat itu menggelontorkan paket stimulus ekonomi guna menjaga daya beli masyarakat.

    “Jadi dengan berbagai paket yang diberikan diharapkan menunjang daya beli dan ini bisa menjadi pendorong konsumsi dan tentunya pertumbuhan ekonomi di akhir tahun dan juga di awal kuartal pertama 2025,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Desember 2024, seperti dikutip kembali pada Senin (20/10/2025).

    Tekanan daya beli masyarakat itu tergambar dari tingkat konsumsi rumah tangga yang tak mampu tumbuh di atas 5%, tepatnya hanya sejajar dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,89%. Level itu lebih rendah dari posisi kuartal IV-2024 yang sebesar 4,98%, dan kuartal I-2024 4,91%. Adapun konsumsi pemerintah saat itu bahkan minus 1,38%.

    Akibatnya, pada awal tahun pemerintah menggelontorkan paket stimulus ekonomi tahap I-2025 yang anggarannya disediakan senilai Rp 33 triliun. Terdiri dari diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan dengan daya sampai 2.200 VA untuk periode Januari-Februari 2025. Lalu, ada kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah.

    Adapula kebijakan kemudahan akses layanan jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK, ditambah dengan perpanjangan massa berlakunya pajak penghasilan (PPh) final 0,5% unuk para pelaku UMKM.

    Pemerintah juga kala itu memberikan insentif bagi para pekerja bergaji sampai dengan Rp 10 juta per bulan dengan memberlakukan pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP). Adapula bantuan iuran 50% untuk program jaminan kecelakaan kerja (JKK) serta subsidi bunga 5% bagi industri padat karya untuk melakukan revitalisasi mesin.

    Terakhir, insentif yang diberikan berupa PPN DTP untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, hingga pajak penjualan atas barang mewah yang ditanggung pemerintah alias PPnBM DTP sebesar 3%.

    Karena ekonomi tak mampu tumbuh lebih cepat pada kuartal I-2025, pemerintah akhirnya kembali memutuskan untuk memberikan paket stimulus ekonomi pada kuartal II-2025, dengan istilah paket stimulus ekonomi tahap II. Anggaran yang digelontorkan saat itu senilai Rp 24,4 triliun.

    Bentuk insentifnya berupa diskon transportasi untuk kereta, tiket pesawat, hingga tiket angkutan laut, hingga bantuan subsidi upah kepada pekerja atau buruh bergaji sampai dengan Rp 3,5 juta serta 560 ribu lebih guru senilai Rp 300 ribu selama Juni-Juli 2025.

    Diskon tarif tol juga saat itu diberlakukan untuk periode Januari-Juli 2025, diiringi dengan penebalan bantuan sosial berupa tambahan kartu sembako senilai Rp 200 ribu per bulan, serta bantuan pangan berupa 10 kg beras per bulan untuk periode Juni-Juli 2025. Pemerintah saat itu juga memperpanjang diskon iuran JKK.

    Maka, tak heran, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 mampu melesat hingga ke level 5,12% yoy saat itu. Laju pertumbuhan itu melampaui level kuartal I-2025 dan bahkan lebih tinggi dari level kuartal II-2024.

    Ekonom Dibuat Heran

    Namun, sejumlah ekonom mengaku heran dengan laju pertumbuhan itu. Kepala Ekonom BCA David Sumual misalnya, saat itu menegaskan, laju pertumbuhan saat itu memang jauh di atas ekspektasi di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.

    David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021. Sedangkan konsumsi rumah tangga yang kontribusinya 54,25% ke pertumbuhan ekonomi masih betah di level bawah 5% meskipun berbagai paket stimulus ekonomi telah diberikan.

    Ia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.

    Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.

    “Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegas Faisal.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.

    “Cenderung enggak banyak spillover ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucap Hosianna.

    Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.

    “Surprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” tutur Myrdal.

    Menuju Pertumbuhan 8%

    Kendati begitu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan, sebetulnya angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 yang dicatat BPS sangat wajar, karena pemerintah akhirnya mampu meningkatkan peredaran uang primer dengan berbagai kebijakan paket stimulus ekonomi, hingga melonggarkan kebijakan efisiensi anggaran.

