Tag: Fadli Zon

  • Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

    Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional

    Urus Saja Rakyat, Tak Perlu Cawe-cawe Penulisan Sejarah Nasional
    Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.
    ADA
    satu adigium di dalam penulisan sejarah yang sering dikutip di seluruh dunia. Bunyinya, “
    History is written by the victors
    ” atau sejarah ditulis oleh para pemenang.
    Kabarnya, jika kita merujuk kepada buku sejarah, tak terlalu jelas siapa yang pertama kali mengucapkan kalimat tersebut.
    Belakangan dalam beberapa kajian terbaru di Amerika Serikat, pencetus pertama kalimat tersebut mengerucut kepada dua tokoh, yang dalam perjalanan sejarah di masa lampau ternyata saling bermusuhan.
    Pertama, Herman Gering, salah satu tangan kanan Adolf Hitler. Pada pengadilan tribunal Nuremberg, Herman Gering memang tercatat pernah mengatakan “
    Der Sieger wird immer der Richter und der Besiegte stets der Angeklagte sein
    ,” yang berarti “
    The victor will always be the judge, and the vanquished the accused.

    Lebih kurang dalam bahasa Indonesia memiliki arti bahwa “pemenang akan selalu menjadi hakim, sementara yang kalah akan menjadi terdakwa”.
    Kedua, Winston Churcill. Dalam sebuah pernyataan yang bernada candaan di hadapan
    House of Common
    pada 23 Januari 1948, Churcill tercatat mengatakan “
    For my part, I consider that it will be found much better by all parties to leave the past to history, especially as I propose to write that history myself
    ”.
     
    Lebih kurang artinya, “Menurut saya, akan jauh lebih baik bagi semua pihak untuk membiarkan masa lalu menjadi sejarah, terutama karena saya sendiri yang mengusulkan untuk menulis sejarah itu.”
    Namun lebih dari itu, dalam penelusuran sejarah, istilah senada acapkali muncul di dalam diskusi masyarakat di masa lalu.
    Peneliti Ken Hirsch menemukan kepingan dialog di dalam masyarakat Perancis pada 1848 yang berbunyi “
    histoire est juste peut-être, mais qu’on ne l’oublie pas, elle a été écrite par les vainqueurs
    ”.
    Dalam bahasa Inggris memiliki arti bahwa “
    The history is right perhaps, but let us not forget, it was written by the victors.

    Pun Ken menemukan di dalam dialog masyarakat Italia pada 1852, berbunyi “
    La storia di questi avvenimenti fu scritta dai vincitori
    ” di mana dalam bahasa Inggris berarti “
    The history of these events was written by the winners
    ”.
    Namun, kata Ken, pernyataan yang beragam itu muncul dalam bahasa yang jauh lebih elegan sebagaimana dikenal hari ini melalui mulut tokoh besar Revolusi Perancis, yakni Maximilien Robespierre.
    Bunyinya, “
    Vanquished, his history written by the victors
    ”. Lebih kurang berarti bahwa sejarah pihak yang kalah ditulis oleh para pemenang.
    Di sini tentu saya tidak ingin memperpanjang daftar pengucap pertama adigium tersebut. Selain bukan bidang saya secara keilmuan, saya sejatinya juga kurang tertarik untuk memperpanjang cerita kronologis-etimologis dari adigium tersebut.
    Saya di sini lebih memilih untuk fokus kepada pesan yang tersimpan di balik adigium tersebut, dikaitkan dengan perkembangan kontemporer di Indonesia saat ini.
    Poin pertama yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sejarah Indonesia tidak akan berubah secara faktual historis, sekalipun ditulis ulang di dalam bahasa kekuasaan.
    Dengan kata lain, pemerintah sebaiknya tidak perlu membagi fokus antara mengurus rakyat dan menulis ulang sejarah nasional Indonesia.
    Karena secara moral dan substansial, mengurus rakyat jauh lebih “wajib” ketimbang menulis ulang sejarah versi pemerintah sendiri yang notabene juga hanya untuk kepentingan pemerintah sendiri.
    Biarkan sejarawan dan para ilmuwan yang akan mengurusnya, karena mereka memang secara moral dan substansial bertugas untuk menulis itu semua.
    Kata seorang kolega akademisi di luar negeri tentang negaranya, bahwa tak perlu semua negara termasuk negaranya harus diseragamkan tentang sejarah. Menurut dia, negerinya bukan “negeri Hitler” atau “negeri Stalin”, di mana segala sesuatunya harus berdasarkan versi pemerintah.
    Hal tersebut sangat perlu saya sampaikan di sini karena pernyataan pemerintah terkait dengan sejarah nasional belakangan sudah mulai melenceng terlalu jauh.
    Jangan sampai ambisi pemerintah untuk menulis ulang sejarah nasional dengan bahasa kekuasaan justru memunculkan preseden buruk di negeri ini untuk masa-masa mendatang.
    Cukup mengkhawatirkan untuk membayangkan sepuluh tahun dari sekarang, katakanlah ketika gerbong kekuasaan mulai bergeser ke pusat yang lain, hal yang sama juga dilakukan nantinya atau kejadian berulang merujuk penguasa yang baru.
    Apa jadinya negeri ini jika sejarahnya diacak-acak secara politik setiap kali terjadi pergantian kekuasaan.
    Poin kedua saya adalah bahwa terlepas apapun bentuk keberatan pemerintah atas beberapa titik di dalam sejarah nasional, bahkan jika benar sekalipun keberatan tersebut, tugas pemerintah hanya menyampaikan keberatan tersebut kepada publik.
    Lalu biarkan ahli sejarah dan sejarahwan serta para cerdik pandai yang akan mengurusnya. Bahkan jika pada akhirnya tidak ditemukan titik kesamaan antarpara sejawaran dan ahli sejarah serta cerdik pandai, maka biarkanlah tetap seperti itu, karena akan jauh lebih baik seperti itu dibandingkan dengan ditulis ulang menggunakan bahasa kekuasaan.
    Apalagi jika keberatan pemerintah atas satu atau dua keping peristiwa sejarah hanya berdasarkan satu sudut sempit di satu sisi dan apalagi jika memiliki “modus” yang kurang baik di sisi lain, tentu akan jauh lebih berbahaya bagi negeri ini dan fatal bagi eksistensi ilmu sejarah di kampus-kampus nasional.
    Lihat saja, betapa berbahayanya pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang menafikan validitas pemerkosaan massal di tahun 1998.
    Karena hasil temuan tim pencari fakta sudah sangat jelas dipaparkan selama ini bahwa peristiwa tersebut benar-benar terjadi dan korban-korbannya sudah diungkapkan secara jelas pula.
    Ucapan tersebut setali tiga uang dengan bahaya yang tersimpan di balik ambisi pemerintah yang ingin menulis ulang sejarah versi “pelat merah”.
    Dan dalam konteks itu pula mengapa di awal tulisan ini saya harus memulainya dengan adigium di atas.
    Potensi distorsinya akan sangat tinggi jika kekuasaan sudah mulai berusaha “cawe-cawe” di dalam penulisan sejarah nasional negara.
    Pasalnya, di dalam kekuasaan, tak ada bahasa “ilmiah” yang bisa dipegang secara objektif, tanpa ada kepentingan di baliknya.
    Akan selalu ada “udang” di balik “batu”, jika bahasa kekuasaan sudah mulai memasuki ranah yang tak perlu dimasuki itu. Jika tak demikian, bukan kekuasaan namanya toh.
    Sehingga, kita sebagai anak bangsa sebaiknya jangan pernah mau terprovokasi untuk diajak mencampuradukkan antara kepentingan kekuasaan dengan penulisan sejarah nasional yang sejatinya harus ditulis secara ketat dan ilmiah oleh para pihak yang kompeten, yakni sejarawan dan ilmuwan.
    Karena itu, dalam hemat saya, sekaligus sebagai usulan baik saya kepada pemerintah, langkah terbaik yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah terkait dengan sejarah nasional adalah mencontoh sikap dan tindakan dari negara besar lain, terutama Amerika Serikat.
    Jika memang pemerintah memiliki data dan informasi yang selama ini belum mampu diakses publik, terutama oleh ahli sejarah dan sejarawan, maka “release” data tersebut, layaknya CIA, misalnya, merilis data yang mereka miliki setelah 50 tahun waktu berlalu.
    Lalu biarkan ilmuwan dan sejarawan yang menjadikannya serpihan-serpihan ilmiah sejarah nasional Indonesia.
    Dan poin ketiga, saya tidak mau naif dalam hal ini, jadi saya akan menghormati para pihak yang ingin menulis ulang sejarah, tapi bukan dengan mengatasnamakan pemerintah atau negara.
    Usul saya, ada cara lain yang juga tak kalah elegannya untuk para pihak di dalam pemerintahan agar bisa terlibat di dalam dinamika dan proses penulisan sejarah nasional Indonesia, yakni menulis kepingan sejarah atas nama sendiri.
    Sebagaimana diketahui, Fadli Zon sebagai salah satu anak bangsa pilihan (karena diangkat menjadi salah satu menteri), bukan sebagai pejabat negara, menuliskan versinya sendiri atas satu atau dua peristiwa di dalam perjalanan sejarah nasional yang menurutnya kurang bisa ia terima.
    Hal semacam ini juga lazim dilakukan oleh pejabat-pejabat tinggi pemerintah di mana pun di dunia ini. Namun lagi-lagi tidak mengatasnamakan pemerintah atau negara, tapi mengatasnama diri sendiri (biasanya setelah tak lagi menjabat).
    Memang tidak akan menjadi versi resmi pemerintah, karena sebaiknya tidak ada istilah “versi resmi pemerintah” di dalam penulisan sejarah. Hal itu toh memang tak diperlukan. 
    Namun setidaknya keresahan para pihak di dalam pemerintahan secara orang perorang terhadap satu atau dua kepingan sejarah nasional tidak pernah dilarang untuk disampaikan kepada publik melalui cara-cara yang baik.
    Apalagi tokoh-tokoh sekelas Fadli Zon dan kawan-kawan diyakini memiliki sumber daya berlimpah untuk menerbitkan ribuan eksemplar buku, tanpa harus membawa-bawa nama pemerintah dan negara.
    Dengan cara itu, Fadli Zon dan kawan-kawan bisa mempertahankan thesisnya soal peristwa pemerkosaan massal 1998 atau versi lain pemberontakan Madiun, atau apapun, misalnya.
    Saya yakin, jika thesis Fadli Zon tak kuat, maka para sejarawan dan publik akan menelanjanginya. Namun jika benar, saya juga yakin, publik dan sejarawan akan mengafirmasi dan mengapresiasi.
    Dan lagi-lagi, dialektika semacam itu akan berlangsung objektif dan mulus, karena tidak ada dinding negara dan kekuasaan yang harus dihadapi.
    Lain cerita kalau sudah mengatasnamakan negara atau pemerintah, maka dialektika ilmiah sudah nyaris tidak ada lagi di satu sisi dan adigium bahwa “
    history is written by the victors
    ” akan berlaku di sisi lain.
    Oleh karena itu, di sini saya harus mengulangi lagi, negara dan pemerintah tak perlu “cawe-cawe” di dalam penulisan ulang sejarah.
    Sebagai bagian dari rakyat biasa saya dengan kerendahan hati hanya berharap agar pemerintah fokus saja kepada janji-janji politik yang sudah terlanjur dinyanyikan selama masa kampanye. Itu sudah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Amnesty Internasional Indonesia Sebut Fakta Kasus Pemerkosaan Massal Sudah Diterima Pemerintah