    “Sebagian dari Anda anggap angka ini salah, 5,12% (PDB kuartal II-2025) katanya 5+1+2 = 8. Tapi bukan itu, di belakangnya kalau Anda lihat laju pertumbuhan uang, pada triwulan II itu tumbuh uangnya cukup kencang,” paparnya.

    Karena itu, pada kuartal III-2025, pemerintah kembali mengandalkan program paket stimulus ekonomi demi menjaga laju pertumbuhan ekonom. Nilai paket stimulus ekonomi kuartal III-2025 dirancang sebesar Rp 10,8 triliun.

    Pada akhir kuartal III-2025, pemerintah bahkan telah menyiapkan paket stimulus ekonomi lanjutan untuk mendorong daya beli masyarakat dan menjaga tren laju pertumbuhan hingga akhir tahun. Paket stimulus ekonomi itu disebut 8+4+5, terdiri dari 8 program akselerasi di 2025, 4 program yang dilanjutkan di 2026, dan 5 program andalan Pemerintah untuk penyerapan tenaga kerja.

    Lalu, program stimulus ekonomi itu ditambah kembali sejak Oktober 2025 dengan dua program yakni Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kesejahteraan Rakyat dan Program Magang Lulusan Perguruan Tinggi. Program BLT Kesejahteraan Rakyat merupakan program tambahan dari Kartu Sembako (BLT) Reguler sedangkan program magang lulusan perguruan tinggi penguatan dari sebelumnya untuk 20.000 ribu peserta menjadi 80.000 peserta.

    Purbaya pun percaya diri, dengan kebijakan penebalan BLT yang resmi diluncurkan Presiden Prabowo Subianto mulai 20 Oktober 2025 itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh jauh lebih cepat pada akhir 2025, dari perhitungannya semula 5,5% menjadi hampir menyentuh level 5,7%.

    “Itu langsung ke masyarakat, jadi akan memperkuat daya beli. Kalau diumumkan seperti itu, saya bukan 5,5% lagi pertumbuhan ekonomi. Hitungan kita 5,67%, hampir 5,7%,” tegas Purbaya di kawasan Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

    Purbaya pun menatap optimistis pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sesuai yang diinginkan oleh Presiden Prabowo Subianto meskipun bukanlah target yang mudah dicapai. “Itu bukan sesuatu yang mudah,” ungkap Purbaya saat di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada September 2025 lalu.

    Meski demikian, ekonomi tumbuh 8% menurutnya adalah sebuah keharusan agar Indonesia bisa menjadi negara maju layaknya Jepang, Korea Selatan dan China.

    “Ada periode yang panjang, tumbuhnya double digit. 8% kelihatannya optimis, terlalu optimis. Tapi kalau didesain dengan baik, masih bisa,” jelasnya.

    “Karena selama 20 tahun terakhir ini, mesin kita timpang. Zaman Pak SBY, yang jalan, mesin private sector lah kira-kira. Dengan kredit tumbuh cepat, tapi pemerintahnya belum optimal,” terang Purbaya.

    Pada era Jokowi, lanjut Purbaya, ekonomi mampu tumbuh tinggi tapi tidak ditopang oleh sektor swasta sehingga hanya mampu di kisaran 5%.

    “Zaman Pak Jokowi, pemerintahnya bangun investasi di mana-mana, private sectornya agak mati, kreditnya hanya tumbuh 7% rata-rata. Nah ke depan kita akan hidupkan dua-duanya. Jadi dengan itu, 6-7% nggak terlalu susah,” paparnya.

    Beberapa waktu lalu, dalam wawancara terbaru dengan Forbes, Presiden Prabowo masih yakin pemerintahannya bisa menorehkan pertumbuhan 8%. Adapun, dia menuturkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan menjadi motornya.

    “Saya pikir pertumbuhan 8% sangat bisa dicapai. Misalnya, dengan program MBG ini saja, kami menciptakan langsung 1,5 juta lapangan kerja. Ada 30 ribu dapur dan tiap dapur mempekerjakan sekitar 50 orang. Itu artinya 1,5 juta pekerjaan langsung,” tegas Prabowo.

    Selain itu, dia meyakini MBG dapat mendorong terciptanya wirausaha lokal. Ketika rantai pasok sudah terbentuk dari adanya MBG, maka daya beli masyarakat akan terbentuk.

    “Setiap dapur menciptakan sekitar 15 wirausaha lokal baru. Ada yang menjual telur, sayur, ikan, daging, satu lagi garam. Dan masing-masing dari mereka memiliki 5, 10, atau 15 pekerja,” ujarnya.

    “Kalau masyarakat punya uang, apa yang mereka lakukan? Mereka beli sepatu, pakaian, memperbaiki rumah, mungkin membeli sepeda motor atau televisi. Jadi saya pikir inilah caranya,” tegas Prabowo.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Semua Kaget!

    Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Semua Kaget!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Semua kaget dengan rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang telah diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12%, Selasa (5/8/2025).

    Kalangan ekonom kompak menyebut angka pertumbuhan itu di luar dugaan dan bahkan ada yang menyebut janggal.

    Ekonom yang mengaku terkejut dengan angka itu ialah Kepala Ekonom BCA David Sumual. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis BPS hari ini memang jauh di atas ekspektasi nya yang memperkirakan hanya di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.

    “Cukup suprising, tidak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%,” kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).

    David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021.

    “Investasi angkanya sangat akseleratif. Angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi dan investasi memang kami juga expect akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS,” ucap David.

    Ia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.

    Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.

    “Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegas Faisal.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.

    “Cenderung enggak banyak spill over ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucap Hosianna.

    Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.

    “Suprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” tutur Myrdal.

    Dugaan Kejanggalan

    Sementara itu, sejumlah ekonomi dari lembaga think tank, menganggap ada kejanggalan dari data ekonomi kuartal II-2025 ini. Misalnya, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.

    Sama seperti David Sumual yang turut mempertanyakan cepatnya pertumbuhan kinerja industri manufaktur, Bhima menyebut angka janggal pertumbuhan itu berlainan dengan data PMI Manufaktur yang malah kini tengah dalam zona pesimis.

    Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2, yang berarti berada di zona kontraksi. Ini menjadi bulan keempat berturut-turut PMI berada di bawah ambang ekspansi (50,0), menandakan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.

    Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun angka pada Juli menunjukkan sedikit perbaikan, posisi yang masih berada di bawah 50 menandakan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.

    “Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI Manufaktur. Ini ada yang janggal,” tegas Bhima.

    Sementara itu, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% (yoy) pada kuartal II 2025 patut dicermati secara lebih kritis.

    Ia menyebut, secara nominal, angka pertumbuhan ini memang di luar ekspektasi karena di kisaran 4,7-5,0%. Bahkan, mampu tumbuh tinggi di atas periode yang memiliki dorongan faktor musiman seperti pada kuartal I-2025 dengan capaian hanya 4,87%.

    “Sangat mengejutkan, di luar ekspektasi,” tegas Rizal.

    Namun, Rizal mengingatkan, jika dilihat dalam konteks historis, capaian ini sebenarnya masih merefleksikan pola pertumbuhan yang masih stagnan sejak pasca-pandemi.

    “Artinya, kita tidak menyaksikan lonjakan pertumbuhan struktural, melainkan repetisi siklus musiman yang seringkali terdorong oleh momen Lebaran dan pola konsumsi jangka pendek, tanpa transformasi signifikan di sisi produktif,” paparnya.

    “Ini menandakan bahwa struktur ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dalam kualitas, meskipun terlihat stabil dalam kuantitas,” tegas Rizal.

    Lebih jauh, ia mengingatkan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan berasal dari lonjakan impor (11,65%), konsumsi rumah tangga, dan PMTB (investasi tetap bruto), bukan dari peningkatan ekspor bersih atau efisiensi belanja pemerintah di mana konsumsi pemerintah justru tumbuh negatif (-0,33%).

    “Ini mengindikasikan bahwa permintaan domestik masih menjadi tulang punggung utama, sementara sisi produksi dan ekspor masih belum cukup kuat menopang pertumbuhan jangka menengah,” paparnya.

    Ketergantungan terhadap sektor konsumsi dan importasi bahkan dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan meningkatkan tekanan terhadap neraca pembayaran bila tidak dibarengi dengan penguatan sektor tradable.

    Dengan kata lain, ia melihat pertumbuhan Q2‑2025 lebih mencerminkan stabilitas struktural ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global, meskipun masih bergantung pada faktor musiman dan permintaan domestik,

    Walaupun ia anggap angka ini belum terjadi pergeseran strategis menuju industrialisasi dan produktivitas sektor riil. Dengan kata lain, Rizal menekankan, pertumbuhan ekonomi kuartal II‑2025 sebesar 5,12% memang cukup impresif secara headline, tetapi belum menjawab tantangan struktural ekonomi Indonesia.