    Amnesty Internasional Indonesia Sebut Fakta Kasus Pemerkosaan Massal Sudah Diterima Pemerintah

    Bisnis.com, JAKARTA — Amnesty International Indonesia menegaskan fakta kasus tindak pidana perkosaan massal pada Mei 1998 sudah diserahkan Tim Pencari Fakta ke BJ Habibie dan Jaksa Agung masa itu.

    Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menilai bahwa pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kasus perkosaan massal itu hanya rumor, dinilai tidak tepat.

    Usman menuturkan bahwa  banyak warga Indonesia terutama perempuan yang tahu persis mengenai kasus perkosaan massal pada Mei 1998 tersebut, tidak seperti Fadli Zon yang dinilai gagal paham.

    “Dia [Fadli Zon] menggunakan istilah rumor dan ini artinya dia menilai kasus perkosaan massal itu diragukan kebenarannya. Jelas ini pernyataan yang fatal dan tidak berhati-hati,” tuturnya di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

    Usman mengatakan bahwa pemerintah kala itu sudah membuat Tim Pencari Fakta untuk mencari bukti-bukti dan fakta terkait kasus perkosaan massal tersebut. 

    Menurutnya, temuan Tim Pencari Fakta itu juga sudah diserahkan kepada BJ Habibie, Menteri Kehakiman hingga Jaksa Agung di masa itu. 

    “Semua faktanya sudah diserahkan dan tidak ada Menteri Kebudayaan dilibatkan pada saat itu,” katanya.