    “Ketergantungan pada konsumsi dan investasi tanpa dukungan kuat dari sektor produksi dan ekspor yang dapat menjadikan capaian pertumbuhan rawan tidak sustain,” tegas Rizal.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonom catat konsensus pasar terbelah antara BI-Rate turun atau tetap

    Ekonom catat konsensus pasar terbelah antara BI-Rate turun atau tetap

    Kami melihat BI-Rate dapat diturunkan sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen pada RDG kali ini.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri mencatat saat ini konsensus pasar terbagi antara ekspektasi suku bunga acuan (BI-Rate) tetap 5,50 persen atau turun, jelang pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI), Rabu (16/7) besok.

    Reny mengatakan, Bank Mandiri memperkirakan BI-Rate dipangkas sebesar 25 basis point (bps) pada RDG BI periode Juli 2025.

    “Kami melihat BI-Rate dapat diturunkan sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen pada RDG kali ini,” kata Reny saat dihubungi di Jakarta, Selasa.

    Untuk menetapkan BI-Rate, BI akan mempertimbangkan sejumlah faktor. Reny menjelaskan, jika bank sentral menilai tekanan eksternal mulai mereda dan fundamental domestik tetap terkendali, maka ruang untuk menurunkan BI-Rate akan terbuka.

    Sejumlah indikator yang menjadi perhatian BI, antara lain perlambatan ekonomi, inflasi yang tetap sesuai target, stabilitas nilai tukar rupiah, kecukupan likuiditas perbankan, stabilitas sistem keuangan, serta ekspektasi pelaku usaha. Faktor-faktor inilah yang dapat mendukung keputusan penurunan BI-Rate.

    Berbeda dengan Bank Mandiri, Bank Syariah Indonesia (BSI) memproyeksikan BI-Rate bertahan pada level 5,50 persen pada bulan ini seiring dengan ketidakpastian global yang masih tinggi serta arus modal asing keluar (capital outflow) yang masih menekan rupiah.

    Chief Economist BSI Banjaran Surya Indrastomo menilai, momentum yang tepat untuk penurunan BI-Rate yakni pada September mendatang ketika belanja pemerintah mulai mengalir dan mendorong perekonomian.

    “Saat pelaku usaha mulai bergairah lagi menangkap peluang, demand ke depan muncul dari kebutuhan pembiayaan modal kerja,” kata Banjaran.

    Senada dengan Banjaran, Head of Macroeconomic and Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunga acuannya.

    Meskipun terdapat ruang untuk penurunan BI-Rate seiring dengan tren apresiasi rupiah belakangan ini, bank sentral diperkirakan lebih berhati-hati menyusul meningkatnya tensi perang dagang, terutama setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan putaran terbaru tarif resiprokal terhadap mitra dagang utama.

    “Langkah tersebut kembali memicu sentimen risk-off di pasar keuangan global, yang berpotensi memberikan tekanan terhadap rupiah dalam jangka pendek,” ujar Faisal.

    PermataBank melihat potensi satu kali lagi penurunan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 5,25 persen, yang kemungkinan akan terjadi pada September 2025.

    Proyeksi ini sejalan dengan meningkatnya kejelasan arah kebijakan perdagangan AS serta potensi tercapainya kesepakatan dengan Pemerintah Indonesia sebelum tenggat waktu 1 Agustus 2025.

    Selain itu, The Fed juga diperkirakan akan menurunkan suku bunga acuan atau Fed Funds Rate (FFR) pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September 2025.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom Wanti-wanti RI Alami Inflasi Jelang Lebaran

    Ekonom Wanti-wanti RI Alami Inflasi Jelang Lebaran

    Jakarta

    Ekonom Bank Permata memprediksi Indonesia akan mengalami inflasi pada Maret mendatang. Hal ini sejalan dengan berakhirnya tarif diskon 50% yang diterapkan pemerintah selama dua bulan, yakni Januari dan Februari.

    Head of Macroeconomic & Financial Market Research, Bank Permata Faisal Rachman mengatakan deflasi Januari sebesar 0,76% masuk kategori cukup rendah. Menurut Faisal, capaian ini menunjukkan tren yang berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya yang cenderung mengalami inflasi pada Januari.

    “Kalau kita lihat ini, ini memang mostly karena deflasi 0,76% secara month to month ya di bulan Januari, dan mostly ini memang berubah daripada trendnya. Karena biasanya kalau trend itu di Januari tercantum inflasi karena memang musim hujan dan pasti harga-harga itu melonjak,” kata Faisal dalam acara Economic Review yang disiarkan secara daring, Senin (10/2/2025).

    Faisal menjelaskan penyebab terjadinya deflasi tak lepas dari kebijakan tarif diskon listrik sebesar 50%. Namun, kebijakan tersebut akan berakhir pada Februari sehingga harga-harga diprediksi akan melonjak 50% pada Maret. Ditambah, sebentar lagi memasuki bulan Ramadan dan Lebaran.

    Faisal pun memprediksi Maret akan mengalami inflasi. Sementara itu, untuk 2025, Faisal memperkirakan inflasi Indonesia berada di level 2%.

    “Dan di Maret juga ada bulan Ramadan, dan juga sudah mulai masuk ke Lebaran. Artinya memang ada pull up demand di sana, sehingga kemungkinan kita lihat memang di bulan Maret itu inflasi cenderung akan kembali meningkat. Mungkin di Januari, Februari itu rendah, tetapi di Maret itu kemungkinan inflasi bisa melonjak. So, kita masih melihat bahwa inflasi di tahun 2025 ini, kemungkinan masih akan bisa berada di level 2%-an di akhir tahun 2025,” tambah Faisal.

    Lebih lanjut, Faisal membeberkan komponen yang menyebabkan deflasi pada Januari. Subkelompok Perumahan, Air, Listrik dan Bahan Bakar Rumah Tangga menyumbang deflasi sebesar 8,75% pada Januari. Dia menekankan subkelompok itulah yang menjadi faktor utama deflasi Januari.

    “Jadi kalau kita lihat secara komponen, housing water electricity itu, itu mengalami deflasi 8,75% secara on-year di bulan Januari ya, jadi itu karena faktor itu. Tapi kalau kita menghilangkan itu, maka memang memang inflasi itu masih akan cenderung di atas 1,5%. Jadi, memang ini memang purely mostly karena electricity ya,” terang dia.

    (rrd/rrd)

  • BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

    BI Rate Turun Jadi 5,75%, Ramai Ekonom Kaget

    Jakarta, CNBC Indonesia – Keputusan dewan gubernur Bank Indonesia (BI) untuk memangkas suku bunga BI Rate sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,75% pada Januari 2025 membuat sejumlah kalangan ekonom terkejut. Sebab, pemangkasan ini dilakukan BI tatkala kurs rupiah malah sedang tertekan di level .

    Pasca Gubernur BI Perry Warjiyo mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Januari 2025 pada pukul 14.00 WIB tadi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun langsung tertekan lebih dalam. Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,34% di angka Rp16.315/US$ pada hari ini, Rabu (15/1/2025). Hal ini berbanding terbalik dengan posisi kemarin (14/1/2025) yang menguat 0,06%.

    Di sisi lain, konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 15 lembaga/institusi secara absolut memproyeksikan bahwa BI akan kembali menahan suku bunganya di level 6%. Maka, tak heran bahwa sejumlah ekonom kenamaan di dalam negeri terkejut dengan keputusan BI, karena BI juga telah menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun.

    Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menjadi salah satu ekonom yang mengaku terkejut dengan keputusan dewan gubernur BI hari ini. Ia mengungkapkan, ini karena kurs rupiah saat ini tengah tertekan, meskipun dari sisi tekanan inflasi sangat terkendali.

    “Iya ini unexpected. Dari segi inflasi memang sangat terkendali, sehingga ada ruang untuk dorong pertumbuhan. Tapi, memang kurs juga agak tertekan,” tegas David kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/1/2025).

    Meski begitu, David mengakui untuk menghadapi tekanan kurs saat ini, BI memiliki banyak senjata, di antaranya ialah melalui instrumen operasi moneter Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang memiliki suku bunga atau imbal hasil sangat cukup menarik. Suku bunga SRBI untuk tenor 6, 9, dan 12 bulan per 10 Januari 2025 di level 7,06%; 7,10%; dan 7,23%.

    “Jadi BI tampaknya akan mencoba jaga attractiveness Rupiah via SRBI rate yang relatif menarik,” tegas David.