    Maka dari itu, Usman menilai bahwa Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan saat ini, tidak memiliki otoritas maupun wewenang menyebut kasus tindak pidana perkosaan massal itu hanya rumor semata.

    “Tidak adanya Menteri Kebudayaan yang dilibatkan pada saat itu dan ketiadaan Menteri Kebudayaan itu artinya dia tidak punya otoritas sama sekali dalam insiden itu. Jelas itu bukan wewenangnya, dia itu tidak punya kapasitas dalam menjelaskan hal itu,” ujarnya.

  • DPR minta klarifikasi Fadli Zon soal tak ada pemerkosaan massal ’98

    DPR minta klarifikasi Fadli Zon soal tak ada pemerkosaan massal ’98

    Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani bakal meminta klarifikasi kepada Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengenai pernyataan tidak ada pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.

    Dia menilai pernyataan tersebut berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade. Menurut dia, pengingkaran terhadap peristiwa tersebut adalah bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.

    “Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” kata Lalu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.

    Dia mengungkapkan DPR RI saat ini sedang berada dalam masa reses. Ketika memasuki masa sidang, Komisi X DPR pun akan mempertanyakan ucapan tersebut ketika rapat kerja yang mengundang Fadli Zon.

    Dia menekankan bahwa tragedi 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.

    Menurut dia, penyangkalan terhadap fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998, sama saja dengan merendahkan martabat para korban dan menghambat proses pemulihan serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.

    “Menutupinya maka sama saja kita merendahkan martabat para korban dan tidak membuka ruang untuk pemulihan nama baik mereka,” katanya.

    Dia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Menurut dia, sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” katanya.

    Pimpinan komisi yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan itu juga berkomitmen bakal mengawal Kementerian Kebudayaan yang tengah melakukan penulisan revisi sejarah Indonesia. Dia memandang bahwa penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa, bukan hanya domain kementerian.

    “DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” kata dia.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Komisi X akan raker dengan Fadli Zon soal 1998 saat masa sidang dibuka

    Komisi X akan raker dengan Fadli Zon soal 1998 saat masa sidang dibuka

    Jakarta (ANTARA) – Komisi X DPR RI akan menggelar rapat kerja (raker) dengan Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat DPR RI kembali membuka masa sidang baru guna meluruskan wacana yang berkembang di publik terkait penulisan ulang sejarah Indonesia, termasuk diantaranya terkait pernyataannya soal peristiwa pemerkosaan pada Tragedi Mei 1998.

    “Kami ada rencana akan raker setelah masa sidang di buka untuk meluruskan wacana yang berkembang di publik, tentu pada saat raker, salah satu yang akan kami pertanyakan adalah hal tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Dia memandang pernyataan Fadli Zon terkait kasus perkosaan pada Tragedi Mei 1998 berpotensi melukai hati para korban dan merendahkan upaya pemulihan yang telah diperjuangkan selama lebih dari dua dekade.

    “Sedikit keliru kalau dikatakan tidak ada perkosaan massal. Peristiwa itu terjadi, jangan tutupi sejarah,” ujarnya.

    Dia menekankan bahwa Tragedi Mei 1998 merupakan bagian kelam dari sejarah bangsa yang menyimpan luka mendalam, khususnya bagi perempuan korban kekerasan seksual.

    Untuk itu, dia mengatakan bahwa pengingkaran terhadap peristiwa tersebut merupakan bentuk penghapusan jejak sejarah Indonesia.

    “Itu adalah tragedi kemanusiaan yang nyata. Jangan menghapus jejak kekerasan seksual yang nyata dan telah diakui oleh masyarakat luar. Komnas Perempuan juga sudah melaporkan,” ucapnya.

    Dia juga menilai menutupi fakta terjadinya kekerasan seksual dalam insiden 1998 sama saja dengan merendahkan martabat dan menghambat proses pemulihan nama baik para korban, serta rekonsiliasi yang seharusnya terus diberikan.

    Dia mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan dan untuk menyenangkan penguasa, tetapi harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” tuturnya.

    Dia pun menekankan DPR RI akan mengawal penulisan ulang sejarah Indonesia yang dilakukan Kementerian Kebudayaan karena penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa sehingga bukan hanya domain suatu kementerian saja.

    “Sejarah bukan milik kementerian, tapi milik rakyat. DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” katanya.