    Kepala Ekonom Bank Syariah Indonesia (BSI) Banjaran Surya Indrastomo juga menjadi salah satu ekonom yang mengungkapkan keterkejutannya. Namun, ia menitikberatkan bahwa kebijakan pemangkasan BI Rate ini dilakukan saat surat berharga di dalam negeri tengah dalam posisi tertekan.

    Sebagaimana diketahui, pada pekan kedua Januari 2025, berdasarkan catatan Bank Indonesia, pasar SBN Indonesia mulai bergejolak, karena para investor mulai melakukan aksi jual neto sebesar Rp 2,9 triliun, padahal pada pekan pertama Januari 2025 masih tercatat beli neto Rp 1,94 triliun.

    “Jadi timingnya cukup surprising, mengingat ada tekanan ke surat berharga dalam negeri. Upside nya memang masih ada ruang karena Fed Fund Rate (suku bunga Bank Sentral AS) dan BI rate ada gap 1,5%, dan ini membantu mengurangi beban utang pemerintah,” ucap Banjaran.

    Kendati demikian, Banjaran mengakui, keputusan penurunan BI Rate tersebut sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah pada Januari 2025 yang lebih rendah dibandingkan pelemahan nilai tukar negara yang memiliki kapasitas ekonomi setara dengan Indonesia.

    BI pun mencatat nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS pada Januari 2025 (hingga 14 Januari 2025) hanya melemah sebesar 1,00% (ptp) dari level nilai tukar akhir 2024. Perkembangan ini relatif lebih baik dibandingkan dengan mata uang regional lainnya, seperti rupee India, peso Filipina, dan baht Thailand yang masing-masing melemah sebesar 1,20%; 1,33%; dan 1,92%.

    “⁠Keputusan tersebut juga didorong oleh tetap rendahnya perkiraan inflasi pada 2025 dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ucap Banjaran.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga mengaku terkejut atas keputusan hasil RDG BI bulan ini. Ia mengatakan, BI secara tak terduga memangkas suku bunga acuan menjadi 5,75% di tengah kondisi kurs yang tengah bergerak di level Rp 16.300/US$.

    “Dengan Rupiah yang berpotensi bergerak di sekitar 16.300 pada kuartal I-2025, mengikuti tren mata uang Asia lainnya seperti Baht Thailand, Peso Filipina, dan Rupee India, tekanan depresiasi berpotensi masih akan terus berlanjut,” ucap Hosianna.

    Ia menganggap, sebagai respons dari kebijakan BI Rate ini, di tengah tekanan kurs, BI akan mempertahankan penerbitan SRBI untuk menjaga stabilitas rupiah terhadap dolar AS. Hosianna memperkirakan penerbitan obligasi secara bruto instrumen itu akan meningkat menjadi Rp 1,44 triliun.

    “Untuk mengelola likuiditas, Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi antara kebijakan moneter dan fiskal, termasuk meningkatkan pembelian obligasi pemerintah di pasar sekunder melalui pengalihan utang,” tuturnya.

    Di luar tiga ekonom itu, sebetulnya juga ada beberapa ekonom yang tak terkejut dengan keputusan BI, di antaranya ialah Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman. Ia mengatakan, sebetulnya ruang keputusan pemangkasan suku bunga acuan oleh dewan gubernur BI itu telah terbuka sejak Desember 2024.

    “Keputusan BI dalam RDG bulan Januari 2025 untuk memotong BI-rate sebesar 25 bps ke 5,75% tidak terlalu mengejutkan. Karena sebenarnya ruang pemotongan sudah ada sejak Desember 2024 seperti penjelasan kami bulan Desember lalu,” tutur Faisal.

    Meski nilai tukar rupiah memang cenderung melemah bulan Januari 2025 ini, namun Faisal mengingatkan, permasalahan tekanan kurs ini ini merupakan fenomena global, karena dolar AS menguat hampir ke semua mata uang dunia, seiring dengan ketidakpastian global yang tetap berlangsung. BI pun menganggap tekanan kurs ini sudah mulai dapat terukur dan terkendali.

    Yang menjadi masalah adalah risiko pada sisi pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Pertumbuhan ekonomi pada 2025 menurutnya kemungkinan akan tertekan baik dari faktor dalam maupun luar negeri. Dari luar negeri, risiko Trade War akibat Trump 2.0 akan berisiko menurunkan kinerja ekspor Indonesia.