    Lalu menyoroti pula minimnya partisipasi publik dan komunitas akademik dalam proses penyusunan ulang sejarah yang dilakukan Kementerian Kebudayaan. Menurut dia, jika masyarakat hanya boleh mengkritik setelah draf selesai maka hal itu bukanlah partisipasi, tetapi hanyalah konsumsi pasif.

    Di sisi lain, dia mengkritik penggunaan istilah Sejarah Resmi dalam proyek penulisan ulang sejarah oleh Kementerian Kebudayaan yang menurutnya sebagai warisan cara berpikir otoriter.

    “Kita belajar dari masa lalu, ketika sejarah digunakan untuk membungkam, bukan mencerminkan keberagaman bangsa,” ucapnya.

    Dia meyakini bangsa yang besar adalah bangsa yang berani berdamai dengan masa lalunya dan menuliskannya secara jujur, bukan dengan menutupinya.

    “Jika sejarah hanya ditulis untuk menyenangkan penguasa, maka ia bukan warisan bangsa, melainkan propaganda,” katanya.

    Lebih lanjut, dia menolak upaya pelabelan terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan dengan Pemerintah, seperti disebut ‘radikal’ atau ‘sesat sejarah’.

    “Sejarah bukan dogma. Ia ruang tafsir. Negara seharusnya menjadi fasilitator yang adil, bukan produsen tunggal narasi sejarah nasional,” paparnya.

    Dia pun menegaskan Komisi X DPR RI akan mendorong evaluasi kritis terhadap proyek penulisan ulang sejarah nasional agar tetap sejalan dengan prinsip ilmiah, etika akademik, dan semangat kebangsaan yang plural.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • DPR Akan Panggil Fadli Zon terkait Pernyataan Kontroversial Tragedi Mei 1998 – Page 3

    DPR Akan Panggil Fadli Zon terkait Pernyataan Kontroversial Tragedi Mei 1998 – Page 3

    Menanggapi kontroversi yang muncul, Fadli Zon menegaskan bahwa dirinya mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Dalam keterangan terpisah, Menbud Fadli Zon menegaskan bahwa dirinya mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini.

    “Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998,” kata Fadli.

    Menurut dia, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya “perkosaan massal”.

    Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat. Fadli Zon menekankan pentingnya ketelitian dan kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”.

    Menurutnya, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal. Fadli Zon menegaskan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

  • DPR Akan Panggil Fadli Zon terkait Pernyataan Kontroversial Tragedi Mei 1998 – Page 3

    Polemik Fadli Zon soal Perkosaan Massal 98, Wakil Ketua Komisi X DPR: Jangan Tutupi Sejarah! – Page 3

    Legislator dari Dapil Nusa Tenggara Barat II ini mengingatkan bahwa sejarah Indonesia tidak boleh direduksi menjadi narasi tunggal milik kekuasaan. Ia menegaskan, sejarah harus ditulis secara jujur, inklusif, dan partisipatif bukan untuk menyenangkan penguasa.

    “Sejarah bukan sekadar narasi masa lalu, melainkan fondasi jati diri bangsa. Maka ketika ada upaya penulisan ulang sejarah, yang perlu kita pastikan bukan siapa yang menulis, tetapi mengapa dan untuk siapa sejarah itu ditulis,” ucap Lalu.

    Pimpinan komisi yang membidangi urusan pendidikan dan kebudayaan itu juga menekankan, DPR akan mengawal Kementerian Kebudayaan yang tengah melakukan penulisan revisi sejarah Indonesia. Lalu menyatakan, penulisan sejarah menyangkut kepentingan kolektif bangsa, bukan hanya domain kementerian.

    “Sejarah bukan milik kementerian, tapi milik rakyat. DPR mewakili rakyat dan punya tanggung jawab memastikan proses ini tidak menjadi rekayasa ingatan kolektif, melainkan rekonstruksi objektif,” sebutnya.

     

  • Fadli Zon Soroti Istilah Massal Kasus Perkosaan Mei 1998: Perlu Bukti Lebih Akurat – Page 3

    Fadli Zon Soroti Istilah Massal Kasus Perkosaan Mei 1998: Perlu Bukti Lebih Akurat – Page 3

    “Saya yakin terjadi kekerasan perundungan seksual terhadap perempuan, bahkan tidak hanya dulu sampai sekarang masih terjadi. Tapi, istilah massal itu mungkin yang memerlukan pendalaman, bukti yang lebih akurat, data yang lebih solid karena ini menyangkut nama baik bangsa kita,” ujarnya dikutip dari Antara.