    Sementara itu, dari dalam negeri, risiko pelemahan tingkat permintaan akan berlanjut, seperti yang terindikasi dari inflasi yang sangat rendah mendekati batas bawah target sasaran, yang menunjukkan lemahnya tingkat permintaan.

    “Jadi langkah BI ini sebenarnya sudah sesuai dengan view kami sebelumnya, namun pemotongan di Desember tertunda ke Januari,” ucap Faisal.

    Ekonom Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga memiliki sikap serupa dengan Faisal. Ia mengaku tak terkejut dengan keputusan Perry Cs karena sinyal ekonomi melemah sudah ia wanti-wanti sedari lama, sehingga terus mendorong BI untuk menurunkan suku bunga acuannya.

    “Saya sebenarnya tidak kaget ya karena dari beberapa bulan yang lalu saya sih juga menyuarakan supaya suku bunga BI rate ini turun ya demi mendongkrak performa ekonomi Indonesia, terutama dari sisi sektor riil yang memang masyarakat kita butuh suku bunga yang lebih rendah, baik itu untuk kebutuhan bisnis maupun untuk kebutuhan terkait konsumsi,” kata Myrdal.

    Ia pun menganggap wajar BI Rate awal tahun ini turun, karena transmisi imported inflation dari pelemahan kurs beberapa waktu terakhir tidak terjadi, tercermin dari angka inflasi yang sangat rendah di level 1,57% pada 2024.

    “Dan gap antara BI rate dan inflasi juga sangat lebar jadi sebenarnya masih banyak ruang untuk BI rate turun dan ditambah lagi kita lihat pressure imported inflation ke depan nya pun juga so far so good, kalau kita lihat tidak terlalu melonjak,” ucapnya.

    “Apalagi kalau kita cermati dari pergerakan harga komoditas terutama minyak juga saat ini sulit untuk melonjak signifikan, walaupun ada perang di mana-mana tapi harga minyak masih konsisten di bawah level US$ 82 per barel,” tegas Myrdal.

    Ia menekankan, BI rate yang rendah saat ini sangat dibutuhkan Indonesia karena untuk menyinergikan antara kebijakan fiskal yang sudah sangat didesain tahun ini untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berpotensi melemah.

    Di sisi lain, program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto juga ia ingatkan sebetulnya butuh dukungan dari kebijakan moneter yang longgar dari BI, di antaranya ialah program pembangunan 3 juta rumah per tahun, dan berbagai program penyelamatan daya beli supaya penjualan barang tahan lama seperti otomotif dapat kembali bergeliat.

    “Jadi walaupun pemerintah sudah jor-joran beri insentif fiskal dan PPN yang naik hanya diberikan untuk beberapa golongan yang sangat selektif tapi kalau misalnya BI rate tidak turun ini kelihatannya kurang greget ya makanya kita apresiasi lah BI rate sudah turun,” ungkapnya.

    (arj/haa)

  • Ekonom proyeksikan BI-Rate ditahan di level 6 persen pada RDG Januari

    Ekonom proyeksikan BI-Rate ditahan di level 6 persen pada RDG Januari

    Kami melihat BI masih akan menahan suku bunga pada 6 persen, untuk menjaga stabilitas perekonomian, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian global

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Bank Mandiri Dian Ayu Yustina memproyeksikan, suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI-Rate akan tetap ditahan pada level 6 persen dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI Bulan Januari 2025 pada Rabu ini.

    “Kami melihat BI masih akan menahan suku bunga pada 6 persen, untuk menjaga stabilitas perekonomian, sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian global yang memberi tekanan pada pasar keuangan domestik,” kata Dian yang merupakan Head of Macroeconomic and Financial Market Research Bank Mandiri saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.

    Namun demikian, Bank Mandiri melihat bahwa BI masih memiliki ruang untuk penurunan BI-Rate pada tahun ini meskipun akan sangat tergantung dengan kondisi global, terutama terkait kebijakan fiskal dan moneter di Amerika Serikat (AS) setelah pelantikan Donald Trump sebagai Presiden AS yang baru.

    “Perkiraan kami (pemangkasan BI-Rate) 50 bps (basis point) di semester 2 (2025),” ujar Dian.