     

    Terkait laporan atau data Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus dugaan perkosaan massal 13-14 Mei 1998, Fadli menyebut dari beberapa investigasi tersebut ada hal yang pada saat itu memerlukan pendalaman dan lain-lain. 

    “Ketika informasinya simpang siur di situlah saya kira memerlukan pendalaman. Jadi, saya tidak menegasikan terjadinya berbagai macam bentuk kejahatan ketika itu,” ujarnya menegaskan.

     

  • Komisi X DPR Bakal Panggil Fadli Zon soal Ucapan Terkait Pemerkosaan Massal ’98

    Komisi X DPR Bakal Panggil Fadli Zon soal Ucapan Terkait Pemerkosaan Massal ’98

    Jakarta

    Menteri Kebudayaan (Menbud) Fadli Zon menuai kecaman karena menyatakan tidak ada bukti dalam pemerkosaan massal Mei 1998. Komisi X DPR RI akan memanggil Fadli Zon untuk klarifikasi.

    “Pernyataan Menteri Kebudayaan yang menyebut bahwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998 hanya sebatas rumor, perlu secara resmi diklarifikasi. Komisi X DPR RI tentu akan meminta penjelasan lebih lanjut terkait pernyataannya tersebut,” kata Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, kepada wartawan, Selasa (17/6/2025).

    “Tentu Masa Sidang IV yang akan dimulai pada 24 Juni atau minggu depan, kami akan mengagendakan Raker/RDP dengan seluruh mitra Komisi X, termasuk Kementerian Kebudayaan,” sambungnya.

    Lalu menerangkan Fadli Zon harus mengklarifikasi pernyataannya mengingat permasalahan sejarah kekerasan seksual di Indonesia sangat sensitif bagi bangsa. Dia menyebut pernyataan Fadli Zon meragukan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) yang bisa melukai dan mencederai penegakan HAM.

    “Hal ini penting dilakukan mengingat, permasalahan sejarah kekerasan seksual di Indonesia, adalah yang cukup sensitif bagi bangsa. Meragukan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) tersebut, bisa melukai dan mencederai semangat penegakan HAM dan rekonsiliasi nasional,” ujarnya.

    “Menurut saya pemerintah perlu menunjukkan sikap yang lebih empatik kepada para korban dan keluarganya alih-alih meragukan fakta yang dihimpun TGPF,” imbuhnya.

    “Tragedi Mei 1998 tetap harus masuk dalam narasi sejarah nasional, termasuk dalam kurikulum dan kebijakan kebudayaan. Hal ini penting untuk memastikan keadilan memori dan menghindari penghapusan sejarah (historical denialism),” lanjutnya.

    Legislator PKB ini mengatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk memperkuat komitmen terhadap penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998. Komisi X, kata Lalu, mempunyai andil untuk memperjuangkan keadilan bagi korban serta memastikan tragedi serupa tidak terulang di masa depan.

    “Kami Komisi X DPR-RI sangat berkepentingan untuk menjaga kebenaran sejarah, memperjuangkan keadilan bagi korban, serta memastikan bahwa tragedi serupa tidak terulang di masa depan,” tambahnya.

    Pernyataan Fadli Zon Dikecam

    Diberitakan sebelumnya, pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon terkait pemerkosaan massal 1998 menuai kritik luas hingga didesak minta maaf. Fadli Zon menjawab kritik tersebut.

    Kritik hingga kekecewaan terhadap Fadli Zon disampaikan oleh sederet aktivis. Pernyataan Fadli Zon dalam sebuah wawancara itu dinilai keliru.

    Komnas Perempuan menyebut penyintas tragedi ini telah lama memikul beban. Oleh karenanya, pernyataan Fadli Zon itu dinilai menyakitkan dan memperpanjang impunitas.

    “Penyintas sudah terlalu lama memikul beban dalam diam. Penyangkalan ini bukan hanya menyakitkan, tapi juga memperpanjang impunitas,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Dahlia Madanih kepada wartawan, Minggu (15/6).

    Sementara itu, dalam klarifikasinya, Fadli Zon mengapresiasi terhadap publik yang semakin peduli pada sejarah, termasuk era transisi reformasi pada Mei 1998. Fadli Zon mengatakan peristiwa huru hara pada 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif, termasuk ada atau tidak adanya perkosaan massal. Bahkan, kata dia, liputan investigatif sebuah majalah terkemuka tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal ‘massal’ ini.

    Demikian pula, kata Fadli, laporan TGPF ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Di sinilah, dia menyebut perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa.

    “Saya tentu mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini. Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru hara 13-14 Mei 1998,” kata Fadli dalam keterangannya, Senin (16/6/2025).

    “Sebaliknya, segala bentuk kekerasan dan perundungan seksual terhadap perempuan adalah pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan paling mendasar, dan harus menjadi perhatian serius setiap pemangku kepentingan,” imbuhnya.

    (whn/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Setara Institute: Fadli Zon Ngawur dan Manipulatif soal Pemerkosaan Massal 98

    Setara Institute: Fadli Zon Ngawur dan Manipulatif soal Pemerkosaan Massal 98

    Bisnis.com, JAKARTA — Setara Institute menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon cenderung manipulatif dan sarat sensasi terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia.

    Ketua Dewan Nasional Setara Institute, Hendardi mengatakan penilaian pihaknya itu bersumber dari pernyataan-pernyataan Fadli Zon sejauh ini.

    “Narasi yang sejauh ini disampaikan oleh Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan terkait dengan penulisan ulang sejarah Indonesia hampir semuanya cenderung manipulatif, sarat sensasi dan muslihat alias ngawur,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Senin (16/6/2025).

    Dia menambahkan salah satu pernyataan Fadli Zon yang dinilai keliru adalah terkait tragedi pemerkosaan massal pada 1998. Menurutnya, Fadli Zon tidak mempunyai empati saat menyangkal peristiwa tersebut.

    Terlebih, hal tersebut juga bertentangan dengan penyelidikan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) besutan Presiden ke-3 RI BJ Habibie serta temuan dari Komnas HAM maupun perempuan.

    “Fadli Zon harus menarik berbagai ucapannya yang menyangkal pemerkosaan massal dan pelanggaran HAM masa lalu serta segera meminta maaf kepada publik, khususnya para korban dan keluarga mereka,” tutur Hendardi.

    Kemudian, Hendradi menyatakan bahwa kementerian yang saat ini dipimpin oleh Fadli Zon itu tifak memiliki otoritas dalam membuat ulang narasi sejarah Indonesia. Pasalnya, pembuatan narasi itu lebih baik diserahkan kepada Kementerian yang mengurusi pendidikan.

    Di lain sisi, secara waktu pembuatan narasi ulang sejarah Indonesia harus rampung hingga 17 Agustus 2025 dinilai kurang tepat. Sebab, saat ini tidak ada urgensi atau keadaan yang mendesak untuk membuat narasi sejarah Indonesia.

    “Hal tersebut justru menguatkan kesan publik bahwa di balik proyek ini terdapat ambisi politik rezim untuk merekayasa dan membelokkan sejarah, memanfaatkan ungkapan ‘Sejarah adalah Milik Kaum Pemenang’,” imbuhnya.

    Dengan demikian, Hendradi menyarankan pemerintahan yang dipimpin Presiden Prabowo bisa mengurungkan niat untuk menulis ulang sejarah Indonesia.

    Sebab, selain perlu dialog yang panjang dan mendalam. Pemerintah juga harus dapat mengungkap terlebih dahulu kasus pelanggaran HAM di masa lampau.

     “Pada saat yang sama, Pemerintah RI harus menunjukkan i’tikad untuk mengungkapkan kebenaran di balik kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu dan saat ini, alih-alih secara instan dan represif menulis ulang sejarah sesuai dengan selera rezim,” pungkas Hendardi.