    Hal senada juga disampaikan oleh Head of Macroeconomic and Financial Market Research PermataBank Faisal Rachman yang memperkirakan BI-Rate tetap berada pada level 6 persen, sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian global menuju pelantikan Trump terutama terkait dengan agenda inward-looking.

    “Hal ini diprediksi akan membuat tingkat inflasi AS sulit untuk turun menuju target sasaran 2 persen,” ujar Faisal.

    Ia menambahkan bahwa sinyal dari beberapa pejabat bank sentral AS atau The Fed juga sudah mengindikasikan kemungkknan besar penundaan pemotongan lanjutan Federal Funds Rate (FFR).

    “Bahkan market sendiri sudah melihat ruang pemotongan FFR di tahun ini hanya 25 bps, lebih rendah dari outlook The Fed pada bulan Desember lalu yang sebesar 50 bps,” kata Faisal.

    Risiko global yang meningkat terutama dari kemungkinan terjadinya trade war 2.0 dan high-for-longer rate suku bunga The Fed, jelas Faisal, akan menyebabkan naiknya risk-off sentiment, melebarkan current account deficit atau defisit transaksi berjalan, dan memicu capital outflow, yang berujung pada pelemahan nilai tukar rupiah. Hal ini akan memicu terjadinya imported inflation.

    Faisal mengatakan, PermataBank sendiri melihat ruang penurunan BI-Rate pada paruh pertama 2025 akan cenderung tertutup. Pada paruh kedua tahun ini, ada peluang terbuka pemangkasan BI-Rate namun masih akan sangat bergantung pada kondisi global dan domestik.

    “All in all (secara keseluruhan), kami hanya melihat ruang pemotongan sebesar 25 bps untuk BI-Rate di tahun ini yang mungkin terjadi pada paruh kedua 2025,” kata Faisal.

    Pewarta: Rizka Khaerunnisa
    Editor: Faisal Yunianto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ekonom ingatkan kenaikan PPN bisa picu peningkatan inflasi

    Ekonom ingatkan kenaikan PPN bisa picu peningkatan inflasi

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom ingatkan kenaikan PPN bisa picu peningkatan inflasi
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 03 Desember 2024 – 19:56 WIB

    Elshinta.com – Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menyampaikan bahwa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen dapat memicu peningkatan inflasi di dalam negeri.

    “Tahun ini inflasi diperkirakan berkisar di bawah dua persen, namun untuk tahun depan inflasi diproyeksikan meningkat ke 3,12 persen,” ujar Josua dalam acara 2025 Economic Outlook oleh Permata Bank di Jakarta, Selasa (3/12).

    Dalam kesempatan sama, Head of Macroeconomic and Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman menyampaikan bahwa pada dasarnya kenaikan PPN dapat berdampak positif terhadap pendapatan negara, dengan catatan bahwa kenaikan penerimaan negara harus dikembalikan lagi kepada masyarakat.

    “Kalau bisa dialokasikan lagi ke sektor yang meningkatkan roda ekonomi. Kita lihat, kenaikan PPN ini boleh, tapi komitmennya dikembalikan ke rakyat untuk pembangunan dan peningkatan ekonomi,” ujar Faisal.

    Namun demikian, Ia menegaskan bahwa penundaan PPN perlu menjadi opsi yang dipertimbangkan oleh pemerintah, karena saat ini konsumsi masyarakat yang menjadi penopang terbesar pertumbuhan ekonomi masih terguncang ditambah terjadinya penurunan jumlah kelas menengah.

    “Kami mendukung wacana ditunda dulu. Kelas menengah belum kembali ke kondisi secure (aman) seperti prapandemi (COVID-19). Kalau sudah pulih, bisa dilakukan secara gradual,” ujarnya.

    Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia sebesar 1,55 persen year on year (yoy) pada November 2024, atau melandai dari capaian Oktober yang sebesar 1,71 persen (yoy).

    Secara bulanan, inflasi pada November 2024 tercatat sebesar 0,30 persen month to month (mtm) atau lebih tinggi dibandingkan Oktober 2024 yang sebesar 0,08 persen (mtm).

    Sementara itu, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa pemerintah berencana untuk menunda kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang pada awalnya bakal diterapkan pada 1 Januari 2025.

    Menurut Luhut, penerapan kenaikan PPN yang diundur karena pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.

    Sumber : Antara