  • 2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98

    2 Hal dari Fadli Zon yang Dikritik Koalisi Sipil soal Perkosaan Massal ’98
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Koalisi Masyarakat Sipil
    Melawan Impunitas mengecam keras pernyataan Menteri Kebudayaan
    Fadli Zon
    yang dinilai menyesatkan dan merendahkan perjuangan para korban kekerasan seksual dalam Peristiwa Mei 1998.
    “Pertama, ia menyatakan bahwa tidak terdapat bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk
    perkosaan massal
    , dalam peristiwa tersebut,” kata Koalisi, dilansir siaran pers di situs web KontraS, Senin (16/6/2025).
    Kecaman tersebut disampaikan dalam pernyataan bersama yang dirilis pada 12 Juni 2025, menanggapi pernyataan Fadli dalam video wawancara bertajuk “Real Talk: Debat Panas!! Fadli Zon vs Uni Lubis Soal Revisi Buku Sejarah” yang tayang di kanal YouTube IDN Times pada 10 Juni 2025.
    Poin kedua yang disoroti Koalisi, Fadli Zon mengeklaim bahwa isu tersebut hanyalah “rumor” dan tidak pernah tercatat dalam buku sejarah.
    Pernyataan ini dinilai merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi, khususnya kekerasan terhadap perempuan.
    Koalisi menilai pernyataan tersebut juga melecehkan kerja-kerja investigatif Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas HAM yang telah mendokumentasikan secara rinci berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei 1998, termasuk perkosaan massal terhadap perempuan, mayoritas dari etnis Tionghoa.
    Menurut laporan akhir TGPF pada 23 Oktober 1998, ditemukan setidaknya 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan disertai penganiayaan, serta puluhan korban serangan dan pelecehan seksual lain di Jakarta, Medan, Surabaya, dan sejumlah wilayah lainnya.
    TGPF juga mencatat bahwa sebagian besar kekerasan seksual yang terjadi adalah “gang rape”, dilakukan oleh beberapa pelaku secara bergantian dan kerap disaksikan orang lain.
    Koalisi menyebut bahwa pernyataan Fadli Zon mengingkari bukti-bukti tersebut dan berpotensi memperkuat budaya impunitas atas pelanggaran berat HAM masa lalu.
    Lebih dari itu, sikap tersebut juga dianggap sebagai upaya sistematis untuk menghapus narasi kekerasan seksual Mei 1998 dari sejarah resmi Indonesia.
    “Pernyataan Fadli Zon mencerminkan upaya sistematis untuk menghapus jejak pelanggaran HAM di masa Orde Baru, dengan cara meniadakan narasi tentang peristiwa kekerasan seksual Mei 1998 dan pelanggaran berat HAM lainnya dari buku-buku sejarah yang sedang direvisi,” ungkap koalisi.
    Negara pun disebut mengalami kemunduran dalam menjamin perlindungan kepada perempuan jika sepakat dengan pernyataan Fadli Zon.
    Koalisi juga mengkritik peran Fadli Zon yang saat ini memimpin proyek revisi penulisan sejarah nasional dan menjabat sebagai Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK).
    Jabatan strategis ini dinilai memberi Fadli ruang untuk mengarahkan narasi sejarah nasional, termasuk potensi rehabilitasi politik terhadap figur-figur kontroversial dari era Orde Baru.
    Salah satu kekhawatiran Koalisi adalah menguatnya kembali wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden Soeharto.
    Padahal, Soeharto dinilai sebagai tokoh sentral dalam berbagai pelanggaran HAM berat dan praktik korupsi selama masa kepemimpinannya.
    “Fadli Zon secara terbuka pernah menyatakan bahwa Soeharto layak mendapat gelar pahlawan. Ini jelas bertolak belakang dengan fakta sejarah dan menyinggung rasa keadilan para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di masa lalu,” tutur koalisi.
    Dalam pernyataan tersebut, Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menyampaikan sejumlah tuntutan:
    1. Menuntut Fadli Zon mencabut pernyataannya dan meminta maaf secara terbuka kepada para korban kekerasan seksual Mei 1998.
    2. Mendesak pembatalan pengangkatan Fadli Zon sebagai Ketua GTK (Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan -red)
    3. Meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan sejarah nasional yang dinilai tidak partisipatif dan berpotensi ahistoris.
    4. Menolak segala bentuk upaya rehabilitasi politik terhadap tokoh-tokoh bermasalah dari Orde Baru, termasuk wacana pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto.
    5. Mendesak Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM sesuai UU Pengadilan HAM.
    6. Menegaskan pentingnya menjaga hasil kerja TGPF, Komnas HAM, dan Komnas Perempuan sebagai pijakan sejarah bangsa yang adil dan bermartabat.
    Sebelumnya, banyak pihak mengecam pernyataan Fadli Zon yang menyangkal terjadinya pemerkosaan massal pada Mei 1998 lalu.
    Dalam wawancara bersama IDN Times, Fadli Zon mengeklaim peristiwa pemerkosaan massal tahun 1998 tidak ada buktinya.
    Menurutnya, peristiwa itu hanya berdasarkan rumor yang beredar dan tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 1998.
    “Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucap Fadli Zon dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025).
    Fadli mengaku pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang pernah memberikan keterangan ada pemerkosaan massal pada peristiwa Mei 98.
    “Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu,” ujar Fadli Zon.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.